SUB POKOK BAHASAN • Hakikat dan Ruang Lingkup Ijtihad • Kedudukan dan Fungsi Ijtihad • Metodologi Ijtihad • Menyikapi Hasil Ijtihad • Hakikat dan Ruang Lingkup Ijtihad (1) Ijtihad berarti menggunakan seluruh kesanggupan berpikir untuk menetapkan suatu keputusan hukum tertentu dengan jalan mengeluarkan hukum dari Alquran dan Sunnah. Kedudukannya sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Alquran dan Sunnah. • Hakikat dan Ruang Lingkup Ijtihad (2) Mengapa perlu Ijtihad Ijtihad sangat perlu sebagai langkah penetapan hukum yang masih belum jelas. Ruang Lingkup Ijtihad Ruang lingkup kajian ijtihad adalah adalah hukum-hukum syara’ yang tidak mempunyai dalil qath’i (pasti), bukan hukum-hukum asal dan masalah yang berhubungan dengan ilmu kalam (aqidah). Dalam perkembangannya Ipteks melahirkan temuan-temuan baru, yang hukum penggunaannya di kalangan umat Islam harus diatur. Dengan adanya ijtihad menyiratkan bahwa Islam senantiasa dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi manusia dari zaman ke zaman. • Metodologi Ijtihad (1) Dilihat dari pelaksanaannya, ijtihad dapat dibagi kepada dua macam: 1. Ijtihad fardhi, adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid. 2. Ijtihad Jama’i (ijma’), adalah ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid secara berkelompok. • Metodologi Ijtihad (2) Dilihat dari segi materi, ijtihad terdiri atas: 1. Qiyas (reasoning by analogy) : menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang telah ditentukan oleh nash, disebabkan oleh adanya persamaan di antara keduanya. 2. Ijma’ : adalah kebulatan atau kesepakatan semua ahli ijtihad umat setelah wafatnya Nabi pada suatu masa tentang suatu hukum. Ijma’ terdiri atas ijma’ qauli (ucapan) dan ijma’ sukuti (diam). 3. Istihsan (preference) : menetapkan suatu hukum atas suatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berkaitan dengan kebaikan, keadilan, kasih sayang, dan sebagainya dari Alquran dan Sunnah. 4. Mashalihul mursalah (utility) : menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan kegunaan dan manfaat yang sesuai dengan tujuan syariat Islam, sekalipun tidak ada dalil secara eksplisit dari Alquran dan Sunnah. • Menyikapi Hasil Ijtihad (1) Hasil ijtihad antara ulama yang satu dengan yang ulama lain bisa berbeda. Perbedaan pendapat inilah yang menimbulkan lahirnya mazhab-mazhab dalam Islam. Ini disebakan oleh banyak faktor antara lain: (1). Perbedaan kecerdasan dan kehati-hatian, terutama dalam menarik konkusi. (2). Perbedaan latar belakang kehidupan yang mewarnai cara berpikir (3). Perbedaan Jumlah referensi yang digunakan. (4). Perbedaan situasi dan konsisi negara tempat berijtihad. Ada negara yang menekan kebebasan berpikir, ada pula negara yang mendorong kebebasan berpikir. (5). Perbedaan tempat tinggal dan periode kehidupan. • Menyikapi Hasil Ijtihad (2) 1. Hasil ijtihad pribadi seorang ulama bisa dibantah oleh hasil ijtihad ulama lain. 2. Hasil ijtihad pribadi seorang ulama mengikat sikap hukum ulama itu, tetapi tidak mengikat sikap hukum ulama lainnya. 3. Hasil Ijtihad terikat dengan waktu dan keadaan setempat. bisa jadi dengan pergantian waktu, hukumnya pun berubah. 4. Hasil ijtihad bisa mengubah hukum yang telah establish tetapi hanya dalam hukum yang bersifat furu’iyah (ranting) bukan hukum dasar. 5. Hasil ijtihad ulama secara kolektif, komprehensif, yang mengakomodir semua unsur, selayaknya mengikat semua umat Islam yang diwakili oleh ulama di wilayah itu, bahkan umat dalam wilayah yang lebih luas. • Menyikapi Hasil Ijtihad (3) Kebenaran hasil ijtihad bersifat dzanniyah (persangkaan kuat kepada benar). Oleh sebab itu, kita tidak dapat menentukan secara mutlak mana yang benar dari hasil ijtihad mereka, karena yang dapat mengukur kebenaran secara mutlak hanyalah Allah. “Seorang hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mencapai satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim). • Menyikapi Hasil Ijtihad (4) Menyikapi Khilafiyah dan Bid’ah Apabila ada satu atau beberapa hadits shahih melahirkan banyak tafsiran dan pilihan, harus didiskusikan sampai diperdebatkan mana yang paling akurat. Apabila telah melalui serangkaian perdebatan ternyata tidak ada titik temu, maka itu disebut masalah Khilafiyah (perbedaan pendapat). Dalam hal ini kita harus tasammuh (toleransi). Tetapi apabila amal ibadah itu tidak memiliki landasan hadits, hadits dhaif sekalipun, tapi semata-mata hasil kreativitas seorang ulama, maka amal ibadah itu disebut bid’ah. Termasuk ke dalam bid’ah juga adalah amal ibadah yang ada landasan haditsnya tetapi para ulama hampir sepakat atas kedhaifannya. Terima kasih