Anda di halaman 1dari 36

ANALISIS RETROSPEKTIF TERHADAP PENATALAKSANAAN DAN OUTCOME

SINDROMA STEVENS JOHNSON DAN NEKROLISIS EPIDERMAL TOKSIK PADA 87


PASIEN JEPANG

OLEH :
Kurnia Hernolingga
Vanji Irawan
Raisya Cynthia Ilna
Febri Indra Kusuma

PEMBIMBING :
dr. H. Yosse Rizal, Sp.KK
PENDAHULUAN

Sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik


(NET) merupakan penyakit yang berpotensi mematikan, yang
ditandai dengan demam tinggi, eksantema makula yang
membentuk bula dan menyebar luas, dan lesi target yang
atipikal, disertai dengan keterlibatan mukosa.
• Pada SSJ, yang merupakan kondisi yang lebih ringan diantara keduanya,
pengelupasan epidermis terjadi pada kurang dari 10% area permukaan tubuh.
Sedangkan pada NET area pengelupasan epidermis lebih luas.

• Penatalaksanaan penyakit ini belum ditetapkan dengan baik. Selain


perawatan suportif, kortikosteroid sistemik,imunoglobulin intravena dosis
tinggi (IVIG),dan plasmapharesis telah digunakan dan dianggap efektif dalam
banyak laporan.
• Dibawah pedoman Japanese Research Committee on Severe Cutaneous
Adverse reaction (J-SCAR) kortikosteroid dianggap sebagai penatalaksanaan
lini pertama dan dalam kasus-kasus yang berat, terapi steroid dengan dosis
denyut direkomendasikan. IVIG dan plasmapharesis dianggap sebagai
modalitas tambahan untuk digunakan secara bersamaan dengan
kortikosteroid sistemik.
• Tujuan penelitian ini adalah untuk menyajikan karakteristik SSJ/NET dan untuk
mengevaluasi penatalaksanaan terkini penyakit ini. Kami secara retrospektif
menganalisis kasus-kasus SSJ/NET yang diobati di 2 rumah sakit universitas
dari tahun 2000 hingga 2013. Data menunjukkan rendahnya mortalitas
dengan penatalaksanaan intensif, terutama pada pasien-pasien yang diobati
setelah tahun 2007.
METODE

• Kami mengumpulkan kasus-kasus SSJ dan NET, yang diobati di Rumah sakit
Universitas Yokohama City dan Pusat kesehatan Universitas Yokohama City antara
Januari 2000 dan Desember 2013.

• Untuk SSJ, gejala harus mencakup kondisi akut yang ditandai dengan erosi
membrana mukosa dan lesi kulit (yang digambarkan sebagai makula, lesi yang
menyerupai target atipikal, bula, atau erosi) dengan maksimum pengelupasan
epidermis sebesar kurang dari 10% dari area permukaan tubuh total (BSA); dan
untuk NET gejalanya harus mencakup maksimum pengelupasan epidermis sebesar
lebih dari 10% BSA selain gejala-gejala diatas.
• Dilakukan pengumpulan data untuk variabel berikut: informasi demografi (usia
dan jenis kelamin), riwayat medis masa lampau yang relevan, dan kelainan
yang ada secara bersamaan, penggunaan obat yang mendahului, waktu antara
asupan obat kausatif pertama dan onset gejala, pengelupasan epidermis
maksimum sebagai persentase BSA, ada dan luasnya keterlibatan membrana
mukosa, data laboratorium, hasil uji tempel dan uji stimulasi limfosit dengan
menggunakan obat yang diduga, keterlibatan organ dan komplikasi,
penatalaksanaan yang terdiri atas terapi kortikosteroid, terapi imunoglobulin
intravena (IVIG), dan plasmaparesis, dan mortalitas.
• Untuk mengevaluasi efektivitas penatalaksanaan, SCORTEN, digunakan suatu
sistem pemberian skor untuk tingkat keparahan penyakit untuk prognosis NET.

