Anda di halaman 1dari 32

PATOLOGIK

PENYAKIT INFEKSI
Berti Nelwan
AKIBAT INFEKSI
 Infeksi artinya masuknya dan multiplikasi
kuman infeksi dalam tubuh.
 Pada infeksi subklinis, tidak tampak gejala
klinis, tetapi tubuh menunjukkan adanya
respons imun terhadap kuman, biasanya
melalui pembentukan antibodi.
 Infeksi klinis terjadi bila infeksi tersebut
mengakibatkan kerusakan jaringan.
 Penyakit infeksi pada umumnya akut, yang
berakhir cepat dengan penyembuhan
sempurna atau malah kematian; kadang-
kadang penyakit infeksi ini menjadi kronis.
 Umumnya, proses infeksi terjadi di tempat
masuknya agen, misalnya faringitis
streptokokus. Kadang-kadang kuman dapat
masuk aliran limfe atau pembuluh darah dan
menyebar ke seluruh tubuh.
 Kemungkinan terjadinya sebaran infeksi
dalam tubuh ini tergantung pada virulensi
kuman dan status imun penderita.
Infeksi aliran darah
 Kadang-kadang tempat masuknya kuman tidak
menunjukkan penyakit; misalnya meningococcal
bakteremia, farings yang merupakan tempat
masuknya kuman biasanya tampak normal; pada
poliomyelitis (penyakit pada sistem saraf), usus yang
merupakan tempat masuknya kuman sangat jarang
menunjukkan tanda adanya infeksi.
 Mikroorganisme dalam sirkulasi darah (bakteremia,
viremia, parasitemia, fungemia) selalu memberikan
gejala klinis yang bermakna.
 Diagnosis ditegakkan melalui kultur darah, sedang
parasitemia biasanya ditegakkan melalui identifikasi
adanya parasit dalam sediaan hapus darah, misalnya
malaria.
 Bakteremia yang ditemukan dalam klinis
berada antara dua ekstrim, yaitu
 bakteremia transient dan
 septisemia (bakteremia berat).

Bakteremia Transien : Pada keadaan ini, jumlah kuman


dalam aliran darah hanya sedikit dan tidak
mengadakan multiplikasi dalam aliran darah, oleh
karena segera dimusnahkan oleh sistem pertahanan
tubuh. Keadaan ini relatif sering ditemukan, misalnya
penderita infeksi gigi dan ginggiva yang menyebarkan
kuman pada waktu mengunyah atau menggosok gigi
tanpa gejala klinis yang berarti.
 Pada keadaan tertentu bakteremia transien
dapat menimbulkan penyakit, misalnya:
(1) pada individu yang imunokompromised yang
sistem imumnya tidak sanggup menetralisir
mikroorganisme sehingga terjadi multiplikasi
kuman dan penyebaran yang hebat;
(2) pada penderita penyakit katup jantung kronis atau
pengguna protesa jantung, kuman dapat tumbuh
pada katup yang rusak atau pada katup prostetik
dan bakteremia dapat diperburuk oleh infective
endocarditis; dan
(3) pada individu normal, bilamana mikroorganisme
masuk dan menginfeksi organ dalam tubuh,
misalnya pada ensefalitis virus.
 Bakteremia Berat (Septisemia) :
Septisemia sering = bakteremia berat
suatu infeksi serius, dimana kuman dalam
jumlah besar dan bertambah terus sampai
melampaui kemampuan sistem pertahanan
tubuh, dan mikroorganisme ini secara aktif
memperbanyak diri dalam sirkulasi darah.
Septisemia berhubungan dengan toksemia
(adanya toksin bakteri dalam sirkulasi
darah) dan ditandai dengan panas tinggi,
menggigil, takikardia, dan hipotensi.
Keadaan ini dapat mengakibatkan
kematian.
KLASIFIKASI AGEN INFEKSI
 Klasifikasi Berdasarkan Struktur

 Agen infeksi dapat diklasifikasikan berdasar


tingkat kerumitan strukturnya, dimulai dengan
prion hingga virus, rickettsiae, chlamydiae,
mycoplasma, bacteria, fungi dan protozoa sampai
metazoa
 Berdasar tipe asam nukleat yang ada pada
genomenya virus dibagi menjadi virus RNA dan
virus DNA.
 Bakteri diklasifikasikan menjadi cocci, batang
(bacilli), spirochete, dan vibrio, atas dasar
bentuknya; berdasar pewarnaan Gram dibedakan
gram-negatif dan gram-positif; sedang berdasarkan
kebutuhan oksigen bagi pertumbuhannya bakteri
dibedakan aerob dan anaerob. Rickettsiae dan
chlamydiae adalah bakteri kecil yang merupakan
parasit intrasel obligat.
 Fungi dapat berupa yeast (jamur) atau mold
(mycelial fungi) atau berbentuk dimorfik (berbentuk
yeast dan mold). Protozoa dan metazoa
diklasifikasikan ke dalam genera dan spesies
tergantung pada kriteria strukturnya.
Klasifikasi Berdasarkan Patogenitas
infectivity (infektifitas): Kemampuan kuman
mempertahankan diri dan berkembangbiak dalam
jaringan disebut
pathogenicity (patogenitas): kemampuannya
menyebabkan penyakit disebut
 Patogenitas rendah dan tinggi.
 Kuman yang patogenitasnya tinggi disebut juga
kuman yang virulen.
 Kuman yang virulen dapat menimbulkan penyakit
pada manusia normal sedang kuman yang
patogenitasnya rendah hanya menimbulkan
penyakit pada individu yang immunocompromised
(infeksi oportunistik). Individu ini tidak memiliki
ketahanan terhadap kuman yang bagi individu yang
immunocompetent tidak akan menimbulkan
penyakit.
Klasifikasi Berdasarkan Tempat Multiplikasi

 Kemampuan kuman bermultiplikasi di dalam


atau di luar sel dapat digunakan sebagai
dasar klasifikasi.
 Hal ini penting untuk memahami respons
tubuh terhadap infeksi, sebab tipe inflamasi
dan respon imun yang dibangkitkan oleh
infeksi terutama ditentukan oleh tempat
multiplikasi kuman.
 Organisme Intraseluler Obligat:
Organisme jenis ini dapat tumbuh dan
memperbanyak diri (multiplikasi) hanya di
dalam sel tubuh penderita dan
membutuhkan fasilitas metabolik sel tubuh
untuk pertumbuhannya. Organisme jenis ini
terutama menginfeksi sel parenkim.
 Organisme Intraseluler Fakultatif:

 Organisme jenis ini mampu tumbuh dan


memperbanyak diri secara intra dan ekstra
seluler. Pertumbuhan intraseluler biasanya
terjadi dalam makrofag. Pola multiplikasi
organisme tersebut juga bervariasi: ada
yang hampir tidak pernah memperbanyak
diri di luar sel, misalnya Mycobacterium
leprae, ada yang sangat jarang
memperbanyak diri di dalam sel, misal
Actinomyces israelii.
 Organisme Ekstraseluler : Organisme
jenis ini memperbanyak diri di luar sel.
Kecuali protozoa dan metazoa, yang
tidak dapat dikultur sama sekali,
organisme ekstraseluler dapat di kultur
dalam media artifisial.
PERUBAHAN JARINGAN PADA
INFEKSI
 Jaringan yang terinfeksi akan mengalami
perubahan patologis (dan penyakit) akibat
kerusakan seluler yang ditimbulkan oleh agen
infeksi tersebut, respon inflamasi, dan
respon imun tubuh.
 Tetapi infeksi tidak selalu mengakibatkan
penyakit. Pada infeksi laten, agen penyebab
biasanya virus dapat tinggal (dormant) dalam
sel yang terinfeksi tanpa menimbulkan
kerusakan sel pada sel yang bersangkutan. Di
kemudian hari bisa beberapa tahun setelah
infeksi primer timbul penyakit akibat reaktifasi
kuman tersebut.
KERUSAKAN JARINGAN AKIBAT
AGEN INFEKSI

 Kerusakan jaringan yang ditimbulkan


langsung oleh agen infeksi merupakan sebab
utama perubahan patologis.
 Derajat kerusakan jaringan tergantung
virulensi kuman; organisme dengan virulensi
tinggi, seperti Yersinia pestis (agen penyebab
penyakit pes/plague) dapat dengan cepat
mengakibatkan nekrosis jaringan yang luas.
Organisme Intraseluler Obligat

 Nekrosis Sel: replikasi agen infeksi disertai


dengan gangguan fungsi sel yang letal.
 Agen patogen yang berbeda mempunyai afinitas
yang berbeda pula terhadap sel parenkim (ini
disebut organotropisme).
 walaupun terjadi infeksi pada berbagai tipe sel,
kerusakan hanya terjadi pada sel-sel tertentu
saja: misalnya infeksi virus polio, tempat utama
infeksi dan replikasi virus adalah mukosa usus,
tetapi gambaran klinis didominasi oleh
kerusakan motor neuron pada medulla spinalis
dan batang otak.
 Manifestasi klinik infeksi virus tergantung jenis
virus yang menyerang. Namun penyakit yang
sama dapat disebabkan oleh kuman yang
berbeda yang menimbulkan nekrosis pada satu
tipe sel tertentu. Misalnya, hepatitis akut dapat
disebabkan oleh virus yang berbeda, tetapi
manisfestasi klinisnya sama saja.

