Djysthd
Djysthd
702018061
Pendahuluan
Hampir semua operasi di atau di bawah leher telah dilakukan di bawah anestesi neuraxial. Memang, operasi
jantung dan toraks telah dilakukan dengan cara ini. Namun, karena operasi intrathoracic, abdominal atas, dan
laparoskopi dapat secara signifikan mengganggu ventilasi, anestesi umum dengan intubasi endotrakeal
biasanya diperlukan.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa morbiditas pasca operasi - dan kemungkinan
kematian - dapat dikurangi ketika blokade neuraxial digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan
anestesi umum.
Blok neuraxial dapat mengurangi kejadian trombosis vena dan emboli paru, komplikasi jantung pada pasien
berisiko tinggi, kebutuhan perdarahan dan transfusi, oklusi graf vaskular, dan pneumonia dan depresi
pernafasan setelah operasi perut bagian atas atau dada pada pasien dengan penyakit paru kronis.
Anestesi regional juga dapat mempertahankan imunitas secara perioperatif, mengurangi risiko penyebaran
kanker menurut beberapa penelitian.
Anestesi spinal tanpa sedasi intravena dapat mengurangi kemungkinan delirium pasca operasi atau disfungsi
kognitif, yang kadang-kadang terlihat pada lansia. Sayangnya, beberapa, jika tidak sebagian besar, pasien
memerlukan sedasi selama jalannya prosedur, baik untuk kenyamanan atau untuk memfasilitasi kerjasama.
Tinjauan Pustaka
Geriatri
Pasien usia lanjut biasanya datang untuk operasi dengan beberapa kondisi medis kronis, selain penyakit
bedah akut. Usia bukan merupakan kontraindikasi untuk anestesi dan pembedahan; Namun, morbiditas
dan mortalitas perioperatif lebih besar pada lansia daripada pasien bedah yang lebih muda. Seperti
halnya pasien anak-anak, manajemen anestesi optimal pasien geriatri tergantung pada pemahaman
tentang perubahan normal dalam fisiologi, anatomi, dan respons terhadap agen farmakologis yang
menyertai penuaan.
Perubahan Anatomi dan Fisiologi Terkait Usia
Kardiovaskular
Penyakit kardiovaskular lebih banyak terjadi pada usia lanjut daripada populasi umum. Namun, penting untuk
membedakan antara perubahan dalam fisiologi yang biasanya menyertai penuaan dan patofisiologi penyakit yang
umum pada populasi geriatri.
Sistem Respirasi
Penuaan mengurangi elastisitas jaringan paru-paru, memungkinkan terlalu banyak alveoli dan kolapsnya saluran
udara kecil. Volume residu dan kapasitas residu fungsional meningkat seiring bertambahnya usia.
Fungsi Metabolik dan Endokrin
Konsumsi oksigen dasar dan maksimal menurun seiring bertambahnya usia. Sebelum mencapai berat badan puncak
pada usia sekitar 60 tahun, sebagian besar pria dan wanita mulai kehilangan berat badan; rata-rata pria dan wanita
lansia memiliki berat kurang dari rekan-rekan mereka yang lebih muda.
Fungsi Renal
Aliran darah ginjal dan massa ginjal (misalnya, jumlah glomerulus dan panjang tubulus) menurun seiring
bertambahnya usia. Fungsi ginjal, sebagaimana ditentukan oleh laju fltrasi glomerulus dan pembersihan kreatinin,
berkurang. Tingkat kreatinin serum tidak berubah karena penurunan massa otot dan produksi kreatinin, sedangkan
nitrogen urea darah meningkat secara bertahap seiring bertambahnya usia.
Fungsi Gastrointestinal
Massa hati dan aliran darah hati menurun dengan bertambahnya usia. Fungsi hati menurun secara proporsional
dengan penurunan massa hati. Dengan demikian, laju biotransformasi dan produksi albumin menurun. Kadar
cholinesterase plasma berkurang pada pria lanjut usia.
Sistem Nervous
Massa otak berkurang dengan bertambahnya usia; kehilangan saraf menonjol di korteks serebral, terutama lobus
frontal. Aliran darah otak juga menurun sekitar 10% hingga 20% sebanding dengan kehilangan neuron. Itu tetap erat
digabungkan ke tingkat metabolisme, dan autoregulasi masih utuh. Neuron kehilangan kompleksitas pohon dendritik
mereka dan jumlah sinapsis. Sintesis neurotransmitter, seperti dopamin, dan reseptor neurotransmitter berkurang. Situs
pengikatan serotonergik, adrenergik, dan gamma-aminobutyric acid (GABA) juga berkurang. Jumlah sel astrosit dan
mikroglial meningkat. Penuaan dikaitkan dengan peningkatan ambang batas untuk hampir semua modalitas
sensorik, termasuk sentuhan, sensasi suhu, proprioception, pendengaran, dan penglihatan.
Musculoskeletal
Massa otot berkurang pada pasien usia lanjut. Atrofi kulit dengan usia dan rentan terhadap trauma dari
pengangkatan pita perekat, bantalan elektrokauterik, dan elektroda elektrokardiografi. Vena sering rapuh dan
mudah pecah oleh infus intravena. Sendi rematik dapat mengganggu posisi atau anestesi regional. Penyakit tulang
belakang leher yang degeneratif dapat membatasi ekstensi leher, yang berpotensi membuat intubasi menjadi sulit.