• Kriteria SCORTEN adalah: nitrogen urea darah serum > 10 mmol/L, bikarbonat
serum < 20 mmol/L, glukosa serum > 14 mmol/l, usia ≥ 40 tahun, adanya
keganasan, denyut jantung > 120 kali per menit, dan persentase BSA dengan
pengelupasan epidermis ≥ 10%. Angka mortalitas diprediksi menurut skor
total SCORTEN, yaitu sebagai berikut: 0 – 1 poin, 3.2%; 2 poin 12.1%; 3 poin,
35.3%; 4 poin, 58.3%; dan 5 poin atau lebih, 90%.
HASIL

• Usia dan jenis kelamin

Delapan puluh tujuh kasus yang terdiri atas 52 SSJ dan 35 NET diobati selama 14 tahun
periode penelitian dan semua dari mereka dianalisis dalam penelitian ini. Pasien
dengan SSJ, yang terdiri atas 21 laki-laki dan 31 perempuan, berusia antara 17 dan 87
tahun (rata-rata, 55.1 tahun). Pasien dengan NET, yang terdiri atas 17 laki-laki dan 18
perempuan, berusia antara 2 dan 80 tahun (rata-rata 56.6 tahun). Rata-rata usia tidak
berbeda antara SSJ dan NET, namun puncaknya tercatat pada pasien yang berusia pada
sekitar 40-an dan 70-an untuk SSJ dan pasien pada usia 70-an untuk NET.
Gambar 1. Usia pasien dengan SSJ dan NET. Lima puluh dua kasus
SSJ dan 35 kasus NET diikutsertakan dalam penelitian ini.
• Interval antara konsumsi obat pertama dan onset gejala

Inteval waktu antara konsumsi obat pertama dan onset gejala pada 41 kasus
SSJ dan 24 kasus NET disajikan dalam gambar 2. Rata-rata intervalnya adalah
18.0 hari pada SSJ dan 11.7 hari pada NET. Pada NET, gejalanya biasanya
terjadi dalam waktu 7 hari setelah konsumsi obat pertama; oleh karena itu
NET tampak terjadi lebih dini setelah konsumsi obat dibandingkan SSJ.
• Total jumlah hari rawat inap

• Total jumlah hari rawat inap dihitung untuk mengevaluasi periode yang
dibutuhkan untuk SSJ/NET.

• Rata-rata jumlah hari rawat inap adalah 20.8 hari pada SSJ dan 34.1 hari pada
NET.
GAMBAR 3. TOTAL HARI RAWAT INAP. LIMA PULUH DUA KASUS SSJ DAN 35 KASUS NET DIPERISA.
RATA-RATA JUMLAH HARI RAWAT INAP ADALAH 20.8 HARI PADA SSJ DAN 34.1 HARI PADA NET
• Penyebab SSJ dan NET

• Pada SSJ, 28 kasus (53.8%) dianggap disebabkan oleh reaksi terhadap obat
yang tidak diharapkan, dan 8 kasus (15.4%) diduga disebabkan oleh infeksi,
termasuk 3 kasus Mycoplasma pneumonia.

• Sebaliknya, semua kasus NET diduga disebabkan oleh reaksi terhadap obat
yang tidak diharapkan.
• Tabel 1. OBAT kausatif SSJ dan NET
• Lesi kulit dan mukokutaneus

• Derajat pengelupasan epidermis maksimum pada NET sangat berbeda-


beda. Rentangnya adalah 10% - 100% BSA dan rata-rata adalah 44.7%
BSA. Satu pertiga pasien NET menunjukkan pengelupasan epidermis
maksimum sebesar lebih dari 50% dan 5 kasus (14%) menunjukkan
pengelupasan epidermis maksimum sebesar lebih dari 90% BSA.
• Keterlibatan organ dan komplikasi

• Tabel 2. Keterlibatan organ dan komplikasi pada pasien dengan SSJ dan NET
PENATALAKSANAAN

• Penatalaksanaan sistemik utama yang digunakan selain perawatan


suportif adalah kortikosteroid, IVIG, dan plasmapharesis.

• Pada SSJ, sebagian besar kasus (45 kasus, 86.5%) diobati dengan
kortikosteroid saja. Dari kasus-kasus ini, 18 pasien (34.6% dari semua
SSJ) mendapatkan terapi dosis denyut (500 – 1000 mg /hari
metilprednisolon selama 3 hari). Di sisi lain, pada NET, terapi steroid
dosis denyut dilakukan pada 31 kasus (88.6%) dari semua kasus.
• Kombinasi penatalaksanaan dengan IVIG dan kortikosteroid hanya
dilakukan pada 3 kasus SSJ. Ketiga kasus ini mendapatkan kurang dari 2
g/kg (lebih dari 1 g/kg) imunoglobulin secara total. Dua dari 3 kasus
mendapatkan terapi dosis denyut (500 – 1000 mg/hari metilprednisolon
selama 3 hari. Satu kasus SSJ telah diobati dengan metilprednisolon
60mg/hari untuk lupus eritematosus sistemik ketika ia mengalami SSJ
dan ia mendapatkan penatalaksanaan tambahan plasmaparesis filtrasi
ganda (DFPP).
• Tabel 3. Penatalaksanaan pada pasien dengan SSJ dan NET
MORTALITAS, KASUS KEMATIAN DAN SEKUELE

• Mortalitas total adalah 6.9% . Satu kasus SSJ (angka mortalitas 1.9%) dan 5 kasus NET (angka
mortalitas, 14.3%) mengalami kematian. Rata-rata skor SCORTEN adalah 2.43, oleh karena itu angka
mortalitas yang diprediksi adlaah 25.3% (8.9 kasus) pada NET.

