Anda di halaman 1dari 82

Biological hazard

PEMBIMBING :
dr. Reza Tandean, MHSc(OM), Sp.Ok
Anggota kelompok 4 :

• 030.12.054 Chairunnisa Putri A


• 030.12.106 Anisa Ramadhanti
• 030.12.117 Ghea Irawan
• 030.13.059 Dirtie Imas Hartawati
• 030.13.122 Melly Sartika
• 030.13.149 Nisa Widiya Wardani
• 030.13.151 Nurpadila Ramadanti
• 030.13.197 Vanya Hermalina P
PENDAHULUAN
Occupational hazards

1 2 3 4 5

PHYSICAL AGENTS PSYCHOLOGICAL CHEMICAL AGENTS BIOLOGICAL LACK OF


• Noise • Stress • Solvents AGENTS ERGONOMIC
• Vibration • Boredom • Gases • Viruses PRINCIPLES
• Radiation • Burnout • Vapors • Bacteria
• Fungi • Exhaustive physical
• Defective • Fumes
• Parasites exertions
illumination • Mists
• Insects • Excessive standing
• Temperature • Pecticides
• etc • Improper motions
extremes • etc
• Lifting heavy load
• Dusts
• Job monotony
DEFINISI HAZARD BIOLOGI

• Hazard adalah segala sesuatu yang


dapat berpotensi menjadi bahaya
bahkan accident atau incident
• Hazard biologi adalah potensi bahaya
yang ditimbulkan dari faktor makhluk
hidup.
Type of biological hazard

Viruses

Bacteria

Fungi

Parasites
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
DIAGNOSIS
GEJALA
KLINIS
PATOGENESIS
EPIDEMIOLOGI
DEFINISI

RABIES
Rabies merupakan suatu penyakit
infeksi viral yang ditularkan dari
hewan ke manusia.
Infeksi ini ditularkan ke manusia dari

EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA

PATOGENESIS hewan yang telah terinfeksi.


DIAGNOSIS

ETIOLOGI
DEFINISI
GEJALA
KLINIS

Virus rabies merupakan virus dari genus


Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae
Merupakan virus RNA dan terbungkus
Mengandung nucleoprotein, phosphopro
tein, matrix protein, glycoprotein, dan
RNA polymerase
• Sekitar 150 negara di dunia telah
terjangkit rabies, dan sekitar 55 ribu orang
meninggal karena rabies setiap tahun.
• Terdapat banyak penderita rabies di
negara-negara berkembang Asia. Menurut
WHO, sebanyak 30 ribu orang meninggal

EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA

PATOGENESIS
DIAGNOSIS

ETIOLOGI
setiap tahunnya karena rabies di Asia. Seti

DEFINISI
GEJALA
KLINIS

ap 15 menit, satu orang Asia meninggal di


mana 15% di antaranya berusia di bawah
15 tahun.
• Jumlah kasus rabies pada manusia rata-
rata per tahun di beberapa negara Asia
antara lain India 20.000 kasus, China
2.500 kasus, Filipina 20.000 kasus,
Vietnam 9.000 kasus dan Indonesia 168
kasus.
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
DIAGNOSIS
GEJALA
KLINIS

PATOGENESIS
EPIDEMIOLOGI
DEFINISI
Ditandai dengan hewan yang tidak menurut/
mengenal pemiliknya, mudah terkejut, mudah
berontak bila diprovokasi, suka menggigit apa
saja tanpa provokasi, gelisah, agresif, air liur

EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA

berlebihan, takut air dan suara, gelisah dan

PATOGENESIS
DIAGNOSIS

DEFINISI
GEJALA
agresif, ekor dilengkungkan ke bawah perut.

KLINIS
STADIUM :
1. Stadium sensoris
2. Stadium prodormal
3. Stadium eksitasi
4. Stadium paralis
Diagnosa rabies secara laborato
rium didasarkan atas :

PATOGENESIS
EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA

DIAGNOSIS

DEFINISI
• Penemuan badan negri

GEJALA
KLINIS
(negri body)
• Penemuan antigen
• Penemuan virus (isolasi)
• Perawatan luka sebagai tindakan
pertama

EPIDEMIOLOGI
TATALAKSANA
• Vaksin PVRV (Purified Vero
PENCEGAHAN

PATOGENESIS
DIAGNOSIS

DEFINISI
GEJALA
Rabies Vaccine)

KLINIS
• Suckling Mice Brain Vaccine
(SMBV)
• Serum anti rabies (SAR)

.
• Mengedukasi masyarakat mengenai tatac
ara penanganan pasca gigitan hewan ters
angka rabies dan perlunya tindakan imuni