Anestesi Spinal
Indikasi
Blok neuraxial dapat digunakan sendiri atau bersama dengan anestesi umum untuk sebagian besar prosedur
di bawah leher. Sebagai anestesi primer, blok-blok neuraxial terbukti paling berguna dalam operasi perut
bagian bawah, inguinal, urogenital, dubur, dan ekstremitas bawah. Operasi tulang belakang lumbal juga
dapat dilakukan dengan anestesi spinal.
Kontraindikasi
Kontraindikasi utama untuk anestesi neuraxial termasuk penolakan pasien, diatesis perdarahan, hipovolemia
berat, peningkatan tekanan intrakranial (terutama dengan massa intrakranial), dan infeksi di tempat injeksi.
Kontraindikasi relatif lainnya termasuk stenosis aorta atau mitral yang berat dan obstruksi aliran keluar
ventrikel kiri yang berat (kardiomiopati obstruktif hipertrofik).
Laporan Kasus
Kulit Leher
Warna kulit kuning langsat, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk (-),
keringat umum (-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), gerakan leher maksimal, jarak thyromental 3 jari.
pertumbuhan rambut normal.
Thorax
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-),
Tidak ada pembesaran KGB pada daerah leher, axilla, inguinal dan submandibula serta spider nevi (-).
tidak ada nyeri tekan.
Kepala Paru-paru
Normocephali, simetris, deformitas (-). I : statis, dinamis simetris kanan sama dengan kiri.
Mata P : stem fremitus semua lapang paru kanan sama dengan kiri.
Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, edema palpebra (-). P : sonor pada semua lapangan paru.
Hidung A : vesikuler (+/+) normal, ronchi (-/-), wheezing (-/-).
Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak Jantung
ditemukan penyumbatan maupun perdarahan.
Telinga I : ictus cordis tidak terlihat.
Nyeri tekan processus mastoideus (-), otorrhea (-), pendengaran baik. P : ictus cordis tidak teraba.
Mulut P : batas atas jantung ICS II linea parasternalis sinistra, batas
Mallampati II, jalan napas normal, tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), kanan ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri ICS V linea
atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), midclavicularis sinistra.
faring tidak ada kelainan. A : bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
I : datar, kulit tampak normal, venektasi (-), caput
medusa (-), distensi (-), massa (-).
A : bising usus (+) normal.
P : lemas, nyeri tekan regio hipocondriaca dextra (+),
Murphy sign (+), hepar dan lien tidak teraba, massa (-),turgor < 2
detik.
P : timpani pada seluruh lapang abdomen, shifting
dullness (-).
Ekstremitas
gerakan regio pedis dextra terbatas (+), nyeri regio pedis dextra
(+).
Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaanfisik dan pemeriksaan
penunjang, maka:
Diagnosis Klinis : Gangren dextra pedis
Diagnosis Anestesi : ASA II, mallampati II
Rencana Operasi :
Rencana Anestesi : Regional anestesi
Tatalaksana
Tatalaksana post operasi
IVFD RLgtt xx/menit
Ketorolac 2 x 30 mg
Pembahasan
Pasien masuk kamar OK diletakkan diatas operasi dengan posisi suppine, setelah itu pasien dipasang monitor vital
sign, TD menunjukkan 140/80 kemudian nadi 85 saturasi oksigen 100, kemudian pasien diperiksa infusnya.
Kemudian pasien diposisikan dalam keadaan duduk dengan memeluk bantal, kemudian dilakukan penyuntikan
pada L3-L4, dengan bupivacain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-22,5
mg serta menggunakan spinal jarum 25, setelah itu pasien diposisikan supine kembali, kemudian bromage score = 0
pada pasien. Selanjutnya dicek ketinggian blok, dimana ketinggian blok pada anestesi spinal tergantung dosis,
volume dan konsentrasi. Teknik anestesi spinal dengan low dose anestesi lokal dapat dijadikan pilihan untuk
menghindari komplikasi tersebut.
Pemilihan blok neuraxial (blok spinal) disini sudah tepat sesuai dengan indikasi karena blok neuraxial terbukti
paling berguna dalam operasi perut bagian bawah, inguinal, urogenital, dubur, dan ekstremitas bawah. Namun
kontraindikasi utama untuk anestesi neuraxial termasuk penolakan pasien, diatesis perdarahan, hipovolemia berat,
peningkatan tekanan intrakranial (terutama dengan massa intrakranial), dan infeksi di tempat injeksi. Namun,
dengan pemantauan ketat dan kontrol tingkat anestesi, anestesi neuraksial dapat dilakukan dengan aman pada
pasien dengan penyakit jantung valvular, terutama jika penyebaran luas anestesi dermatom tidak diperlukan.
Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan anestesi spinal yaitu hipotensi, maka pencegahan yang dapat
dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) secara cepat segera setelah
penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg. Kemudian dapat juga terjadi bradikardi,
bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis, Jika denyut jantung
di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg intravena.
Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu sakit kepala, sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu
komplikasi anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila
pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau
oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan
serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit
kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu
bantal) selama 24 jam.
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkanpenjelasan yang sudah dipaparkan dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
•Pemilihan anestesi regional dengan menggunakan spinal anestesi pada kasus ini sudah tepat karena sesuai
dengan indikasi.
•Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan anestesi spinal yaitu hipotensi, bradikardi, serta sakit sakit kepala
pasca operasi.
• Bromage score pada pasien ini adalah 0 yang menunjukkan pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan
jika Bromage score <3.