• Kasus SSJ yang mengalami kematian adalah seorang pria yang berusia 47 tahun. Sedangkan untuk
NET, usia kasus-kasus yang mengalami kematian beragam dari 39 hingga 79 tahun, dengan rata-rata
63.4 tahun. Semua kasus diobati dengan kortikosteroid dan 3 dari mereka diobati denga terapi
kombinasi IVIG (< 2 g/kg) atau PE. Sepsis dan DIC menyertai NET pada 3 kasus.

• Tidak ada kasus yang menunjukkan sekuele yang berat baik pada SSJ ataupun NET.
PERBANDINGAN MODALITAS PENATALAKSANAAN YANG DIGUNAKAN DAN
ANGKA MORTALITAS ANTARA 2000-2006 DAN 2007 – 2013 PADA NET

• Dari 2000 hingga 2006, dilakukan evaluasi terhadap 22 kasus SSJ dan 17
kasus NET. Dari 2007 hingga 2013, dilakukan evaluasi terhadap 30 kasus SSJ
dan 18 kasus NET. Meskipun terapi steroid dosis denyut dan kombinasi
terapi IVIG (< 2 g/kg) dengan terapi kortikosteroid merupakan suatu pilihan
yang banyak digunakan hingga 2006, frekuensi kasus yang diobati dengan
kombinasi plasmapharesis dan terapi kortikosteroid sangat meningkat
setelah tahun 2007
• Gambar 4. Perubahan penatalaksanaan yang digunakan antara tahun 2000-2006 dan 2007-
2013 pada NET. A. Steroid (tanpa terapi dosis denyut); B. Terapi steroid dosis denyut; C,
steroid dan IVIG; D steroid dan plasmaparesis; E, steroid, IVIG dan plasmaparesis, F. IVIG
(tanpa kortikosteroid), IVIG, imunoglobulin intravena.. Tujuh belas kasus NET (2000-2006)
dan 18 kasus NET (2007-2013) dievaluasi.
PEMBAHASAN

• SSJ dan NET merupakan penyakit yang jarang terjadi namun mengancam nyawa.

