PEMBIMBING :
dr. Reza Tandean, MHSc(OM), Sp.Ok
Anggota kelompok 4 :
1 2 3 4 5
Viruses
Bacteria
Fungi
Parasites
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
DIAGNOSIS
GEJALA
KLINIS
PATOGENESIS
EPIDEMIOLOGI
DEFINISI
RABIES
Rabies merupakan suatu penyakit
infeksi viral yang ditularkan dari
hewan ke manusia.
Infeksi ini ditularkan ke manusia dari
EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
ETIOLOGI
DEFINISI
GEJALA
KLINIS
EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
PATOGENESIS
DIAGNOSIS
ETIOLOGI
setiap tahunnya karena rabies di Asia. Seti
DEFINISI
GEJALA
KLINIS
PATOGENESIS
EPIDEMIOLOGI
DEFINISI
Ditandai dengan hewan yang tidak menurut/
mengenal pemiliknya, mudah terkejut, mudah
berontak bila diprovokasi, suka menggigit apa
saja tanpa provokasi, gelisah, agresif, air liur
EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
PATOGENESIS
DIAGNOSIS
DEFINISI
GEJALA
agresif, ekor dilengkungkan ke bawah perut.
KLINIS
STADIUM :
1. Stadium sensoris
2. Stadium prodormal
3. Stadium eksitasi
4. Stadium paralis
Diagnosa rabies secara laborato
rium didasarkan atas :
PATOGENESIS
EPIDEMIOLOGI
PENCEGAHAN
TATALAKSANA
DIAGNOSIS
DEFINISI
• Penemuan badan negri
GEJALA
KLINIS
(negri body)
• Penemuan antigen
• Penemuan virus (isolasi)
• Perawatan luka sebagai tindakan
pertama
EPIDEMIOLOGI
TATALAKSANA
• Vaksin PVRV (Purified Vero
PENCEGAHAN
PATOGENESIS
DIAGNOSIS
DEFINISI
GEJALA
Rabies Vaccine)
KLINIS
• Suckling Mice Brain Vaccine
(SMBV)
• Serum anti rabies (SAR)
.
• Mengedukasi masyarakat mengenai tatac
ara penanganan pasca gigitan hewan ters
angka rabies dan perlunya tindakan imuni
EPIDEMIOLOGI
TATALAKSANA
PENCEGAHAN
PATOGENESIS
DIAGNOSIS
sasi
DEFINISI
GEJALA
KLINIS
• Jangan biarkan hewan peliharaan di lepas
secara bebas tanpa pengawasan atau ke
ndali ikatan
• Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan
peliharaan secara berkala di pusat keseh
atan
• Segera lapor ke puskesmas/rumah
sakit apabila tergigit oleh hewan
tersangka rabies
• Apabila melihat binatang dengan
EPIDEMIOLOGI
TATALAKSANA
PENCEGAHAN
PATOGENESIS
gejala rabies segera laporkan pada
DIAGNOSIS
DEFINISI
GEJALA
Pusat Kesehatan Hewan atau dinas
KLINIS
peternakan.
• Memberikan vaksinasi pra pajanan
pada orang yang secara kontinu bagi
yang sering atau berisiko tinggi
terpajan virus rabies, seperti pekerja
laboratorium, dokter hewan, pekerja
kontak hewan penular, dan lain-lain
ANTHRAX
DEFINISI
INDIVIDU :
• Peternak
• Dokter hewan
• Pekerja laboratorium yang menangani
sampel antraks
KEBIASAAN :
• Memasak daging ternak yang kurang
matang
• Mengkonsumsi daging yang terkonta
minasi
PATOGENESIS
MANIFESTASI KLINIS
1. ANTRAKS CUTANEUS
2. ANTRAKS GASTROINTESTINAL
3. ANTRAKS INHALASI
PENCEGAHAN
1. Hewan/ternak divaksin secara rutin
setiap tahun sesuai rekomendasi
instansi berwenang.
2. Hindarkan kontak langsung dengan
hewan yang dicurigai terinfeksi antra
ks
3. Apabila akan menambah jumlah
ternak baru, Standard Operasional
Prosedur (SOP) dan aturan dari insta
nsi berwenang harap dipatuhi.
4. Daging hendaknya dimasak hingga
benar-benar matang.
5. Ketika menjumpai daging berlendir,
berbau dan berwarna kusam harap
MANIFESTASI PADA HEWAN
Perakut
terjadi sangat mendadak dan segera mengik
uti kematian, sesak napas, gemetar,
kemudian hewan rebah kadang terdapat
gejala kejang
Akut
demam (suhu tubuh mencapai 41,50C),
gelisa, sesak napas, kejang, dan diikuti
kematian, kadang sesaat sebelum kematian
kelaur darah kehitaman yang tidak membek
u dari lubang kumlo (lubang hidung, mulut ,
telinga, anus dan alat kelamin). Pada kuda
dapat terjadi nyeri perut (kolik) diare
berdarah, bengkak daerah leher dada, perut
bagian bawah dan alat kelamin bagian luar
KRITERIA DIAGNOSIS
AKTIFITAS :
• Kayaking
• Rafting
• Canyoning
• Tramping.
GEJALA KLINIS
• Demam menggigil
GEJALA
• Sakit kepala KARAKTERISTIK
• Malaise • Konjungtivit
• Muntah is tanpa
disertai
• Konjungtivitis
eksudat sero
• Rasa nyeri otot betis us/purulen.
dan punggung
• Rasa nyeri
pada otot-
otot
DIAGNOSIS
HEPATITIS B
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
KLINIS
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
KLINIS
bulan
• Hepatitis B kronis, persistensi HB
V >6 bulan
TERAPI
DIAGNOSIS
KLINIS
PENULARAN
FAKTOR
RESIKO
KLASIFIKASI
EPIDEMIOLOGI
DEFINISI
• Jalur penularan infeksi HBV secara
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN
KLASIFIKASI
vertikal (transmisi) maternal -
DIAGNOSIS
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
neonatal
KLINIS
Prodormal
Ikterus
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN
KLASIFIKASI
Konvalensi (penyembuhan)
DIAGNOSIS
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
KLINIS
• KRONIS :
Kronik aktif
Carrier HBV inaktif
• Anamnesis
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
• Pemeriksaan fisik
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
KLINIS
• Pemeriksaan penunjang
Laboratorium (serologi, biokimia)
USG abdomen
Biopsi hepar
MEDIKAMENTOSA
• Tidak ada terapi spesifik untuk hepatitis virus akut yang
khas.
• Hepatitis B kronik adalah Interferon, Lamivudin, Adefovir
dipofoxil dan Entecavir
• Beberapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomodul
ator, anti proliferative dan anti fibrotic.
• IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
hepatitis B kronik dengan HBeAg positif, dengan aktifitas
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
KLINIS
penyakit ringan-sedang, yang belum mengalami sirosis.
• Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan
HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24
minggu. Untuk hepatitis B dengan HBeAg negative
diberikan selama 12 bulan.
NON MEDIKAMENTOSA
• Pembatasan aktivitas fisik seperti tirah baring dapat
membuat pasien merasa lebih baik.
• Diperlukan diet tinggi kalori dan hendaknya asupan kalori
utama diberikan
Preventif umum
• Sterilisasi alat
• Tenaga medis menggunakan sarung
tangan
• Perilaku seksual yang aman
PENCEGAHAN
EPIDEMIOLOGI
PENULARAN
KLASIFIKASI
• Skrining ibu hamil trimester ke 3
DIAGNOSIS
DEFINISI
FAKTOR
RESIKO
TERAPI
• Menghindari pemakaian alat pribadi
KLINIS
Bersama
• Skrining risiko populasi tinggi tertular
VHB
Preventif khusus
• Imunisasi aktif
• Imunisasi pasif
MALARIA
DEFINISI
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malari
a (plasmodium) bentuk aseksual yang masuk ke tubuh manu
sia lewat gigitan nyamuk malaria (Anopheles) betina
PENYEBAB
Periode berkeringat
Periode dingin (2-4 jam)
Periode panas
(15-60 menit) _________________
(± 2 jam)
________________
_________ • Penderita berkeri
• Menggigil ngat mulai dari
• Muka Memerah temporal
• Kulit dingin dan
• Kulit panas dan • Diikuti seluruh
kering gemetaran
kering tubuh sampai
dan gigi gemertak
• Nadi cepat basah
• Penderita lebih
• Demam ≥40°c • Temperatur turun
sering menyelimuti
• Berkeringat. drastis
diri
• Pucat sampai • Lelah,
sianosis • Sering tertidur
• Pada anak bisa dengan nyenyak
terjadi kejang • Saat bangun
• Suhutubuh mening tidak ada
kat keluhan kecuali
badan lemah
DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan mikroskopis
• Darah
• Pulasan intradermal
3. Malaria berat
• Darah rutin
• Kimia darah
• Foto thorax
• EKG
• Analisis cairan cerebrospinal
• Uji serologi
• Urinalisis
KEMOPROFILAKSIS
Profilaksis Kausal Profilaksis Supresif
Tujuan : Tujuan :
Obat : Obat :
ETIOLOGI
Bakteri mycobacterium tuberculosis
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam (
BTA)
CARA PENULARAN
Sumber penularan pasien TB BTA positif. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei).
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Gejala utama
• Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Namun
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan
merupakan gejala TBC yang khas, sehingga gejala
batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
• Dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada.
PEMERIKSAAN FISIK
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kategori
2
• Pasien kambuh
• Pasien gagal OAT
• kategori 1
• Pasien dengan
• pengobatan setelah
• putus berobat
PENCEGAHAN
ETIOLOGI
GEJALA KLINIS
• Toxoplasmosis kongenital (hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial,
korioretinitis
• Seringkali asimptomatis dan jarang menimbulkan gejala pada individu
normal
• Akibat yang serius terutama terjadi pada ibu hamil dan penderita
immunodeficient.
• Pada individu yang immunocompromised, parasitemia dapat
menyebabkan gangguan pada otak, liver, paru, dan organ lain serta
kematian.
DIAGNOSIS
-ABC -ABC
-Observasi perubahan hem -Observasi perubahan hem
odinamik dan tanda-tanda ke odinamik dan tanda-tanda ke
racunan bisa ular racunan bisa ular
-Pemberian suntikan antiteta -Pemberian suntikan antiteta
nus, atau bila korban pernah nus, atau bila korban pernah
mendapatkan toksoid maka mendapatkan toksoid maka
diberikan satu dosis toksoid diberikan satu dosis toksoid
tetanus. tetanus.
-Pemberian suntikan -Pemberian suntikan
penisilin kristal sebanyak 2 penisilin kristal sebanyak 2
juta unit secara juta unit secara
intramuskular intramuskular
-Pemberian serum antibisa. -Pemberian serum antibisa.
ANTI BISA ULAR • IV: dapat diberikan
(ABU) bolus dengan kece
patan 2 ml/menit
• Antivenin atau anti atau drip kontinu
bisa ular (ABU) diberi dilarutkan dalam 5
kan terutama pada ml/kgBB normal
gigitan ular berbisa salin atau dekstrose
(gigitan basah). 5%.
• ABU dilaporkan • ABU dapat diulang
efektif pada pasien 6 jam kemudian
dengan gigitan ular setelah pemberian
laut setelah 2 hari pertama jika koagul
dan pasien yang asi darah belum
masih mengalami membaik, atau 1
defibrinasi sampai jam kemudian jika
beberapa minggu perdarahan sponta
setelah gigtan ular n atau efek neuroto
ksisitas masih
viper.
berlangsung.
PENCEGAHAN
• Mengedukasi kepada populasi/ masyarak
at yang berisiko terkena gigitan ular
mengenai jenis ular yang terdapat di
daerah tersebut serta kebiasaan ular.
• Menghindari tempat yang berpotensi men
jadi habitat dari ular, seperti tempat
dengan rumput yang tinggi, semak-
semak, rawa, lubbang di tanah.
• Menggunakan celana yang panjang dan
longgar serta sepatu boots (terutama
pada petani)
• Menggunakan senter ketika berjalan di
malam hari
• Hindari berpergian sendiri ke kebun, usah
akan berkelompok
Thank you
Daftar pustaka
• Paramita. Pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja terhadap prestasi kerja karyawan. Jakarta.2012
• Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia. 2018. Tentang Keselamatan dan kesehatan kerja lingkun
gan kerja, Jakarta : Departemen Ketenagakerjaan.
• Yousaf et al. Rabies Molecular virology, diagnosis, prevention and treatment. Virology Journal. 2012
• World Health Organization. Rabies. Available at : http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies
. Accessed on August 30, 2018.
• Kemenkes RI. Situasi dan Analisis Rabies. Pusat Data dan Informasi. Jakarta. 2014
• Batan I.W, Suatha I.K. Faktor-faktor yang Mendorong Kejadian Rabies pada Anjing di Desa-Desa di Bali
. Jurnal Veteriner Fakultas kedokteran Hewan Universitas Udayana. Bali. 2016:17(2)
• Tanzil K. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal Widya Kesehatan dan Lingkungan Bagia
n Mikrobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Jakarta. 2014:1(1). Hal 61-7
• Centers for Disease Control and Prevention. Rabies. Available at : https://www.cdc.gov/rabies/index.htm
l . Accessed on August 30, 2018.
• Martidah, Eny. Faktor Risiko sikap dan pengetahuan masyarakat peternak dalam pengendaliaan penyak
it Antraks. Wartazoa. Vol. 27 No.3. 2017 Hal 135-134
• Sweeney, Daniel A, Catlin W Hicks, Hizhongcui and peter Q Eichacker. Anthrax infection. American Jour
nal of Respiratory and Critical Care Medicine. Vo. 18. 2011
• Rhehono, Dhani. Relationship between clinical manifestation and antibody serum in ou
tbreaks anthrax. Indonesian journal of Tropical and Infection Disease. Vol.5. 2015
• Ulfah M, Anies A, Adi Ms. Hubungan Karakteristik Demografi, Faktor K3 (Keselamatan
Dan Kesehatan Kerja) Dan Lingkungan Terhadap Kejadian Leptospirosis: Sebuah Stu
di Pada Pekerja Sektor Informal Di Kota Semarang Tahun 2013-2016 (Doctoral Dissert
ation, School Of Postgraduate).
• Alastot Em, Al-Shamahy Ha. Prevalence Of Leptospirosis Amongst Slaughterhouse W
orkers And Butchers In Sana'a City-Yemen. Universal Journal Of Pharmaceutical Rese
arch. 2018 May 12:17-20.
• Al-Orry, W.A.L.E.E.D., Arahou, M., Hassikou, R. And Mennane, Z., A Review Of Labor
atory Diagnosis And Treatment Of Leptospirosis. International Journal Of Pharmacy A
nd Pharmaceutical Sciences. 2016.
• Mustafa S, Kurniawaty E. Manajemen gangguan saluran cerna panduan bagi dokter u
mum. Lampung: Anugrah Utama Raharja(Aura); 2013.
• Riset kesehatan dasar 2013 , diakses pada 28 Juni 2016, http://www.depkes.go.id/res
ources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2 02013.pdf
• Kasper, Fauci, et all. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th Edition. USA; Mc
Graw-Hill Education; 2012.
• Thedja MD. Genetic diversity of hepatitis B virus in Indonesia: Epidemiological and clin
ical significance. Jakarta: DIC creative; 2012.
• Tang L, covert E, Wilson E, Kottilil S. Chronic Hepatitis B Infection. American medical
Association:2018
• Muljono DH, wijayadi T, Sjahril R. hepatitis B virus infection among health care workers
in Indonesia. Euroasian Journal of Hepato-Gastroenterology, 2018;8(1):88-92
• Harijanto, P. Data dan informasi kesehatan Epidemiologi Malaria. Accessed on Septe
mber 2018. Availabe at: https://www.scribd.com/document/60922336/Buletin-Malaria
• WHO. 2008. World Malaria Report 2006: Geneva. WHO/UNICEF.
• Laksono, RD. Proflaksis Malaria di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Acessed on September 2
018. Available at: http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_188Profilaksis%20Malaria%20di%20Pe
rbatasan%20Indonesia-Timor%20Leste.pdf
• Darliana, Devi. Manajemen Pasien Tuberculosis Paru. Idea Nursing Journal. 2010;20(1). p27-31
• Oktafiyana Fina, Nurhayati, Al Murhan. Hubungan Lingkungan Kerja Penderita Tb Paru Terhadap
Kejadian Penyakit Tb Paru. Jurnal Keperawatan. April 2016;9(1). p52-57
• Izzati Shabrina, Basyar Masrul, Nazar Julizar. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas.
2015; 4(1). p262-268.
• Kenedyanti Evin, Sulistyorini Lilis. Analisis Mycobacterium Tuberculosis Dan Kondisi Fisik Rumah
Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Berkala Epidemiologi. Mei 2017;5(2).p152-162
• Yuliawati I, Nasrudin. Indonesia journal of trofic and infection disease. Patogenesis diagnostic an
d management of toxoplasmosis. 4 januari-april 2015.
• Suparman E. Toxoplasmosis dalam kehamilan. Bagian obstetri dan ginekologi fakultas kedoktera
n universitas sam ratulangi rsup Prof.Dr.R.D.Kandou Manado. Jurnal biomedik, volume 4, nomer
1. Maret 2012. Hal.13-19.
• Triana, A. Jurnal kesehatan masyarakat. Faktor determinan toxoplasmosis pada ibu hamil. http://j
ournal. Unnes.ac.id/nju/index.php/kemas.2015. Hal 25-31.
• Adiwinata R. Nelwan EJ. Clinical Practice. Snakbite in Indonesia : ACTA Medica Indonesiana. Th
e Indonesian Journal of Internal Medicine. 2015 ;47 (4) : 358-365.
• Alirol E. Sharma SK. Bawaskar HS. Kuchu. Chappuis F. SnakeBite in South Asia: A Review.Avail
able from : http ://www. Plosntds.org.Acessed March 29. 2019.