Anda di halaman 1dari 26

Manajemen Airways pada

Trauma Capitis
Disusun Oleh:
Ahmad Nabhan, S.Ked

Pembimbing:
dr. Susi Handayani, Sp.An
1. LatarBelakang
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok
usia produktif antara 15-44 tahun dan lebih didominasi oleh
laki-laki dibandingkan perempuan (Kasmaei, Asadi, Zohrevandi,
Raouf, 2015). Kasmaei et al (2015) dalam penelitiannya juga
menemukan bahwa 485 kasus dari 1000 pasien cedera kepala
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, 268 kasus
akibat jatuh. Data dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB)
didapatkan angka kematian akibat cedera kepala di luar kurang
lebih 17 per 100.000 korban dan 6 per 10.000 korban dibawa
ke rumah sakit. Di Indonesia, cedera kepala yang dirawat di
rumah sakit menjadi penyebab kematian urutan ketiga (4,37%)
setelah jantung dan stroke.
Klasifikasi Cedera Kepala

Berdasarkan ATLS (2004)


1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus.
Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005),
klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

Kehilangan kesadaran < 20 menit


Ringan Amnesia post traumatic < 24 jam
GCS = 13-15
Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤
36 jam
Sedang Amnesia post traumatic ≥ 24 jam dan ≤
7 hari
GCS = 9-12
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Berat Amnesia post traumatic > 7 hari
GCS = 3-8
1. Morfologi
Secara morfologi, cedera kepala dapat dibagi atas:2,4
a. Fraktur Kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak, yang dibagi atas:
1) Fraktur kalvaria :
- Bisa berbentuk garis atau bintang
- Depresi atau non depresi
- Terbuka atau tertutup
2) Fraktur dasar tengkorak:
- Dengan atau tanpa kebocoran cerebrospinal fluid (CSF)
- Dengan atau tanpa paresis N.VII
a. Lesi intrakranium
Dapat digolongkan menjadi:
1) Lesi fokal, yang terdiri dari:
- Perdarahan epidural
- Perdarahan subdural
- Perdarahan intraserebral

1) Lesi difus dapat berupa:


- Komosio ringan
- Komosia klasik
- Cedera akson difus
1. Prinsip penanganan awal

Prinsip penanganan awal pada pasien trauma meliputi survei primer


dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal
yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala
volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
a. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
b. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
c. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
d. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
e. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT
scan
f. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
g. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis.
Sumber : Clinical
Update Current
Management On
Emergency Cases
(2014)
2.7 Patofisiologi Cedera kepala

A. Cedera Otak Primer B. Cedera Otak Sekunder

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung Cedera otak sekunder
dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat merupakan lanjutan dari cedera
otak primer yang dapat terjadi
trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). karena adanya reaksi inflamasi,
Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk biokimia, pengaruh
neurotransmitter, gangguan
kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan autoregulasi, neuro-apoptosis
distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu dan inokulasi bakteri.

mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek


pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat
mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus
(Valadka, 1996).
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. R
TTL / Usia : 10 Juni 1984 / 35 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Jln. Siaran perumnas. No 996, Palembang
Pekerjaan : Penjual Kopi
No. MR : 57-14-30
MRS : 25 Maret 2019, pukul 09.10 WIB
Operasi : 25 Maret 2019, pukul 12.00 WIB
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
3.2.2 Keluhan Tambahan
Luka robek dan hematom di dahi disertai luka robek dan deformitas di regio femur dextra
3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien Tn. R laki-laki usia 35 tahun datang ke UGD RSMP dengan penurunan kesadaran karena mengalami kecelakaan lalu
lintas. Terdapat luka robek di kepala pasien dan terdapat hematom di regio frontal.
Lalu terdapat luka robek dan deformitas di regio femur sebelah kanan. Pasien sebelumnya tidak memiliki riwayat asma,
hipertensi dan tidak memiliki penyakit terdahulu di dalam keluarga.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat asma disangkal.
 Riwayat hipertensi disangkal.
 Riwayat diabetes melitus disangkal.
 Riwayat penyakit jantung disangkal.
 Riwayat penyakit ginjal disangkal.
 Riwayat penyakit hati atau penyakit kuning disangkal.
 Riwayat alergi obat disangkal.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada.
 Riwayat asma disangkal.
 Riwayat hipertensi disangkal.
 Riwayat diabetes melitus disangkal.
 Riwayat penyakit jantung disangkal.
 Riwayat penyakit ginjal disangkal.
 Riwayat penyakit hati atau penyakit kuning disangkal.
 Riwayat alergi obat disangkal.
3.2.5 Riwayat Sosial
 Riwayat merokok ada
 Riwayat konsumsi alkohol disangkal.
 Riwayat menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) disangkal.
3.2.6 Riwayat Obat-obatan
Riwayat mengkonsumsi obat-obatan disangkal.
3.3 Pemeriksaan Fisik
A. Fisik Umum

Keadaan Lemah
Umum
Kesadaran Delirium
B. Fisik Khusus
Tekanan 80/60
Darah PRIMARY SURVEY
Denyut Nadi 100x/menit
A: Unclear
Frekuensi 29x/menit B: Spontan RR 40-42x/menit, Ronki (+), wheezing (-)
napas
C: 70/palpasi : N:155-158x/menit, reguler bising (-)
Temperatur 35°C
D: E2M3V2, temp: 36,8°C
Tinggi Badan 165 cm

