Anda di halaman 1dari 109

Djoti Atmodjo

Rumah Sakit Pasien

Peraturan
Perundang-undangan

2
TATA KELOLA RUMAH SAKIT

KEPEMIMPINAN RUMAH SAKIT

PIMPINAN DEPARTEMEN /
UNIT DAN PELAYANAN

ETIKA ORGANISASI

3
TATA KELOLA RUMAH SAKIT
KEPEMIMPINAN RUMAH SAKIT

UNIT DAN PELAYANAN

PASIEN
4
Djoti - Atmodjo
Pasal 32
Hak Pasien

q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit


apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan melalui media
cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Pasal 29
s. melindungi dan memberikan bantuan
hukum bagi semua petugas Rumah
Sakit dalam melaksanakan tugas

Djoti - Atmodjo
Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara
hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit

Djoti - Atmodjo
Adanya kewajiban
hukum RS

Dokumen
Dokumentasi

Bukti
legal/hukum

10
Surat atau naskah

pemberian atau pengumpulan bukti

11
Regulasi
Nasional/
Referensi

Regulasi RS:
• Kebijakan
• Pedoman/
Panduan
• SPO

12
Regulasi
Nasional/
Referensi

Regulasi RS:
• Kebijakan
• Pedoman/
Panduan
• SPO

13
Regulasi
Nasional/
Referensi

Regulasi RS:
• Kebijakan
• Pedoman/
Panduan
• SPO

14
Regulasi
Nasional/
Referensi

Regulasi RS:
• Kebijakan
• Pedoman/
Panduan
• SPO

15
Standar TKP.6.
Rumah sakit menetapkan kerangka kerja mengelola
etika untuk menjamin bahwa asuhan pasien
diberikan dalam norma profesi, keuangan dan
hukum yang melindungi pasien dan hak mereka.

Elemen Penilaian TKP. 6.


1. Organisasi rumah sakit menetapkaan norma
etika dan hukum yang dapat melindungi pasien
dan hak mereka
2. Pimpinan menyusun kerangka kerja untuk
mengelola etika organisasi
3. Pimpinan mempertimbangkan norma etik
nasional dan international.
Standar TKP 6.2
Kerangka kerja rumah sakit untuk mengelola etika
dimaksudkan untuk mendukung proses pengambilan
keputusan secara etis di dalam pelayanan klinik.

Elemen Penilaian TKP 6.2


1. Kerangka kerja rumah sakit untuk mengelola etika
dapat menjadi pendukung pada hal-hal yang
memuat dilema etik dalam asuhan pasien
2. Kerangka kerja untuk mengelola etika dapat
menjadi pendukung pada hal-hal yang memuat
dilema etik dalam pelayanan non-klinis
3. Dukungan ini siap tersedia
4. Kerangka kerja rumah sakit memberikan pelaporan
yang aman bagi masalah etika dan hukum / legal
Standar TKP.2/GLD
Seorang manajer senior atau direktur bertanggung jawab untuk
menjalankan rumah sakit dan mematuhi undang-undang dan
peraturan yang berlaku.

Elemen Penilaian TKP.2


5. Manajer senior atau Direktur menjamin kepatuhan terhadap
undang-undang dan peraturan yang berlaku

The senior manager or director ensures compliance


with applicable laws and regulations.
BAB I
Kewajiban Umum Rumah Sakit

Pasal 1
Rumah Sakit harus mentaati Kode Etik Rumah Sakit
Indonesia (KODERSI)

Pasal 2
Rumah sakit harus dapat mengawasi serta bertanggung
jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit.
BAB II
TATA LAKSANA ORGANISASI
KOMITE ETIK RUMAH SAKIT

Pasal 3
Pembentukan KERS

1. Komite Etik Rumah Sakit (KERS) merupakan


perangkat organisasi rumah sakit di bentuk di
Rumah Sakit dalam rangka membantu pimpinan
rumah sakit menerapkan Kode Etik Rumah Sakit di
rumah sakit.
2. Pembentukan KERS adalah wajib
Pasal 13
(3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah
Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi,
standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur
operasional yang berlaku, etika profesi,
menghormati hak pasien dan mengutamakan
keselamatan pasien.

