Anda di halaman 1dari 37

Tonsilitis Difteri

Presentan: Mutiara Sukma, S.Ked


Pembimbing: dr. Evi Handayani, Sp.THT-KL
Pendahuluan
• Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,
disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai
pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan
penyebarannya melalui udara
• Etiologi: Corynebacterium Diphteriae
• Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga.
Anatomi dan Imunologi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil
yaitu tonsil faringal ( adenoid ), tonsil palatina dan tonsil lingual yang
ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.(1)
1. Lateral – m. konstriktor faring superior
2. Anterior – m. palatoglosus
3. Posterior – m. palatofaringeus
4. Superior – palatum mole
5. Inferior – tonsil lingual
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang
mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah
tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid).
Unsur yang lain adalah tonsil lingual,
gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller,
di bawah mukosa dinding posterior faring dan
dekat orifisium tuba eustachius.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna,
yaitu :
1. A. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan
A. Palatina asenden.
2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.
3. A. Lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
4. A. Faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi
oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari
tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan
pleksus faringeal.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus
(N.IX).
Adenoid(3)
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitel berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan
dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior,
kompleks tuba eustachius-telinga tengah- kavum mastoid pada bagian
lateral. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir.
Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai
respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi
lingkungan.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2%
dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T
pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran),
makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan
dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis
imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan
sel pembawa IgG. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu :
i) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
ii) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.
Ukuran Tonsil (4)

T0 : Post Tonsilektomi

T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris

T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian (pillar post)

T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median

T4 : Sudah melewati garis median


Difteri
Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-
gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin
yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.(5,6)
Epidemiologi
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering
menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program
imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan
kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas
berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut
laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota
Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan
Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.(12)
Etiologi
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini
dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada
tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan
Friedrich Löffler (1852-1915). Ada tiga strain C. diphtheriae yang
berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang
disebabkan pada manusia yaitu gravis, inter-medius, dan mitis
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil
gram positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul,
tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam
keadaan beku dan kering. Organisme tersebut paling mudah ditemukan
pada media yang mengandung penghambat tertentu yang
memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-
koloni Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada
medium Loeffler.(5,7)
Manifestasi Klinis
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang
terkena infeksi.Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga
diajukan oleh Beach, dkk (1950) sebagai berikut :

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung


dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada
laring.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).(6)
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini dapat
melibatkan hampir semua membrane mukosa. Gambaran klinik tergantung
pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi
anatomi adalah pasien :
1. Difteri hidung
Yang mana pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior
(lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis
dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir
sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih
pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.(7)
2. Difteri faring dan tonsil
Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa
radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan
diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Pada penyakit yang lebih
berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu yang tidak terlalu
tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa
bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Dapat
ditemukan pula napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional
sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne
(1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil dapat dianggap
sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap
membrane yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh
permukaan tonsil baik satu maupun kedua sisi dapat dinggap sebagai difteria.(6)
3. Difteri laring
Gejalanya antara lain, tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi,
demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak
kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3 kali lebih banyak
) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan napas berupa suara
serak dan stidor inspirasi jelas dan berat dapat timbul sesak napas hebat,
sinosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran
kelenjar regional akan menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada
pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan
permukaan ditutupi oleh pseudomembran. (6)
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang
sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa
apa.(6)
Cara Penularan
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak
dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya
melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini
2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi,
sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. (3)
Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk,
sendok, gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-lain. (3)
Orang yang telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang
lain yang nonimmunized selama enam minggu, bahlan jika mereka belum
menunjukan gejala apapun. (3)
Pemeriksaan Penunjang
• Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorok (nasofaringeal swab).
• Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi primer
menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.
• Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis, intermedius, atau
biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat
darah domba. Strain ditentukan secara in vitro dan in vivo.
• Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, eritrosit,trombosit,LED
• Urin lengkap : protein dan sedimen
• Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
• EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan
sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan
2-3x seminggu.
Diagnosis Banding
1. Difteria Hidung, diagnosis bandingnya:
• common cold
• Bila sekret yang dihasilkan purulent :
• sinusitis
• adenoiditis
• benda asing dalam hidung
• snuffles (lues congenital).
2. Difteria Faring, diagnosis bandingnya:
• Pharingitis oleh streptococcus
• Tonsillitis membranosa akut
• Mononucleosis infeksiosa,
• Tonsillitis membranosa non-bakteria
• Tonsillitis herpetika primer
• Moniliasis
• Blood dyscrasia
• Pasca tonsilektomi)
3. Difteria Laring, diagnosis bandingnya:
• Laryngitis
• Laringo-trakeo bronkitis
• Spasmodic croup
• Angioneurotic edema pada laring
• Benda asing dalam laring.
• Akut epiglotitis

4. Difteria Kulit, diagnosis bandingnya:


• impetigo
• infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. (1
Penatalaksanaan
Tatalaksana Umum
• Pasien dengan difteri dirawat di rumah sakit selama pemberian antitoxin diberikan.
Selama perawatan, yang biasanya dilakukan adalah
• Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi sampai setidaknya 2 kultur
berturut-turut setelah pengobatan selesai dengan jarak 24 jam memberikan hasil negatif
• Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk
hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bila perlu sonde lambung jika ada
kesukaran menelan (terutama pada paralisis palatum molle dan otot-otot faring).
• Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas perbaiki segera. Berikan oksigen atau lakukan
tindakan trakeostomi bila diperlukan.
• Monitoring jantung dan organ-organ vital lain. (1,4,5)
Tatalaksana Medikamentosa