Berat Badan 67 kg
IMT
3.5 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
maka:
 Diagnosis Klinis: syok hipovolemik ec Trauma kepala dan fraktur femur
 Diagnosis Anestesi: ASA II, mallapati I
3.6 Tatalaksana
1. Pengelolaan jalan napas

a. Angkat dagu tekan dahi (Head tilt and chin lift)


Teknik ini dilakukan pada korban yang tidak mengalami trauma
pada kepala, leher maupun tulang belakang.
b. Pendorongan rahang bawah (jaw thrust)
Teknik ini digunakan sebagai pengganti teknik angkat dagu tekan
dahi. Teknik ini sangat sulit dilakukan tetapi merupakan teknik
yang aman untuk membuka jalan nafas bagi korban yang
mengalami trauma pada tulang belakang. Dengan teknik ini,
kepala dan leher korban dibuat dalam posisi alami atau normal.
c. Penatalaksanaan jalan nafas lebih lanjut (seperti intubasi
endotrakheal, cricotirotomi, atau tracheostomi).
2. Pemeriksaan Jalan Nafas

terbukanya jalan nafas dengan baik dan bersih sangat diperlukan untuk
pernafasan adekuat. Keadaan jalan nafas dapat ditentukan bila korban sadar,
respon dan dapat berbicara dengan penolong. Perhatikan pengucapannya
apakah baik atau terganggu, dan hati-hati memberikan penilaian untuk korban
dengan gangguan mental.

3. Membersihkan Jalan Nafas

a. Posisi Pemulihan
Bila korban dapat bernafas dengan baik dan tidak ada kecurigaan adanya
cedera leher, tulang punggung atau cedera lainnya yang dapat bertambah
parah akibat tindakan ini maka letakkan korban dalam posisi pemulihan atau
dikenal dengan istilah posisi miring mantap.
a. Sapuan Jari

Kita perlu segera melakukan intubasi bila :


a. GCS kurang dari 8,
b. pasien butuh ventilasi mekanik / kontrol pernafasan,
c. pasien dengan tiba-tiba memburuk akibat TBI, kerusakan ini perlu
pengamatan selama 72 jam setelah cedera awal, tetapi biasanya
cukup dalam 24 jam pertama.
Kriteria Intubasi:
a. GCS < 8
b. Pernafasan irregular
c. Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
d. Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
e. Vital capacity < 15 ml/kgBB
f. PaO2 < 70 mmHg
g. PaCO2 > 50 mmHg
4. Intubasi Endotrakeal

Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan


suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian
atas.
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk
mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas,
mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah
terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak
ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana
gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan
saluran trakeobronkial.
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki umur 35 tahun dengan kesadaran


menurun post trauma kepala masuk IGD RSMP dengan
keluhan utama kesadaran menurun dengan GCS 7
(E2M3V2). Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan
lalu lintas dimana pasien terjatuh dengan posisi kepala
membentur aspal. Sesaat tiba di UGD, dilakukan
pemeriksaan fisik dan didapatkan hasil: TD=130/80
mmHg, N=96x/menit, RR=28x/menit, T=36,5˚C dengan
GCS=7 (E2M3V2), pupil anisokor Φ 4 mm/2 mm. Pasien
segera diintubasi untuk menjaga stabilitas jalan napas dan
dipasang neck collar.
Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway.
Hipoksemia merupakan pembunuh utama penderita gawat
darurat dan paling cepat disebabkan oleh sumbatan jalan
napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan napas
harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu
pencegahan hipoksemia merupakan prioritas utama dengan
jalan napas dipertahankan terbuka, ventilasi adekuat, dan
pemberian oksigen.
Pada kasus ini pasien dalam keadaan tidak sadar, maka
dilakukan usaha untuk mempertahankan jalan napas dengan
cara definitif yakni berupa pemasangan intubasi endotrakeal.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan napas,
memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya
aspirasi. Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil
dilakukan monitoring.
Pasien diberikan cairan secukupnya yakni RL
sebanyak 28 tpm sebagai resusitasi korban agar tetap
normovolemia sekaligus mencegah terjadinya hipotensi.
Selanjutnya diberikan pengobatan seperti Ranitidin untuk
mencegah perdarahan gastrointestinal.
Pada kasus ini, oleh bagian bedah syaraf pasien
direncanakan untuk dilakukan kraniotomi, dimana setelah
dikraniotomi, pasien segera ditransfer ke ICU untuk
mendapatkan penanganan intensif.
Kesimpulan

Kasus ini menunjukkan bahwa dengan nilai GCS 7 pada pasien cedera kepala.
Dimana hal ini dapat dipengaruhi oleh efek buruk cedera kepala karena melalui
mekanisme langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi
beberapa saat setelah trauma terjadi sedangkan trauma secara tidak langsung
merupakan cedera otak sekunder yang bisa terjadi beberapa jam setelah kejadian
bahkan beberapa hari setelah penderita terpapar trauma. Cedera otak sekunder
terjadi karena perubahan aliran darah ke otak dan juga terjadi peningkatan tekanan
intrakranial karena meningkatnya volume isi kepala.Kedua mekanisme tersebut
memperberat cedera otak yang sudah ada.Cedera otak bisa menimbulkan dampak
fisik, kognitif, emosi dan sosial. Prognosis cedera otak bisa sangat bervariasi dari
mulai sembuh total sampai cacat menetap bahkan kematian.
THANKYOU

Anda mungkin juga menyukai