Anda di halaman 1dari 79

ILMU PENYAKIT DALAM

Kamis Malam, 04 Januari 2018


Pkl 16.00 – 08.00 WIB

Supervisor : dr. Price Maya, Sp.PD


Tim Jaga : - Hesti Anandini Sariningrum
- Putri Ayu Suciati
- Putri Rahmasari
- Rizky Ulfah
-Rulli Syukran Maulana
- Rice Endola
- Fadhil Kurnia
- Muhammad Rizaldi
- Putri Chairunnisa
- Muthia Rana Zahra
- Fadhil Kurnia
- Naylus Saadah
Identitas
 Nama Pasien : Firda Arisna

 Jenis Kelamin : Perempuan

 No. RM : 1-15-33-59
Anamnesis (Autoanamnesa)

Keluhan Utama : Demam sejak 15 hari yang lalu

RPS : Pasien datang ke IGD RSUDZA rujukan dari spesialis


penyakit dalam dengan pansitopenia dan splenomegali.
Pasien dengan keluhan demam sejak 15 hari yang lalu,
demam hilang timbul, dan turun dengan obat penurun
panas. Naik turunnya demam tidak dipengaruhi oleh
waktu. Sebelumnya pasien sudah dirawat di RSIA
selama 12 hari rawatan dengan kecurigaan demam
berdarah, namun tidak ada perbaikan dan demam
masih saja hilang timbul.
 Selain demam pasien juga mengeluhkan pucat dan lemas
sejak enam hari yang lalu. Mual tidak ada, muntah tidak
ada, batuk sekali–kali dan tidak berdahak, sesak nafas tidak
ada, riwayat muntah hitam tidak ada, BAB berdarah tidak
ada, BAB hitam tidak ada, riwayat gusi berdarah, bintik
merah pada kulit dan mimisan tidak ada.

 Keluhan nyeri-nyeri sendi disangkal, riwayat BAK berpasir


disangkal. BAB saat ini lancar, namun beberapa hari
setelah muncul demam pasien sempat mengalami BAB
cair selama 2 hari tetapi pasien tidak ingat pasti sejak
kapan BAB cair tersebut terjadi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Baik di keluarga maupun orang-orang terdekat dari pasien tidak ada yang
mengalami penyakit seperti pasien ini.

Riwayat Penggunaan Obat:


Obat penurun panas
curcuma
Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak lemas


Kesadaran : Compos Mentis, E4M6V5
TD : 120/80 mmHg, HR: 108x/menit, reguler, isi cukup
RR : 22x/menit, Suhu : 39.6°C

 Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+) ,


sklera ikterik (+/+)
 T/H/M : Lidah beslag (-)
 Leher : pembesaran KGB (-)
 Paru : I : Simetris (+/+),
 P: SFKa=SFKi
 P : Sonor (+/+)
 A :Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
 Cor : Reguler (+), Bising (-), BJ I ≥ BJ II
 Abd : Soepel (+), H/L/R tidak teraba, area traube terisi, timpani (+), peristaltik (+)
 Ext : Udem (-), pucat (+)
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium RSIA (03-01-2018) Malaria : Negatif


IgG/IgM: positif/ Negatif
Hb : 9,1 g/dl
Anti HcV: nonreaktif
Ht : 26,5% HBsAg: Negatif
Eritrosit : 3,12 105/mm3 MDT: Eritrosit : normokromik normositer,
polikromatofik sel (+) normoblast (-)
Leukosit : 5.130 /mm3 Leukosit: kesan jumlah normal,dominasi oleh
neutrofil segmen, imatur granulosit (+),
Trombosit : 110.000/mm3 blast (-)
MCV : 84,9 fL Trombosit: kesan jumlah menurun giant
platelet (-)
MCH : 29,2 pg Kesan Anemia Normositik normokromik +
trombositopenia+ leukosit shift to the left
MCHC : 34,3 % Widal (24/12/17)
SGOT/SGPT/ BD/BT : 137/121/ Typhy A B C
4,34/205/384 O 1/320 1/160 1/80 1/320
H 1/40 1/320 1/320 1/320
USG Abdomen (2/11/18)
Hepar, GR, Pankreas normal
splenomegali
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium RSUDZA (04-01-2018)


Hb/Ht/E/L/Tr : 9.6/28/ 3,4/5,6/165
MCV/MCH/MCHC: 82/28/34
Diftell: 0/0/1/45/45/9
SGOT/SGPT: 144/134
KGDS 116
Ur/Cr: 14/0,57
Na/K/Cl: 124/44/99
Daftar Masalah :

1. dd/ 1. Tifoid Fever


2. Malaria
2. Anemia Normokrom Normositer dd/ :
1.AIHA
2. Perdarahan
3. Penyakit Kronis
3. Hiponatremia hipoosmolar hipovelemik
Masalah Pengkajian Rencana Diagnosis Rencana Tatalaksana

Anamnesis: - Darah rutin Non farmakalogi


1. dd/ 1. Tifoid Fever - Pasien dengan keluhan demam - Bilirubin Bed rest
2. Malaria sejak 15 hari yang lalu, demam total/indirect Diet MII
hilang timbul, dan turun dengan - MDT
obat penurun panas. - Widal test Farmakologi
- Combtest -IVFD NaCl 0,9% 30 gtt/i
Pemeriksaan Fisik - Paracetamol 3x500mg
-Konjungtiva palpebra inferior pucat - IV ceftriaxone 2 gr/24
(+/+) jam
-TD : 120/80 mmHg - Curcumatab 3x1
HR: 108x/menit, reguler, isi cukup
RR : 22x/menit
Suhu : 39,6 °C
DEMAM TIFOID
Demam Tifoid
 Demam Tifoid merupakan penyakit sistemik akut
yang ditandai dengan demam akut akibat infeksi
Salmonella sp (lebih dari 500 sp). Spesies yang
paling sering yaitu salmonella typhi, salmonella
parathyphi A,B, C
Gambaran Klinis
 Masa Inkubasi umunya berlangsung 10-14 hari.
 Gejala yang dijumpai berupa: demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan demam. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-Iahan terutama pada sore hingga
malam hari.
 Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali per menit). lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan
ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, korna,
delirium, atau psikosis.
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium:
 leukopenia
 leukositosis dengan komplikasi,
 anemia anemia ringan dan trombositopenia.
 hitung jenis leukosit = aneosinofilia maupun
limfopenia.
 Laju endap darah meningkat.
 SGOT dan SGPT seringkali meningkat, dan akan
kembali menjadi normal setelah sembuh.
 kultur masih menjadi gold standar untuk diagnostik
 Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap
kuman S. typhi. Uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita demam
tifoid yaitu:
 a). Aglutinin O (tubuh kuman)
 b). Aglutinin H (flagela kuman)
 c). Aglutinin Vi (simpai kuman)

 Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan


terinfeksi kuman ini.
 Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG
yang terdapat pada protein membran luar Salmonella
typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3
hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi
secaraspesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen
S. typhi seberat SO kD, yang terdapat pada strip
nitroselulos

 Kultur Darah
 Hasil biakan darah yang positif memastikan demam
tifoid
Penatalaksanaan
1. Istirahat dan perawatan
2. Diet dan terapi penunjang
3. Pemberian antimikroba.
 Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk
mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut:
 Kloramfenikol 4 x 500 mg perhari p.o atau iv
sampai 7 hari bebas demam.
 Tiamfenikol 4 x 500 mg
 Kotrimoksazol 2 x 2 tablet
 Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB
 Sefalosporin generasi ketiga
 Golongan Florokuinolon
 Norfloksasin dosis 2 x400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari slma 6 hari

 Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

 Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

 Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

 Levofloksasin dosis 1 x 500 mg/hari selama 5 hari

Azitromisin 2x 500 mg
PROLONGED FEVER
Prolonged Fever

Demam yang terjadi dalam jangka waktu yang


lama yaitu lebih dari 10-14 hari . Terdapat
beberapa kondisi medis yang dapat menyebabkan
terjadinya prolonged fever dan hal ini tergantung dari
etiologi demam.
Infeksi : tifoid, salmonela,
ricketsia, brucella, tuberculosis,
HIV

Keganasan
ETIOLOGI
PROLONGED
FEVER

Penyakit Inflamatori

Pengobatan
 Prolonged Fever terdapat diagnosis banding yang
banyak untuk mendapatkan diagnosis yang benar.

 Lakukan anamnesa yang menyeluruh berdasarkan


riwayat penyakit sebelumnya  dilakukan
pertimbangan terhadap diagnosa lain dan
menentukan beberapa hal yang mendukung
diagnosis.
ETIOLOGI

1. Infeksi

 Demam yang disebabkan oleh infeksi  terjadi


oleh karena agen penyebab infeksi (bakteri, virus,
jamur) yang merubah termoregulator tubuh.
 Pada infeksi HIV  penyebab demam disebabkan
oleh infeksi oportunistik agen lain bukan virus dari
HIV
2. Keganasan

 Demam dapat timbul hampir pada semua penyakit


keganasan sebagai gejala paraneoplastik.
 Keganasan yang paling sering diasosiasikan dengan demam
lama  limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, sebanyak ±10-
11% dari pasien dengan penyakit Hodgkin akan menderita
demam dan atau keringat malam.
 Karsinoma hepatoselular dan kanker renalis menyebabkan
sekitar 20-33% penderitanya mengalami demam.
 Kanker pankreas juga dapat menyebabkan demam, namun
tidak ada data mengenai demam keganasan in
3. Penyakit Inflamatorik

 Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES) juga sering


menyebabkan demam, kurang lebih 36% pasien SLE datang
dengan keluhan demam, dan demam akan timbul pada kurang
lebih 52% pasien LES seiring dengan evolusi penyakit tersebut.

 Giant Cell Arteritis (peradangan pembuluh darah arteri)


diketahui menyebabkan demam pada kurang lebih 42%
penderitanya.
 Rheumatoid arthritis juga menyebabkan demam
pada 25% pasien yang datang dengan arthritis
poli-artikular.

 Beberapa penyakit inflamatorik lainnya yang


diketahui menyebabkan demam namun tidak
memiliki data prevalensi adalah Demam Rheuma,
Granulomatosis Wagener dan Poliarteritis Nodosa.
4. Pengobatan
 Diperkirakan bahwa efek samping pengobatan
berupa demam obat terjadi pada 3-5% dari
seluruh reaksi obat yang dilaporkan
 Dalam penelitian lebih lanjut oleh Mackowiak,
antimikroba yang ditemukan menjadi penyebab
paling umum demam pada pasien dengan riwayat
kanker dan terdapat 31% kasus yang ditemukan
Tabel 1. Daftar Uji Virologis
Virus Penyebab Jenis Uji Penyakit
Dengeu IHA Demam Dengue
Blot IgM/IgG Demam Berdarah Dengeu
Epstein-Barr Virus (EBV) Paul Bunnel Mononukleosis Infeksiosa
Anti EBV
Hepatitis A s/d E Virus A s/d E, berbagai komponen Hepatitis akut
Anti Virus A s/d E

Coxiella Burnetti IFA Demam Q


Human Immuno Deficiency (HIV) Anti HIV Elisa AIDS
Anti HIV- Western Blot AIDS
Anti HIV – Agli Partikel AIDS
Anti HIV DEI AIDS
Anti HIV Line Imun As AIDS

Cytomegalovirus (CMV) Anti CMV IgM Elisa Infeksi CMV


Anti CMV IgG Elisa
Tabel 2. Daftar Uji Bakterio-parasitologis

Penyakit Infeksi Jenis Uji Penyakit


Salmonella typhi Widal Typhidot PCR Demam tifoid
S.paratyphi A/B/C Widal Demam paratifoid
Streptokokus ASTO Demam reumatik
Mikobakteria Myco Dot TB PAP Anti TB TBC pulmonal dan TBC
ekstrapulmonal

Leptospira spp MAT Leptospirosis


Brucella spp Aglutinasi Brusellosis
Rickettsia spp Well Felix Ricketsiosis
Mycoplasma pneum IF Mycoplasmosis
Legionella IF Legionellosis
Toxoplasma gondi Elisa IgG/IgM Toksoplasmosis
Entamoeba histolitica IDT amubiasis
Filaria spp IFAT Filariasis
Candida spp IHA atau IFAT Candidiasis
Histoplasma capsulatum IDT Histoplasmosis
Mikrobiologi
 Isolasi kuman penyebab infeksi kriteria diagnosis utama
pada pasien yang tersangka demam karena menderita infeksi.
 Selain kultur darah, mikroorganisme dalam urin juga penting.
 Isolasi virus  sekret hidung, usap tenggorok atau sekresi
bronkial. Untuk TBC diperlukan pemeriksaan sputum minimal 3
hari berturut-turut.
 Infeksi saluran cerna  pemeriksaan mikroorganisme dari
feses
 Semua sampel harus segera dibawa kelaboratorium dan harus
segera dikultur.
Hematokimia
 Pengukuran untuk membedakan pasien terjangkit virus
atau bakteri  pemeriksaan hematologis yang pada
infeksi bakteri akut dapat menunjukkan pergeseran hitung
jenis ke kiri dengan atau tanpa leukositosis.

 Bila keadaan ini tidak dijumpai dapat dilakukan 


pemeriksaan C-reaktif protein (CRP) meningkat > 10
kali pada infeksi bakteri akut. Kenaikan ini masih perlu
dibedakan dengan artritis di mana keluhan pada sendi
lebih dominan.
 Pemeriksaan prokalsitonin dapat digunakan bila
diduga terdapat sepsis.

 Pemeriksaan Bio-kimia selanjutnya dapat membantu


dengan mengukur kadar serum kalsitonin yang dapat
meningkat pada sarcoidosis dan beberapa
karsinomatosis. Selanjutnya pada penyakit hati dapat
diperiksa enzim SGOT/SGPT/GAMA GT yang dapat
memberi petunjuk mengenai fungsi sel hati.
Radiologi
 Pemeriksaan penunjang medis sangat vital terutama dalam
membantu diagnosis kelainan paru dan ginjal.
 Sumsum tulang belakang dan persendian juga merupakan
bagian-bagian yang ideal untuk diperiksa dengan sinar
tembus.
 Pemeriksaan saluran pencernaan, baik yang meliputi bagian
atas, tengah, atau bawah.
 Kolangiografi  diduga kemungkinan terdapat suatu kelainan
di kuadran kanan atas abdomen sebagai penyebab demam.
 Angiografi  emboli paru-paru, Angiokardiografi  miksoma
atrium.
 Limfangiografi berguna untuk mendeteksi suatu limfoma
abdominal atau retroperitoneal.
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini secara khusus akan berguna
untuk kelainan seperti miksoma di atrium atau
vegetasi di katub-katub jantung. Di daerah abdomen
melalui USG dapat dideteksi kelainan di hati, ginjal,
retroperitoneal dan juga gangguan di daerah pelvis.
USG penting untuk mendiagnosis adanya abses pada
organ intraabdominal
Pencitraan
 Pencitraan dapat banyak membantu pemeriksaan
khusus terhadap hati.
 Scanning paru-paru dapat membantu diagnosis pada
kecurigaan tentang adanya emboli paru sedangkan
dengan scanning, sekaligus hati dan paru, dapat
ditunjukkan adanya abses di subdiafragma.
 Scanning dengan gallium sitrat dapat
memperlihatkan titik fokus infeksi di daerah
abdominal yang sulit untuk ditemukan secara rutin.
Endoskopi
 Indikasi utama pemeriksaan ini dengan penyakit
demam lama disertai diare dan nyeri perut. Pasien
serupa mungkin menderita kolitis ulserativa dan
dapat didiagnosis secara pasti dengan
sigmoidoskopi atau kolonoskopi.

 ERCP (endoscopic retrograde choledocho


pancreatography)  memberi informasi lengkap
mengenai kandung empedu, saluran empedu dan
pankreas
EKG

Pemeriksaan ini sebenarnya kurang bermanfaat


pasien demam tetapi khususnya di Indonesia mungkin
melengkapi diagnosis pada pasien tersangka demam
tifoid. Dilaporkan bahwa sepertiga dari pasien
dengan penyakit ini ditemukan kelainan EKG.
Biopsi

 Biopsi kelenjar-kelenjar yang membesar atau massa


tumor yang jelas dan mudah dicapai  limfoma,
metastasis keganasan, tuberkulosis atau infeksi jamur,
terutama pada kelenjar-kelenjar yang membesar.
 Biopsi kulit atau otot  penyakit kolagen atau
penyakit trikonosis.
 Biopsi baru bermanfaat pada massa tumor padat.
 Biopsi dapat dilaksanakan untuk pengeluaran cairan
dari rongga-rongga badan.
Masalah Pengkajian Rencana Diagnosis Rencana Tatalaksana

Anemia Normokrom Anamnesis: - Darah rutin Non farmakalogi


Normositer dd/ : - pasien mengeluhkan pucat dan - MDT -Bedrest
1.AIHA lemas sejak enam hari yang lalu. - Diet MII
2. Perdarahan - Mual (–), muntah (–), batuk sekali–
3. Penyakit Kronis kali dan tidak berdahak, sesak Farmakologi
nafas (–), riwayat muntah hitam (–), -IVFD NaCl 0,9% 30 gtt/i
BAB berdarah (–), BAB hitam (–), - Transfusi PRC bila Hb <8
riwayat gusi berdarah, bintik mg/dl
merah pada kulit dan mimisan (–).

Pemeriksaan Fisik
Conjunctiva palpebrae inferior anemis
(+/+)
Ekstremitas pucat (+)
Tinjauan Pustaka
Anemia

Perdarahan (Anemia
AIHA normokrom Penyakit Kronis
normositer)
Anemia
 Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah
eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa O2) dari
nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk membawa O2 dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga
pengiriman O2 ke jaringan menurun.
 Secara fisiologi, nilai normal hemoglobin bervariasi
tergantung umur, jenis kelamin, kehamilan, dan
ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu, perlu
diktahui batasan kadar hemoglobin pada anemia.
Klasifikasi Anemia
1. Berdasarkan Morfologi darah tepi
 Anemia hipokrom mikrositer (MCV<80 fl, MCH<27pg)
 Anemia normokrom normositer (MCV 80-95 fl, MCH
27-34 pg)
 Anemia makrositer (MCV > 95 fl)
Diagnosis anemia
1. Pemeriksaan laboratorium
 A. Pemerikaan penyaring
 B. Pemeriksaan darah seri anemia
 C. Pemeriksaan sum-sum tulang
 D. Pemeriksaan khusus
 Def. Besi: Serum Iron, TIBC(total iron bindingcapacity), feritin
serum, transferin dan pengecatan besi pada sum-sum tulang
 Anemia megaloblastik: folat serum, vit B12, tes supresi
deoksiuridin dan tes schiling
 Anemia hemolitik: bilirubin serum, coomb tes, Hb elektropoesis
 Anemia aplastik: biopsi sum-sum tulang
Anemia Hemolitik Imun
 Anemia hemolitik imun (autoimune hemolityc anemia =
AIHA/AHA) Merupakan suatu kelainan di mana terdapat
antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga eritrosit mudah
lisis danumur eritrosit memendek.
 Patogenesis dan etiologi yang kompleks mengharuskan
penanganan yang komprehensif tidak saja untuk mengatasi
masalah anemia namun juga pada penyakit yang
mendasari.
 Keputusan pemberian terapi harus didasarkan pada proses
penegakaan diagnosis yang akurat. Pemeriksaan
laboratorium untuk penegakan diagnosis AIHA banyak
mengalami kemajuan namun perkembangan terapi AIHA
masih belum secepat pperkembangan penunjang diagnosis.
Klasifikasi Anemia Hemolitik Imun
 Anemia Hemolitik imun dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana
autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37 C
kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai
penyakit lain.
Gejala dan Tanda
Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi
perlahan-lahan, ikterik, dan demam, urin berwarna
gelap. Urine berwarna gelap karena terjadi
hemoglobinuri.
Klasifikasi
Diagnosa
 Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis
sistematis mengenai adanya rasa lelah, mudah
mengantuk, sesak nafas, cepatnya perlangsungan
gejala, riwayat pemakaian obat, dan riwayat sakit
sebelumnya.
Anemia Hemolitik Autoimun tipe hangat
Sekitar 70% kasus merupakan AIHA tipe hangat,
dimana autoantibodi bereaksi optimal dengan suhu 37
C

Gejala Dan tanda:


onset biasa tersamar gejala tejadi perlahan, ikterik,
dan demam.

Laboratorium:
hemeoglobin di bawah 7 g/dl. Pemeriksaan coomb test
biasa positif.
Terapi:
 Kortikosteroid : 1-1,5 mg/KgBB/hari

 Splenoktomi

 Retuximab dan alemtuzumab. Dosis retuximab 100


mg/ minggu selama 4 minggu
Immonosupresi.
Azathioprin 50-200 mg/ hari
siklofosfamid 50-150 mg/hari
 Terapi tansfusi
Anemia Hemolitik Autoimun tipe dingin
Terjadi hemolisis diperantarai antibodi dingin dan antibodi
donathLandstainer.

 Gejala klinis:
terjadi agulitinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan
kronik, anemia biasanya ringan, sering didapatkan
akrosianosis dan splenomegali.
 Terapi :

- Menghindari dari udara dingin yang memicu hemolisis


- prednison dan splenoktomi tidak banyak membantu
- chlorambucil 2-4 mg/hr
- plasmaparesis untuk mengurangi antibodi igM
Anemia dengan Penyakit Kronis
Anemia yang terjadi pada penyakit infeksi atau inflamasi
kronis maupun keganasan. Tanda anemia pada penyakit
kronis :
- Hb berkisar 7-11 g/dL

- Kadar Fe serum menurun

- TIBC yang rendah

- Cadangan Fe yang tinggi di jaringan

- Produksi sel darah yang berkurang


Anemia dengan Penyakit Kronis
Perbedaan parameter Fe pada Orang Normal, Anemia Defisiensi Besi dan Anemia
Penyakit Kronis
Normal Anemia Defisiensi Fe Anemia Penyakit
Kronis
Fe Plasma (mg/dL) 70-90 30 30
TIBC 250-400 >450 <200
Persen saturasi 30 7 15
Kandungan Fe di ++ - +++
makrofag
Feritin serum 20-200 10 150
Reseptor transferin 8-28 >28 8-28
serum
Anemia dengan Penyakit Kronis
Gambaran klinis:
- Anemia derajat ringan-sedang, Hb sekitar 7-11 g/dL umumnya
asimtomatik
- Konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dan
diagnosis tergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium:
- Anemia normokrom-normositer

- Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit


meningkat
- Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten

- Penurunan Fe serum (hipoferemia)


Anemia dengan Penyakit Kronis
Anemia dengan Penyakit Kronis
Diagnosis banding:
- Anemia dilusional. Pada penyakit kronis terutama pada
keganasan stadium lanjut
- Drug-induced marrow suppression atau drug-induced
hemolysis. Pada penekanan sumsum tulang akibat obat,
kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit,
haptoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs untuk
menyingkirikan hemolisis
- perdarahan kronis

- Thalasemia minor

- Gangguan ginjal. Umur eritrosit memendek dan terdapat


kegagalan relatif sumsum tulang
- Metastasis pada sumsum tulang
Anemia dengan Penyakit Kronis
Pengobatan:
- Mengobati penyakit dasarnya

- Transfusi, pilihan pada penyakit dengan gangguan


hemodinamik, sebaiknya Hb dipertahankan antara 10-11
gr/dL
- Preparat besi, berguna untuk mencegah pembentukan TNF-
alfa dan meningkatkan kadar hemoglobin
- Eritropoietin, mempunyai efek antiinflamasi dengan cara
penekanan TNF-alfa dan interferon-gamma, namun dapat
menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta
meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
Masalah Pengkajian Rencana Diagnosis Rencana Tatalaksana

1. Hiponatremia Anamnesis: - Elektrolit darah Non farmakalogi


hipoosmolar - Pasien mengeluhkan lemas Bed rest
hipovelemik Diet MII
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran: Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg Farmakologi
HR: 108x/menit, reguler, isi cukup
-IVFD NaCl 0.9% 30 gtt/i
RR : 22x/menit
Suhu : 39,6°C
HIPONATREMIA
HIPONATREMIA
Respon fisiologis dari hiponatremia adalah
tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus
sehingga ekskresi urin meningkat oleh karena
saluran air di bagian apikal duktus koligentes
berkurang.
Penyebab:
A. Jumlah asupan air melebihi kemampuan
ekskresi
B. Ketidakmampuan menekan sekresi ADH
misalnya pada kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis
hepatis atau pada SIADH (syndrome of
inappropriate ADH-secretion)
Pendekatan diagnostik:
A. Anamnesis (al. Riwayat muntah, penggunaan
diuretis, penggunaan manitol)
B. Pemeriksaan fisik (ada atau tidaknya tanda-
tanda hiovolemia)
C. Pemeriksaan gula darah, lipid darah
D. Pemeriksaan osmolalitas darah dan urin
E. Pemekriksaan Na/K/Cl dalam urin
Pendekatan diagnostik:
F. Pendekatan awal hiponatremia adalah
pengukuran osmolaritas serum.
G. Nilai osmolaritas yang normal menunjukkan
adanya hiperlipidemia atau hiperproteinemia.
H. Nilai osmolaritas yang tinggi sering tampak
pada kondisi hiperglikemia atau pemberian
infus hipertonik
I. Jika osmolaritas rendah, terebih dahulu
tentukan status volume penderita.
Pendekatan diagnostik:
A. Hipovolemik Hiponatremi
Pasien dengan keadaan ini terdapat penurunan
kadar total natrium dalam tubuh dan kadar air
yang menurun juga. Hal ini terjadi umumnya
karena kehilangan air dan solut yang tinggi dari
pencernaan dan dari ginjal.
Lanjutan
B. Hipovolemik Hipornatremi
Jika terjadi kadar total natrium meningkat lebih
dari kadar air dalam tubuh seperti pada
penyakit gagal jantung, sindrom nefrotik dan
sirosis hati yang berkaitan erat dengan
gangguan ekskresi air.
Lanjutan
C. Euvolemik hiponatremi
Umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di
RS dengan gangguan natrium, dan sering tidak
terdeteksi secara pemeriksaan fisik.
Berdasarkan penatalaksaanaan terapi
tergantung dari gejala dan durasi hiponatremi
seperti pada akut (kejadian < 48 jam akan
ditemukan gejala neurologis.
PENTALAKSANAAN
Berdasarkan penatalaksaanaan terapi tergantung dari gejala dan
durasi hiponatremi seperti pada akut (kejadian < 48 jam akan ditemukan
gejala neurologis yang berat dan permanen sampai gejala sisa akibat edema
otak jika hiponatremi ini tidak dikoreksi secara adekuat. Pasien dengan
hiponatremi kronik (kejadian lebih dari 48 jam) akan beresiko demyelinisasi
osmotik pada otak jika dikoreksi teralu cepat.
a. Hiponatremi akut
serum natrium sebaiknya dikoreksi sebesar 2 mEq/L/jam sampai
gejala klinis perbaikan, dan tidak terlalu penting untuk koreksi natrium secra
utuh meskipun tampaknya tiak berada dalam angka rentang normal. Koreksi
dapat dicapai dengan menggunakan cairan saline hipertonik dengan kecepatan
1 sampai 2 m Eq/L/ jam . Jika pasien terdapat gejala hiponatremi berat
seperti kejang-kejang sampai koma dapat diberikan cairan saline hipertonil
dengan keceatan 4 sampi 6 mEq/L/jam. Dan selama terapi koreksi, pasien
sebaiknya dimonitor ketat dan hati-hati karena perubahan status neurologis,
satus paru dan kadar elektolit harus diperiksa sesering mungkin, rta-rata dicek
setiap 2 jam.
Lanjutan
b. Hiponatremi kronik
koreksi ini dilakukan sesuai dengan penyebabnya karena gejala
tidak khas dan durasinya tidak diketahui. Terapi keadaan ini masih
diperdebatkan bagainan besar kecepatan dan seberapa besar koreksi
hiponatremi harus dikoreksi untuk mencegak komplikasi neurologis. Pada
praktek sehari hari hal ini sulit untuk menggabungkan kedua variabel.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai