Anda di halaman 1dari 47

PROSES KEPERAWATAN

SPIRITUAL CARE

1 .
PENGKAJIAN
 Pengkajian spiritual menurut Kozier et al (2004)
terdiri dari pengkajian riwayat keperawatan dan
pengkajian klinik. Pada pengkajian riwayat
keperawatan semua pasien diberikan satu atau
dua pertanyaan misalnya ‟apakah keyakinan
dan praktek spiritual penting untuk anda
sekarang?”, bagaimana perawat dapat
memberikan dukungan spiritual pada anda?”.
 Pasien yang memperlihatkan beberapa
kebutuhan spiritual yang tidak sehat yang
beresiko mengalami distres spiritualharus
dilakukan pengkajian spiritual lebih lanjut.
2
PADA PENGKAJIAN KLINIK MENURUT
KOZIER ET AL (2004) MELIPUTI :
 Lingkungan yaitu apakah pasien memiliki kitab
suci atau dilingkungannya terdapat kitab suci
atau buku doa lainnya, literatur-literatur
keagamaan, penghargaan keagamaan, simbol
keagamaan misalnya tasbih, salib dan
sebagainya diruangan? Apakah gereja atau
mesjid mengirimkan bunga atau buletin?.
 Perilaku yaitu apakah pasien berdoa sebelum
makan atau pada waktu lainnya atau membaca
literatur keagamaan? Apakah pasien mengalami
mimpi buruk dan gangguan tidur atau
mengekspresikan kemarahan pada Tuhan? 3
a. Verbalisasi yaitu apakah pasien menyebutkan
tentang Tuhan atau kekuatan yang Maha Tinggi,
tentang doa-doa, keyakinan, mesjid, gereja, kuil,
pemimpin spiritual, atau topik-topik keagamaan?
Apakah pasien menanyakan tentang kunjungan
pemuka agama? Apakah pasien mengekspresikan
ketakutannya akan kematian?
b. Afek dan sikap yaitu apakah pasien menunjukkan
tanda-tanda kesepian, depresi, marah, cemas,
apatis atau tampak tekun berdoa?
c. Hubungan interpersonal yaitu siapa yang
berkunjung? Apakah pasien berespon terhadap
pengunjung? Apakah ada pemuka agama yang
datang? Apakah pasien bersosialisasi dengan
4
pasien lainnya atau staf perawat?.
*

5
AFILASI AGAMA

a. Partisipasi klien dalam kegiatan


agama apakah dilakukan secara
aktif atau tidak aktif.
b. Jenis partisipasi dalam kegiatan
agama.

6
KEYAKINAN AGAMA ATAU
SPIRITUAL, MEMPENGARUHI:

 Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima


terapi, ritual atau upacara agama.
 Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap
keyakinan.
 Strategi koping.

7
NILAI AGAMA ATAU SPIRITUAL,
MEMPENGARUHI:

 Tujuan dan arti hidup.


 Tujuan dan arti kematian.
 Kesehatan dan pemeliharaannya.
 Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang
lain.

8
PENGKAJIAN DATA SUBJEKTIF

 Pedoman Pengkajian Spiritual yang disusun oleh


Stoll dalam Craven & Hirnle (1996) mencakup
empat area yaitu:
a) Konsep tentang Tuhan atau Ketuhanan;
b) Sumber harapan dan kekuatan;
c) Praktik agama dan ritual;
d) Hubungan antara keyakinin spiritual dan kondisi
kesehatan.
9
PENGKAJIAN DATA OBJEKTIF

Pengkajian data objektif dilakukan melalui


pengkajian klinik yang meliputi pengkajian
afek dan sikap, perilaku, verbalisasi,
hubungan interpersonal dan
lingkungan. Pengkajian data objektif
terutama dilakukan melalui observasi.

10
KARAKTERISTIK KLIEN YANG
MENGALAMI DISTRESS SPIRITUAL :
 Klien yang tampak kesepian dan sedikit
pengunjung,
 Klien yang mengekspresikan rasa takut dan
cemas,
 Klien yang mengekspresikan keraguan
terhadap sistem kepercayaan/agama,
 Klien yang mengekspresikan rasa takut
terhadap kematian,
 Klien yang akan dioperasi,
 Penyakit yang berhubungan dengan emosi
atau implikasi sosial dan agama.
 Mengubah gaya hidup 11
 Preokupasi ttg hbg agama dan kesehatan,
 Tidak dpt dikunjungi oleh pemuka agama,
 Tdk mampu / menolak melakukan ritual
spiritual,
 Memverbalisasikan bahwa penyakit yang
dideritanya merupakan hukuman dari Tuhan,
 Mengespresikan kemarahannya thd Tuhan,
 Mempertanyakan rencana terapi karena
bertentangan dengan keyakinan agama.
 Sedang menghadapi sakratul maut (dying). 12
DIAGNOSA KEPERAWATAN