EPIDEMIOLOGI
TATALAKSANA
PENCEGAHAN

PATOGENESIS
DIAGNOSIS
sasi

DEFINISI
GEJALA
KLINIS
• Jangan biarkan hewan peliharaan di lepas
secara bebas tanpa pengawasan atau ke
ndali ikatan
• Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan
peliharaan secara berkala di pusat keseh
atan
• Segera lapor ke puskesmas/rumah
sakit apabila tergigit oleh hewan
tersangka rabies
• Apabila melihat binatang dengan

EPIDEMIOLOGI
TATALAKSANA
PENCEGAHAN

PATOGENESIS
gejala rabies segera laporkan pada

DIAGNOSIS

DEFINISI
GEJALA
Pusat Kesehatan Hewan atau dinas

KLINIS
peternakan.
• Memberikan vaksinasi pra pajanan
pada orang yang secara kontinu bagi
yang sering atau berisiko tinggi
terpajan virus rabies, seperti pekerja
laboratorium, dokter hewan, pekerja
kontak hewan penular, dan lain-lain
ANTHRAX
DEFINISI

Penyakit infeksius yang disebabkan oleh B


acillus anthracis bakteri Gram positif berbe
ntuk batang dan bersifat zoonosis
EPIDEMIOLOGI

• Menurut Direktorat Jenderal Peternakan pada


tahun 2000 ada 11 provinsi yang termasuk
daerah tertular antraks, yaitu Sumatera Barat,
Jambi, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah
, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah dan Irian jaya.
• Indonesia pernah mengalami stastus KLB
akibat antraks, terjadi pada tahun 2001 di Ka
bupaten Bogor, Jawa Barat Dilaporkan jumlah
penderita seluruhnya 22 orang menyebabkan
dua orang korban meninggal. Selama periode
tahun 2001-2007 di Kabupaten Bogor telah
terjadi 97 kasus penyakit antraks pada
manusia dengan kematian mencapai delapan
orang.
FAKTOR RESIKO

INDIVIDU :
• Peternak
• Dokter hewan
• Pekerja laboratorium yang menangani
sampel antraks

KEBIASAAN :
• Memasak daging ternak yang kurang
matang
• Mengkonsumsi daging yang terkonta
minasi
PATOGENESIS
MANIFESTASI KLINIS

1. ANTRAKS CUTANEUS
2. ANTRAKS GASTROINTESTINAL
3. ANTRAKS INHALASI
PENCEGAHAN
1. Hewan/ternak divaksin secara rutin
setiap tahun sesuai rekomendasi
instansi berwenang.
2. Hindarkan kontak langsung dengan
hewan yang dicurigai terinfeksi antra
ks
3. Apabila akan menambah jumlah
ternak baru, Standard Operasional
Prosedur (SOP) dan aturan dari insta
nsi berwenang harap dipatuhi.
4. Daging hendaknya dimasak hingga
benar-benar matang.
5. Ketika menjumpai daging berlendir,
berbau dan berwarna kusam harap
MANIFESTASI PADA HEWAN

Perakut
terjadi sangat mendadak dan segera mengik
uti kematian, sesak napas, gemetar,
kemudian hewan rebah kadang terdapat
gejala kejang

Akut
demam (suhu tubuh mencapai 41,50C),
gelisa, sesak napas, kejang, dan diikuti
kematian, kadang sesaat sebelum kematian
kelaur darah kehitaman yang tidak membek
u dari lubang kumlo (lubang hidung, mulut ,
telinga, anus dan alat kelamin). Pada kuda
dapat terjadi nyeri perut (kolik) diare
berdarah, bengkak daerah leher dada, perut
bagian bawah dan alat kelamin bagian luar
KRITERIA DIAGNOSIS

• Diduga, secara klinis diperlihatkan satu bentuk antraks dan


ada bukti epidemiologis yang terpapar pada lingkungan
antraks, tetapi tidak ada bukti laboratorium yang pasti.

• Kemungkinan,terdapat gejala klinis antraks tetapi tidak mem


enuhi definisi konfirmasi, dan menunjukkan salah satu dari
yang berikut: (1) Dalam epidemiologi, ada paparan lingkung
an. (2) terdapat Bukti DNA B. anthracis yang dikumpulkan d
ari lesi, biasanya steril (seperti darah atau CSF) atau lesi jari
ngan lain yang terkena (kulit, paru-paru atau pencernaan) (3
) Serologi positif IgG ELISA Anthrax Lethal Factor (LF) pada
pemeriksaan Spektrometri positif

• Dikonfirmasi, terdapat gejala klinis antraks dengan salah sat


u dari yang berikut: (1) B. kultur anthracis positif (2) menunju
kan adanya antigen B. anthracis jaringan dengan pewarnaa
n imunohistokimia menggunakan dinding sel dan antibodi
monoklonal kapsul B. anthracis (3) Terbukti peningkatan 4x
titer antibodi selama periode akut dan memperbaiki pemerik
saan kuantitatif pengujian ELISA anti-PA IgG (4) Adanya pap
aran lingkungan terhadap tes antraks dan PCR positif
• ANTRAKS CUTANEUS
Ciprofloxacin 500 mg per oral dua kali sehari ata
u doksisiklin 100 mg per oral dua kali sehari sela
ma 60 hari

