Anda di halaman 1dari 11

MINGGU KE- 6

IJTIHAD: METODOLOGI PENETAPAN HUKUM


SUB POKOK BAHASAN
• Hakikat dan Ruang Lingkup Ijtihad
• Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
• Metodologi Ijtihad
• Menyikapi Hasil Ijtihad
• Hakikat dan Ruang Lingkup Ijtihad (1)
 Ijtihad berarti menggunakan seluruh
kesanggupan berpikir untuk menetapkan
suatu keputusan hukum tertentu dengan
jalan mengeluarkan hukum dari Alquran dan
Sunnah. Kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam ketiga setelah Alquran dan
Sunnah.
• Hakikat dan Ruang Lingkup Ijtihad (2)
 Mengapa perlu Ijtihad
Ijtihad sangat perlu sebagai langkah penetapan hukum yang
masih belum jelas.
 Ruang Lingkup Ijtihad
Ruang lingkup kajian ijtihad adalah adalah hukum-hukum syara’
yang tidak mempunyai dalil qath’i (pasti), bukan hukum-hukum
asal dan masalah yang berhubungan dengan ilmu kalam
(aqidah).
Dalam perkembangannya Ipteks melahirkan temuan-temuan
baru, yang hukum penggunaannya di kalangan umat Islam
harus diatur. Dengan adanya ijtihad menyiratkan bahwa Islam
senantiasa dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan
yang dihadapi manusia dari zaman ke zaman.
• Metodologi Ijtihad (1)
 Dilihat dari pelaksanaannya, ijtihad dapat
dibagi kepada dua macam:
1. Ijtihad fardhi, adalah ijtihad yang
dilakukan oleh seorang mujtahid.
2. Ijtihad Jama’i (ijma’), adalah ijtihad yang
dilakukan oleh para mujtahid secara
berkelompok.
• Metodologi Ijtihad (2)
 Dilihat dari segi materi, ijtihad terdiri atas:
1. Qiyas (reasoning by analogy) : menetapkan hukum sesuatu
perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya,
berdasarkan sesuatu hukum yang telah ditentukan oleh nash,
disebabkan oleh adanya persamaan di antara keduanya.
2. Ijma’ : adalah kebulatan atau kesepakatan semua ahli ijtihad
umat setelah wafatnya Nabi pada suatu masa tentang suatu
hukum. Ijma’ terdiri atas ijma’ qauli (ucapan) dan ijma’ sukuti
(diam).
3. Istihsan (preference) : menetapkan suatu hukum atas suatu
persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip atau dalil-dalil
yang berkaitan dengan kebaikan, keadilan, kasih sayang, dan
sebagainya dari Alquran dan Sunnah.
4. Mashalihul mursalah (utility) : menetapkan hukum
berdasarkan pertimbangan kegunaan dan manfaat yang
sesuai dengan tujuan syariat Islam, sekalipun tidak ada dalil
secara eksplisit dari Alquran dan Sunnah.
• Menyikapi Hasil Ijtihad (1)
 Hasil ijtihad antara ulama yang satu dengan yang
ulama lain bisa berbeda. Perbedaan pendapat inilah
yang menimbulkan lahirnya mazhab-mazhab dalam
Islam. Ini disebakan oleh banyak faktor antara lain:
(1). Perbedaan kecerdasan dan kehati-hatian,
terutama dalam menarik konkusi.
(2). Perbedaan latar belakang kehidupan yang
mewarnai cara berpikir
(3). Perbedaan Jumlah referensi yang digunakan.
(4). Perbedaan situasi dan konsisi negara tempat
berijtihad. Ada negara yang menekan kebebasan
berpikir, ada pula negara yang mendorong
kebebasan berpikir.
(5). Perbedaan tempat tinggal dan periode kehidupan.
• Menyikapi Hasil Ijtihad (2)
1. Hasil ijtihad pribadi seorang ulama bisa dibantah oleh hasil
ijtihad ulama lain.
2. Hasil ijtihad pribadi seorang ulama mengikat sikap hukum
ulama itu, tetapi tidak mengikat sikap hukum ulama lainnya.
3. Hasil Ijtihad terikat dengan waktu dan keadaan setempat.
bisa jadi dengan pergantian waktu, hukumnya pun berubah.
4. Hasil ijtihad bisa mengubah hukum yang telah establish tetapi
hanya dalam hukum yang bersifat furu’iyah (ranting) bukan
hukum dasar.
5. Hasil ijtihad ulama secara kolektif, komprehensif, yang
mengakomodir semua unsur, selayaknya mengikat semua
umat Islam yang diwakili oleh ulama di wilayah itu, bahkan
umat dalam wilayah yang lebih luas.
• Menyikapi Hasil Ijtihad (3)
 Kebenaran hasil ijtihad bersifat dzanniyah (persangkaan
kuat kepada benar). Oleh sebab itu, kita tidak dapat
menentukan secara mutlak mana yang benar dari hasil
ijtihad mereka, karena yang dapat mengukur kebenaran
secara mutlak hanyalah Allah. “Seorang hakim apabila
berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran, maka
ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian
tidak mencapai kebenaran, maka ia mencapai satu
pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).
• Menyikapi Hasil Ijtihad (4)
 Menyikapi Khilafiyah dan Bid’ah
Apabila ada satu atau beberapa hadits shahih
melahirkan banyak tafsiran dan pilihan, harus
didiskusikan sampai diperdebatkan mana yang paling
akurat. Apabila telah melalui serangkaian perdebatan
ternyata tidak ada titik temu, maka itu disebut masalah
Khilafiyah (perbedaan pendapat). Dalam hal ini kita
harus tasammuh (toleransi). Tetapi apabila amal ibadah
itu tidak memiliki landasan hadits, hadits dhaif sekalipun,
tapi semata-mata hasil kreativitas seorang ulama, maka
amal ibadah itu disebut bid’ah. Termasuk ke dalam
bid’ah juga adalah amal ibadah yang ada landasan
haditsnya tetapi para ulama hampir sepakat atas
kedhaifannya.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai