Anda di halaman 1dari 22

Hellenisme III

Neo-Platonisme
• Adalah Plato, bukan Aristoteles, yang menjadi pengaruh dominan
selama senjakala jaman klasik.
• Plotinus (205-270 M) adalah filsuf Pagan terakhir
• Karya Plotinus yang diedit setelah kematiannya terdiri dari enam
kelompok dalam Sembilan risalah (Enneads) oleh murid dan penulis
biografinya yakni Porphyry.
• Hal ini mencakup beragam topik filsafat: etika dan estetika, fisika dan
kosmologi, psikologi, metafisika, logika, dan epistemologi.
• Teologi Filsafati dalam dunia kuna memuncak pada sistem Plotinus.
• Hal ini dirangkumkan oleh Bertrand Russell: ‘The metaphysics of
Plotinus begins with a Holy Trinity: The One, Spirit, and Soul. These
three are not equal, like the Persons of the Christian Trinity: The One
is supreme, Spirit comes next, and Soul last’ (History of Western
Philosophy:292)
• Anthony Kenny, merangkum ketiga ini sebagai:
• The One (to hen) atau Yang Esa adalah Tuhan Platonik
• Intelect (nous) atau Intelek adalah Tuhan Aristotelian
• Soul (psyke) atau Jiwa adalah Tuhan Stoik
The One atau Yang Esa
• The One atau Yang Esa adalah turunan dari the One dari dialog
Parmenides atau Ide mengenai Yang Baik dari dialog Republik Plato.
• The One atau yang Esa, ia harus ditekankan, bukankah sebuah nama
bagi yang pertama dari serangkaian jumlah yang ada di alam,
melainkan ia bermakna bahwa segala sesuatu adalah sederhana dan
tak terbagi, serta unik.
• Dalam mengatakan bahwa the One (Yang Esa) dan the Good (yang
Baik) melampaui yang ada, ia tidak berarti bahwa ia tidak ada:
sebaliknya, ia adalah yang paling nyata dari segala sesuatu yang ada.
• Persoalan: Appearance vs Reality
• Ia bermakna bahwa tidak ada predikat yang dapat disematkan
padaNya: kita tidak dapat mengatakan bahwa ia adalah ini atau ia
adalah itu.
• Jika tidak ada predikat yang dapat disematkan kepada the One (yang
Esa), tidaklah mengejutkan jika kita terbawa ke dalam kontradiksi
manakala kita mencoba melakukan hal tersebut.
• Being (yang ada), bagi seorang Platonis, adalah alam kenyataan dari
apa yang kita benar-benar ketahui—berlawanan dengan Becoming
(menjadi) yang merupakan objek dari kepercayaan semata.
• Namun jika the One (yang Esa) melampaui being (yang ada), maka ia
juga melampaui pengetahuan
• ‘Kesadaran kita mengenai hal itu tidaklah lewat ilmu atau
pemahaman, sebagaimana dengan objek-objek intelek lainnya,
melainkan dengan cara suatu kehadiran yang lebih tinggi dari
pengetahuan’.
• Karena the One (yang Esa) adalah yang tidak diketahui , ia juga tidak
dapat dikatakan.
• Setiap pernyataan mengenai the One senyatanya adalah pernyataan
mengenai ciptaan-ciptaannya.
• Kita menyadari dengan baik kerapuhan kita: kekurangan kecukupan-
diri kita dan kekurangan kita akan kesempurnaan.
Intellect (Nous)
• Seperti halnya Tuhan dari Aristoteles, Intelek adalah aktivitas murni
(actus purus), dan tidak dapat memikirkan segala sesuatu di luar
dirinya karena hal ini akan melibatkan potensialitas.
• Namun aktivitasnya bukanlah pemikiran dari pemikiran semata—
entah iya atau tidak hal ini adalah ajaran Aristoteles—ia adalah
pemikiran dari seluruh Ide-ide Platonik.
• Hal-hal ini bukanlah entitas eksternal: sebagaimana Aristoteles sendiri
menekankannya sebagai aturan universal, aktualitas dari intelek dan
aktualitas dari objek intelek adalah satu dan sama.
• Sehingga hidup dari Ide-ide tidak lain adalah aktivitas Intelek.
• SUPREME BEING (ADA TERTINGGI)
• Total Actual (Aktualitas Total) (aktualitas murni)

• Human (Manusia) (rasio)


• Hewan (insting)

• Tanaman (vegetatif)

• Tanah (benda)
• Total Potential (Potensialitas Total) (materi murni)
• Intelek adalah semesta yang dapat dipikirkan, berisikan bentuk-
bentuk tidak hanya yang universal namun juga individual-individual.
• Di luar kesamaan antara pemikir dan pemikiran, keanekaragaman Ide-
ide berarti bahwa Intelek tidak memiliki kesederhanaan total yang
merupakan milik dari the One (yang Esa).
• Memang, ia adalah kompleksitas dari Intelek ini yang meyakinkan
Plotinus bahwa di sana mesti terdapat sesuatu yang lain yang
mendahului dan melebihi hal tersebut.
• Bagi Plotinus, ia percaya setiap bentuk dari kompleksitas harus
bergantung sepenuhnya pada sesuatu yang sederhana.
• Ini adalah dunia Ada, Pemikiran, dan Hidup, dan meskipun ini adalah
dunia Intelek, ia juga mengandung hasrat sebagai elemen yang
esensial.
• Berpikir memang di dalam dirinya sendiri adalah hasrat sebagaimana
penglihatan adalah hasrat dari melihat.
• Pengetahuan juga adalah hasrat, namun hasrat yang terpuaskan.
• Di dalam Intelek, hasrat adalah ‘selalu menghasrati dan selalu
mencapai hasratnya’
• Bagaimana Intelek berasal?
• Tidak diragukan Intelek mengasalkan adanya dari the One (yang Esa).
• Dari Intelek menghasilkan elemen ketiga yakni Soul (psyche) atau
Jiwa.
Soul (psyche) atau Jiwa
• Jiwa adalah yang imanen, mengendalikan elemen di dalam kodrat
alam semesta, sebagaimana Tuhan dalam sistem Stoik, namun
berbeda dari Tuhan Stoik Jiwa bukanlah sesuatu yang menubuh.
• Intelek adalah pencipta dari semesta, seperti Demiurgos dalam teks
Timaeus, tapi Jiwa adalah pelaku intelek dalam pengelolaan
perkembangannya.
• Jiwa menghubungkan dunia intelek dengan dunia inderawi, memiliki
elemen internal yang melihat ke atas pada Intelek dan elemen
eksternal yang melihat ke bawah kepada Alam.
• Alam adalah prinsip imanen dari perkembangan dalam dunia
material: Jiwa, melihat padanya, melihat ada bayangannya sendiri.
• Dunia fisik dianyamkan oleh Alam adalah suatu ketakjuban dan
keindahan meskipun substansinya adalah suatu semacam mimpi yang
dibuat daripadanya.
• Sistem teologi Plotinus memang mengesankan.
• Untuk memahami ini , kita harus mengeksplorasi sistem dari bawah
ke atas ketimbang melihat dari atas ke bawah.
• Kita harus mulai bukan dengan the One (yang Esa), melainkan dengan
materi, batas paling luar dari realitas.
• Plotinus mengambil permulaannya dari prinsip-prinsip Platonik dan
Aristotelian yang diterima secara luas.

Anda mungkin juga menyukai