• ANTRAKS GASTROINTESTINAL DAN INHA


LASI
Ciprofloxacin 400 mg intravena setiap 8 jam atau
doksisiklin 100 mg intravena setiap 12 jam dikom
binasikan dengan agen kedua: klindamisin
600 mg itra vena setiap 8 jam atau penisilin setia
p 4-6 jam atau rifampisin 300 mg setiap 12 jam

• Vaksin anthrax(anthrax vaccine adsorbed/AV


A) terhadap kelompok risiko tinggi terpajan s
pora sudah rutin dilakukan. Sebanyak 0,5 ml
AVA yang disuntikkan secara subkutan diberi
kan pada minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan
ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster dilakuk
an setiap tahun.
LEPTOSPIROSIS
DEFINISI

Penyakit leptospirosis merupakan zoonotic


disease yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira terutama di negara tropis dengan
kelembaban yang tinggi.
ETIOLOGI

Leptospirosis disebabkan spesies patogenik dari


genus Leptospira, suatu Bakteri spirochaeta
aerob obligat.
Ukuran: 0,25 x 6,25 µm
Bersarang di tubulus ginjal penjamu mamalia
dan keluar di urin.
Bertahan hidup selama berhari/berminggu pada
kondisi hangat atau suhu sedang-panas (28°C -
32°C), lembab, air yang mengalir lambat, dan
pH netral atau sedikit basa
EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan endemisitas wilayah terdapat


14 wilayah endemis Leptospirosis, dengan
kasus tertinggi di Kota Semarang.

 Leptospirosis Kota Semarang tahun 2015


(Incidence Rate (IR) = 3,40 per 100.000
jiwa, CFR=14,29%).
FAKTOR RESIKO
PEKERJAAN :
• Petani
• Pekerja perkebunan
• Pekerja rumah potong hewan
• Dokter hewan
• Pekerja laboratorium

AKTIFITAS :
• Kayaking
• Rafting
• Canyoning
• Tramping.
GEJALA KLINIS
• Demam menggigil
GEJALA
• Sakit kepala KARAKTERISTIK
• Malaise • Konjungtivit
• Muntah is tanpa
disertai
• Konjungtivitis
eksudat sero
• Rasa nyeri otot betis us/purulen.
dan punggung
• Rasa nyeri
pada otot-
otot
DIAGNOSIS

• Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.


• Mempunyai riwayat, setidaknya 2 hari, tinggal di daerah
banjir atau memiliki risiko tinggi terpapar (berjalan kaki di
banjir atau air yang terkontaminasi, kontak dengan cairan
dari hewan, berenang di air banjir atau menelan air yang ter
kontaminasi)
• Memiliki setidaknya 2 gejala berikut: myalgia, nyeri tekan
betis, injeksi konjuntiva, menggigil, nyeri perut, oliguria.
• Deteksi Leptospira secara langsung menggunakan mikrosko
p lapangan gelap atau mendeteksi bakteri Leptospira
dengan kultur
• PCR
• Deteksi antibodi terhadap Leptospira secara serologis meng
gunakan metode MAT, ELISA, RIA, IHA.
TATALAKSANA
PENCEGAHAN
 Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS)
 Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan. Serta
mencuci sayur dan buah
 Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya deng
an sabun setelah bekerja di sawah/ kebun/sampah/
tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar
lainnya.
 Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap
leptospirosis (petugas kebersihan, petani, petugas pem
otong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan
sepatu bot dan sarung tangan.
 Menjaga kebersihan lingkungan
TERAPI
DIAGNOSIS
KLINIS
PENULARAN
FAKTOR
RESIKO
KLASIFIKASI
EPIDEMIOLOGI
DEFINISI

HEPATITIS B
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
DIAGNOSIS

Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yan

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI

g disebabkan oleh virus Hepatitis B virus


KLINIS

(HBV),suatu anggota famili hepadnavirida


e tipe 1 yang dapat menyebabkan
peradangan hati akut atau kronis
• WHO pada tahun 2015  kematian
pada 1,34 juta orang didunia dan 20
17  terdapat 325 juta orang diduni
a yang terdiagnosa penyakit hepatiti

EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
DIAGNOSIS

s B kronik maupun hepatitis C kronik

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI

KLINIS

• Riskesdas 2013  prevalensi penya


kit hepatitis 1,2%, 2x dari tahun 2007
• Provinsi dengan prevalensi hepatitis
tertinggi NTT (4,3%), Papua (2,9%),
Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi
Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%)
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
DIAGNOSIS

