Anda di halaman 1dari 26

Ketuban Pecah Sebelum Waktunya

dan Sepsis
Tujuan

– Definisi
– Diagnosis
– Penatalaksanaan pada preterm dan aterm
Definisi

– Pecahnya ketuban sebelum waktu


persalinan dimulai
– preterm < 37 minggu (PPROM)
– term  37 minggu (TPROM)
– Pecahnya ketuban saat persalinan
dimana pembukaan serviks < 4 cm
(ERM)
Periode laten
– waktu saat pecahnya membran sampai
dimulainya persalinan
– semakin muda usia kehamilan semakin lama
periode laten
– pada kehamilan aterm 90% akan memulai
persalinan dalam 24 jam
– pada kehamilan 28-34 minggu
– 50% bersalin dalam waktu 24 jam
– 80-90% bersalin dalam waktu 1 minggu
Penyebab ketuban pecah dini
– idiopatik
– infeksi (mis: vaginosis bakterial)
– polyhidramnion
– inkompeten servik
– anomali uterin
– akibat pemasangan cerclage pada servik atau
amniosentesis
– trauma
Diagnosis ketuban pecah dini

– riwayat sebelumnya
– pemeriksaan dengan spekulum steril (hindari
pemeriksaan digital)
– cuci vagina
– cairan terkumpul di fornik posterior
– cairan keluar melalui kanalis servikalis
– pemeriksaan pH cairan (kertas nitrazin) – tidak spesifik
– ferning test - gambaran daun pakis
– USG-normal bila jumlah cairan cukup
Komplikasi Ketuban Pecah Dini

– infeksi fetus/neonatus
– infeksi ibu
– kompresi atau prolaps tali pusat
– gagal induksi dan diikuti oleh SC
Komplikasi Ketuban Pecah Dini pada
kehamilan preterm

– persalinan dan kelahiran preterm


– infeksi fetus dan neonatus
– infeksi ibu
– prolaps dan kompresi tali pusat
– gagal induksi dan diikuti oleh SC
– hipoplasia paru (oligohidramnion berat )
– deformitas pada fetus
Manajemen Umum

– Nilai kesejahteraan ibu dan bayi


– Pastikan diagnosis KPD/KPP
– Nilai kondisi servik (inspekulo)
– Cegah pemeriksaan servik secara digital
– Nilai kondisi yang memerlukan manajemen lanjutan
mis. kenaikan suhu atau takikardi pada fetus dan ibu
– nilai adanya indikasi untuk segera memulai persalinan
Manajemen pada kehamilan aterm
(>37 minggu)

– Hindari periksa dalam


– Nilai adanya infeksi
– Beri antibiotik bila ada riwayat periksa dalam
berlebihan dan KPD/KPSW ≥ 24 jam
– Manajemen aktif atau manajemen ekspektatif
tergantung pada kondisi serviks dan informed
choice/consent
Manajemen pada kehamilan preterm (34-37
minggu)

– Hindari pemeriksaan dalam


– Steroid (Beta/Dexamethasone) antenatal hanya
untuk kasus tertentus saja (misalnya: Ibu DM)
– Antibiotika profilaksis intrapartum
– Pantau tanda-tanda infeksi secara klinis (nadi dan
temperatur tubuh ibu dan denyut jantung bayi)
– Pemberian antibiotik yang sesuai bila terjadi
korioamnionitis
Manajemen pada preterm (<34 minggu)

– Hindari pemeriksaan dalam


– Steroid antenatal (Beta/Dexamethasone)
– Pemberian antibiotik antepartum dan intrapartum
– Pantau tanda-tanda infeksi secara klinis (temperatur dan
nadi ibu, denyut jantung janin, dan kontraksi iritabel
uterus)
– Pemberian antibiotik yang sesuai bila terjadi
korioamnionitis
– Pertimbangkan untuk merujuk ke fasilitas rujukan yang
lebih memadai
– Perawatan ekspektatif
Antibiotik yang dianjurkan:

Triple drugs (Ampisilin 3 X 1G + Gentamycin 2 x 80 mg


+ Metronidazole 2 x 1 G atau Klindamisin 3 x 600 mg)
atau
Ceftriaxone 1 G dilanjutkan dengan 2 x 500 mg

Ibu hamil dengan korioamnionitis membutuhkan


antibiotik spektrum luas
Sepsis Puerpuralis

Penyebab kematian Ibu yang dapat dicegah sejak


sebelum hamil hingga masa nifas
Tujuan

Tujuan Umum
• Setelah menyelesaikan bab ini, peserta akan mampu
melakukan stabilisasi kondisi gawatdarurat dan
menatalaksana sepsis puerperalis

Tujuan Khusus
• Menjelaskan beberapa penyebab infeksi nifas
• Menjelaskan rencana terapi sepsis akibat metritis
• Melakukan praktik pemberian infus dan antibiotik pada
sepsis karena metritis
Masalah

• ENMMS 2000 : sepsis berkontribusi untuk 10%


penyebab kematian langsung obstetri dan 8% dari
semua kematian ibu.

• MMR akibat sepsis adalah 7/100.000 dan 93% kasus


ditata-laksana oleh tenaga kesehatan sebelum
meninggal.