1. Anti Difteri Serum (ADS)


Antitoksin difteri adalah preparat steril yang mengandung globulin
bersifat antitoksin spesifik yang memiliki kekuatan menetralisir toksin yang
dibentuk oleh Corynebacterium diphtheriae. Antitoxin ini dibuat dari plasma
kuda yang sehat, yang telah terimunisasi dengan suntikan toksin difteri. (6)
Antitoksin difteri tersedia dalam bentuk vial 5 ml (10.000 IU) dan 10
ml (20.000 IU), tiap ml mengandung 2000 IU antitoxin difteri dan 0,25% fenol
v/v. Untuk pencegahan, dosis untuk anak-anak adalah 1000-3000 IU,
sedangkan untuk dewasa 3000-5000 IU. Untuk pengobatan, dosis tergantung
usia, berat gejala, dan lokasi membran. (7)
Dosis ADS Menurut Lokasi Membran

Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara pemberian

Difteria Hidung 20.000 IU Intramuscular


Difteria Tonsil 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 IU Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 IU Intramuscular /Intravena
Kombinasi lokasi diatas 80.000 IU Intravena
Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IU Intravena
Terlambat berobat (>72 jam) 80.000-100.000 IU Intravena
Uji kepekaan, yang terdiri dari :
• Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9%
disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap positif bila
teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
• Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10
dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Satu
tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk perbandingan.
Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap positif bila ada tanda
konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila terjadi konjungtivitis diobati
dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara
sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang
ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensitisasi) dengan interval 20
menit. ADS diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai
berikut(9):
2. Antibiotik
Terapi antibiotik bukanlah pengganti untuk terapi antitoksin. Pemberantasan bakteri harus
didokumentasikan oleh setidaknya 2 kultur berturut-turut diperoleh 24 jam setelah selesai
terapi. Pengobatan dengan eritromisin diulang jika hasil kultur tetap positif.(1,4,5)
Dosis(4,5) :
• Penisilin prokain 25.000-50.000 IU/kgBB/hari intramuskuler, selama 14 hari atau bila hasil
biakan 3 hari berturut-turut negatif.
• Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, per oral, tiap 6 jam selama 14 hari.
• Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, i.m. atau i.v. , dibagi dalam 4 dosis,
diberikan selama 14 hari.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB perhari.
4. Simtomatis
Dapat diberikan antipiretik untuk menurunkan demam, jika pasien
anak gelisah berikan sedatif, dan apabila batuk bisa diberikan antitusif.
PENCEGAHAN

1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung
menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae (1,2,6)
2. Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin
tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT
tidak mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak yang tidak dapat
mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa
sebagai booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td
tetapi juga mengandung perlindungan terhadap pertusis. (10,11)
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan,
dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena
kekebalan terhadap difteri berkurang seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.(10,11,18)
Komplikasi
• Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis. Biasanya jelas didapatkan pada hari
ke 10 – 14 tetapi dapat dijumpai sepanjang minggu 1 – 6, biarpun setelah gejala tonsillitis
menghilang. Risiko cardiac toxicity terkait dengan derajat tonsillitis sendiri. Kelainan EKG yang
tidak signifikan ditemukan pada 20 – 30% pasien, tetapi disosiasi atrioventrikular, complete heart
block, dan aritmia ventricular bisa terjadi dan biasa diasosiasi dengan tingkat kematian yang
tinggi. Gagal jantung juga bisa terjadi.(1,2)
• Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsillitis difteria berat2. Toksin
difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy yang mengenai saraf cranial dan perifer.
Kesan toksin biasanya bermula pada minggu 1 infeksi dengan kehilangan akomodasi ocular dan
bulbar palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi nasal. Bisa juga didapatkan suara parau dan
kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati perifer pula terlihat sepanjang minggu 3 – 6. Neuropati
terjadi secara motorik dan sensorik, walaupun symptom motorik lebih dominan. Resolusi terjadi
dalam masa beberapa minggu (2,3,4)
• Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh pseudomembran yang
mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda usia pasien makin cepat pula timbul komplikasi
ini. Selain itu bisa timbul gejala albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal yang
menyebabkan nefritis. (4,6,21)
Prognosis
Prognosis tergantung kepada
• Virulensi kuman
• Lokasi dan perluasan membrane
• Kecepatan terapi
• Status kekebalan
• Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
• Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita gizi kurang
• Ada atau tidaknya komplikasi.
• Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang berespon baik
terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa mengambil masa
yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua kasus difteri respiratorik.
(5,20,21)
Daftar Pustaka
• Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Basic of Pathology. 8ed. Elsevier.United Kingdom:2008
• Demirci CS, Abuhammour W. Pediatric Diphhteria. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview#showall. Accesed at August 3, 2018.
• The Histopathology of Tonsilitis Diphtheria. Available at : http://www.histopathology-
india.net/Dipth.htm. Accesed at August 3, 2018.
• CDC.DiphtheriaEpidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.Edisi
12.2011,diakses dari http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html. Accesed at August 3,
2018.
• CDC.Diphtheria.Edisi 5.2011, diakses dari http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-
manual/chpt01-dip.html. Accesed at August 3, 2018.
• Zieve D, Kaneshiro NK. Diphtheria. Available at:
http://www.umm.edu/ency/article/001608trt.htm. Accessed at August 3, 2018.
• Dale DC. Infections Due to Gram Positive Bacilli. In: In Infectious Diseases: The Clinician's Guide to
Diagnosis, Treatment, and Prevention. 16th ed. WebMD Corporation; 2007.

Anda mungkin juga menyukai