Djoti - Atmodjo
Pasal 33
Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri
atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah
Sakit, unsur pelayanan medis, unsur
keperawatan, unsur penunjangmedis, komite
medis, satuan pemeriksaan internal, serta
administrasi umum dan keuangan.

Djoti - Atmodjo
Permenkes 755/2011

Panitia Mutu dan


Keselamatan Pasien
Panitia Etik dan
Disiplin RS Subkom Kredensial
Panitia Farmasi & Subkom Mutu Profesi
Terapi Subkom Etika dan Disiplin
Panitia Rekam Medis
Panitia K3
Panitia PPI RS
Tim TB
Tim PONEK
Tim HIV/AIDS
Djoti - Atmodjo
Permenkes 49/2013

Panitia Mutu dan


Keselamatan Pasien
Panitia Etik dan
Disiplin RS Subkom Kredensial
Panitia Farmasi & Subkom Mutu Profesi
Terapi Subkom Etika dan Disiplin
Panitia Rekam Medis
Panitia K3
Panitia PPI RS
Tim TB
Tim PONEK
Tim HIV/AIDS
Djoti - Atmodjo
Subkomite etik dan disiplin profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c bertugas
merekomendasikan pembinaan etik dan disiplin
profesi
Dalam melaksanakan tugas menjaga disiplin,
etika, dan perilaku profesi staf medis komite
medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. pembinaan etika dan disiplin profesi
kedokteran;
b. pemeriksaan staf medis yang diduga
melakukan pelanggaran disiplin;
c. rekomendasi pendisiplinan pelaku
profesional di rumah sakit; dan
d. pemberian nasehat/pertimbangan dalam
pengambilan keputusan etis pada asuhan
medis pasien
Dalam melaksanakan fungsi menjaga disiplin dan
etika profesi tenaga keperawatan, Komite
Keperawatan memiliki tugas sebagai berikut:
a. melakukan sosialisasi kode etik profesi tenaga
keperawatan;
b. melakukan pembinaan etik dan disiplin profesi
tenaga keperawatan;
c. merekomendasikan penyelesaian masalah
pelanggaran disiplin dan masalah etik dalam
kehidupan profesi dan pelayanan asuhan
keperawatan dan kebidanan;
d. merekomendasikan pencabutan Kewenangan
Klinis; dan
e. memberikan pertimbangan dalam mengambil
keputusan etis dalam asuhan keperawatan
dan kebidanan
Disiplin Profesional Dokter dan Dokter
Gigi adalah ketaatan terhadap aturan-
aturan dan/atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan praktik
kedokteran.
Terkait dengan pelanggaran Disiplin Profesional
Dokter dan Dokter Gigi, maka pada hakikatnya
dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) hal, yaitu:
1. melaksanakan Praktik Kedokteran dengan tidak
kompeten;
2. tugas dan tanggung jawab profesional pada
pasien tidak dilaksanakan dengan baik; dan
3. berperilaku tercela yang merusak martabat dan
kehormatan profesi kedokteran / kedokteran
gigi.
Pasal 3
(1) Setiap Dokter dan Dokter Gigi dilarang
melakukan pelanggaran Disiplin Profesional
Dokter dan Dokter Gigi.
(2) Pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan
Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari 28 bentuk:
a. melakukan Praktik Kedokteran dengan tidak
kompeten;
b. tidak merujuk pasien kepada Dokter atau Dokter
Gigi lain yang memiliki kompetensi yang sesuai;
c. mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga
kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi
untuk melaksanakan pekerjaan tersebut;
d. menyediakan Dokter atau Dokter gigi pengganti
sementara yang tidak memiliki kompetensi dan
kewenangan yang sesuai atau tidak melakukan
pemberitahuan perihal penggantian tersebut;
e. menjalankan Praktik Kedokteran dalam kondisi
tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian
rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien;
f. tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang
memadai pada situasi tertentu yang dapat
membahayakan pasien;
g. melakukan pemeriksaan atau pengobatan
berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
pasien;
h. tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan
memadai (adequate information) kepada pasien
atau keluarganya dalam melakukan Praktik
Kedokteran;
i. melakukan tindakan/asuhan medis tanpa
memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat, wali, atau pengampunya;
j. tidak membuat atau tidak menyimpan rekam
medis dengan sengaja;
k. melakukan perbuatan yang bertujuan untuk
menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
l. melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri
kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau
keluarganya;
m. menjalankan Praktik Kedokteran dengan
menerapkan pengetahuan, keterampilan, atau
teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara
Praktik Kedokteran yang layak;
n. melakukan penelitian dalam Praktik Kedokteran
dengan menggunakan manusia sebagai subjek
penelitian tanpa memperoleh persetujuan etik
(ethical clearance) dari lembaga yang diakui
pemerintah;
o. tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan
dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya;
p. menolak atau menghentikan tindakan/asuhan medis
atau tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa
alasan yang layak dan sah sesuai dengan ketentuan
etika profesi atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
q. membuka rahasia kedokteran;
r. membuat keterangan medis yang tidak didasarkan
kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya
secara benar dan patut;
s. turut serta dalam perbuatan yang termasuk
tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi
hukuman mati;
t. meresepkan atau memberikan obat golongan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang
tidak sesuai dengan ketentuan etika profesi atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
u. melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi,
atau tindakan kekerasan terhadap pasien dalam
penyelenggaraan Praktik Kedokteran;
v. menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi
yang bukan haknya;
w. menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk,
meminta pemeriksaan, atau memberikan resep
obatlalat kesehatan;
x. mengiklankan kemampuan/pelayanan atau
kelebihan kemampuanl pelayanan yang dimiliki baik
lisan ataupun tulisan yang tidak benar atau
menyesatkan;
y. adiksi pada narkotika, psikotropika, alkohol, dan
zat adiktif lainnya;
z. berpraktik dengan menggunakan surat tanda
registrasi, surat izin praktik, dan/atau sertifikat
kompetensi yang tidak sah atau berpraktik tanpa
memiliki surat izin praktik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
aa.tidak jujur dalam menentukan jasa medis;
bb.tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat
bukti lainnya yang diperlukan MKDKI I MKDKI-P
untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan
pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan
Dokter Gigi;
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dan atau janji dokter.

