Anda di halaman 1dari 22

PEMBERDAYAAN PERUNDINGAN BIPARTIT

DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Oleh :

W. Tambunan
HP : 08172321264 – 081210058431

Kabid Hubungan Industrial dan Syarat Kerja


Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kab. Purwakarta
Disampaikan dalam rangka Sosialisasi Peraturan Ketenagakerjaan
oleh Disnakertrans Prov. Jawa Barat, Rabu 6 Juni 2018
Hotel Prima Cirebon, Jl. Siliwangi No. 107 Cirebon
Dasar Hukum :

1. UU No. 21 Tahun 2000 tentang SP/SB.


2. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI.
4. Permenakertrans Nomor : Per-31/MEN/XII/2008
tentang Pedoman PPHI Melalui Perundingan
Bipartit.
By : Tambunan
Makna :

1. Nilai keberhasilan kita tidak ditentukan oleh banyaknya PHI


yang diselesaikan ;
2. Lakukan pembinaan untuk mencegah terjadinya perselisihan
(PHI) vide Pasal 173 – Pasal 175 UU No. 13 Tahun 2003;
3. Perselisihan harus diupayakan penyelesaian secara cepat,
tepat, adil dan biaya ringan.
4. Maksimalkan penyelesaian PHI secara bipartit (musyawarah
mufakat).
Mengapa :
• Berperkara di pengadilan tidak efektif dan tidak efisien (waktu,
biaya) dan “terjebak” pada pameo mempersoalkan ayam
akhirnya kehilangan sapi.
• Ada ungkapan : “Berperkara di pengadilan sama dengan
menambah satu musuh dan ibarat memasuki hutan belantara
yang tidak jelas ujungnya”.
• Proses peradilan berlarut-larut akan mengurangi kepercayaan
masyarakat kepada peradilan itu sendiri yang berakibat pada
berkurangnya kewibawaan pengadilan (justice delayed is
justice denied).
• Sebaik apapun suatu putusan dibuat, jauh lebih baik suatu
perdamaian (musyawarah untuk mencapai mufakat).
By : Tambunan
Pekerjaan
H
U
B
U
N  terikat pada sebuah janji
G (Pacta sunt servanda);
 ada kepentingan yang berbeda;
Perjanjian A (simbiose mutualisma)
Upah N
Kerja  bekerja untuk upah ;
 Perintah : fungsi management ;
K  Lahir : Hak dan Kewajiban;
 Dilaksanakan dalam kerangka HI
E
R
J
A
Perintah
Potensi Masalah

by : Tambunan
Ekonomi / Kesejateraan

Kemampuan Perusahaan

Potensi
Pelaksanaan Peraturan
Masalah :
Intervensi Luar

Pola Perilaku

Tantangan bagi SP/SB dan Pekerja/Buruh,


Pengusaha dan Pemerintah (Mediator)
By : Tambunan
by : Tambunan
Pasal 3 Permenakertrans No : Per-32/2008 jo Pasal 1
ayat (18) jo Pasal 103 huruf “c” UU No. 13 Tahun 2003 :
LKS Bipartit : forum komunikasi dan konsultasi
Lemba mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hub. industrial
ga di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan SP/SB (tercatat) atau unsur
pekerja/buruh.

Bipartit Pasal 1 ayat (1) No : PER. 31/2008 jo Pasal 151 ayat (2) UU
No. 13 /2003 jo Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 /2004 :
 Perundingan bipartit adalah perundingan antara
pekerja/buruh atau SP/SB dengan pengusaha untuk
menyelesaikan PHI dalam satu perusahaan.
Sistem  Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak
(Prosedura dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan
l) kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan SP/SB atau
dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB.
 PHI wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.

Note : Bipartit berasal dari suku kata Bi (= dua) dan


partit (= pihak), jadi bipartit berarti “DUA PIHAK”. By : Tambunan
Bipartit dalam peraturan perundang-undangan:
 Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 2 Tahun
2004 tentang PPHI, bipartit ada 2 (dua) macam yaitu bipartit sebagai “lembaga”
dan bipartit sebagai “sistem”.

 Bipartit sebagai lembaga mempunyai suatu bentuk yang jelas (dilembagakan) vide
Pasal 103 huruf “c” UU Nomor 13 Tahun 2003 jo Permenakertrans Nomor : Per-
32/MEN/XII/2008 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Lembaga Kerja Sama
Bipartit.

 Sedangkan bipartit sebagai sistem hanya bersifat prosedural (tidak dilembagakan),


hanya tampak dalam hal penyelesaian perselisihan hubungan industrial vide Pasal 151
ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 jo Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004.

Doc : Tambunan
“Dualisme hukum” penerapan bipartit sebagai sistem:

 Pasal 4 Ayat (4) Permenakertrans Nomor : 31/MEN/XII/2008 :


“ dalam perundingan bipartit, SP/SB atau pengusaha dapat meminta
pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing”.
 Boleh melibatkan pihak luar.

 Pasal 22 (2) Permenaker KK No. 28 Tahun 2014 :


“Anggota tim perunding pembuatan PKB yang mewakili serikat
pekerja/serikat buruh harus pekerja/buruh yang masih terikat dalam
hubungan kerja di perusahaan tersebut”.
Tidak boleh melibatkan luar.

doc. Tambunan
Pertanyaan :
 Apakah dengan melibatkan pihak lain (dari luar perusahaan)
akan “mempermudah atau mempersulit” penyelesaian
masalah PHI?
 Untuk menjawab perlu diperhatikan sbb :
a. latar belakang pendamping ?
b. kemampuan pendamping?
c. itikad baik pendamping?

 Saran :
a. Sebaiknya perundingan bipartit tidak perlu melibatkan
pihak luar.
b. Apabila tidak selesai bipartit sebaiknya cukup sampai
tingkat mediasi (non litigasi).
c. Berperkara ke Pengadilan bersifat “ultimum remidium”.
by : Tambunan
Kualitas SDM
(pendidikan, penguasaan aturan)
Pengalaman
(pelatihan, loka karya)
Kenda Kemampuan komunikasi

laBipa (Ethos, Pathos, Logos)


Otoritas
rtit (pengambilan putusan)
Pengaruh luar organisasi
(supra struktur, LSM, Desa dll)
Krisis Kepercayaan
Character Terkendali, Ramah, Disiplin.
(sifat)
Concept Luas, Visioner.
(wawasan)
Competence Memahami PP, PKB, per-uu-an.
(kemampuan) Pengalaman.
Connection interen , eksteren, persuasif, komunikatif.
(hubungan)
Comitment pekerja keras, solutif, motivatif.
(kemauan) (cepat, tepat, biaya ringan).

Kapasitas 5 - C
Personil Perunding
By : Tambunan
Pihak-pihak dalam Bipartit :

Jenis PHI Pihak-pihak


Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004

 Pengusaha vs Pekerja/Buruh
Hak  Pengusaha vs SP/SB.

 Pengusaha vs Pekerja/Buruh
Kepentingan  Pengusaha vs SP/SB.

PHK Pengusaha vs Pekerja/Buruh;

Antar SP/SB SP/SB vs SP/SB

By : Tambunan
Pra-syarat berunding :

 Itikad baik (realistis, keterbukaan) ;


 Pahami pemasalahan ;
 Mampu berkomunikasi (EPL) ;
 Pengendalian diri (self-controll) ;
 Prinsip “win-win solution” (musyawarah mufakat
Konstatasi
(menetapkan/
membuktikan
peristiwa konkret)

Memahami Kualifisir Perjanjian


Masalah (menemukan hk Bersama
nya (PP, PKB, UU)
(PHI)

Alternatif Solusi : Tidak selesai :


Konstituir  Kerja Kembali Risalah;
(menetapkan hk
 Penurunan sanksi Daftar Hadir;
nya, apa
keputusan)  Schorsing PP atau PKB;
 PHK-kompensasi? Bukti lain

MEDIASI
Tahapan Pelaksanaan Perundingan Bipartit :

I. Permintaan perundingan disampaikan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali, secara


patut dan tertulis (lihat Pasal 168 UU No. 13/2003, Penjelasan Pasal 43 ayat (1)
UU No, 2/2004);
Catatan :
- apabila pada permintaan pertama sudah dipenuhi (perundingan) maka
tidak perlu dilakukan permintaan ke dua, tetapi apabila pada permintaan
pertama tidak dihadiri maka diperlukan permintaan tertulis kedua.
- waktu pelaksanaan perundingan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari dari
waktu pengiriman surat kepada pihak lain.
- setelah dilakukan pertemuan pertama dan ternyata permasalahan belum
selesai maka pertemuan selanjutnya tinggal disepakati dalam perundingan
dan dituangkan dalam risalah perundingan;
- setelah 2 (dua) kali permintaan ternyata tidak dipenuhi maka perundingan
dapat dikategorikan “gagal” kecuali ada alasan tertentu yang disampaikan
secara tertulis;
- apabila “gagal” maka sudah memenuhi syarat untuk diajukan ke mediasi
dengan menjelaskan alasan gagalnya perundingan dengan melampirkan
bukti gagalnya perundingan yaitu surat permintaan tertulis;
- mediator wajib permohonan mediasi walaupun tidak ada risalah bipartit
karena ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 yang
menyatakan : “pencatatan perselisihan harus melampirkan bukti upaya
penyelesaian secara bipartit dan apabila tidak lengkap, berkas
dikembalikan” adalah bersifat mengatur.
By : Tambunan
II. Kelengkapan Administratif :

a. Surat Kuasa atau Surat Tugas ;


Jumlah personil masing-masing pihak disesuaikan, tidak harus semua
Pengurus SP/SB yang terlibat (misal : Ketua Bidang Pembelaan)
b. Bukti Pencatatan SP/SB ;
c. Bukti Kartu Tanda Anggota (Anggota SP/SB);
Pasal 4 ayat (2) huruf a UU No. 21 Tahun 2000 : “sebagai pihak dalam
pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan
industrial”;
Pasal 27 huruf a UU No. 21 Tahun 2000 : “melindungi dan membela anggota
dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya”;
Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 : “ Serikat pekerja/serikat buruh dan
organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara
di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya”.
d. Kronologis permasalahan (Posita) ;
e. Bukti-bukti misalnya : Surat Peringatan, Absensi, Keterangan Saksi, , Berita
Acara, PP/PKB/UU dll.
By : Tambunan
III. Tahap Pelaksanaan Perundingan :
a. Daftar Hadir;
b. Penyampaian permasalahan dari pemohon bipartit;
c. Risalah Perundingan (ditandatangan wakil masing-masing pihak)
d. Sepakat buatkan Perjanjian Bersama.
e. Tidak selesai ......................... Mediasi.

IV. Sebagai bukti telah dilakukan perundingan bipartit, berdasarkan ketentuan Pasal
6 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004 harus dibuatkan risalah
perundingan yang sekurang-kurangnya memuat :

• nama lengkap dan alamat para pihak ;


• tanggal dan tempat perundingan ;
• pokok masalah dan alasan perselisihan ;
• pendapat para pihak ;
• kesimpulan dan hasil perundingan ; dan
• tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.

Doc : Tambunan
Kuantitas
( Kader - Minat - Pemerataan)
Kualitas
(pendidikan-pelatihan-pemantapan)
Masalah Mental
Mediator ( fighting spirit )
Komunikasi
(Lexicographer)
Dampak OTDA
(potitioning)
Masa lalumu tidak akan bisa berobah

tetapi,

Masa depanmu hanya akan berdiri

diatas pondasi yang kamu bangun


hari ini.
By. W. Tambunan

Anda mungkin juga menyukai