Anda di halaman 1dari 26

Oleh :

Wardatul Fitri, SH., MH.


PERKAWINAN ADALAH IKATAN LAHIR BATIN ANTARA SEORANG PRIA &
SEORANG WANITA SBG SUAMI ISTRI DG TUJUAN MEMBENTUK
KELUARGA/RUMAH TANGGA YG BAHAGIA DAN KEKAL BERDASARKAN
TUHAN YME (PS. 1 UU NO.1/1974)

BENTUK KEL.
IKATAN ANTARA SEBAGAI BDSRKAN
LAHIR PRIA & SUAMI KETUHANAN
BATIN WANITA ISTRI YME
MEMBENTUK KEL. YG BAHAGIA &
KEKAL

PERKAWINAN DILAKUKAN BDSRKAN


HK AGAMA & DICATATKAN

MONOGAMI
ASAS-ASAS
PERKAWINAN
(UU NO.1/1974) KEMATANGAN UMUR CALON
MEMPELAI

MEMPERSUKAR
PERCERAIAN

KEDUDUKAN SUAMI ISTRI


SEIMBANG
1. Persetujuan kedua calon mempelai
2. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun
3. Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur
21 tahun
4. Tidak masih terikat dalam satu perkawinan
5. Tidak bercerai untum ketiga kali dengan
suami/istri yang sama yang hendak dikawini
6. Bagi janda, sudah lewat waktu tunggu
7. Pemberitahuan kepada pencatat perkawinan
8. Tidak ada yang mengajukan pencegahan
9. Tidak ada larangan perkawinan
 Bagi seorang wanita yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu
- Apabila perkawinan putus karena
kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
hari
- Apabila perkawinan putus karena
perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih datang bulan ditetapkan tiga kali
suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari
- Bagi perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap
 Bagi perkawinan yang putus karena
kematian,tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami (Pasal 39
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975)
 Perkawinan dilarang antara pria dan wanita yang
mempunyai:
1. Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau
ke bawah, Misalnya, antara anak perempuan/laki-laki dan
bapak/ibu, antara cucu perempuan/laki-laki dan
kakek/nenek
2. Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping
Misalnya antara kakak dan adik kandung serta antara
keponakan dan paman/bibi
3. Hubungan semenda
Misalnya antara menantu dan mertua, antara anak tiri dan
ayah/ibu tiri
4. Hubungan susuan
Misalnya antara orang tua dan anak susuan, antara anak
dan saudara susuan, serta antara bibi/paman dan
keponakan susuan
 5. Hubungan saudara dengan isteri atau
sebagai bibi atau keponakan dari istri
dalam hal seseorang suami beristeri
lebih dari seorang
 6. Hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin (pasal 8 UUP)
Alasan perkawinan poligami, alasan ini
sifatnya alternatif, artinya perlu dipenuhi
salah satu saja, itu sudah cukup,
a. Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit tidak dapat disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
(Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan.
 Sifatnya komulatif; semua syarat harus
dipenuhi. Syarat-syarat komulatif:
a. Ada persetujuan dari isteri/isteri-
isteri
b. Ada kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka
c. Ada jaminan bahwa suami akan berlaku
adl terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka (pasal 5 UUP)
1. Hubungan hukum antara suami dan
isteri
2. Hubungan hukum antara orang tua dan
anak
3. Hubungan hukum antara wali dan anak
Hak suami dan isteri:
-suami dan isteri mempunyai hak dan kedudukan
yangs eimbang dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup dalam masyarakat (pasal 31
ayat 1 UUP)
- Suami dan isteri sama-sama berhak melakukan
perbuatan hukum (Pasal 31 ayat 2 UUP)
- -Suami dan isteri mempunyai kesempatan yang
sama untuk mengajukan gugatan kepada
pengadilan apabila ada yang melalaikan
kewajibannya (Pasal 34 ayat 3 UUP)
Kewajiban suami dan isteri:
-Suami dan isteri berkewajiban luhur
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susunan masyarakat. (Pasal 30 UUP)
- Suami dan isteri mempunyai tempat kediaman
yang tetap yang ditentukan oleh suami isteri
bersama (Pasal 32 UUP)
-Suami dan isteri saling mencintai, saling
menghormati, saling setia dan saling memberi
bantuan lahir dan batin (Pasal 33 UUP)
- Suami dan isteri wajib memelihara dan
mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu
dapat mandiri atau kawin (Pasal 45)
1. Anak sah diatur dalam Pasal 42 UUP.
2. 2 golongan anak:
a) Anak yang dilahirkan dalam
perkawinan
b)Anak yang dilahirkan sebagai akibat
perkawinan
 Ada 2 kemungkinan:
1. Kemungkinan pertama, setelah
perkawinan dilangsungkan, istri baru
hamil kemudian setelah kandungannya
berumur 9 bulan 10 hari, isteri melahirkan
anak
2. Kemungkinan kedua
Sebelum perkawinan dilangsungkan, isteri
sah hamil dulu, setelah dilangsungkan
perkawinan, isteri melahirkan anak.
 UUP = Pasal 42
 KHI = 99
 KUHPerdata = 251, 252,253
 Anakyang dilahirkan di luar ikatan
perkawinan.
 Pasal50 UUP, anak yang belum berumur
18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua
berada di bawah kekuasaan wali.
 Kewajibanhukum untuk melakukan
pengawasan dan pengurusan mengenai
pribadi anak yang belum dewasa dan
harta kekayaannya (Pasal 50 ayat 2)
 Walidapat ditunjuk oleh salah satu orang
tua yang menjalankan kekuasaan orang
tua sebelum dia meninggal dunia,
dengan surat wasiat atau dengan lisan di
hadapan dua orang saksi.
1. Secara lisan di hadapan dua orang saksi
2. Secara tertulis dengan surat wasiat
3. Secara tertulis dengan penetapan
pengadilan, dalam hal terjadi
pencabutan kekuasaan wali
 Harta bersama : harta kekayaan yang
diperoleh suami dan isteri selama dalam
ikatan perkawinan
 Harta bawaan: harta bawaan dikuasai
oleh pemiliknya
 Harta Perolehan : secara prinsip
penguasaannya seperti harta bawaan.
1. Alasan putusnya perkawinan:
a. kematian
b. perceraian
c. Atas keputusan pengadilan
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi, dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sahm
atau karena hal lain di luar kemampuannya
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
dan isteri
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
 Pasal29 UUP :
ayat (1) : pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan setelah mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
Putusan MK 69/UU-XIII/2015
 (2) : perjanjian tersebut tidak dapat
disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan.
 (3) : perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan.
 (4) : selama perkawinan berlangsung,
perjanjian tersebut tidak diubah. Kecuali
bila dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk mengubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.

Anda mungkin juga menyukai