 Pada infeksi intraseluler obligat yang disertai


nekrosis akut, penderita bisa meninggal pada
fase akut (misalnya ensefalitis, miokarditis,
atau nekrosis sel hati yang massif), tetapi
dapat juga sembuh. Penyembuhan terutama
disebabkan oleh respon imun yang efektif yang
menetralkan virus. Kembali ke fungsi normal
dapat tercapai kecuali jika sel yang nekrosis
tidak bisa regenerasi, misalnya pada
ensefalitis, kerusakan neuron akan
menyebabkan defisit neurologis.
 Infeksi virus (atau respon imun terhadap virus)
bisa menyebabkan nekrosis sel sedikit demi
sedikit tetapi dalam jangka waktu lama,
kadang kadang bertahun-tahun. Infeksi virus
persisten ini bisa terjadi pada hati (hepatitis
kronis persisten dan hepatitis kronik aktif yang
biasanya disebabkan oleh virus hepatitis B
dan virus hepatitis C), pada otak (subacute
sclerosing panencephalitis yang disebabkan
oleh virus campak), dan pada limfosit T (yang
disebabkan oleh human immunodeficiency
virus = HIV).
 Pembengkakan Sel: Jejas subletal yang
disebabkan oleh agen intraseluler obligat
dapat mengakibatkan berbagai derajat
degenerasi sel, yang paling sering adalah
pembengkakan (swelling). Misalnya
pembengkakan difus pada hepatosit yang
masih hidup pada infeksi virus hepatitis akut.
Rickettsia mempunyai tendensi tumbuh
dalam sel endotelium dan menyebabkan
pembengkakan sel endotelium yang dapat
menimbulkan trombosis.
 Pembentukan Badan Inklusi (Inclusion
Body): Badan inklusi terbentuk sewaktu
virus atau chlamydia berkembangbiak di
dalam sel. Benda ini dapat dilihat dengan
mikroskop cahaya dan merupakan pertanda
infeksi intraseluler obligat. Inklusi ini terbentuk
dari partikel virus atau sisa-sisa sintesis asam
nukelat virus. Badan inklusi terdapat dalam
nukleus atau sitoplasma dan berguna untuk
membantu diagnosis infeksi virus pada
sediaan histologis.
 Pembentukan Sel Raksasa : Sel
raksasa berinti-banyak sering terjadi
pada infeksi virus tertentu. Virus
campak membentuk sel raksasa yang
sangat besar (Whartin-Finkeldey giant
cell) yang mengandung 20-100 inti kecil
yang berukuran sama. Sel jenis ini
dijumpai pada setiap jaringan yang
terinfeksi virus campak, biasanya
mengenai paru dan jaringan limfoid
apendiks dan tonsil.
 Infeksi Virus Laten: Banyak infeksi virus
yang dapat menyebabkan infeksi laten pada
sel, yang bisa bertahan seumur hidup
penderita. Namun setiap saat bisa terjadi
reaktifasi..
1. Reaktifasi : Virus herpes simpleks dan varicella zoster
cenderung menjadi infeksi laten dalam ganglion sensoris
yang terinfeksi pada infeksi primer. Reaktifasi berulang
dapat disebabkan oleh berbagai keadaan (misalnya
stress, trauma, infeksi kuman lain, imunodefisiensi).
2. Onkogenesis (pembentukan neoplasma, termasuk
kanker) : Virus Epstein-Barr dilaporkan sebagai
penyebab limfoma Burkitt dan karsinoma nasofarings;
suatu jenis retrovirus ¾ human T cell lymphotropic virus
tipe 1 (HTLV-1) ¾ diduga menyebabkan Japanese T cell
lymphoma.
 Organisme Ekstraseluler
bakteri, fungi, dan protozoa dapat
menyebabkan jejas sel melalui berbagai jalan

A.Pelepasan Enzim yang Bekerja Lokal:


Pada waktu multiplikasi, organisme yang
virulen akan menghasilkan/ mengeluarkan
banyak enzim ke dalam jaringan, sehingga
terjadi kerusakan jaringan. Enzim apa pastinya
yang menyebabkan perubahan patologis,
masih belum dapat diidentifikasi.
 Staphylococcus aureus memproduksi
koagulase, yang mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin.
 Produksi koagulase erat kaitannya dengan
virulensi organisme, dan staphylococci yang
tidak mengadung koagulase (misalnya
staphylococci epidermidis) mempunyai
virulensi yang rendah.
 Secara in vivo, koagulase diduga
menyebabkan bakteri diselimuti oleh lapisan
fibrin, yang meningkatkan ketahanan
organisme terhadap fagositosis. Kemampuan
resistensi terhadap fagositosis bukan saja
berkaitan dengan virulensi kuman, tetapi
cenderung menyebabkan radang supuratif
serta nekrosis jaringan.
 Streptococcus pyogenes menghasilkan
hyaluronidase, yang menguraikan
hyaluronic acid stroma dan
mempermudah penyebaran infeksi;
streptokinase, yang mengaktifkan
plasminogen dan mempromosi
pemecahan fibrin; dan sejumlah
hemolysin yang sanggup melakukan
hemolisis eritrosit. Enzim ini berperan
pada terjadinya penyebaran
streptococcus, dan dihasilkannya
eksudat encer yang bercampur darah.
 Clostridium perfringens, yang menyebabkan
gas gangren, menghasilkan banyak enzim,
termasuk diantaranya lecithinase (alpha toxin),
yang menghancurkan membran lipid sel dan
menyebabkan nekrosis; hyaluronidase;
collagenase, yang menghancurkan kolagen;
dan hemolysin. Enzim-enzim ini berperan
penting pada penyebaran necrotizing
inflammation yang merupakan ciri khas gas
ganggren. Produksi gas dalam jaringan
merupakan fermentasi gula pada waktu
pertumbuhan bakteri.
B. Mengakibatkan Vaskulitis Lokal:

 Organisme yang virulensinya tinggi,


seperti basil anthrax (Bacillus
anthracis), Aspergillus, dan Mucor,
dapat menginfeksi dan menyebabkan
trombosis lokal pada pembuluh darah
kecil dan menyebabkan nekrosis
kimiawi pada dan di sekitar tempat
infeksi. Terjadinya vaskulitis dapat
disebabkan oleh invasi langsung pada
pembuluh darah oleh organisme atau
sebagai akibat dari toksin (misalnya
faktor edema anthrax).
C. Produksi Toksin yang Bekerja di Tempat yang Jauh:

 Sejumlah bakteri menghasilkan toksin yang


masuk dalam sirkulasi sehingga
menimbulkan jejas sel pada tempat yang
jauh dari sumber infeksi.
Endotoksin

 komponen lipopolisakarida dinding sel bakteri gram


negatif yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darah
setelah kematian dan lisis bakteri.
 Dalam darah, endotoksin bekerja pada pembuluh
darah kecil dan menyebabkan vasodilatasi perifer
generalisata (mengakibatkan kegagalan sirkulasi
dan syok), kerusakan sel endotelium, dan aktifasi
coagulation cascade (sehingga mengakibatkan
disseminated intravascular coagulation).
 Pengaruhnya pada pembuluh darah kecil
diperantarai oleh TNF (cachectin), yang diproduksi
makrofag yang diinduksi oleh endotoksin.
 Endotoksin juga mengakibatkan demam melalui
aksi IL-1 yang dihasilkan oleh makrofag teraktifasi
dan aktifasi sistem komplemen.
Eksotoksin

 substansi (biasanya adalah protein) yang secara


aktif disekresi oleh bakteri yang hidup dan kadang-
kadang berdampak pada tempat yang jauh dari asal
infeksi setelah tersebar melalui aliran darah.
 Eksotoksin sangat antigenik, sehingga menginduksi
pembentukan antibodi spesifik (antitoksin).
Eksotoksin biasanya tidak stabil dalam keadaan
panas dan rusak pada suhu di atas 60°C.
(Sebaliknya endotoksin relatif stabil terhadap suhu
tinggi).
Enterotoksin

 adalah eksotoksin yang bekerja pada sel


mukosa usus. Toksin in dikeluarkan pada
waktu multiplikasi bakteri baik dalam lumen
usus (misalnya Vibrio cholerae) atau di luar
tubuh dalam makanan (misalnya S aureus).
Toksin melekat pada reseptor permukaan
pada sel mukosa usus dan menyebabkan
kerusakan struktural (misalnya enterotoksin
C difficile) maupun perubahan fungsional
(misalnya enterotoksin V cholerae)

Anda mungkin juga menyukai