Pasal 2
Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku
profesional dalam ukuran yang tertinggi.

Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter
tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang
bersifat memuji diri .

Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin
melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib
memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.

Pasal 6
Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam
mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik
atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan
terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter waajib hanya memberi surat keterangan dan
pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

Pasal 8
Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya,
memberikan pelayanan secara kompeten dengan kebebasan
teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 9
Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan
dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk
mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi,
atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.
Pasal 10
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak- pasien, teman
sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib
menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 11
Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib
memperhatikan keseluruhan aspek pelayanan kesehatan
(promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik fisik
maupun psiko-sosial-kultural pasiennya serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.
Pasal 13
Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat
lintas sektoral di bidang kesehatan, bidang lainnya dan
masyarakat, wajib saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 14
Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk
kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/
keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian untuk itu.
Pasal 15
Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar
senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan
penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan atau
penyelesaian masalah pribadi lainnya.
Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.

Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER
TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 18
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 19
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari
teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau
berdasarkan prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER
TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 20
Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya,
supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 21
Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan.
A. Perawat dan Klien
B. Perawat dan Praktik
C. Perawat dan Masyarakat
D. Perawat dan Teman Sejawat
E. Perawat dan Profesi
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat ( 6 butir )
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya ( 3 butir )
3. Kewajiban Bidan terhadap sejawab dan tenaga kesehatan
lainnya ( 2 butir )
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya ( 3 butir )
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri ( 2 butir )
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah
air ( 2 butir )
Standar TKP 6
Rumah sakit menetapkan kerangka kerja mengelola
etika untuk menjamin bahwa asuhan pasien diberikan
dalam norma profesi, keuangan dan hukum yang
melindungi pasien dan hak mereka.

Elemen Penilaian TKP. 6.


1. Organisasi rumah sakit menetapkaan norma etika
dan hukum yang dapat melindungi pasien dan hak
mereka
2. Pimpinan menyusun kerangka kerja untuk mengelola
etika organisasi
3. Pimpinan mempertimbangkan norma etik nasional
dan international.
Standar TKP 6.2
Kerangka kerja rumah sakit untuk mengelola etika
dimaksudkan untuk mendukung proses pengambilan
keputusan secara etis di dalam pelayanan klinik.

Elemen Penilaian TKP. 6.2.


1. Kerangka kerja rumah sakit untuk mengelola etika
dapat menjadi pendukung pada hal-hal yang
memuat dilema etik dalam asuhan pasien
2. Kerangka kerja untuk mengelola etika dapat
menjadi pendukung pada hal-hal yang memuat
dilema etik dalam pelayanan non-klinis
3. Dukungan ini siap tersedia
4. Kerangka kerja rumah sakit memberikan pelaporan
yang aman bagi masalah etika dan hukum / legal
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 49 TAHUN 2012
TENTANG
PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT
TERPADU DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN
Pengaduan masyarakat merupakan salah satu
bentuk peran serta masyarakat dalam
pengawasan pelaksanaan pelayanan RS,
sehingga perlu mendapatkan tanggapan dengan
cepat, tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan
A. Langkah penanganan
1. Menerima keluhan/komplain
2. Mengelola keluhan
3. Investigasi kasus
4. Analisis kasus
5. Tindak lanjut penangan kasus
6. Penyelesaian kasus
7. Dokumentasi kasus
8. Penyelesaian tuntutan hukum (tergantung
kasus)
1. Menerima keluhan/komplain
 Media massa
 Kotak saran
 Laporan staf RS
 Laporan/keluhan pasien
 Somasi pasien/kuasa hukum
 Laporan LSM
 Tokoh masyarakat
 Telepon pengaduan atau SMS
2. Mengelola keluhan
a. Mencatat dan mengkaji informasi
• Identitas dan kondisi pasien
• Peristiwa
• Tuntutan pasien
b. Menanggapi keluhan
• Mengucapkan terima kasih atas laporan
• Memberikan penjelasan sementara
• Menjamin keluhan akan ditindaklanjuti
• Menenangkan pelapor
• Memberikan tanda terima laporan
c. Melaporkan ke Direksi RS
• Mengisi formulir sesuai keluhan
• Memberi pertimbangan
• Meminta pengarahan tindaklanjut
d. Menindaklanjuti instruksi Direksi
1. Menerima keluhan/komplain
2. Mengelola keluhan
3. Investigasi kasus
4. Analisis kasus
5. Tindak lanjut penangan kasus
6. Penyelesaian kasus
7. Dokumentasi kasus
8. Penyelesaian tuntutan hukum (tergantung
kasus)
1. Menerima keluhan/komplain
2. Mengelola keluhan
3. Investigasi kasus
4. Analisis kasus
5. Tindak lanjut penangan kasus
6. Penyelesaian kasus
7. Dokumentasi kasus
8. Penyelesaian tuntutan hukum (tergantung
kasus)
B. Pemilahan dan pendalaman kasus

Kasus hukum pelayanan medis


1. Aspek hukum pidana
2. Aspek hukum perdata
3. Pelanggaran etik
4. Pelanggaran disiplin/administrasi

Pendalaman kasus hukum dalam pelayanan


medis
C. Pengamanan bukti dan informasi
1. Penataan dokumen
2. Penyimpanan
3. Pengungkapan isi dokumen
UU Praktik Kedokteran
Pasal 66
Pasal 32
Hak Pasien

q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit


apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik
secara perdata ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan melalui media
cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
TIDAK TERJADI!!!
Kecacatan/kematian atau reaksi
tubuh yang tidak diharapkan

Pidana dan/atau perdata (-)


Hukum disiplin (+) KONDISI IDEAL

MISCONDUCT GOOD CONDUCT


(Tidak sesuai kaidah (Sesuai kaidah teknis
teknis medis) medis)

Pidana dan/atau perdata (+) Pidana dan/atau perdata (-)


Hukum disiplin (+) Hukum disiplin (-)

TERJADI!!!
Kecacatan/kematian atau reaksi
tubuh yang tidak diharapkan

SI-060805 Analisis linier (pada good system) menetapkan malpraktik


Standar PP.1.
Kebijakan dan prosedur dan undang-undang dan peraturan
terkait mengarahkan pelayanan pasien yang seragam.
Elemen Penilaian PP.1.
1. Para pimpinan rumah sakit bersepakat untuk memberikan
proses pelayanan yang seragam.
2. Kebijakan dan prosedur memandu pemberian pelayanan
yang seragam sesuai dengan undang-undang dan
peraturan terkait.
3. Pemberian pelayanan yang seragam memenuhi ad a) s/d
ad e).

Djoti - Atmodjo
Asuhan pasien yang seragam terefleksi sebagai berikut dalam :
a. Akses untuk asuhan dan pengobatan, yang memadai, tidak
tergantung atas kemampuan pasien untuk membayar atau
sumber pembiayaan.
b. Akses untuk asuhan dan pengobatan, serta yang memadai, yang
diberikan oleh praktisi yang kompeten tidak tergantung atas hari-
hari tertentu atau waktu tertentu.
c. Ketepatan (acuity) mengenali kondisi pasien menentukan alokasi
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pasien.
d. Tingkat asuhan yang diberikan kepada pasien (misalnya
pelayanan anestesia) sama di seluruh rumah sakit.
e. Pasien dengan kebutuhan asuhan keperawatan yang sama
menerima asuhan keperawatan yang setingkat diseluruh rumah
sakit.
Pasal 44

(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan


praktik kedokteran wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata
sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan peraturan Menteri.
Yang dimaksud dengan “standar pelayanan”
adalah :

Pedoman yang harus diikuti oleh


dokter atau dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik
kedokteran

Peraturan Menteri Kesehatan


Pasal 50

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik


kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar
profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari
pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa
Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik


kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian dan kemampuan yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannnya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Yang dimaksud dengan standar profesi
adalah :
batasan kemampuan (knowledge, skill
and proffesional attitude) minimal yang
harus dikuasai oleh seorang individu
untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri
yang dibuat oleh organisasi profesi

batasan kemampuan minimal KOMPETENSI


Yang dimaksud dengan standar prosedur operasional
adalah :
Suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja
rutin tertentu.
SPO memberikan langkah yang benar dan terbaik
berdasarkan konsensus bersama untuk
melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan
kesehatan berdasarkan standar profesi
UU Praktik
Kedokteran

Pasal 44 Pasal 50 dan 51

Standar Standar
Pelayanan Prosedur
Kedokteran Operasional

Djoti - Atmodjo
Permenkes 1438 / 2010

 Standar Pelayanan Kedokteran meliputi


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) dan Standar Prosedur Operasional
(SPO)
 PNPK merupakan Standar Pelayanan
Kedokteran yang bersifat nasional dan
dibuat oleh organisasi profesi serta
disahkan oleh Menteri
Standar Pelayanan Kedokteran disusun
secara sistematis dengan menggunakan
pilihan pendekatan :

 Pengelolaan penyakit dalam kondisi


tunggal, yaitu tanpa penyakit lain atau
komplikasi;
 Pengelolaan berdasarkan kondisi.
Persyaratan penyusunan PNPK

• PNPK diperlukan bila:


– jumlah kasusnya banyak (high volume)
– mempunyai risiko tinggi (high risk)
– cenderung memerlukan biaya tinggi/banyak
sumber daya (high cost)
terutama bila terdapat variasi yang luas di
antara para praktisi untuk penanganan kasus
yang sama.
PNPK disusun oleh sekelompok pakar yang
dapat melibatkan profesi kedokteran,
kedokteran gigi, atau profesi kesehatan
lainnya, atau pihak lain yang dianggap perlu
dan disahkan oleh Menteri.
Tata Laksana Bayi Berat Lahir Rendah:
Resusitasi, Stabilisasi, dan Mekanisme
Merujuk
Oktober 2011
Peringkat Bukti (Hierarchy of Evidence)
• IA metaanalisis, uji klinis
• IB uji klinis yang besar dengan validitas yang
baik
• IC all or none
• II uji klinis tidak terandomisasi
• III studi observasional (kohort, kasus kontrol)
• IV konsensus dan pendapat ahli
Derajat Rekomendasi
• Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level
IA atau IB.
• Rekomendasi B bila berdasar atas bukti level
IC atau II.
• Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level
III atau IV.
Resusitasi
• Resusitasi BBLR dapat dilakukan dengan menggunakan
udara kamar (FiO2 21%).
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A