• Hepatitis B akut, jangka waktu <6

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI

KLINIS

bulan
• Hepatitis B kronis, persistensi HB
V >6 bulan
TERAPI
DIAGNOSIS
KLINIS
PENULARAN

FAKTOR
RESIKO
KLASIFIKASI
EPIDEMIOLOGI
DEFINISI
• Jalur penularan infeksi HBV secara

EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
vertikal (transmisi) maternal -
DIAGNOSIS

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI

neonatal
KLINIS

• Horizontal (kontak antar individu


yang sangat erat dan lama, seksual,
iatrogenik, penggunaan jarum suntik
bersama)
• AKUT :

Prodormal
Ikterus

EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
Konvalensi (penyembuhan)
DIAGNOSIS

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI

KLINIS
• KRONIS :

Kronik aktif
Carrier HBV inaktif
• Anamnesis

EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
• Pemeriksaan fisik

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI

KLINIS
• Pemeriksaan penunjang
Laboratorium (serologi, biokimia)
USG abdomen
Biopsi hepar
MEDIKAMENTOSA
• Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang
khas.
• Hepatitis B kronik adalah Interferon, Lamivudin, Adefovir
dipofoxil dan Entecavir
• Beberapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomodul
ator, anti proliferative dan anti fibrotic.
• IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien

EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
hepatitis B kronik dengan HBeAg positif, dengan aktifitas

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI

KLINIS
penyakit ringan-sedang, yang belum mengalami sirosis.
• Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan
HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24
minggu. Untuk hepatitis B dengan HBeAg negative
diberikan selama 12 bulan.

NON MEDIKAMENTOSA
• Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring dapat
membuat pasien merasa lebih baik.
• Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori
utama diberikan
Preventif umum
• Sterilisasi alat
• Tenaga medis menggunakan sarung
tangan
• Perilaku seksual yang aman

PENCEGAHAN

EPIDEMIOLOGI
PENULARAN

KLASIFIKASI
• Skrining ibu hamil trimester ke 3

DIAGNOSIS

DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
• Menghindari pemakaian alat pribadi

KLINIS
Bersama
• Skrining risiko populasi tinggi tertular
VHB

Preventif khusus
• Imunisasi aktif
• Imunisasi pasif
MALARIA
DEFINISI
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malari
a (plasmodium) bentuk aseksual yang masuk ke tubuh manu
sia lewat gigitan nyamuk malaria (Anopheles) betina

PENYEBAB

Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hanya di


sebarkan oleh nyamuk Anopheles betina. Parasit masuk ke
dalam aliran darah manusia melalui gigitan nyamuk
EPIDEMIOLOGI

Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, sampai akhir


2017 masih ada 248 kabupaten dan kota yang masih harus
berjuang melawan malaria dengan 261.617 kasus, 100 di
antaranya meninggal dunia.
KLASIFIKASI
GEJALA PRODORMAL
TRIAS MALARIA

Periode berkeringat
Periode dingin (2-4 jam)
Periode panas
(15-60 menit) _________________
(± 2 jam)
________________
_________ • Penderita berkeri
• Menggigil ngat mulai dari
• Muka Memerah temporal
• Kulit dingin dan
• Kulit panas dan • Diikuti seluruh
kering gemetaran
kering tubuh sampai
dan gigi gemertak
• Nadi cepat basah
• Penderita lebih
• Demam ≥40°c • Temperatur turun
sering menyelimuti
• Berkeringat. drastis
diri
• Pucat sampai • Lelah,
sianosis • Sering tertidur
• Pada anak bisa dengan nyenyak
terjadi kejang • Saat bangun
• Suhutubuh mening tidak ada
kat keluhan kecuali
badan lemah
DIAGNOSIS

1. Pemeriksaan mikroskopis
• Darah
• Pulasan intradermal

2. Tes diagnostik cepat ( Rapid Diagnostic Test )

3. Malaria berat
• Darah rutin
• Kimia darah
• Foto thorax
• EKG
• Analisis cairan cerebrospinal
• Uji serologi
• Urinalisis
KEMOPROFILAKSIS
Profilaksis Kausal Profilaksis Supresif
Tujuan : Tujuan :

menghambat perkembangan parasit Mengehambat perkembangan stadium


di hati dan eritrosit manusia serta d askesual pada ertirosit, tapi tidak di
alam tubuh nyamuk (sporontosidal) hati

Obat : Obat :

golongan DHFR (pirimetamine, Klorokuin, amodiakuin, meflokuin


proguanil, klorproguanil)
PENCEGAHAN
TUBERKULOSIS
DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis)
yang menyebar dari orang ke orang melalui udara.

ETIOLOGI
 Bakteri mycobacterium tuberculosis
 Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam (
BTA)

CARA PENULARAN
Sumber penularan  pasien TB BTA positif. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei).
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
 Gejala utama
• Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Namun
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan
merupakan gejala TBC yang khas, sehingga gejala
batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
• Dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada.

 Gejala sistemik  badan lemas, nafsu makan menurun, berat


badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan

 Gejala tuberkulosis ekstra paru  tergantung dari organ yang


terlibat

PEMERIKSAAN FISIK
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Pemeriksaan mikroskopis dahak


Penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama.
• Foto toraks
di apeks paru terdapat gambaran bercak-bercak awan dengan
batas yang tidak jelas atau membentuk tuberkuloma. Gambara
n lain yang dapat menyertai yaitu , kavitas (bayangan berupa
cincin berdinding tipis), pleuritis (penebalan pleura), atau efusi
pleura (sudut kostofrenikus tumpul).
• Pemeriksaan penunjang lainnya:
1. Pemeriksaan darah
2. Uji tuberkulin
3. Polymerase chain reaction (PCR)
4. Pemeriksaan serologi
• Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
• Mycodot
• Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
• Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT
tuberculosis)
Kategori 1
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru terdiagnosa klinis
• Pasien TB ekstra paru

Kategori
2
• Pasien kambuh
• Pasien gagal OAT
• kategori 1
• Pasien dengan
• pengobatan setelah
• putus berobat
PENCEGAHAN

 Usahakan sinar matahari dan  Mengunakan masker.


udara segar masuk secukupnya Gunakan masker untuk
ke dalam tempat tidur. menutup mulut kapan saja
ini merupakan langkah
 Menjemur kasur, bantal, dan pencegahan TB secara
tempat tidur terutama pagi hari. efektif.
 Semua barang yang digunakan  Meludah hendaknya pada
penderita harus terpisah begitu tempat tertentu yang sudah
juga mencucinya dan tidak boleh diberikan desinfektan.
digunakan oleh orang lain.
 Imunisasi BCG diberikan
 Makanan harus tinggi pada bayi berumur 3-14
karbohidrat dan tinggi protein. bulan

• Penderita yang terdiagnosis TB disarankan cuti kerja


selama 2 minggu pertama pengobatan untuk TB aktif.
Dikatakan layak kerja apabila setelah pengobatan awal
2 minggu dan pemeriksaan sputum BTA (-) dan hasil
pemeriksaan keadaan umum baik
• Ventilasi ruangan. Kuman TB menyebar lebih mudah
dalam ruangan tertutup kecil di mana udara tidak
bergerak. Jika ventilasi ruangan masih kurang, buka
jendela dan gunakan kipas untuk meniup udara dalam
ruangan ke luar.
TOXOPLASMOSIS
DEFINISI
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
obligat parasit intraseluler yaitu Toxoplasma gondii.

ETIOLOGI

• Toxoplasma gondii merupakan protozoa


obligat intraseluler.
• Hospes: kucing (famili FELIDAE).
• Hospes perantara: mammalia, dan
burung, juga manusia.
• Penyakit:
• Toxoplasmosis kongenital
• Toxoplasmosis akuisita
• Distribusi geografis: kosmopolit.
EPIDEMIOLOGI

• Pada tahun 1908, Toxoplasma godii


pertama kali ditemukan pada binatang
pengerat yaitu tenodactylus gundi, di
suatu laboratorium di Tunisia Afrika dan
pada seekor kelinci di suatu laboratorium
di Brazil.
• Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii
pada binatang di Indonesia adalah 35-73
% pada kucing, 11-36% pada babi, 11-61
% pada kambing, 75% pada anjing, dan
kurang dari 10% pada ternak lain.
• Ookista ini adalah bentuk yang infektif dan
dapat menular pada manusia atau hewan
lain.
MORFOLOGI

TOXOPLASMA GONDII TERDAPAT 3 BENTUK:


1. TAKIZOIT: seperti bulan sabit, satu-satu atau berkelompok
2. KISTA: terdapat bradizoit, ditemukan pada daging mentah
3. OOKISTA: terdapat 2 sporokista, masing-masing mengandung 4
sporozoit. Ditemukan di kotoran kucing
SIKLUS HIDUP TOXOPLASMA GONDII

• Kucing yang terinfeksi toxoplasma • Dalam tubuh manusia,


membawa toxoplasma pada feses ookista akan berkembang
nya menjadi fase aktif
• Kucing berdefekasi sembarangan, toxoplasma yang disebut tak
feses akan dan hancur izoit yang dapat berkembang
• Selanjutnya dapat terbang tebawa biak terus menerus.
angin dan menempel pada daun- • Pada wanita hamil, takizoit
daun ataupun rumput bisa menginfeksi janin
• Apabila manusia memakan daun- • Takizoit menempati jaringan
daunan atau sayuran yang tidak otot dan sistem saraf seperti
matang, maka kemungkinan akan otak, kemudian berubah
terinfeksi toxoplasma. menjadi bradizoit.
• Begitu juga bila sayur atau rumput • Bradizoit dalam daging yang
tersebut dimakan oleh kambing tidak masak, bila termakan
atau sapi dan kemudian kambing kembali berubah menjadi tak
atau sapi tersebut di masak tetapi izoit dan memulai siklus
tidak terlalu matang, maka oosit memperbanyak diri lagi.
yang menginfeksi sapi atau
kambing akan menetap dalam
tubuh (daging, otot, organ) sapi
atau kambing tersebut.
PENULARAN
• Toxoplasmosis kongenital: kepada janin
melalui plasenta bila ibu
• Toxoplasmosis akuisita: makan daging
mentah atau kurang matang
• Tercemarnya alat-alat untuk masak dan
tangan oleh bentuk infektif

GEJALA KLINIS
• Toxoplasmosis kongenital (hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial,
korioretinitis
• Seringkali asimptomatis dan jarang menimbulkan gejala pada individu
normal
• Akibat yang serius terutama terjadi pada ibu hamil dan penderita
immunodeficient.
• Pada individu yang immunocompromised, parasitemia dapat
menyebabkan gangguan pada otak, liver, paru, dan organ lain serta
kematian.
DIAGNOSIS

• Isolasi parasit atau kultur sel


• Histologi (Giemsa atau imuno
peroksidase)
• Polymerase Chain Reaction
• Serologi: deteksi antibodi spesifik
• Enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA), indirect fluorecent
assay (IFA), immunosorbent aglutin
ation assay test (IAAT)
• Metode Serologi
TATALAKSANA

• Toxoplasmosis otak diobati dengan


kombinasi pirimetamin dan
sulfadiasin. Kedua obat ini dapat
melalui sawar darah otak.
• Kombinasi pirimetamin 50-100 mg
perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiasin 1-2 g tiap 6 jam
• Pasien yang alergi terhadap
sulfadiasin dapat diberikan kombinasi
pirimetamin 50-100 mg perhari
dengan klindamisin 450-600 mg tiap
6 jam
• Pasien alergi terhadap sulfadiasin
dan klindamisin, dapat diganti
dengan azitromisin 1200 mg/hr, atau
klaritromisin 1 gr tiap 12 jam.
PENCEGAHAN
• Tindakan pencegahan perlu dilaksanakan pada semu
a orang, tetapi wanita hamil yang seronegatif paling
rentan terhadap infeksi. Untuk mencegah infeksi
materno-fetal, maka wanita hamil dianjurkan untuk:
• Mengonsumsi daging yang dimasak sampai matang
• Mengurangi kontak dengan kucing dan tinja serta
tanah yang terkontaminasi dengan tinja
• Hindari kontaminasi silang antara bahan mentah
dengan bahan makanan yang telah matang.
• Membiasakan mencuci sayur dan buah yang akan di
konsumsi.
• Mencuci tangan yang bersih setelah memegang
daging mentah yang akan dimasak.
• Selalu menjaga kesehatan hewan peliharaan
• membasmi vektor, misalnya tikus dan lalat
• Menutup rapat makanan sehingga tidak dijamah lalat
atau lipas
SNAKE BITE
EPIDEMIOLOGI

• Tahun 2009, WHO menempatkan kasus


gigitan ular pada salah satu daftar penya
kit tropis yang terabaikan dan bahkan
sampai sekarang tetap menjadi masalah
kesehatan masyarakat global.
• Di Indonesia, terdapat 12.739 – 214.883
kasus gigitan ular yang diperkirakan 20 –
11.581 kasusnya menyebabkan kematian
pada tahun 2007.
• Belum adanya pelaporan epidemiologi
nasional yang tersedia di Indonesia. Data
epidemiologi di Indonesia masih sangat
sedikit dan hanya dari laporan berbasis
rumah sakit.
ETIOLOGI
Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi da
n sebagian pulau-pulau Sunda tetapi terletak
di barat garis Wallace:

Daerah timur garis Wallace seperti Papua


Barat dan Maluku:
MANIFESTASI KLINIS
Gigitan akibat Elapidae
Biasanya tidak
Gigitan oleh Viperidae/Crot
menimbulkan nyeri hebat.
alidae
Namun demikian tidak
Pada tempat gigitan:
adanya gejala lokal atau mini
Nyeri
mal, tidak berarti gejala
Bengkak yang dapat
yang lebih serius tidak akan
menjalar ke proksimal
terjadi. Gejala yang serius
Edem dan ekimosis
lebih jarang terjadi dan biasa
Pada kasus berat:
nya gejala berkembang
Bula dan jaringan n
dalam 12 jam.
ekrotik
Bisa yang bersifat neurotok
Gejala sistemik
sik, menyebar sangat cepat
Jarang ada syok,
dalam beberapa jam, mulai
edem generalisata
dari perasaan mengantuk
atau aritmia jantung,
sampai kelumpuhan nervus
tetapi perdarahan
kranialis, kelemahan otot dan
sering terjadi.
kematian karena gagal
napas
PENEGAKAN DIAGNOSIS

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK DAN


PENUNJANG
• Lokasi gigitan, waktu
tergigit, • Tanda-tanda vital,perdarahan
• Identifikasi jenis ular , lokasi gigitan termasuk
(karakteristik ular) bekas dan bentuk gigitan,
lebam, aliran kelenjar getah
• Ular yang beracun bening, pemeriksaan neurolo
biasanya mempunyai gi (pemeriksaan saraf krnaial
ciri kepala berbentuk ,sensorik dan motorik.)
segitiga, pupil berbent • Pemeriksaan darah lengkap,
uk elips, mempunyai 1 elektrolit, kreatinin, BUN, PT/
garis subcaudal, dan APTT, fibrinogen, D-dimer, A
mempunyai tipe gigitan ST, ALT, dan golongan darah
satu atau dua taring
pada kulit bekas
gigitan.
TATALAKSANA
Pertolongan pertama

-Penekanan dengan perban dan immobilisasi, perban elastis


(15 cm) di balutkan pada lokasi gigitan dan sekitarnya( seluruh
tungkai), dengan tekanan yang sama dengan membalut
cedera terkilir pada pergelangan kaki.
-Berguna untuk menghambat aliran limfa tanpa harus
mengganggu aliran darah arteri/vena.
MANAJEMEN di RS dan ABU

Manajemen di Rumah Sakit : Manajemen di Rumah Sakit :

-ABC -ABC
-Observasi perubahan hem -Observasi perubahan hem
odinamik dan tanda-tanda ke odinamik dan tanda-tanda ke
racunan bisa ular racunan bisa ular
-Pemberian suntikan antiteta -Pemberian suntikan antiteta
nus, atau bila korban pernah nus, atau bila korban pernah
mendapatkan toksoid maka mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid diberikan satu dosis toksoid
tetanus. tetanus.
-Pemberian suntikan -Pemberian suntikan
penisilin kristal sebanyak 2 penisilin kristal sebanyak 2
juta unit secara juta unit secara
intramuskular intramuskular
-Pemberian serum antibisa. -Pemberian serum antibisa.
ANTI BISA ULAR • IV: dapat diberikan
(ABU) bolus dengan kece
patan 2 ml/menit
• Antivenin atau anti atau drip kontinu
bisa ular (ABU) diberi dilarutkan dalam 5
kan terutama pada ml/kgBB normal
gigitan ular berbisa salin atau dekstrose
(gigitan basah). 5%.
• ABU dilaporkan • ABU dapat diulang
efektif pada pasien 6 jam kemudian
dengan gigitan ular setelah pemberian
laut setelah 2 hari pertama jika koagul
dan pasien yang asi darah belum
masih mengalami membaik, atau 1
defibrinasi sampai jam kemudian jika
beberapa minggu perdarahan sponta
setelah gigtan ular n atau efek neuroto
ksisitas masih
viper.
berlangsung.
PENCEGAHAN
• Mengedukasi kepada populasi/ masyarak
at yang berisiko terkena gigitan ular
mengenai jenis ular yang terdapat di
daerah tersebut serta kebiasaan ular.
• Menghindari tempat yang berpotensi men
jadi habitat dari ular, seperti tempat
dengan rumput yang tinggi, semak-
semak, rawa, lubbang di tanah.
• Menggunakan celana yang panjang dan
longgar serta sepatu boots (terutama
pada petani)
• Menggunakan senter ketika berjalan di
malam hari
• Hindari berpergian sendiri ke kebun, usah
akan berkelompok
Thank you
Daftar pustaka
• Paramita. Pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja terhadap prestasi kerja karyawan. Jakarta.2012
• Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia. 2018. Tentang Keselamatan dan kesehatan kerja lingkun
gan kerja, Jakarta : Departemen Ketenagakerjaan.
• Yousaf et al. Rabies Molecular virology, diagnosis, prevention and treatment. Virology Journal. 2012
• World Health Organization. Rabies. Available at : http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies
. Accessed on August 30, 2018.
• Kemenkes RI. Situasi dan Analisis Rabies. Pusat Data dan Informasi. Jakarta. 2014
• Batan I.W, Suatha I.K. Faktor-faktor yang Mendorong Kejadian Rabies pada Anjing di Desa-Desa di Bali
. Jurnal Veteriner Fakultas kedokteran Hewan Universitas Udayana. Bali. 2016:17(2)
• Tanzil K. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal Widya Kesehatan dan Lingkungan Bagia
n Mikrobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Jakarta. 2014:1(1). Hal 61-7
• Centers for Disease Control and Prevention. Rabies. Available at : https://www.cdc.gov/rabies/index.htm
l . Accessed on August 30, 2018.
• Martidah, Eny. Faktor Risiko sikap dan pengetahuan masyarakat peternak dalam pengendaliaan penyak
it Antraks. Wartazoa. Vol. 27 No.3. 2017 Hal 135-134
• Sweeney, Daniel A, Catlin W Hicks, Hizhongcui and peter Q Eichacker. Anthrax infection. American Jour
nal of Respiratory and Critical Care Medicine. Vo. 18. 2011
• Rhehono, Dhani. Relationship between clinical manifestation and antibody serum in ou
tbreaks anthrax. Indonesian journal of Tropical and Infection Disease. Vol.5. 2015
• Ulfah M, Anies A, Adi Ms. Hubungan Karakteristik Demografi, Faktor K3 (Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja) Dan Lingkungan Terhadap Kejadian Leptospirosis: Sebuah Stu
di Pada Pekerja Sektor Informal Di Kota Semarang Tahun 2013-2016 (Doctoral Dissert
ation, School Of Postgraduate).
• Alastot Em, Al-Shamahy Ha. Prevalence Of Leptospirosis Amongst Slaughterhouse W
orkers And Butchers In Sana'a City-Yemen. Universal Journal Of Pharmaceutical Rese
arch. 2018 May 12:17-20.
• Al-Orry, W.A.L.E.E.D., Arahou, M., Hassikou, R. And Mennane, Z., A Review Of Labor
atory Diagnosis And Treatment Of Leptospirosis. International Journal Of Pharmacy A
nd Pharmaceutical Sciences. 2016.
• Mustafa S, Kurniawaty E. Manajemen gangguan saluran cerna panduan bagi dokter u
mum. Lampung: Anugrah Utama Raharja(Aura); 2013.
• Riset kesehatan dasar 2013 , diakses pada 28 Juni 2016, http://www.depkes.go.id/res
ources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2 02013.pdf
• Kasper, Fauci, et all. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th Edition. USA; Mc
Graw-Hill Education; 2012.
• Thedja MD. Genetic diversity of hepatitis B virus in Indonesia: Epidemiological and clin
ical significance. Jakarta: DIC creative; 2012.
• Tang L, covert E, Wilson E, Kottilil S. Chronic Hepatitis B Infection. American medical
Association:2018
• Muljono DH, wijayadi T, Sjahril R. hepatitis B virus infection among health care workers
in Indonesia. Euroasian Journal of Hepato-Gastroenterology, 2018;8(1):88-92
• Harijanto, P. Data dan informasi kesehatan Epidemiologi Malaria. Accessed on Septe
mber 2018. Availabe at: https://www.scribd.com/document/60922336/Buletin-Malaria
• WHO. 2008. World Malaria Report 2006: Geneva. WHO/UNICEF.
• Laksono, RD. Proflaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Acessed on September 2
018. Available at: http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_188Profilaksis%20Malaria%20di%20Pe
rbatasan%20Indonesia-Timor%20Leste.pdf
• Darliana, Devi. Manajemen Pasien Tuberculosis Paru. Idea Nursing Journal. 2010;20(1). p27-31
• Oktafiyana Fina, Nurhayati, Al Murhan. Hubungan Lingkungan Kerja Penderita Tb Paru Terhadap
Kejadian Penyakit Tb Paru. Jurnal Keperawatan. April 2016;9(1). p52-57
• Izzati Shabrina, Basyar Masrul, Nazar Julizar. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015; 4(1). p262-268.
• Kenedyanti Evin, Sulistyorini Lilis. Analisis Mycobacterium Tuberculosis Dan Kondisi Fisik Rumah
Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Berkala Epidemiologi. Mei 2017;5(2).p152-162
• Yuliawati I, Nasrudin. Indonesia journal of trofic and infection disease. Patogenesis diagnostic an
d management of toxoplasmosis. 4 januari-april 2015.
• Suparman E. Toxoplasmosis dalam kehamilan. Bagian obstetri dan ginekologi fakultas kedoktera
n universitas sam ratulangi rsup Prof.Dr.R.D.Kandou Manado. Jurnal biomedik, volume 4, nomer
1. Maret 2012. Hal.13-19.
• Triana, A. Jurnal kesehatan masyarakat. Faktor determinan toxoplasmosis pada ibu hamil. http://j
ournal. Unnes.ac.id/nju/index.php/kemas.2015. Hal 25-31.
• Adiwinata R. Nelwan EJ. Clinical Practice. Snakbite in Indonesia : ACTA Medica Indonesiana. Th
e Indonesian Journal of Internal Medicine. 2015 ;47 (4) : 358-365.
• Alirol E. Sharma SK. Bawaskar HS. Kuchu. Chappuis F. SnakeBite in South Asia: A Review.Avail
able from : http ://www. Plosntds.org.Acessed March 29. 2019.

Anda mungkin juga menyukai