Anda di halaman 1dari 36

PERAN POLITIK

MUHAMMADIYAH
DARI MASA KE MASA
PENDAHULUAN
MUHAMMADIYAH DAN POLITIK
Ahmad Dahlan Sutan Mansyur Mas Mansyur AR. Fahruddin Syafii Ma’arif

KH. Ibrahim Din Syamsuddin


KH. Faqih Usman KH.M.Yunus Anis Azhar Basyir

KH. Hisyam KB. Hadikusumo KH.A.Badawi Amin Rais HAEDAR NASIR


Dalam pidato iftitah Muktamar Ke-47
Muhammadiyah di Makassar, Prof Din Syamsuddin
menawarkan tiga opsi politik bagi persyarikatan.

1. Bersikap netral dengan membangun kedekatan


yang sama dengan partai politik.
Muhammadiyah tidak terpengaruh dan tidak
terlibat dalam hiruk-pikuk kekuasaan

2. Mendirikan partai politik sebagai amal usaha


di mana Muhammadiyah menentukan
kepemimpinan dan kebijakan partai. Atau,
Muhammadiyah berafiliasi dengan partai
politik tertentu sebagai partai utama.
3. Tetap menjaga kedekatan yang sama dengan
partai politik, namun dalam situasi tertentu
mendukung calon eksekutif dan legislatif.
Orientasi politik Muhammadiyah bersifat adhoc
dan rasional dengan melihat individu dan partai
yang akan dipilih.

Ketiga pilihan tersebut dilaksanakan dengan tetap


mempertahankan jati diri Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah pencerahan yang berorientasi
kultural dan politik adiluhung untuk
memperjuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran,
keadaban, dan kemaslahatan
Muktamar ke-47 memilih alternatif pertama. Merujuk
Khittah Ujung Pandang (1971), Surabaya (1978), dan
Denpasar (2002), Muhammadiyah menegaskan tetap
dalam koridor dakwah dan menjaga netralitas politik.

Netralitas politik merupakan pilihan dan strategi agar


Muhammadiyah tetap independen, berwibawa, dan
mampu memelihara persatuan warganya.
Menjadi partai politik justru mengecilkan,
mereduksi, dan merusak wibawa
Muhammadiyah.

Citra Politik Sekarang ini citra partai politik


begitu buruk. Partai politik sangat identik
dengan korupsi, kemunafikan, dan rakus
kekuasaan
Dalam sejarah Indonesia, tak segelintir pun
organisasi dakwah yang bermetamorfosis menjadi
partai politik sukses mengemban misi politik
keumatan dan akhlaqul karimah.

Berafiliasi dengan partai politik tertentu akan


mengekslusi warga Muhammadiyah karena berafiliasi
kepada partai politik yang berbedabeda.

Pluralitas politik merupakan kekuatan yang


memungkinkan Muhammadiyah memainkan peran
politik kebangsaan
Aspirasi politik Muhammadiyah disalurkan melalui
para kader yang tersebar dalam berbagai partai
politik.

Netralitas Muhammadiyah dibangun di atas


pluralitas politik anggotanya. Muhammadiyah
adalah rumah besar yang di dalamnya semua
politikus merasa at home.

Apa pun partai politiknya, semua kader adalah ahlul


bait, anak kandung, bukan anak angkat atau anak
tiri.
Pengalaman berafiliasi dengan Masyumi dan Parmusi
menjadi pelajaran penting bagaimana
Muhammadiyah seharusnya memainkan peran
politiknya. Netralitas tidak berarti apolitik atau
antipolitik.

Muhammadiyah tidak boleh berpangku tangan


melihat kekisruhan dan kerusakan negara karena
kegagalan partai politik dalam melahirkan negarawan
dan pemimpin bangsa.

Masa depan Indonesia ditentukan oleh para politikus


dan elite partai
Muhammadiyah seharusnya mempersiapkan dan
mendukung kader politiknya yang mengabdi kepada
bangsa melalui partai politik.

Pilihan politik Muhammadiyah adalah politik


kebangsaan, bukan kepartaian. Politik dimaknai
sebagai hal-hal yang berhubungan dengan tata kelola
pemerintahan dan kenegaraan. Dalam konteks ini,
Muhammadiyah dapat mengambil tiga peran

1. Opinion maker
2. Political lobbist
3. Pressure group
MUHAMMADIYAH SEBAGAI OPINION
MAKER.
Muhammadiyah dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan gagasan kenegaraan. Dengan kekuatan
SDM dan kekayaan intelektualnya, Muhammadiyah
aktif memberikan masukan kepada pemerintah,
lembaga- lembaga negara, dan penyelenggara negara
melalui opini media massa, kajian kebijakan, atau
forum forum resmi.
Muhammadiyah menerbitkan buku :

1. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa (2009)


2. Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan
Kebangsaan yang Bermakna (2014), yang berisi
gagasan dan road map untuk mewujudkan
Indonesia yang berkemajuan sesuai cita-cita
proklamasi kemerdekaan.
MUHAMMADIYAH BERPERAN SEBAGAI POLITICAL
LOBBIST.

Dengan posisinya yang netral, Muhammadiyah dapat


melakukan komunikasi politik lintas partai dan
menyampaikan aspirasi secara leluasa kepada semua
kekuatan politik. Pada umumnya partai politik dan
pengambil kebijakan lebih apresiatif terhadap ide dan
pemikiran yang disampaikan langsung secara
tertutup.

Kritik terbuka melalui media massa, selain


menimbulkan polemik berkepanjangan dan
kegaduhan politik, juga kontraproduktif. Dengan
wibawa para pimpinannya, Muhammadiyah mampu
berperan sebagai pelobi politik yang berpengaruh
MUHAMMADIYAH BERPERAN SEBAGAI
PRESSURE GROUP.

Sejarah mencatat bagaimana Muhammadiyah melalui


para tokoh dan kekuatan jaringannya tampil sebagai
pressure group yang berpengaruh

Tekanan politik Muhammadiyah melalui Prof Amien Rais


dengan gerakan reformasi memaksa Presiden Soeharto
mengundurkan diri.

Jihad konstitusi yang dimotori Prof Din memaksa


pemerintah menyusun undang-undang migas dan sumber
daya air yang baru. Sebagai konsekuensi judicial reviewUU
Migas oleh Muhammadiyah, BP Migas tinggal sejarah dan
para mantan pimpinannya mendekam di penjara
Tanpa harus menjadi partai politik atau berafiliasi
kepada partai politik tertentu, Muhammadiyah tetap
dapat menjadi kekuatan politik yang kuat.
Muhammadiyah dapat memainkan peran politik
kebangsaan sebagai punggawa dan penjaga moral
bangsa

Anda mungkin juga menyukai