0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
293 tayangan21 halaman
Epikureanisme dan Stoisisme adalah aliran filsafat utama pada masa Hellenisme yang muncul setelah kekuasaan Aleksander Agung. Epikureanisme menempatkan kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi dan menganjurkan hidup sederhana, sedangkan Stoisisme menekankan penyesuaian diri dengan hukum alam dan pencapaian kemandirian manusia.
Epikureanisme dan Stoisisme adalah aliran filsafat utama pada masa Hellenisme yang muncul setelah kekuasaan Aleksander Agung. Epikureanisme menempatkan kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi dan menganjurkan hidup sederhana, sedangkan Stoisisme menekankan penyesuaian diri dengan hukum alam dan pencapaian kemandirian manusia.
Epikureanisme dan Stoisisme adalah aliran filsafat utama pada masa Hellenisme yang muncul setelah kekuasaan Aleksander Agung. Epikureanisme menempatkan kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi dan menganjurkan hidup sederhana, sedangkan Stoisisme menekankan penyesuaian diri dengan hukum alam dan pencapaian kemandirian manusia.
Kekuasaan Aleksander Agung Hellenisme • Aliran filsafat utama pada masa ini: • Pythagoreanisme • Sophisme • Sinisme • Syrenaisme • Platonisme • Peripatetisisme • Pyrrhoisme • Epikureanisme • Stoisisme • Neopythagoreanisme • Neoplatonisme Epikureanisme • Pendiri: Epikuros • Epikuros adalah seorang atomis materialis yang mengikuti jejak dari Demokritos. • Materialismenya membawa ia kepada serangan secara umum pada tahayul dan intervensi ilahiah. • Mengikuti Aristippos, Epikuros percaya apa yang ia namakan “kenikmatan” adalah kebaikan tertinggi, namun cara untuk memperoleh kenikmatan yang demikian itu adalah melalui hidup secara sederhana, melalui pengetahuan bagaimana dunia bekerja, dan melalui pembatasan hawa nafsu seseorang. • Yang baik adalah yang menghasilkan rasa nikmat. • Yang buruk adalah yang menghasilkan rasa sakit. • Kenikmatan lebih bersifat ruhani dan luhur daripada jasmani. • Hakikat kenikmatan adalah ketentraman jiwa yang tenang, ataraxia, yakni kebebasan dari perasaan risau. • Kenikmatan dilihat secara negatif sebagai kebebasan dari rasa sakit dan penderitaan apathia, bukan sebagai perasaan puas. • Menegaskan kebijaksanaan. • Orang bijaksana adalah seniman hidup, pandai mempertimbangkan apakah ia memilih rasa nikmat atau rasa sakit. • Menganjurkan agar selalu menguasai diri. • Orang bijaksana tidak memperbanyak kebutuhan melainkan membatasi kebutuhan-kebutuhannya. • Epikurianisme tidak mencari nikmat sebanyak-banyaknya, melainkan memaklumkan seni kehidupan yang memaksimalkan ketenangan dan kebebasan dari penderitaan. • Memuji keutamaan-keutamaan seperti: kesederhanaan, tahu diri, penguasaan diri, dan kegembiraan dalam semua situasi. Stoisisme • Pendiri: Zeno dari Kition • Kaum Stoa mengajarkan bahwa emosi merupakan hasil dari keputusan keliru yang destruktif, karena hubungan aktif antara determinisme kosmis dan kebebasan manusia, serta suatu kepercayaan bahwa sangatlah bajik atau utama untuk menjaga kehendak (dinamakan prohairesis) bahwa hal tersebut selaras dengan alam. • Karena hal ini, Kaum Stoa menghadirkan filsafat mereka sebagai suatu jalan hidup (lex divina), dan mereka berpikir bahwa indikasi terbaik dari filsafat seseorang bukanlah apa yang ia katakan melainkan apa yang ia lakukan. • Pendiri: Zenon dari Kition (300 SM) • Tokoh-tokoh lainnya: Cicero, Seneca, Epiktetus, Marcus Aurelius. • Kosmologi: • Yang Ilahi dan alam menyatu. • Bersifat monistik: dunia sekaligus materiil, ilahi, dan rasional • Merupakan kesatuan homogen namun tertata secara hirarkhis. • Kosmos, alam semesta, diresapi oleh Logos, akal budi ilahi. • Logos adalah hukum alam universal yang mendasari segala gerak, yang menentukan apapun yang terjadi => determinisme mutlak. • Manusia, termasuk pikirannya, tidak lepas dari determinasi mutlak ini. • Ia berada sepenuhnya berada di bawah takdir (fatum) Etika • Prinsip dasar etika Stoa: • Penyesuaian diri dengan hukum alam. • Oikesis = mengambil sebagai milik. • Artinya, dalam proses penyesuaian itu manusia, langkah demi langkah, menjadikan alam semesta sebagai miliknya, yang pertama tubuhnya sendiri, lalu lingkungan dekat, akhirnya seluruh realitas => semakin menyatu dengan realitas = identitas manusia yang sesungguhnya • Perbuatan baik = menyesuaikan diri dengan hukum alam • Perbuatan buruk = tidak menyesuaikan diri dengan hukum alam • Orang bijak => menerima apa yang tidak bisa dihindarinya. • “ducunt volentem fata, nolentem trahunt: apabila engkau setuju, takdir membimbingmu; apabila tidak, takdir memaksa” (Seneca) • Bagaimanapun kita tidak dapat lepas dari fatum, takdir semesta. • Kebebasan Manusia • Kebebasan tidak berarti manusia bebas dari takdir. • Manusia mencapai kebebasan apabila ia dengan sadar dan rela menyesuaikan diri dalam hukum alam yang tidak terelakkan itu. • Apabila ia menerima apa yang telah ditentukan oleh logos ilahi, maka ia tidak akan terjadi sesuatu padanya melawan kehendaknya. • Dengan tunduk terhadap hukum alam, manusia hanya tunduk terhadap dirinya sendiri. • Apa pun yang terjadi terhadap dirinya adalah kehendaknya sendiri => ia bebas secara sempurna • Manusia yang telah bijaksana menerima takdirnya sama seperti ia menerima bahwa ia tumbuh dan menjadi dewasa (Bdk. Jawa sikap narima) • Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita autarkia • Autarkia adalah kemandirian manusia di dalam dirinya sendiri. • Autarkia adalah pertahanan diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia. • Dalam menyatu dengan seluruh realitas, manusia tidak tergantung lagi pada apapun di luarnya. • Dalam situasi apapun ia berada pada dirinya sendiri. Ia adalah autark. • Manusia autark menerima Ataraxia (bebas dari perasaan risau) dan Apathia (bebas dari perasaan sakit dan penderitaan). • Nikmat atau sakit baginya sama saja. • Menyatu dengan alam => Tidak mengizinkan dirinya digoyangkan ataupun disentuh oleh yang fana. • Etika Stoa = etika yang keras, yang menekankan peran kehendak. • Kebahagiaan terletak dalam keutamaan moral sendiri, dalam kehendak untuk melakukan kewajiban (to kathekon, to katorthoma). • Keutamaan bagi Stoa terdiri dalam kesadaran akan kewajiban; ia menuntut agar manusia menyangkal diri, melepaskan diri dari segala kebergantungan kepada benda-benda duniawi. • Berhadapan dengan kewajiban akal budi itu, nilai-nilai duniawi tidak berarti apa-apa (indifferent, adiphora). • Stoa menekankan bahwa manusia harus bersikap keras terhadap dirinya sendiri. • “Terimalah dan lepaskanlah” (anechou kai apechou) • Itulah tuntutan dasar ajaran moral Stoa. • Cita-cita Stoa adalah ho Sophos, si bijaksana. • Ia telah mengalahkan hawa nafsu dan dorongan irasional. • Ia bahagia karena mengetahui diri berada dalam keselarasan sempurna dengan hukum ilahi yang meresapi seluruh alam semesta. • Ia tidak menderita karena telah mematikan hawa nafsu dan mencapai ketenanga jiwa. • Apa pun yang terjadi tidak dapat membuatnya gusar lagi • Sikap Stoikal: ketenangan hati yang tidak dapat digoyahkan. Apa pun dapat diterima