Anda di halaman 1dari 19

DIFTERI

Oleh :
Dewi Suspita Angreyeni

Pembimbing :
Dr. Hj Rahayu Suharmadji, Sp. A
DEFINISI
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara
lokalpada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang
disebabkan oleh basil gram posistif Corynebacterium
diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang
berbentuk membran pada tempat infeksi, yang diikuti oleh
gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang
diproduksi oleh basil ini.
ETIOLOGI
Disebabkan oleh Corynebacterium Dyphtheriae

Menurut bentuk, besar dan warna koloni yang terbentuk,


C.Dyphtheriae yang dapat memproduksi eksotoksin dapat
dibedakan atas 3 jenis, yaitu:
Gravis
Koloninya besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu dan tidak
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis
Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermedlate
Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan
dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
PATOFISIOLOGI
KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit difteri secara klinis adalah
menurut lokalisasi terjadinya infeksi pertama,
yaitu sebagai berikut:
Difteri nasal anterior
Difteri nasal posterior
Difteri fausial (faring)
Difteri laringeal
Difteri konjungtiva
Difteri kulit
Difteri valva/vagina
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi
atas 3 tingkat, yaitu:
Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya
terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
pilek dan nyeri waktu menelan.
Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah
menyerang sampai faring dan laring sehingga keadaan
pasien terlihat lesu dan agak sesak.
Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat
dan adanya gejala-gejala yang ditimbulkan oleh
eksotoksin seperti miokarditis, paralisi dan nefritis
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan keluhan pertama yang muncul tidak
spesifik, seperti :
Demam yang tidak tinggi, sekitar 38C.
Kerongkongan sakit dan suara parau.
Perasaan tidak enak, mual, muntah dan lesu.
Sakit kepala.
Rinorea, berlendir kadang- kadang bercampur
darah.
Manifestasi klinis penyakit difteria dibagi sesuai dengan tempat infeksinya,
yaitu:

Difteri Nasal Anterior


Manifestasi klinis jenis ini mirip dengan penyakit common cold, akan
tetapi mempunyai karakteristik yaitu adanya cairan mukopurulen keluar
dari hidung yang berisi lendir dan pus, dan kadang-kadang disertai darah
dan adanya membran berwarna putih pada septum nasal. Biasanya
penyakit ini ringan karena absorpsi toksin secara sistemik tidak banyak dan
dapat sembuh dengan cepat dengan pemberian antibiotik dan antitoksin.

Difteri Tonsil dan Faring


Ini merupakan daerah yang paling sering dikenai infeksi difteria. Jenis ini
biasanya disertai penyerapan toksin secara sistemik. Gejala pertama
berupa lesu, sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak begitu tinggi
tapi pasien kelihatan toksik. Dalam waktu 2-3 hari terbentuk membran
yang berwarna putih kebiruan dan menyebar sampai daerah tonsildan
menutupi hampir seluruh palatum mole. Membran melekat pada jaringan
dan berdarah kalau dilepaskan. Pembentukan membran secara ekstensif
dapat menimbulkan sumbatan pernapasan.
Difteri Laring
Pada jenis ini ditemukan perluasan pembentukan membran
dari faring kedaerah laring. Gejala yang ditemukan adalah
suara parau, batuk-batuk hebat dan membran bisa
menimbulkansumbatan aliran pernapasandan menimbulkan
kematian.
Difteri Kulit
Infeksi nonprogresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang
tidak menyembuh. Superfisial, ektimik dengan membran
coklat keabu-abuan .
DIAGNOSIS
Anamnesis
Terlihat agak toksik.
Demam tinggi 38C.
Kesulitan bernafas.
Sulit menelan dan suara parau.
Mual dan muntah.
Takikardi dan Pucat.

Pemeriksaan fisik
Pada mukosa pemeriksaan saluran nafas ditemukan adanya pseudomembran yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Mukosa membran edema, hiperemis, dengan epitel yang nekrosis.
Biasanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinous dan berwarna abu-abu kecoklatan,
terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel saluran pernapasan yang mati dan mudah
berdarah kalau terganggu atau dilepaskan dari dasarnya. Membran ini biasanya
ditemukan pada palatum, faring, epiglotis, laring, trakea sampai kedaerah trakeo-
bronkus. (tergantung jenis penyakit).
Pada daerah pemeriksaan leher ditemukan : edema pada daerah
submandibular dan leher bagian depan ditandai dengan suara parau,
stridor dan bisa ditemukan pembesaran kelenjar getah beningservikalis
anterior (Bulls neck appearance).
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskuler ditemukan : takikardi, suara
jantung lemah, irama mendua (presistolik gallops), aritmia (fibrilasi
atrium).
Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan tanda-tanda miokarditis
berupa low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbalik dan tanda-
tanda blok dimulai dari pemanjangan PR interval sampai blok AV total.
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan gerakan palatum
berkurang, paralisis otot-otot mata yang menimbulkan penglihatan
kembar, kesukaran akomodasi, strabisms internal, paralisis nervus
frenikus akan menimbulkan paralisis diafragma. Selanjutnya bisa
terjadi paralisis ekstremitas inferior disertai kehilangan refleks
tendon dan peningkatan kadar protein cairan serebrospinal
sehingga secara klinis kadang-kadang sukar dibedakan dengan
sindrom guillian barre.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Merupakan salah satu cara untuk memperbanyak fragmen DNA
(Deoxyribonucleic Acid) yang spesifik secara enzimatik in vitro. Proses PCR
menggunakan 1 pasang oligonukleotida primer yang akan menghibridasi
rantai tunggal dari arah yang berlawanan dengan DNA target. Pemeriksaan
didteri dengan teknik PCR adalah untuk mengetahui adanya gen tox dari
fragmen A yang menjadi terbentuknya toksin difteri.

Kultur spesimen
Pada media agar darah tellurite dan diinkubasi pada suhu 35C secara
aerob selama 18-48 jam. Kuman difteri menghasilkan koloni berwarna
hitam. Selanjutnya koloni tersebut harus dikultur ulang

...mitis akan menghidrolisis
glukosa dan maltosa, sedangkan C.diphtheriae tipe gravis akan
menghidrolisis glukosa, maltosa dan pati.
PENATALAKSANAAN
Antitoksin
Berikan 40 000 unit ADS IM atau IV sesegera mungkin,
karena jika terlambat akan meningkatkan mortalitas.
Antibiotik
Pada pasien tersangka difteri harus diberi penisilin prokain
dengan dosis 50 000 unit/KgBB secara IM setiap selama 7
hari.
Trakeostomi/Intubasi
Jika terjadi tanda obstruksi jalan nafas disertai gelisah,
harus dilakukan trakeostomi sesegera mungkin. Oratrakeal
intubasi merupakan alternatif lain, tetapi bisa
menyebabkan terlepasnya membran sehingga akan gagal
untuk mengurangi obstruksi.
PEMANTAUAN
Kondisi pasien, terutama status respiratorik harus
diperiksa oleh perawat sedikitnya 3 jam sekali dan
oleh dokter 2 kali sehari. Pasien harus ditempatkan
dekat dengan perawat , sehingga jika terjadi
obstruksi jalan nafas dapat dideteksi sesegera
mungkin.
PENCEGAHAN
Cara yang paling baik untuk pencegahan penyakit difteri
adalah pemberian imunisasi aktif pada masa anak-anak
secara komplit. Antigen difteri secara tunggal belum ada,
biasanya pemebrian vaksin difteribersamaan dengan
vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria-tetanus-
acellular pertusis vaccine (DtaP) untuk anak-anak.
Pemberian vaksin DtaP pada masa anak-anak adalah
pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 15-16 bulan,
kemudian dilanjutkan dengan Booster setiap 10 tahun.
KOMPLIKASI
Kegagalan pernapasan.
Miokarditis.
Neuritis.
Pneumonia bakterialis sekunder.
Aritmia.
Enselopati anoksik.
Sepsis.
DIAGNOSIS BANDING
Difteri nasal anterior : korpus alienum pada
hidung, common cold, sinusitis. Dapat dibedakan
dengan pemeriksaan spekulum hidung dan foto
sinus.
Difteri fausial : tonsilofaringitis, mononukleosis
infeksiosa, candidiasis mulut, herpes zoster pada
palatum (jarang ditemukan).
Difteri laring : laringotrakeobronkitis, croup
spasmodik/nonspasmodik, abses retrofaringeal,
papiloma laring.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada
virulensi basil difter.
lokasi dan perluasan membran.
status kekebalan penderita.
cepat/lambat pengobatan diberikan.
perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Acang Nuzirwan. 2009. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5 jilid 3. Jakarta : Interna
Publishing
Utama. F, U.W. chatarina, Martini, S. 2014. Determinan Kejadian Difteri
Klinis Pasca Sub PIN Difteri tahun 2012 dikabupaten Bangkalan. Surabaya.
Vol; 2 (1)
Robbins & Cotran. 2002. Daftar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC
WHO. 2009. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta
Sarwo handayani. 2012. Deteksi kuman bakteri dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Jakarta. Vol;39 (3)
Behrman, Kliegman and Arvin. Nelson Ilmu kesehatan Anak. Edisi 15: Vol
(2). Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai