Anda di halaman 1dari 53

Pendahuluan

 Lautan mencakup 70% dari luas permukaan


bumi
 Memiliki keanekaragaman hayati tinggi dari
zona estuari hingga lautan lepas
 Semua bahan kimia secara langsung maupun
tidak langsung akan menjangkau perairan laut

Perlu adanya evaluasi dampak suatu toksikan terhadap


organisme saltwater yang penting bagi manusia
Pendahuluan
 Aturan mengenai saltwater testing di USA :
- Federal Insecticide, Fungicide, and Rodenticide Act (FIFRA)
- Clean Water Act (CWA)
- The Marine Protection, Research, abd Sanctuaries Act
(MPRSA)
- The Toxic Substance Control Act (TSCA)
 Ratusan spesies telah digunakan untuk uji toksisatas
saltwater, namun karena keterbatasan informasi mengenai
diet, penyakit,maupun life history dari spesies tersebut 
hanya sedikit tes yang dilakukan dengen
mempertimbangkan standar
General Procedur
 Standar uji toksisitas untuk saltwater :
- Uji toksisitas akut, uji jangka pendek selama 4 hari atau
kurang untuk memperoleh LC50 atau EC50,
- Uji jangka panjang early life stage (ELS) selama 28 hari
atau lebih,mengamati efek kimia pada fase telur hingga
perkembangan awal  LOEC, NOEC, MATC
- Full life cycle test selema 2 – minggu (invertebrata) dan
minimal 6 bulan (ikan)
 Metode uji toksisitas untuk saltwater dikeluarkan oleh
ASTM, APHA/AWWA/WPCF, dan U.S.
berisi prosedur :
- Organisme uji
- Durasi eksposur
- Kondisi eksposur (static, static renewal, flow through)
- End point
General Procedur

 Mirip dengan metode untuk fresh water  uji


toksisitas akut dan kronis
 Prosedur meliputi : desain uji dan kontrol(5 atau
lebih konsentrasi perlakuan), monitoring
dampak biologis, kualitas air, dan analisa kimia
(jika diperlukan untuk satu jenis bahan kimia).
 Perbedaan dengan freshwater : jenis organisme
uji yang digunakan, dilution water, dan
monitoring salinitas selama uji berlangsung.
Organisme Uji
Algae dan Macrophyte
Beberapa jenis yang sering digunakan :
Skelentonema costatum, Nitzschia punctata,
Dunaliella tertiolecta
Pada saltwater, penggunaan Algae dan
macrophyta masih tergolong baru, termasuk
didalamnya alga merah dan microalga.

Nitzschia punctata Skelentonema costatum Dunaliella tertiolecta


Cnidarians
 Meliputi : Hydras, ubur-ubur, anemon laut, dan
koral.
 Karbe et al. (1984) melakukan uji toksisitas
menggunakan hidroid jenis Laomedea flexuosa dan
Eirene viridula, melihat efek polutan terhadap
kecepatan pertumbuhan dan perubahan morfologi
hidran
Prosedur untuk hidroid (Karbe et al., 1984)
 Koloni hidroid ditumbuhkan pada piringan kaca (satu koloni
masing-masing piringan)
 Larutan uji disaring terlebih dahulu
 Pada awal tes, polip pada tiap-tiap koloni direduksi dengan cara
dibedah hingga hanya tersisa 10 polip
 Masing-masing piringan uji terdiri atas satu perlakuan, minimal
pengujian terdiri atas 5 perlakuan dengan kontrol.
 Larutan uji diaerasi dan dijaga suhunya tetap 20oC, durasi tes
minimal 2 minggu
 Pakan : E. Viridula  Artemia salina umur 3 hari dua kali seminggu
L. Flexuosa  setiap hari
 Koloni dihitung pada awal tes, atau minimal pada akhir minggu
 Pengamatan :
L. Flexuosa  pertumbuhan hidran dan polip
(gonozoid)
E. Viridula  efek morfologis
 Pertumbuhan hidran dapat mengalami gangguan seperti
tampak pada Figure 2. Terdapat 6 level efek kerusakan yang
terjadi.
 Efek dianggap signifikan jika terdapat 20% koloni yang terkena
dampak  EC201, EC202, EC203, dst.
 Gangguan pada pertumbuhan hidran sulit digambarkan
 pertumbuhan gonozoid
 Gonozoid meningkat jika organisme mengalami stress
 Beberapa bahan yang memicu pertumbuhan gonozoid (Karbe
et al.,1984) yaitu sianida, tembaga, cadmium, merkuri, dan
seng.
Prosedur untuk coral (Standar Methods)

 Coral penting dalam ekosistem karang. Spesies paling


banyak digunakan Acropora cervicornis (Atlantik) dan
Acropora formosa (Indo-Pasific). Jenis lain  Table 3.
• Minimal 20 koloni coral dengan ukuran seragam,
direkomendasikan 10 g berat basah
• Pelarut memiliki salinitas antara 33-35 ppt
• Dilakukan pada kondisi flow through, pergantian larutan
berlangsung setiap jam,suhu 27±1oC, DO 10%, pH antara 8,1 –
8,4
• Ketinggian larutan diatas coral min 2 cm, dengan paparan
selama 12 jam terang dan 12 jam gelap.
• Efek : Lethal dan sublethal
• Kematian koloni tampak dari perubahan warna menjadi
opaque,coral akan hancur setelah beberapa jam setelah
kematian  LC50
• Tes dianggap valid jika koloni ≥ 90% mampu bertahan pada
kontrol
Rotifer (1)
 Alasan : mudah diperoleh dan ekonomis
Contoh  Brachionus plicatilis (tersebar di kawasan
estuari)

 Telur B. Plicatilis akan menetas dengan


menempatkannya pada air berkadar garam 15% dan
diinkubasi pada suhu 25oC , intensitas cahaya yang
digunakan antara 1000 – 3000 lux. Telur akan
menetas setelah 22 jam. Hewan yang menetas pada
waktu antara jam ke 0 – 2 digunakan untuk tes
Rotifer (2)
Uji Toksisitas Akut
 Dilakukan pada kondisi steril, wadah : polystyrene tissue
culture plate
 Dilakukan menggunakan 1 ml larutan uji dengan 10 ekor
neonates rotifera, triplikat.
 Umumnya tes dilakukan pada 5 variasi konsentrasi disertai
kontrol, salinitas air yang dipakai 15 % dan 30%.
 Inkubasi dalam gelap, suhu 25oC
 Hewan tidak diberi makan selama tes
 Waktu uji 24 jam, setelahnya kematian hewan dihitung 
LC50
 Pada akhir uji LC5 dihitung, dengan mengamati ada tidaknya
gerakan selama 5 – 10 detik, hewan berubah warna dari
transparan menjadi opaque
 Tes dianggap valid jika kematian pada kontrol ≤ 10%
Copepods (1)
 Alasan : Distribusi luas, salah satu spesies paling
melimpah di kawasan pesisir,dapat mewakili
zooplankton, siklus hidup pendek
Contoh  Acartia tonsa
melimpah di pantai, siklus hidup hanya 3 minggu
pada 25oC, umum digunakan untuk menguji material
tumpahan kapal, buangan ke laut, oil dispersant,
untuk uji akut dan kronis
Copepods (2)
Uji Toksisitas Akut (Gentile and Sosnowski, 1978)
 Dilakukan pada flat-bottom borosilicate glass crystaline
dishes yang diisi larutan uji 100 ml dan 15 ekor copepods
dewasa, triplikat u/ masing-masing perlakuan
 Kedalaman larutan ≥ 2 cm
 Masing-masing cawan 15 hewan dewasa, dilakukan
selama 96 jam, dimonitor setiap hari
 Tes diterima jika kematian pada kontrol ≤ 15%.
 Hewan tidak diberi makan selama uji
 Kebanyakan digunakan untuk static test, tapi dapat juga
digunakan untuk flow through.
Anelida (1)
 Berada di dasar perairan, sensitif terhadap polutan
Contoh  N. arenaceodentata (mudah dikultur di
laboratorium)
Anelida (2)
Akut Tes (96 jam)
 Umur hewan uji : 2 – 3 bulan
 Hewan uji (min. 10 ekor) dimasukkan pada test chamber
berisi 100 ml larutan uji.
 Setiap hewan harus diperiksa dibawah mikroskop untuk
melihat ada tidaknya cacat, pada hewan betina dilihat
perkembangan telur.
 Salinitas larutan uji disesuikan dengan jenis cacing
 Suhu yang digunakan 20 ± 1oC, faktor pencahayaan
diabaikan
 Hewan tidak diberi makan selama uji, diamati setiap hari
 Hewan mati dikeluarkan  tidak ada gerakan, penampakan
pucat
 Uji diterima jika kematian hewan pada kontrol tidak lebih
dari 10%.
Anelida (3)
Life Cycle Tes
 umur 1 bulan
 Dilakukan pada kondisi static, static renewal, namun dapat
juga dilakukan pada kondisi flow through
 4 ekor cacing ditempatkan pada larutan uji sebanyak 2500 ml.
Salinitas 30 dan 35%. Replikasi sebanyak 10 replika
 Suhu pengujian 20 ± 2oC, pencahayaan 16 jam dan 8 jam
gelap.
 Diberikan aerasi yang rendah untuk menjaga kandungan
oksigen
 Kematian diamati setiap hari
 Pada 15 hari awal, diamati adanya telur yang tumbuh.
 Uji diakhiri apabila dalam pengamatan ditemukan
pertumbuhan telur pada larutan kontrol.
 Uji dianggap tidak sah apabila hewan uji gagal menghasilkan
telur
Mysid
 Alasan : Berdampak signifikan terhadap ekologi,siklus
hidup pendek, tercatat memiliki sensitivitas tinggi
Jenis  Palaomonetes pugio (Tyler-Schroeder, 1979)
 Tes dilakukan terhadap hewan umur 24 jam – 5/6 hari
 Hewan diberi makanan selama tes (brine shrimp nauplii) 
sifat kanibal
 Digunakan untuk life cycle test
Uji kronis (28 hari)
 Harus dilakukan pada kondisi flow through
 Tes dimulai sejak fase postlarval (umur ≤ 24 jam)
dilanjutkan hingga dewasa (10-12 hari), diakhiri dengan
evaluasi keberhasilan reproduksi dan diamati dampaknya
pada kemampuan bertahan hidup
 Hewan harus diberi makan dengan kandungan fatty acid
yang mencukupi untuk meningkatkan kemampuan
bertahan hidup dan menghasilkan anakan.Jumlah anakan
dihitung.
 Pada fase dewasa hewan betina akan menghasilkan telur,
perut hewan akan membesar dan berwarna gelap. Pada
fase ini hewan jantan dan betina dikawinkan
 Saat anakan dilahirkan, harus dilakukan penghitungan.
Evaluasi dampak toksikan terhadap hewan generasi 2
dapat dilakukan dengan mengambil anakan yang mewakili
dari masing-masing test chamber. Kemudian diletakkan
pada chamber yang terpisah dan diamati kemampuannya
untuk bertahan selama 96 jam.
 Pertumbuhan udang generasi 1 dievaluasi dengan mengukur
panjang tubuh, berat kering/basah hewan uji saat tes berakhir
(ukuran tubuh jantan dan betina berbeda)
 Uji diterima jika :
1. ≥ 70% generasi pertama dapat bertahan pada larutan kontrol
2. ≥ 75% betina dari generasi pertama pada larutan kotrol
dapat menghasilkan anakan
3. Jumlah rata-rata betina pada generasi pertama pada larutan
kontrol ≥ 3.
Keberhasilan reproduksi  jumlah anakan yang diproduksi betina
selama tes

 Masalah yang mungkin timbul :


- Kehilangan hewan dewasa karena melompat ke luar  DO
rendah, pencahayaan
- Kekurangan asupan fatty acid  reproduksi buruk
Pemasangan barier, DO ditingkatkan, pengaturan intensitas
pencahayaan, peningkatan kualitas pakan
Uji Kronis Jangka Pendek (7 hari)

 Harus dilakukan pada kondisi flow through


 Tes dimulai sejak fase postlarval (umur ≤ 24 jam) ,hewan
dikumpulkan dan dipelihara pada pelarut bersuhu 26 –
27oC selama 7 hari
 Hewan diberi pakan shrimp naupli yang baru menetas
 Dilakukan pada kondisi static renewal (US EPA, 1988)
• 5 ekor post larval mysid ditempatkan dalam test chamber
yang dibuat dengan 8 replika
• Larutan pada test chamber sebanyak 150 ml, diperbaharui
setiap hari. Kemampuan mysid bertahan hidup dipantau
setiap hari, hewan yang mati dan kelebihan makanan
segera dikeluarkan
• Evaluasi akhir = jumlah hewan yg immature,jenis kelamin
hewan yang immature, ada tidaknya telur
Molusca

 Jenis : tiram, kerang, dan remis


Testing dibagi 2 jenis 
a. Untuk efek uji pada bivalve larva/ bivalve embrio
b. Untuk pertumbuhan dan pembentukan kerang baru
Molusca - Uji pada embrio/larva bivalve

Jenis: hardshell clam, Mercenaria mercenaria (Eastern


oyster), Crassostrea gigas (pacific oyster), dan Mytilus
edulis (remis biru).
Tes dilakukan pada embrio yang baru saja dibuahi dan
berakhir 48 jam kemudian setelah embrio berkembang
hingga tingkatan trochopore dan bermetamorfosis
menjadi bentuk hinged veliger larvae.
Tingkat keberhasilan dari proses perkembangan dengan
cara membandingkan jumlah larva yang hidup (kerang
yang berkembang sempurna/kontrol) dengan jumlah
larva yang hidup (perlakuan).
 Bivalve dewasa pada masa matang dapat dengan mudah
bertelur selama beberapa waktu dalam setahun (semi
hingga panas).
 Proses bertelur dapat diinduksi dengan proses biologis,
kimia, dan perangsang fisik.
 Untuk menelurkan, bivalve dewasa harus diletakkan
terpisah dalam wadah dengan volume air uji bersih yang
cukup untuk menutup mereka.
 Suhu air dijaga agar meningkat 5-10 C diatas suhu
kelembaban.
 Perangsang tambahan dapat dimasukkan saat stimulasi
thermal -> pembunuh sperma (heat).
 Fertilisasi lebih berhasil jika sperma didapat dari telur
alami.
 Total jumlah telur yang ada harus dikalkulasi untuk
menentukan jika ada jumlah yang cukup untuk
pengujian.
 Uji ini dilakukan setidaknya dengan pengulangan 3x
untuk tiap kontrol dan uji perlakuan. Setidaknya uji
perlakuan terdiri dari 5 macam.
Molusca – Oyster Shell Deposition Test
 Untuk mengukur deposisi pertumbuhan kerang baru oleh
eastern oyster muda selama 96 jam masa terpapar.

 Jumlah deposisi tersebut dapat dihubungkan dengan


jumlah tingkat stres akibat terpapar bahan kimia.

 Berdasarkan 2 prinsip:
(1) deposisi sekeliling dari kerang baru dapat
dimaksimalkan dengan memindahkan kembali seluruh
kerang baru atau kerang tipis.
(2) bahan kimia berbahaya akan secara langsung
mengurangi aktivitas pemompaan (mengurangi tingkat
deposisi kerang).
 Uji ini menggunakan tiram muda berukuran 25-50 mm
(bersih dari organisme epizootic).
 Temperatur antara 15-30 C pada unfiltered saltwater
dengan tingkat salinitas 10-30 %.
 Membutuhkan arus yang cukup untuk mendapatkan
pertumbuhan kerang yang memadai.
 Pertumbuhan dapat menurun pada paparan dengan suhu
dan/atau salinitas melebihi batas di atas (Galtsoff, 1964).
 Persentase penurunan pertumbuhan kerang tiram
dihitung berdasarkan rata-rata pertumbuhan kerang
baru dari kontrol tiram-> EC50 (analisis statistik dengan
konsentrasi uji berbeda).
Decapoda
 Spesies paling sering digunakan diantara crustacea untuk
uji toksisitas -> kepentingan komersial.
 Sensitif terhadap bahan kimia.
 Dari 4 tingkatan hidup (larvae, megalop, juvenile, adult),
yang paling sering digunakan adalah tingkatan adult dan
juvenile.
 Kesulitan dalam pengukuran early life stage dan
mengikuti metoda standar (APHA, 1992 dan ASTM,
1993b).
 Prosedur spesial dibutuhkan untuk penanganan dan
pengujian crustacea khususnya tingkatan larva dan
megalop.
 Uji akut menggunakan 5/6 konsentrasi uji kimia dengan
pengadaan kontrol.
 Minimum 10 hewan uji per perlakuan.
 Masalah kanibal -> pemisahan hewan uji
 Masalah lain: teknik penanganan dan diet spesial untuk
memastikan kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan.
Decapoda – Grass Shrimp
 Biasa berganti kulit dan tingkat perkembangan yang
membuatnya tak terlihat dalam produksi larva yang
cukup untuk uji tingkatan individual -> uji akut untuk
early life stage diawali dengan larva pada umur tertentu
(bukan individual life stage).
 Mayoritas bermetamorfosis menjadi postlarvae selama
18-21 hari (25 C).
 Rekomendasi (Tyler-Schroeder, 1978): pengujian pada
saat hewan berusia 1 hari dan 18 hari.
 Larva didapat dari mengisolasi 3 ekor betina subur per 8
inchi wadah kultur gelas pada 1L saltwater terfiltrasi
(salinitas 15-25 %) -> 17-25 wadah dibutuhkan untuk per
uji akut.
 Pengulangan sebanyak 3x per perlakuan untuk
menunjukkan penampakan tiap grup umur dari larva.
 Uji dilakukan pada suhu 25 C pada keadaan gelap atau 12
jam terkena matahari dan 12 jam tidak terkena.
 Kontrol untuk mortalitas < 10 % (tes penerimaan).
 Efek terhadap proses reproduksi: jumlah betina subur,
produksi telur, dan keberhasilan penetasan embrio.
Echinoderma

 Jenis: sea urchin -> uji akut dengan standar prosedur


untuk uji toksisitas.
 Untuk mengetahui efek potensial dari bahaya bahan
kimia pada masa fertilisasi sea urchin.
 Dibahas pada Chapter 6.
Ikan
 Spesies ikan yang sering digunakan untuk uji toksisitas
(US): Sheepshead minnow (Cyprinodon variegatus), dan
inland silverside (Menidia menidia / M. Beryllina).
 Sheepshead minnow -> uji toksisitas siklus hidup penuh
 Menidia spp. muda sangat sensitif untuk ditangani dan
persyaratan bertelur membuat uji kronik penuh sulit
dilakukan.
 Uji kronik short-term dilakukan pada sheepshead minnow dan
inland silverside untuk pengujian effluen -> menentukan efek
pada keberlangsungan dan pertumbuhan.
 Uji diawali dengan larva ikan (usia sama) dan meletakkan ikan
selama 7 hari dibawah kondisi renewal.
 Uji inisiasi pada larva Sheepshead minnow selama < 24 hari,
dan inland silverside diantara 7-11 bulan.
 Selama 7 hari paparan, ikan diberi makan brine shrimp nauplii
hidup.
 Pengujian dilakukan pada suhu 25 ± 2 C di saltwater dengan
salinitas 20-32 % (sheepshead minnow) dan 5-32 % (inland
silverside).
 Selama proses renewal dilakukan pembuangan brine
shrimp, kotoran dan serpihan lain -> untuk
mempertahankan kualitas air.
 Larva yang bertahan hidup diperiksa setiap hari.
 Kriteria untuk penerimaan dari uji ini meliputi:
(1) rata-rata larva kontrol yang bertahan hidup ≥ 80 %
(2) rata-rata berat kering dari larva kontrol sheepshead
minnow tak terpelihara ≥ 0,6 mg atau ≥ 0,5 mg untuk
inland silverside tak terpelihara.
DEVELOPING COMMUNITY TESTS

 Didesain untuk mengetahui dampak dari senyawa kimia


pada komunitas berkembang (multi spesies) dari
organisme bentos di estuary.

 Uji ini dapat digunakan untuk menguji secara luas


varietas dari organisme non-standar saat tingkatan awal
dan masa sensitif perkembangan mereka.

 Uji ini telah dilakukan dalam pengujian polychlorinated


biphenyl (PCB), beberapa insektisida dan biosida,
herbisida, lumpur bor, dan komponennya, serta barit.
 Terdiri dari substratum yang terpapar selama waktu 7-16
minggu hingga rangkaian perlakuan termasuk kontrol dan
3-5 perlakuan uji substansi.
 Pada saat akhir masa tiap paparan, substratum disaring
dengan saringan 1 mm mesh dan seluruh makhluk
makroinvertebrata bentos diidentifikasi dan dihitung.
 Perlakuan dan kontrol kemudian dibandingkan untuk
mengevaluasi perubahan pada struktur komunitas
termasuk perubahan kelimpahan hewan dengan spesies
dan filum.
 Komunitas bentos yang berkembang di uji toksisitas
komunitas berkembang secara struktur mirip dengan
komunitas bentos di sistem perairan alami yang
berdekatan dengan laboratorium (Tagatz dan Deans, 1963).
Lingkungan perairan laut

EFEK MINYAK
 Terdapat kondisi tertentu saat adanya minyak
berkonsentrasi tinggi dalam lapis air laut yaitu dibawah
lapis minyak sekitar kejadian tumpahan langsung.
 Observasi th 1977 yang dilakukan cormark and Nichols
(Anon, 1987) di laut utara bahwa 10 jam setelah
dilakukan tumpahan minyak eksperimental maka
konsentrasi minyak dalam air laut dibawah lapis minyak
menurun hingga lebih 1 % dari semula ( semula 2500 Ug
minyak/liter air laut setelah 10 jam menjadi 20 Ug
minyak/ air laut)

Materi toksikologi lingkungan 43


Pertumbuhan fitoplankton

 Pada konsentrasi minyak kurang dari 100 Ug


minyak/ liter air laut tercatat adanya
peningkatan pertumbuhan fitoplankton.
 Pada konsentrasi minyak 1-10 mg minyak/ l air
laut terjadi penurunan bahkan kematian
fitoplankton
 Untuk zooplankton juga dilakukan observasi
 Pada konsentrasi minyak 5- 15 Ug/ l airlaut
terjadi perubahan destruktif struktur komunitas
plankton tersebut.

Materi toksikologi lingkungan 44


kesimpulannya

 Zat diperlukan untuk pertumbuhan makhluk


hidup sampai pada tingkatan konsentrasi
tetentu.
 Kelebihan zat dari tingkatan konsentrasi yang
diperlukan akan memberikan efek negatif
bagi makhluk hidup.
 Keperluan zat dan efek negatifnya untuk tiap
makhluk hidup berbeda

Materi toksikologi lingkungan 45


Kajian keperluan zat bagi makhluk hidup dikenal
sebagai esai biologi (bioessey). Sedangkan
kajian efek negatif zat bagi makhluk hidup
dikenal sebagai toksikologi. Contoh diatas jelas
menunjukkan peristiwa ekotoksikologis laut.
Lingkungan air laut khususnya lapisan permukaan
merupakan habitat dimana efek negatif utama
dari minyak dapat terjadi.

Materi toksikologi lingkungan 46


BERBAGAI PENCEMAR TERKENAL

 PENCEMAR UDARA SOX, CO, NOX,


PAH(POLICYCLIC AROMATIC HIDROCARBON),
DDTDIETIL DIFENIL DICHLOR ETAN) , PCB
(POLICHLOR BIFENIL) , CFC (CHLORO
FLUOROCARBON) DLL.
 EFEKNYA MULAI DR YANG RINGAN IRITASI
KULIT,HINGGA BERAT SPT PENYAKIT
PERNAFASAN
 EFEK DDT PD CANGKANG TELUR, SHG MUDAH
PECAH---TIDAK MENETAS— POPULASI
PUNAH.
Materi toksikologi lingkungan 47
BOCORNYA REAKTOR NUKLIR

 DI CHERNOBIL, RUSIA
 DILAPORKAN 3 REAKTOR, YG BOCOR SATU.
 PENGARUHNYA TERJADI KANKER
KELENJAR GONDOK PADA ANAK2
 ---------------------------------------
 SINAR RADIOAKTIF DARI RADON

Materi toksikologi lingkungan 48


PENCEMARAN Hg

 BERSUMBER DARI PABRIK PLASTIK DENGAN


BAHAN BAKU VINIL CHLORIDA DAN
ACETALDEHIDE.
 PABRIK INI MEMBUANG Hg KE TELUK
MINAMATA. IKAN MENGANDUNG 27-102 PPM
BERAT KERING Hg. SELAMA TH 1953-1960
TERJADI KERACUNAN Hg PADA 111 NELAYAN.
GEJALA : SULIT MENDENGAR DAN
KEHILANGAN KOORDINASI OTOT2NYA.

Materi toksikologi lingkungan 49


PENCEMARAN Cd

 DARI BUANGAN PERTAMBANGAN TIMAH


HITAM DAN Zn DI TOYAMA, JEPANG. UAP
LOGAM YANG MENGANDUNG Cd DIBAWA
KE DLM SAWAH. LALU MASUK KEPADI---
DIMAKAN MASYARAKAT SETEMPAT --------
KERACUNAN-----DISEBUT PENYAKIT ITAI-
ITAI

Materi toksikologi lingkungan 50


PENGARUH RACUN THD MANUSIA

 KASUS BOM HIROSHIMA & NAGASAKI. DETONASI BOM SECARA


LANGSUNG MENYEBARKAN PANAS YANG TAK TERKIRA DAN MEMATIKAN
SEMUA ORGANISME SEKITAR 1 MIL.

 KEBAKARAN YANG TERJADI DIKOTA ---MENYEBARKAN ASAP BERBTK


JAMUR SHG MENYEBAR SANGAT JAUH

 DETONASI AKAN MENIMBULKAN ASAP BERBENTUK JAMUR SHG FALL


OUTNYA BEGITU JAUH

 DEBU RADIOAKTIF AKAN MENIMBULKAN DAMPAK SUBAKUT DAN


KRONIS. BAGI YANG JAUH DARI JATUHNYA BOM TIDAK MENINGGAL
TETAPI MENGALAMI BERBAGAI PENYAKIT ---LEUKEMIA

 KEBAKARAN HUTAN MEMBERI KONTRIBUSI THD PENCEMARAN


UDARA.EFEK KES. PNEUMONIA, IRITASI MATA

Materi toksikologi lingkungan 51


DI INDONESIA

 PENCEMARAN MERCURY DI BANYAK


TEMPAT.
 PENAMBANGAN EMAS TANPA IJIN (PETI)
DITEMUKAN DI BERBAGAI TEMPAT.
PONGKOR, JAWA BARAT, DILAPORKAN
BAHWA KONSENTRASI Hg DISEDIMEN 0-
2,688 PPM, DI TANAH KONSENTRASI 1-1300
PPM, SULAWESI UTARA D.A.S TALAWAAN

Materi toksikologi lingkungan 52


DARI URAIAN PENGARUH PENCEMAR
DISIMPULKAN
 ZAT PENCEMAR PADA HAKEKATNYA DAPAT
DIGOLONGKAN KE DALAM ZAT YANG
BERACUN, BAIK YANG HIDUP MAUPUN YANG
TIDAK HIDUP, SHG MENIMBULKAN
KERACUNAN.
 UJI TCLP (TOXICITY CHARACTERISTIC
LEACHING PROCEDURE) DILAKUKAN UNTUK
MENEGETAHUI DERAJAT RACUN DARI SUATU
BAHAN

Materi toksikologi lingkungan 53

Anda mungkin juga menyukai