• Pelayanan sub-standar oleh dokter spesialis obstetri dan


bidan memberikan kontribusi 38% dari kematian
karena sepsis dan 90% kasus terkait dengan periksa
dalam yang berlebihan dan manipulasi serviks oleh
paraji.
Definisi

• Sepsis puerperium adalah kelanjutan dari septikemia yang terkait


dengan infeksi saluran reproduksi yang terjadi setelah pecah
ketuban, selama intrapartum, dan masa nifas hingga 42 hari setelah
persalinan atau 2 minggu pascakeguguran.
• Selain demam, dapat terjadi satu atau beberapa tanda sbb:
– Nyeri panggul atau nyeri tekan uterus
– Lokia serosanguinea atau purulernta
– Cairan berbau atau busuk
– Sub-involusi uterus

• Demam didefinisikan sebagai suhu oral > 38°C yang diukur pada
dua waktu di luar 24 jam pasca persalinan, atau suhu  38,5C pada
saat apapun.
Faktor Predisposisi

Antenatal
• Anemia, uremia, hiperglikemia tidak terkendali
• Obat imunosupresi dan/atau imunokompromi
• Infeksi traktus genitalis sebelum persalinan dimulai

Intranatal
• Penatalaksanaan persalinan yang tidak higienis
• Ketuban pecah dini
• Pemeriksaan dalam berulang kali
• Persalinan dengan operasi
• Pengeluaran plasenta secara manual
• Robekan pada vagina
Diagnosis

Anamnesis

• Riwayat faktor risiko


• Tatalaksana persalinan
• Kondisi awal dan lamanya demam
• Jumlah, warna dan bau dari lokia
• Respirasi: batuk dan ekspektorasi
• Miksi: frekuensi meningkat dan disuria
Pemeriksaan

Pemeriksaan umum
• Melakukan pemeriksaan klinis untuk menilai kondisi
umum pasien dan stabilitasi hemodinamiknya
termasuk nadi, tekanan darah, suhu dan diuresis.
• Perhatikan adanya anemia atau ikterus.

Pemeriksaan Abdomen
• Distensi dan nyeri regio uterus
• Massa pelvio-abdominal
• Tanda peritonitis: nyeri saat meregangkan dan
menekan dinding abdomen
Pemeriksaan setempat

• Inspeksi genitalia eksterna dan perineum untuk


mengetahui adanya infeksi robekan jalan lahir,
luka episiotomi, pengeluaran lokia dan pus per
vaginam.
• Menilai ukuran uterus dan nyeri uterus (palpasi
atau pemeriksaan bimanual).
Penyebab sepsis pascapersalinan

umumnya bakteri gram-negatif (mis. E. Coli) atau gram-


positif (staphylococci khususnya MRSA, anaerobic
streptococci, clostridium)

– endotoksin dinding sel bakteri menimbulkan lesi pada


pembuluh darah dan reaksi vasodilatasi
– terjadi hipotensi / hipoperfusi
Pemeriksaan laboratorium/studi diagnostik

• Lekosit
• Apusan cairan serviks/vagina atas untuk kultur dan
sensitivitas
• Analisis urin (plus kultur jika terlihat ada sel darah putih
atau bakteri pada saat analisis)
• USG untuk mendeteksi abses intrauterine atau panggul
terutama jika demam menetap setelah 48 jam pemberian
antibiotika
• Jika ditemukan massa pelvio-abdominal, rujuk ke fasilitas
tersier
• Pemeriksaan laboratorium lainnya (C - reactive protein,
analisis gas darah, radiologi, dsb)
Penatalaksanaan

• Pasang dua kanula IV besar. Dan infus kristaloid IV.

• Dopamine drips, titrasi dan dosis betingkat

• Antibiotika terapetik (triple drugs) sebelum uji sensitivitas


dan lanjutkan antibiotika yang sesuai. Lanjutkan
antibiotik hingga pasien tidak mengalami demam selama
24–48 jam dan tidak merasa nyeri

• Evakuasi massa intrauterin atau abses pelvik disertai


drainase.

• Pantau lekosit setiap 48 jam/menurut kondisi klinik

• X-ray dada untuk membantu menentukan adanya


emboli pulmoner septik atau pneumonia.
Dopamine

• At doses < 2 mcg/kg/min, dopamine stimulates


dopamine receptors, resulting in vasodilatation.

• At doses between 5 and 10 mcg/kg/min,


dopamine also stimulates beta-1 adrenergic
receptors, resulting in increased cardiac output.

• At doses > 10 mcg/kg/min, dopamine stimulates


alpha-adrenergic receptors, leading to
vasoconstriction, which increases the systemic
vascular resistance.

• Dopamine is typically used in the treatment of


septic shock or cardiogenic shock.
Dobutamine

• Dobutamine is a drug that primarily stimulates beta-1


receptors, leading to increased inotropic and
chronotropic effects.

• To al lesser extent, dobutamine also stimulates beta-2


adrenergic receptors, leading to vasodilatation.

• This combination of effects contributes to increased


cardiac output with decreased systemic vascular
resistance. Dose 0.5-5 mcg/kg/min

• Dobutamine is typically used for patients with


cardiogenic shock. It is not routinely used in septic shock
because it can lower systemic vascular resistance, thus
leading to a risk of hypotension.

Anda mungkin juga menyukai