13
O′Brien (1998, 69) mengatakan bahwa peran perawat
dalam merumuskan diagnosa keperawatan terkait
dengan spiritual pasien mengacu pada distresspiritual
yaitu spiritual pain, pengasingan diri (spiritual
alienation), kecemasan (spiritual anxiety), rasa bersalah
(spiritual guilt), marah (spiritual anger), kehilangan
(spiritual loss), putus asa (spiritual despair). Distres
spiritualselanjutnya dijabarkan dengan lebih spesifik
sebagai berikut :
14
A. SPIRITUAL PAIN

Spiritual painmerupakan ekspresi atau ungkapan


dari ketidaknyamanan pasien akan hubungannya
dengan Tuhan. Pasien dengan penyakit terminal
atau penyakit kronis mengalami gangguan
spiritual dengan mengatakan bahwa pasien
merasa hampa karena selama hidupnya tidak
sesuai dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan ini
lebih menonjol ketika pasien menjelang ajal.
15
B. PENGASINGAN DIRI (SPIRITUAL
ALIENATION)

Pengasingan diri diekspresikan pasien


melalui ungkapan bahwa pasien merasa
kesepian atau merasa Tuhan menjauhi
dirinya. Pasien dengan penyakit kronis
merasa frustasi sehingga bertanya : dimana
Tuhan ketika saya butuh Dia hadir?

16
C. KECEMASAN (SPIRITUAL ANXIETY)

Dibuktikan dengan ekspresi takut akan


siksaan dan hukuman Tuhan, takut Tuhan
tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai
tingkahlakunya. Beberapa budaya
meyakini bahwa penyakit merupakan
suatu hukuman dari Tuhan karena
kesalahan-kesalahan yang dilakukan
semasa hidupnya.
17
D. RASA BERSALAH (SPIRITUAL GUILT)

Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal


melakukan hal-hal yang seharusnya dia
lakukan dalam hidupnya atau mengakui
telah melakukan hal-hal yang tidak disukai
Tuhan.

18
E. MARAH (SPIRITUAL ANGER)

Pasien mengekspresikan frustasi,


kesedihan yang mendalam, Tuhan
kejam. Keluarga pasien juga marah
dengan mengatakan mengapa Tuhan
mengijinkan orang yang mereka
cintai menderita.

19
F. KEHILANGAN (SPIRITUAL LOSS)

Pasien mengungkapkan bahwa dirinya


kehilangan cinta dari Tuhan, takut bahwa
hubungannya dengan Tuhan terancam,
perasaan yang kosong. Kehilangan sering
diartikan dengan depresi, merasa tidak
berguna dan tidak berdaya.

20
G. PUTUS ASA (SPIRITUAL DESPAIR)

Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada


harapan untuk memiliki suatu hubungan
dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia.
Secara umum orang-orang yang beriman
sangat jarang mengalami keputusasaan.

21
DIAGNOSA KEPERAWATAN TERKAIT KEBUTUHAN
SPIRITUAL MENURUT NANDA (2012) ANTARA LAIN:

a) Distress spiritual yang berhubungan


dengan konflik nilai, isolasi oleh orang
lain, rasa takut, terpisah dari komunitas
keagamaan,
b) Cemas yang berhubungan dengan
ancaman kematian, perubahan status
kesehatan,
c) Keputusasaan yang berhubungan
dengan kehilangan keyakinan kepada
Tuhan, diabaikan oleh keluarga. 22
DIAGNOSA LAIN YG MUNGKIN MUNCUL

 Gangguan penyesuaian terhadap


penyakit b/d ketidakmampuan
merekonsiliasi penyakit dengan
keyakinan spiritual.
 Koping individu tidak efektif b/d
kehilangan agama sebagai dukungan
utama (merasa ditinggal oleh Tuhan).
 Takut b/d belum siap untukmenghadapi
kematian dan pengalaman kehidupan
setelah kematian.
 Berduka yang disfungsional:
keputusasaan b/d keyakinan bahwa
agama tidak mempunyai arti. 23
.  Keputusasaan b/d keyakinan bahwa tidak
ada yang peduli termasuk Tuhan.
 Ketidakberdayaan b/d parasaan menjadi
korban.
 Ggn harga diri b/d kegagalan untuk hidup
sesuai dengan ajaran agama.
 Disfungsi seksual b/d konflik nilai.

 Ggn pola tidur b/d distress spiritual.

 Resiko tindak kekerasan thd diri sendiri b/d


perasaan bahwa hidup ini tidak berarti.
24
PERENCANAAN
Tujuan asuhan keperawatan pada klien yang
mengalami distress spiritual harus difokuskan
pada menciptakan lingkungan yang mendukung
praktik keagamaan dan keyakinan yang biasanya
dilakukan. Tujuan ditetapkan secara individual
dengan mempertimbangkan riwayat klien, area
beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data
objektif yang relevan.
25
Pada fase rencana keperawatan, perawat
membantu pasien untuk mencapai tujuan
yaitu memelihara atau memulihkan
kesejahteraan spiritual sehingga kepuasan
spiritual dapat terwujud. Rencanaan
keperawatan sesuai dengan diagnosa
keperawatan berdasarkan NANDA (2012)
meliputi :

26
a. Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien
dalam beragama, mengkaji sumber-sumber
harapan dan kekuatan pasien,
mendengarkan pendapat pasien tentang
hubungan spiritual dan kesehatan,
memberikan privasi, waktu dan tempat bagi
pasien untuk melakukan praktek spiritual,
menjelaskan pentingnya hubungan dengan
Tuhan, empati terhadap perasaan pasien,
kolaborasi dengan pemuka agama,
meyakinkan pasien bahwa perawat selalu
mendukung pasien. 27
b. Menggunakan pendekatan yang menenangkan
pasien, menjelaskan semua prosedur dan apa
yang akan dirasakan pasien selama prosedur,
mendampingi pasien untuk memberikan rasa
aman dan mengurangi rasa takut,
memberikan informasi tentang penyakit
pasien, melibatkan keluarga untuk
mendampingi pasien, mengajarkan dan
menganjurkan pasien untuk menggunakan
tehnik relaksasi, mendengarkan pasien
dengan aktif, membantu pasien mengenali
situasi yang menimbulkan kecemasan,
mendorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, dan persepsi.
28
c. Membantu pasien untuk
beradaptasi terhadap perubahan
atau ancaman dalam kehidupan,
meningkatkan hubungan
interpersonal pasien, memberikan
rasa aman.

29
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Perawat dapat menggunakan empat alat/instrumen
spiritual untuk membantu perawat dalam
melaksanakan spiritual care yaitu:
1. Perawat perlu mendengarkan pasien,
2. Perawat perlu hadir setiap saat untuk pasien,
3. Kemampuan perawat untuk menerima apa yang
disampaikan pasien, dan
4. Menyikapi dengan bijaksana keterbukaan pasien
pada perawat. (Govier, 2000). 30
PENELITIAN CAVENDISH (2003) DAN NARAYANASAMY (2004)
MENYIMPULKAN BAHWA KEGIATAN PERAWAT DALAM
IMPLEMENTASI SPIRITUAL PASIEN ADALAH ANTARA LAIN :

Mendukung spiritual pasien,


pendampingan/kehadiran, mendengarkan
dengan aktif, humor, terapi sentuhan,
meningkatkan kesadaran diri, menghormati
privasi, dan menghibur misalnya dengan
terapi musik.

31
 Kozier et al (2004) mengatakan bahwa
perawat perlu mempertimbangkan
praktek keagamaan tertentu yang akan
mempengaruhi asuhan keperawatan,
seperti keyakinan pasien tentang
kelahiran, kematian, berpakaian, berdoa,
dan perawat perlu mendukung spiritual
pasien.

32
 Kehadiran menurut Zerwekh (1997 dalam Kozier
et al, 2004) diartikan bahwa perawat hadir dan
menyatu dengan pasien.

33
Osterman dan Schwartz-Barcott (1996 dalam Kozier et
al, 2004) mengidentifikasi empat cara pendampingan
untuk pasien yaitu
1. Presensi yakni ketika perawat secara fisik hadir
tetapi tidak fokus pada pasien
2. Presensi parsial yakni ketika perawat secara fisik
hadir dan mulai berusaha fokus pada pasien,
3. Presensi penuh yakni ketika perawat hadir
disamping pasien baik secara fisik, mental maupun
emosional, dan dengan sengaja memfokuskan diri
pada pasien,
4. Presensi transenden yakni ketika perawat hadir
baik secara fisik, mental, emosional, maupun
spiritual. 34
Membantu berdoa atau mendoakan pasien juga
merupakan salah satu tindakan keperawatan
terkait spiritual pasien. Berdoa melibatkan rasa
cinta dan keterhubungan. Pasien dapat memilih
untuk berpartisipasi secara pribadi atau secara
kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka
agama. Pada situasi ini peran perawat adalah
memastikan ketenangan lingkungan dan privasi
pasien terjaga.

35
Keadaan sakit dapat mempengaruhi kemampuan
pasien untuk berdoa. Pada beberapa rumah sakit
pasien dapat meminta perawat untuk berdoa
dengan mereka dan ada yang berdoa dengan
pasien hanya bila ada kesepakatan antara pasien
dengan perawat. Karena berdoa melibatkan
perasaan yang dalam, perawat perlu menyediakan
waktu bersama pasien setelah selesai berdoa,
untuk memberikan kesempatan pada pasien untuk
mengekspresikan perasaannya (Kozier et al, 2004).

36
Menurut Kozier et al (2004) perawat perlu
juga merujuk pasien kepada pemuka
agama. Rujukan mungkin diperlukan
ketika perawat membuat diagnosa distres
spiritual, perawat dan pemuka agama
dapat bekerjasama untuk memenuhi
kebutuhan spiritual pasien.

37
McSherry (2010) mengatakan bahwa
dalam implementasi perawat harus
peduli, penuh kasih, gembira, ramah
dalam berinteraksi, dan menghargai
privasi.

38
EVALUASI

Untuk melengkapi siklus proses keperawatan


spiritual pasien, perawat harus melakukan
evaluasi yaitu dengan menentukan apakah tujuan
telah tercapai. Hal ini sulit dilakukan karena
dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih
kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari
implementasi yang telah dilakukan tampaknya
menjadi cara yang baik untuk mengevaluasi
spiritual care pasien (Govier, 2000). 39
Hasil penelitian Narayanasamy (2004) mengatakan
bahwa pada tahap evaluasi perawat menilai bagaimana
efek pada pasien dan keluarga pasien dimana
diharapkan ada efek yang positif terhadap pasien dan
keluarganya, misalnya pasien dan keluarganya
mengungkapkan bahwa kebutuhan spiritual mereka
terpenuhi, mengucapkan terimakasih karena sudah
menyediakan pemuka agama.

40
Hasil penelitian Amankwaa (2009) merekomendasikan
empat hal untuk meningkatkan peran manajer
perawat dalam memberikan spiritual care :

41
A. MENYERTAKAN ASPEK SPIRITUALITAS
DALAM PELATIHAN KEPEMIMPINAN

 Harus ada pedoman yang menjelaskan tentang


manfaat spiritual care untuk pasien. Manajer
perawat dapat melaksanakan perannya melalui
pendidikan dan pelatihan.

42
B. MENDUKUNG STAF

Spiritual care harus menjadi perawatan


yang rutin. Manajer perawat memiliki
kemampuan untuk mengembangkan
kebijakan terkait spiritual care. Manajer
perawat harus mendukung staf perawat,
karena memberikan spiritual care dapat
meningkatkan hubungan antara perawat
dengan pasien dan meningkatkan hasil
perawatan sehingga menghasilkan
kepuasan bagi pasien dan perawat.
43
C. ADVOKASI UNTUK PENILAIAN SPIRITUAL.

Banyak alat penilaian spiritual dapat ditemukan


dalam literatur dan harus digunakan untuk menilai
kebutuhan unik dari semua pasien. Penilaian spiritual
pasien adalah meminta perawat untuk menanyakan
tentang sumber dukungan bagi pasien, konsekuensi
yang berhubungan dengan penyakit saat ini, dan
masalah pengobatan. Dengan adanya komunikasi
antara perawat dan pasien, maka perawat dapat
menemukan cara untuk mendukung pasien selama
dirawat inap dan memenuhi kebutuhan holistik dan
spiritual pasien. 44
D. SERTAKAN PENDIDIKAN SPIRITUAL CARE
DALAM ORIENTASI KEPERAWATAN

Diskusikan kebijakan yang berhubungan dengan


perawatan holistik dan spiritual serta meninjau
instrumen penilaian spiritual. Mengorientasikan
perawat baru dengan harapan bahwa perawatan
spiritual merupakan perawatan yang rutin untuk
memenuhi spiritual pasien. Hal ini juga
menekankan pentingnya spiritual care sebagai
komponen dari holistic nursing.

45
Menurut Patelarou ( 2012) bahwa perawat
membutuhkan hubungan yang positif dengan manajer
perawat agar mereka dapat bekerja dengan efektif dan
melaksanakan tugas mereka sehari-hari. Sementara
itu manajer perawat mengharapkan perawat dapat
menjadi sumber informasi didalam membantu manajer
perawat dalam kegiatan memenuhi kebutuhan
spiritual pasien (Meehan, 2012)

46
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERAWAT
DALAM MEMBERIKAN SPIRITUAL CARE

Menurut Mc Sherry (2006) faktor-faktor yang


mempengarui perawat dalam dalam memberikan
spiritual care dibagi dua yaitu:
1. Faktor intrinsik terdiri dari ketidakmampuan
perawat berkomunikasi, ambiqu, kurangnya
pengetahuan tentang spiritual, hal yang
bersifat pribadi, dan takut melakukan
kesalahan,
2. Faktor ekstrinsik terdiri dari organisasi dan
manajemen, hambatan ekonomi berupa
kekurangan perawat, kurangnya waktu,
masalah pendidikan perawat. 47

Anda mungkin juga menyukai