• Penelitian terbaru telah mengungkapkan rincian yang baru mengenai jalur apoptosis
keratinosit dan perubahan imunologi yang berkaitan dengan reaksi obat yang tidak
diharapkan dalam penyakit ini. Selain sitotoksisitas langsung oleh sel T sitotoksik (CTL),
beberapa faktor yang larut seperti tumor necrosis factor alfa, nitrit oksida, ligan Fas yang
larut (sFasL), granulisin, annexin A1 saat ini dianggap memediasi apoptosis keratinosit.
Abe dkk melaporkan bahwa sel-sel mononuklear darah perifer (PBMC) dari pasien SSJ/NET
menyekresikan sFasL pada saat adanya stimulasi oleh obat penyebab
• Chung dkk menegaskan bahwa granulisin yang dihasilkan oleh CTL
atau konsentrasi natural killer cells pada cairan bulla lesi kulit
SSJ/NET dua hingga empat tingkatan besarnya lebih tinggi
dibandingkan perforin, granzyme B atau konsentrasi sFasL, dan
mengurangi granulosin akan mengurangi sitotoksisitas keratinosit.
Selain itu, mereka menunjukkan bahwa injeksi granulosin kedalam
kulit mencit menghasilkan gambaran yang menyerupai SSJ-NET.
• Saito dkk mengungkapkan kontribusi annexin A1 dalam nekroptosis
keratinosit pada SSJ/NET. Pengurangan annexin A1 oleh antibodi
spesifik mengurangi sitotoksisitas supernatan. Keratinosit SSJ/NET
mengekspresikan reseptor peptida formyl 1 dalam jumlah yang sangat
besar, yang merupakan reseptor untuk annexin A1, sementara
keratinosit kontrol tidak. Mereka juga menunjukkan bahwa inhibisi
necroptosis benar-benar mencegah respon yang menyerupai SSJ/NET
pada model SSJ/NET tikus.
• Dalam penelitian ini, kami menyajikan karakteristik klinis terbaru dan
penatalaksanaan SSJ dan TEN pada 87 pasien yang diobati di 2 rumah sakit kami
untuk mengevaluasi kegunaan penatalaksanaan ini secara retrospektif.
• Usia pasien dengan SSJ dan NET terdistribusikan secara luas dari usia muda hingga
tua. Obat kausatif utama adalah antibiotika, antikonvulsan, OAINS, dan obat flu.
Dominasi obat-obatan ini dalam menyebabkan penyakit tampak telah tidak
berubah sejak Aihara dkk menganalisis 269 kasus SSJ dan 287 kasus TEN yang
dilaporkan dari tahun 1981 hingga 1997 di Jepang. Namun, dalam penelitian kami,
antikonvulsan lebih sering ditemukan menjadi obat kausatif dibandingkan yang
sebelumnya dilaporkan pada SSJ. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan fakta
bahwa pada beberapa tahun terakhir, antikonvulsan tidak hanya digunakan untuk
kejang namun juga untuk penyakit lainnya, seperti nyeri neurogenik dan gangguan
bipolar.
• Untuk penatalaksanaan, terapi kortikosteroid sistemik adalah yang
paling utama digunakan baik pada SSJ maupun NET di Jepang.
Penggunaan kortikosteroid didasarkan pada gagasan bahwa
kortikosteroid efektif dalam menekan respon imunitas yang
berlebihan. Meskipun penggunaannya masih bersifat
kontroversial, penelitian terbaru telah menyatakan bahwa agen ini
merupakan modalitas penatalaksanaan yang valid untuk SSJ/NET
• Dalam penelitian ini, kortikosteroid digunakan untuk mengobati
semua kecuali 3 pasien, dan banyak dari mereka yang diobati
dengan terapi steroid dosis denyut. Mortalitas berjumlah 6
kematian (6.9%) dan semua kasus kematian diobati dengan
steroid. Namun, angka mortalitas ini jauh lebih rendah
dibandingkan mortalitas yang diprediksi (8.9 kematian, 25.3% pada
NET) menurut sistem skoring SCORTEN.
• Selain terapi steroid, plasmapharesis (terutama PE) dan IVIG diberikan pada
kasus NET berat. Plasmapharesis telah dilaporkan efektif dalam beberapa
penelitian NET setelah petengahan tahun 1980-an. Mekanisme efektivitasnya
masih bersifat spekulatif, namun kemungkinan besar melibatkan pembersihan
obat dan metabolit obat, ligan Fas larut, dan mediator-mediator kimia dari
sirkulasi darah.
• Dalam penelitian kami, 14 pasien yang mencakup 12 pasien NET
dengan skor SCORTEN rata-rata sebesar 2.58 (mortalitas yang
diprediksi 3.68 kematian, 30.6%) diobati dengan plasmapharesis
dan hanya satu pasien NET yang meninggal (angka mortalitas
7.4%). Data ini mungkin menunjukkan kemungkinan bahwa
plasmapHaresis merupakan modalitas yang berguna dalam
penatalaksanaan NET refraktorik setelah memulai terapi steroid.
• Terapi IVIG pada pasien NET akut pertama kali dilaporkan oleh
Viard dkk pada tahun 1998. Setelah laporan tersebut, banyak
penelitian yMekanisme yang diduga melibatkan inhibisi kematian
keratinosit yang dimediasi Fas oleh antibodi penghambat Fas yang
muncul secara alami pada imunoglobulin yang diberikan dan
inhibisi sitokin-sitokin inflamasi.ang telah memperlihatkan
efektivitas terapi IVIG.
• Dalam perbandingan data antara tahun 2000-2006 dan 2007-2013,
dibuktikan bahwa rata-rata skor SCORTEN untuk kasus yang tidak
mengalami kematian telah meningkat dari 1.69 menjadi 2.47
setelah 2007 dan angka mortalitas menurun dari 23.5 % menjadi
5.6% pada NET.
KESIMPULAN
• Peningkatan perbaikan mortalitas SSJ/NET pada tahun 2007-2013,
dibandingkan dengan tahun 2000-2006. Penatalaksanaan dengan steroid
yang dikombinasikan dengan plasmapharesis dan/atau IVIG sebanyak
lebih dari 2g/kg tampak telah berkontribusi terhadap perbaikan ini. Untuk
memberikan informasi mengenai perbaikan pedoman untuk menentukan
regimen penatalaksanaan yang optimum, dibutuhkan penelitian RCT.
Namun sulit untuk melakukan RCT untuk penyakit ini karena masalah etik.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai