Pasal 3 UUPA:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak- hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Bagaimana menilai masih ada atau tidaknya hak ulayat?
Tidak semua tanah yang ada di dalam suatu lingkungan hukum
adat adalah tanah ulayat, oleh karena itu perlu diketahui
kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat tersebut.
Kriteria tersebut menurut Prof. Maria SW Sumardjono adalah:
1. Adanya subjek hak ulayat yaitu masyarakat hukum adat yang
memenuhi ciri/karakteristik tertentu;
2. Adanya objek hak ulayat, yaitu tanah/wilayah yang
merupakan lebensraum masyarakat hukum adat setempat;
3. Adanya kewenangan tertentu dari masyarakat hukum adat
untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam rangka
mengelola tanah wilayahnya serta menentukan hubungan
yang berkenaan dengan persediaan, peruntukkan, pemanfatan
dan pelestarian tanah tersebut.
Apabila secara kumulatif kriteria tersebut terpenuhi,
merupakan sesuatu yang objektif, sehingga walaupun ada
masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun
apabila masyarakat hukum adat tersebut sudah tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan
tersebut, maka hak ulayat dapat dikatakan tidak ada lagi.
Hak ulayat dikatakan masih ada (exist) jika ketiga syarat diatas
terpenuhi secara kumulatif, sehingga ketidak berhasilan
memenuhinya dapat dinyatakan bahwa hak ulayat didaerah
setempat tidak ada.
Memang tidak mudah menentukan adanya hak ulayat di suatu
daerah, apalagi jika harus berhadapan dengan peristiwa hukum
konkrit. Untuk menytakan bahwa disuatu tempat terdapat hak
ulayat, terlebih dahulu harus dilakukan penelusuran yang
mendalam terhadap masyarakat hukum adat setempat.
Dalam pelaksanaannya terdapat permasalahan yang berkenaan
dengan eksistensi hak ulayat yaitu sulit untuk menghilangkan
kebiasaan untuk menerapkan suatu aturan formal dengan
pendekatan hukum semata-mata, karena dengan pendekatan
hukum saja, hanya akan menimbulkan pengingkaran terhadap
hukum yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh
karena itu perlu adanya kesadaran dimana berhadapan dengan
hak ulayat berarti keharusan untuk membuka diri untuk
memahami kesadarah hukum suatu masyarakat yang terealisasi
dalam tindakan nyata sehari-hari, berdasarkan sudut pandang
dan pola pikir masyarakat yang bersangkutan.
Pasal 3 UUPA Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi. Hak Ulayat berkenaan dengan
hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan
tanah dalam lingkungan wilayahnya.
Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban.
Dalam pengertian tanah dalam lingkungan wilayahnya,
mencakup luas kewenangan masyarakat adat berkenaan
dengan tanah, termasuk segala isinya.
Keberadaan hak ulayat dinyatakan dalam peta pendaftaran
(tanah), tetapi terhadap tanah ulayat tidak diterbitkan
sertipikat karena hak ulayat bukan objek pendaftaran tanah,
disamping itu juga sifat tanah ulayat yang dinamis dan
dimungkinkan terjadinya individualisasi secara alamiah karena
faktor sosial ekonomis yang membawa pengaruh terhadap
perubahan internal dikalangan masyarakat hukum adat sendiri.
PMA dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 9 Tahun 2015 Tentang Tata
Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu
Menyebutkan Hak Komunal dimaksudkan sebagai hak milik
Bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak
milik Bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat
yang berada di dalam Kawasan hutan dan perkebunan.
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan masyarakat hukum adat yang
memenuhi persyaratan dapat dikukuhkan hak atas tanahnya
apabila:
-masyarakat masih dalam bentuk paguyuban;
-ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya;
-ada wilayah hukum adat yang jelas;dan
-ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati.
Persyaratan kelompok masyarakat yang berada dalam
Kawasan tertentu dikukuhkan hak atas tanahnya, apabila:
a. menguasai secara fisik paling kurang 10 (sepuluh) tahun
atau lebih secara berturut-turut;
b. masih mengadakan pemungutan hasil bumi di wilayah
tertentu dan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari;
c. menjadi sumber utama kehidupan dan mata pencaharian
masyarakat;
d. terdapat kegiatan social dan ekonomi yang terintegrasi
dengan kehidupan masyarakat.
Tanah Negara
PERMASALAHAN YANG BERKAITAN
DENGAN HAK ATAS TANAH DALAM
PRAKTIK
1. Perlu difahami oleh Notaris dan PPAT berkaitan
dengan tanah Asset Desa dalam proses transaksi.
Notaris dan PPAT harus selalu hati-hati jangan sampai melakukan
transaksi terhadap tanah yang merupakan Asset Desa, atau
diketahui bahwa tanah yang tadinya Asset Desa sudah berubah
menjadi Hak Atas Tanah yang dimiliki perseorangan, jangan tutup
mata apabila Notaris atau PPAT tahu terkait hak tersebut, tolak saja,
jangan mau transaksi yang berisiko tinggi.
Bahwa dengan diberlakukannya UU No. 6/2014 Tentang Desa,
menjadikannya Pemerintah Desa berwenang mengelola asetnya
secara mandiri tidak terkecuali dengan hak atas tanah.
Desa yang menjadi pemerintahan otonom diperbolehkan memiliki
asset yang disebut dengan Asset Desa. Pengertian Asset Desa sama
dengan pengertian Barang Milik Negara atau Barang Milik Daerah,
yaitu barang yang berasal dari kekayaan asli Milik desa, dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau
perolehan lainnya yang sah.
Penghapusan Asset Desa dilakukan jika terjadi pemindah-
tanganan kepada pihak lain. Perlakuan berkaitan dengan
Asset Desa berbeda dengan Barang Milik Negara dan dengan
Barang Milik Daerah, Asset Desa yang berupa Tanah hanya
boleh dilakukan dengan cara tukar menukar atau penyertaan
modal.
Tukar Menukar Asset Desa selain untuk kepentingan umum
dilakukan setelah mendapat ijin dari Gubernur dan mendapat
persetujuan Menteri Dalam Negeri Melalui Bupati.
Berbeda lagi perlakukan terkait Tanah Kas Desa (TKD), yang
umumnya berupa Tanah Adat, jika letaknya diluar Desa, atau
letknya tidak dalam satu hamparan, dan/atau didalamnya
terdapat tanah pihak lain dapat dilakukan tukar menukar agar
letaknya berada di satu desa atau menjadi satu hamparan.
Tukar menukar tanah kas desa yang demikian ini cukup hanya
mendapat ijin Bupati dan harus dituangkan dalam
Peraturan Desa.
Sertipkat tanah yang berasal dari tanah Eks Asset desa kepada
pihakketiga hanya dapat dilakukan setelah dipenuhi :
1. Berita Acara serah Terima;
2. Peraturan Desa yang mengatur Penghapusan Asset Desa;
3. Surat Ijin Bupati;
4. Surat Ijin Gubernur; dan
5. Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri.
Apabila terdapat kekurangan dokumen dari pejabat yang
berwenang menjadikan proses pemindahan
Asset Desa terindikasi cacat. Penelusuran dan pemenuhan
kelengkapan dokumen penghapusan Asset Desadiperlukan
untuk mengetahui adanya riwayat yang tidak terputus, sebab
prosedur yang tidak sempurna dapat berakibat sertipikat yang
diterbitkan menjadi cacat hukum.
Sertipikat Hak Atas Tanah yang berasal dari tanah desa tidak
dapat diproses jika tidak dilengkapi dokumen penghapusan dan
pemindahtanganan yang lengkap dan sempurna, sesuai yang
datur dalam UU No. 6/2014 Tentang Desa.
2. Secara Normatif sudah sangat jelas tidak mungkin
mensertipikatkan hak atas tanah dengan objek hutan.
Tapi kenapa masih ada penyimpangan ya?
Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tetang Kehutanan,
Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkutan paut
dengan hutan,kawasan hutan dan
hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu (Pasal 1 angka
1).
Sedangkan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuannya, yang satu dengan yang
lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1 angka 2).
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap
(Pasal 1 angka 3).
Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa semua hutan dalam wilayah RI
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan dalam ayat (3) disebutkan
bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukumadat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional.
Kemudian dalam pasal 5 ditentukan :
1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari :
a. hutan Negara dan
b. hutan hak.
2. Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
berupa hutan adat.
3. Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ;
-dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
4. Apabila dalam perkembangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan
tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada
pemerintah.
3. Bagaimana pengaturan terkait dengan hak atas
tanah yang berada di sempadan pantai?
Pada pasal 33 ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “bumi air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”.
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai
dari Negara termaksud dalam UUPA (pasal 1 ayat 2) memberi
wewenang kepada negara
untuk :
-mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan memeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
-menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
-menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum (UUPA, pasal 4 ayat 1)
Harus dipahami bahwa tanah yang berada di dalam radius
sempadan pantai bukan objek hak atas tanah dan tidak dapat
dijadikan sertipikat (disertipikatkan) untuk swasta (privat
kecuali untuk keperluan tertentu yang sudah mendapat ijin,
misalnya kepentingan pelabuhan.
Sempadan pantai ditentukan 100 meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat. Pantai masuk dalam kewilayahan pesisir
yaitu daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Menuruut Dr. Gunanegara, tanah yang masih berada di dalam
daerah sempadan pantai atau wilayah pesisir, apalagi tanah
yang masih berupa laut, bukan objek hak atas tanah. Tanah
yang masuk di daerah sempadan pantai dapat diberikan
sertipikat Hak Pakai jika peruntukannya untuk usaha tambak
yang memang harus di pantai tepi laut, tentu harus ada ijin
lokasi dari Bupati/Walikota.
Bisa juga diberikan HGB atau Hak Pakai jika tanah-tanah yang
diperuntukkan sebagai pelabuhan. Pengaturan pemilikan tanah
sempadan pantai bukan instrumen hukum untu pengambilalihan
kepemilikan orang atau tanah yang sudah ada sebelumnya, akan
tetapi pengaturan penggunaan dan peanfaatan tanah sempadan
pantai dan kepemilikan baru.
Terkait dengan hal tersebut dapat dipedomani Putusan Pengadilan
Negeri Majene Nomor 09/Pdt.G/2013/PN.M tanggal 25 Pebruari 2014 :
bahwa kepemilikan lama yang ada sebelum keluarnya regulasi tentang
sempadan pantai tetap diakui, hanya saja pemohon sertipikat Ha Milik
yang baru harus memperhatikan adanya reklamasi pantai dan tanda
garis sempadan pantai.
Dalam pemberian ijin lokasi terkait dengan tanah-tanah di sempadan
pantai yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota juga harus
memperhatikan AMDAL dan ijin Kementerian yang terkait. Juga ada
larangan untuk menerbitkan ijin lokasi pada zona inti di kawasan
konservasi, alur laut, kawasan pelabuihan dan pantai umum,
sebagaiman disebutkan dalam pasal 17 ayat 4 UU Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang rumusannya “Ijin Lokasi tidak
dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, air laut,
kawasan pelabuhan dan pantai umum.
4. Bagaimana mensertipikatkan tanah yang
berbatasan dengan sungai?
Berdasarkan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan, PP No. 35/1991
tentang Sungai, dan Permen PUPR No. 28/PRT/M/2015 menyatakan
bahwa tanah di daerah sempadan sungai, danau, waduk atau laut
tidak dapat diajukan permohonan sertipikat ke Kantor Pertanahan
(BPN).
Menurut Dr. Gunanegara, dapat diuraikan:
1. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa
jaringan pengaliran air beserta air didalamnya, mulai dari hulu sampai
muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh Garis Sempadan.
2. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya,
yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan
daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
3. Garis Sempadan Sungai (GSS) adalah garis maya di kiri dan
kananpalung sungai yang ditetapkan sebagai batas
perlindungan sungai.
4. Danau adalah bagian dari sungai yang lebar dan
kedalamannya secara alamiah jauh melebihi ruas-ruas lain dari
sungai yang bersangkutan
5. Danau paparan banjir adalah tampungan air alami yang
merupakan bagian dari sungai yang muka airnya terpengaruh
langsung oleh muka air sungai.
6. Tanah yang ada di sempadan danau adalah luasan lahan
yang mengelilingi dan berjarak tertentu dari tepi danau yang
berfungsi sebagai kawasan pelindung danau
Bahwa tanah yang berada di daerah sempadan sungai dan
sempadan danau terlarang untuk menjadi objek hak atas
tanah. larangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan dan pengendalian sumber daya yang ada pada
tanah (tanah) di daerah sempada sungai atau danau tetap
sesuai fungsinya.
Tanah-tanah sempadan yang tidak dapat dimohonkan
sertipikat hak atas tanah adalah tanah yang letaknya :
1. Paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang aliran sungai, dalam hal kedalaman
sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter.
2. Paling sedikit berjarak 15 meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang aliran sungai, dalam hal kedalaman
sungai lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter, dan
3. Paling sedikit berjarak 30 meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang aliran sungai, dalam hal kedalaman
sungai lebih dari 20 meter sampai.
Untuk jarak tersebut diatas untuk sungai tidak bertanggul didalam
kawasan perkotaan, sedangkan ukuran jarak untuk sungai tidak
bertanggul diluar kawasan perkotaan:
a. Sungai besar dengan luas daerah aliran sungai lebih besar dari 500
Km2 paling sedikit berjarak 100 meter dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang lur sungai ;dan
b. Sungai kecil dengan luas daerah aliran sungai kurang dari atau
sama dengan 500 Km2 paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi kiri
dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Garis sempadan sungai bertanggul didalam kawasan perkotaan
paling sedikit berjarak 3 meter dari tepi luar kaki taggul sepanjang
alur sungai. Berbeda lagi dengan garis sempadan sungai bertanggul
diluar kawasan perkotaan paling sedikit 5 meter dari tepi luar kaki
tanggul sepanjang alur sungai.
Biarkanlah sungai sebagaimana fungsinya.
Sangat jelas parameter yang harus dipakai untuk membuat sertipikat
atas tanah-tanah sungai, danau, laut dan sempadannya. Oleh karena
itu Notaris dan PPAT yang membantu proses pengurusan sertipikat
tanah-tanah sebagaimana tersebut diatas lebih hati-hati lagi.
5. Pengalihan Fungsi tanah/lahan sebetulnya boleh ga
sih ?
Harus difahami dulu :
1. Apakah Tata Guna Tanah itu?
Tata guna tanah adalah pengaturan penggunaan tanah. Dalam tata
guna tanah dibicarakan bukan saja mengenai penggunaan permukaan
bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di
lautan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 14 UUPA,
tujuan daritata guna tanah harus diarahkan untuk mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Jadi masyarakat yang makmur
merupakan tujuan akhir dari kegiatan tata guna tanah. Tindakan yang
dilakukan dalam kerangka Tata Guna Tanah :
-mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah
tempat.
-mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.
-mengusahakan adanya pengendalian terhadap kebutuhan masyarakat
akan tanah
-mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak
atas tanah warga masyarakat.
2. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2015, BPN mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintahan dibidang pertanahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam
Pasal 3 disebutkan dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2, BPN menyelenggarakan fungsi :
a.Penyusunan dan penetapan kebijakan bidang pertanahan ;’
b.Perumusan dan pelaksanaan kebijakan survey, pengukuran,
dan pemetaan ;
c.Perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang penetapan
hak atas tanah, pendaftaran tanah, dan pemberdayaan
masyarakat ;
d.Perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pengaturan,
penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan ;
e.Perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pengaturan,
penataan dan pengendalian kebijakan pertanahan ;
f.Perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pengendalian
dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan ;
g.Pengawasan atas pelaksanaan tugas dilingkungan BPN;
h.Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan dan pemberian
dukungan adminstrasi kepada seluruh unit organisasi di
lingkungan BPN ;
i.Pelaksananaan pengelolaan data informasi lahan pertanian
pangan berkelanjutan dan informasi dibidang pertanahan ;
j.Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang
pertanahan;
k.Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia dibidang
pertanahan.
3. Kemudian harus diketahui tentang Kepentingan Umum
Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, Negara, dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,
demikian menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 2/2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Dalam Pasal 10 UU No. 2/2012 menegaskan kegiatan
pembangunan yang termasuk kepentingan umum adalah :
1. Pertahanan dan keamanan nasional ;
2. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun
kereta api, fasilitas operasi kereta api ;
3. Waduk, bendungan, bendung irigasi, saluran air minum,
saluran pembuangan air dan sanitasi dan bangunan pengairan
lainnya ;
4. Pelabuhan, Bandar udara dan terminal ;
5. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi ;
6. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga
listrik ;
7. Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah ;
8. Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah ;
9. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah ;
10. Fasilitas keselamatan umum ;
11. Tempat Pemakaman Umum Pemrintah/Pemerintah Daerah;
12. Fasilitas Sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau
publik;
13. Cagar alam dan cagar budaya ;
14. Kantor pemerintah/Pemerintah Daerah/desa ;
15. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau
konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa ;
16. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah
Daerah;
17. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah Daerah ;
dan
18. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 2/2102 menegaskan bahwa
pengadaan tanah harus sesuai dengan :
1. Rencana tata ruang wilayah ;
2. Rencana pembangunan nasional/daerah ;
3. Rencana strategis ;
4. Rencana kerja setiap instansi yang memerlukan tanah.
4. Bahwa berkaitan dengan alih fungsi tanah pertanian, dalam
pelaksanaannya pemerintah harus berpedoman kuat pada
kaidah-kaidah penataan ruang dan peraturan mengenai lahan
pertanian pangan berkelanjutan.
Dalam PP Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional
menegaskan bahwa RTRW harus dapat mewujudkan ruang
wilayah yang produktif dan berkelanjutan. Kawasan
peruntukkan pertanian masuk ke dalam kawasan budi daya yang
penetapannya harus memperhatikan kriteria :
a. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai
kawasan pertanian;
b. Ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi (berkelanjutan);
c. Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
d. Dapat dikembangkan sesuai tingkat ketersediaan air.
Oleh karena itu jika suatu ruang/lahan produktif sudah
ditetapkan untuk lahan pertanian, maka konversi lahan tersebut
untuk penggunaan lain diuar peruntukkan pertanian, jelas
HARUS DILARANG. Sehingga instrument pengendalian
penataan ruang wilayah menjadi sangat penting, misalnya
pemberian perijinan yang selektif, pengenaan pajak yang
progresif, pemberian insentif dan disinsentif penataan RTRW
serta sistem zonasi wilayah yang KONSISTEN.
5. Namun demikian pada asasnya manakala kepentingan umum
menghendaki Pasal 44 ayat (3) UU No 41 tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
MEMPERKENANKAN ALIH FUNGSI LAHAN. Namun demikian
harus di penuhi syarat-syarat :
a. Dilakukan melalui kajian kelayakan strategis;
b. Disusun rencana dengan baik alih fungsi lahannya;
c. Dibebaskan dan diselesaikan kepemilikan hak atas tanahnya
dari pemilik semula;
d. Disediakan lahan pengganti atas tanah yang dialih fungsikan
dengankualitas lahan minimal setara.
7. Hati-hati dalam membantu proses pembuatan
sertipikat tanah Asset Daerah kepada Pihak Ketiga
tanpa Hak.
Menurut hukum pertanahan nasional dikenal 3 (tiga) macam status
tanah, yaitu:
a. Tanah Negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara ;
b. Tanah hak, yaitu tanah yang dipunyai oleh perorangan atau badan
hukum artinya sudah terdapat hubungan hukum yang konkrit Antara
subjek tertentu dengan tanahnya ;
c. Tanah ulayat, yaitu tanah dalam penguasaan suatu masyarakat
hukum adat.
Menurut Dr. Gunanegara, perlakuan hukum tanah asset daerah sama
dengan tanah asset Negara. Cara perolehan tanah asset daerah sama
dengan cara perolehan asset Negara, dari APBD atau dari sumber lain
yang sah.
Demikian pula pemindahtanganan tanah asset daerah memerlukan
persetujuan DPRD, tanpa persetujuan DPRD pemindahtanganan
tanah asset daerah adalah melawan hukum.
Persetujuan DPRD diperlukan untuk pemindahtanganan tanah, kecuali tanah
tidak sesuai lagi dengan RTRW atau diperlukan untuk kepentingan umum.
Pemberian hak yang menghilangkan, menghapuskan, atau
memindahtangankan tanah asset daerah tanpa persetujuan DPRD
merupakan tindak pidana korupsi.
(Bisa dilihat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi)
Bagaimana apabila Notaris dan PPAT membantu proses tersebut?, maka
tentu Notaris dan PPAT yang membantu proses pembuatan
sertipikatsebagaimana tersebut bisa dikategorikan melanggar Pasal (Pasal-
Pasal) dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di Juncto-kan
dengan Pasal 55 ayat (1) KUHPidana : “Dipidana sebagai pelaku suatu
perbuatan pidana : ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan
dan yang turut serta melakukan perbuatan. Ke-2. Mereka yang dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat dengan kekerasan atau ancaman atau penyesatan, atau
dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan suatu perbuatan.
Pasal 56 KUHPidana: “Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan : ke-1.
Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan yang
dilakukan. Ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
HATUR NUHUN