• Selama proses resusitasi, blender digunakan untuk


mengatur konsentrasi oksigen dan pulse oxymeter
dipasang untuk memantau saturasi oksigen.
Level of evidence IV, derajat rekomendasi C

• Pada BBLSR yang bernapas spontan saat lahir, bantuan


pernapasan diberikan berupa NCPAP. Tindakan intubasi
hanya dilakukan untuk pemberian surfaktan jika ada
indikasi.
Level of evidence IB, derajat rekomendasi A
Resusitasi
• Pada bayi dengan RDS yang sudah diintubasi di kamar bersalin
akibat distres pernapasan, pemberian surfaktan dalam dua jam
pertama menurunkan risiko acute pulmonary injury, mortalitas,
maupun penyakit paru kronik.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
• Pemberian surfaktan dini dengan ekstubasi segera (<1 jam)
kemudian digantikan oleh NCPAP, dibandingkan dengan surfaktan
lambat dengan ventilasi mekanis kontinu dan ekstubasi ketika
dukungan ventilasi mekanis telah minimal, menurunkan kejadian
BPD dan pemakaian ventilasi mekanis selama perawatan.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
• Penggunaan T-piece rescucitator di tempat bayi dilahirkan
menurunkan risiko kegagalan CPAP.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
Stabilisasi
• Penggunaan radiant warmer meningkatkan insensible
water loss (IWL) sehingga perhitungan kebutuhan cairan
perlu disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap bayi.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
• Metode perawatan model kanguru (PMK) efektif untuk
mencegah hipotermia pada BBLR di sarana dengan
fasilitas terbatas.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
• Membungkus bayi dengan berat badan <1500 g
menggunakan plastik setinggi leher sampai kaki
mengurangi kejadian hipotermia.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
Stabilisasi
• Penggunaan udara yang telah dihangatkan dan dilembabkan
(heated and humidified air) mengurangi kejadian hipotermia pada
BBLR.
Level of evidence III, derajat rekomendasi C
• Pemberian terapi oksigen harus secara restricted dan terpantau
kadarnya dalam darah.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
• Terapi oksigen dalam kadar rendah menurunkan risiko ROP dan
BPD.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
• Penghentian terapi oksigen dilakukan secara bertahap.
Level of evidence IA, derajat rekomendasi A
SPO disusun oleh staf medis pada fasilitas
pelayanan kesehatan dan ditetapkan oleh
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
SPO harus selalu ditinjau kembali dan
diperbaharui sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun sekali sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
atau kedokteran gigi.
Standar Prosedur Operasional
1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan wajib
memprakarsai penyusunan SPO sesuai dengan jenis dan
strata fasilitas pelayanan kesehatan yang dipimpinnya.
2) SPO harus dijadikan panduan bagi seluruh
tenaga kesehatan difasilitas pelayanan kesehatan
dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.
3) SPO disusun dalam bentuk panduan praktis klinis
(clinical practice guidelines) yang dapat dilengkapi
dengan alur klinis (clinical pathway), algoritme,
protokol, prosedur atau standing order.
4) Panduan praktis klinis (PPK) harus memuat sekurang-
kurangnya mengenai pengertian, anamnesis,
pemeriksaan fisis, kriteria diagnosis, diagnosis banding,
pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi, prognosis, dan
kepustakaan
BENTUK SPO
Pelayanan Kedokteran
Panduan praktik klinis
(Clinical Practice Guideline)
Alur klinis (Clinical Pathways)
Algoritme
Protokol
Prosedur
Standing Orders
PENDEKATAN PENGELOLAAN PASIEN
• Diagnosis kerja
• Kondisi klinis

Standar pelayanan di RS :

Panduan Praktik Klinis


• Definisi dapat dilengkapi
• Anamnesis dengan
• Pemeriksaan fisis
Alur klinis
• Kriteria diagnosis Algoritme
• Diagnosis banding Protokol
• Pemeriksaan penunjang Prosedur
• Terapi Standing orders
• Edukasi
• Prognosis Kriteria pulang
• Kepustakaan
Djoti - Atmodjo
CLINICAL PATHWAY
Indikasi : No. Rekam Medis : :
Nama pasien : Tanggal Masuk :
Jenis kelamin : £ Laki-laki £ Perempuan Rujukan : £ Ya £ Tidak
Umur : Pengirim :
Diagnosa Awal : Appendisitis (Tanpa Komplikasi) DPJP :

HARI KE KETERANGAN
KEGIATAN URAIAN KEGIATAN
1 2 3 4 5 6 7
Diagnosis Pemeriksaan dokter Ö
Penunjang diagnosis
1. Laboratorium a. Darah Lengkap Ö
- Masa Perdarahan Ö
- Masa Pembekuan Ö
- Fungsi ginjal Ö
a. ureum
b. creatinin
- GDS Ö
2. Radiologi - Thorak Foto - Atas indikasi / > 40th
- USG - Atas indikasi
- Appendicogram - Atas indikasi
- EKG - Atas indikasi / > 40 th
Konsultasi - Dokter Bedah Umum Ö Ö Ö - DPJP
- Dokter Anestesi Ö - Pemeriksaan Pre
Operatif
- Dokter Internis - Atas indikasi
- Dokter Lainnya
Edukasi 1. Penjelasan Diagnosis Ö
Rencana tindakan
Tata cara
Tujuan
Resiko
Komplikasi
Prognosa, dll
Pengisian form 2. Rencana therapi Ö
- Lembar edukasi Ö Ditanda-tangani keluarga atau
- Informen concern Ö pasien, dokter, saksi
Tindakan medis dan Appendictomy
jadwal - Surat pengantar tindakan Ö
- jadwal rencana operasi
- golongan operasi
- jenis anestesi
- biaya
Prosedur administrasi - administrai + keuangan Ö
- pendaftaran ke kamar Ö - Bagian keperawatan
operasi
Persiapan Operasi STANDING ORDER
I Perawat - Persiapan puasa Ö 6-12 jam
- Mencukur (rambut ) di sekitar Sesuai SOP
daerah operasi
- Pemasangan IV line Ö Sesuai SOP
- Pemberian cairan (jenis) dan Ö Ö Ö Sesuai DPJP
jumlah tetesan RL/6 jam/kolf
- Pemasangan Dower Cateter Ö Sesuai SOP
- Memberi huknah clensing Ö Sesuai SOP
- Pemberian obat pre operasi Ö Sesuai SOP pemberian obat inj
- Antibiotik Didahului test alergi intrakulton
ceftriaxone 1 gr/cefotaxime 1 gr 0,1 cc
Diberikan pada diare dehidrasi berat atau intake yang tidak
terjamin.
≤ 2 tahun : ASERING system 24 jam
4 jam I : 5 tetes/kgBB/menit
20 jam II : 3 tetes/kgBB/menit
Asetat Ringer, karena asam asetat dimetabolisme
di otot menjadi bikarbonat. Asering sering dipakai
pada anak < 2 tahun karena fungsi heparnya
belum matang sehingga belum dapat mengubah
asam laktat menjadi bikarbonat.
>2 tahun : RINGER LAKTAT
1 jam I : 10 tetes/kgBB/menit
7 jam II : 3 tetes/kgBB/menit
RL, karena fungsi hati sudah sempurna
Kalau ada tanda-tanda asma berat:
I. Oxygen ½ - 2 l/menit
II. Nebulise ventolin (salbutamol),
dosis 2.5mg (1 ampul) kalau usia <5 tahun,
dosis 5mg (2 ampul) kalau > 5 tahun, selama 10 menit.
15 menit
III. Ulang nebuliser ventolin, dosis sama kalau masih sesak napas
15 menit
IV. Ulang nebuliser ventolin, dosis sama kalau masih sesak napas
15 menit
V. Kalau setelah 3 nebuliser belum ada perubahan, ini kategori
asma berat. Mulai aminophylline (loading dose dan setelah ini,
infus)
VI. Berikan dexamethasone iv
VII. Kalau ada kemungkinan juga ada infeksi saluran napas,
berikan antibiotika (lihat protocol pneumonia)

Anda mungkin juga menyukai