Limbah PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 54

TUGAS

HUKUM LINGKUNGAN
1. PENGERTIAN DAN RUANG
LINGKUP
HUKUM LINGKUNGAN
Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Lingkungan
Hukum Lingkungan dalam pengertian yang paling sederhana adalah hukum yang mengatur tatanan lingkungan
(lingkungan hidup).
Istilah hukum lingkungan adalah merupakan konsepsi yang masih baru dalam ilmu hukum, ia tumbuh sejalan
bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan tumbuhnya pengertian dan kesadaran
untuk melindungi dan memelihara lingkungan hidup ini maka tumbuh pula perhatian hukum kepadanya,
sehingga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya cabang hukum yang disebut hukum lingkungan.

Di kalangan para ilmuan masih terdapat beberapa perbedaan pandangan seperti tentang apa dan bagaimana
hukum lingkungan itu. Drupsteen mengemukakan, bahwa hukum lingkungan (millieurecht) adalah hukum
yang berhubungan dengan alam (natuurlijk millieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan
dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian maka hukum lingkungan
merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan
terutama dilakukan oleh Pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum Pemerintahan
(bestuursrecht). Di samping hukum lingkungan Pemerintahan (bestuursrechttelijk millieurecht) terdapat pula
hukum lingkungan keperdataan (privaat rechttelijk millieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan
(staatrechttelijk millieurecht), hukum lingkungan kepidanaan (strafrechttelijk millieurecht), sepanjang bidang-
bidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan pengelolaan lingkungan hidup.
mempelajari hukum lingkungan sebagai suatu kesatuan adalah bermanfaat karena memberi
kemungkinan untuk membedah beberapa kaidah hukum untuk menilainya secara kritis.
Koesnadi Hardjasoemantri, menyatakan bahwa hukum lingkungan Indonesia dapat meliputi aspek-
aspek sebagai berikut :
-Hukum kesehatan lingkungan;
-Hukum perlindungan lingkungan;
-Hukum tata lingkungan;
-Hukum pencemaran lingkungan (dalam kaitannya dengan misalnya pencemaran oleh industri dan
sebagainya).
-Hukum lingkungan trasnasional/internasional dalam kaitannya dengan hubungan antar bangsa.
-Hukum perselisihan lingkungan (dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah ganti rugi dan
sebagainya).

Mengapa hukum diperlukan dalam pengelolaan lingkungan, karena dahulu terdapat anggapan bahwa
pengertian dan perhatian manusia terhadap alam sebagai tempat hidupnya hanya semata-mata
dijadikan sebagai obyek saja. Manusia belum begitu sadar dan dapat membayangkan bahwa antara
alam tempatnya hidup dengan manusia adalah mempunyai kedudukan yang sama. Dalam pengertian
bahwa dalam alam, fungsi manusia dan fungsi “tempat hidup” itu sama pentingnya karena saling isi-
mengisi dan saling pengaruh dan mempengaruhi. Atas dasar kenyataan alam tersebut, maka perlu
manusia juga senantiasa melindungi dan memelihara “tempat hidupnya” secara seksama, seperti
halnya manusia melindungi dan memelihara dirinya sendiri.
Hukum Lingkungan yang ditetapkan oleh suatu negara disebut Hukum Lingkungan Nasional. Adapun
Hukum Lingkungan yang ditetapkan persekutuan hukum bangsa-bangsa, disebut Hukum Lingkungan
Internasional. Hukum Lingkungan yang mengatur suatu masalah lingkungan yang melintasi batas
negara (masalah lingkungan batas-batas masalah lingkungan transnasional) disebut Hukum
Lingkungan Transnasional.

Masalah-masalah lingkungan transnasional itu terdapat banyak sekali di daerah-daerah perbatasan


beberapa negara bersangkutan berdasarkan persetujuan atau mufakat. Demikianlah Hukum
Lingkungan Transnasional itu merupakan salah satu bagian belaka daripada Hukum Lingkungan
Internasional dengan segala ciri-ciri dan cacatnya, sekalipun biasanya cara-cara menetapkan dan
memperlakukannya tidak serumit dunia secara global.

Sejak Deklarasi Stockholm tahun 1972 telah digariskan hubungan antara pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup, yaitu pembangunan tanpa merusak lingkungan, yang selanjutnya
dikenal dengan kebijakan “Pembangunan berwawasan Lingkungan” (“Eco-development”)
sebagaimana ditegaskan dalam prinsip ke-13 Deklarasi Stocholm.
Dalam Deklarasi Rio dirumuskan pula keterkaitan pembangunan dengan lingkungan sebagaimana
tertuang dalam prinsip ke-3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :

The right to development must be fulfilled so as to equitably meet development and environmental needs
of present and future generations (Hak guna membangun harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga
memenuhi secara tepat keseimbangan kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup baik bagi generasi
masa kini maupun generasi masa yang akan datang).

In Order to echieve sustainable development, environmental protection shall consitute an integral part of
the development process and cannot be considered in isolation form it. (Dalam rangka mencapai
pembangunan yang berkesinambungan, perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian
terpadu dari proses pembangunan tersebut, dan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah).

Dalam pelaksanaannya, pembangunan berwawasan lingkungan dikaitkan dengan ”pembangunan


berkelanjutan” (“sustainable development”) yang menurut “The World Commission on Environment and
Development (WCED)” dalam publikasi “Our Common Future” ditegaskan
Pembangunan berkesinambungan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Sehubungan
dengan hal di atas, pada tahun 1987 oleh WCED diterbitkan publikasi pakar hukum lingkungan berupa
“Environmental Protection and Sustainable Development, Legal Principles and Recommendations”. Pasal
7 karya tersebut menyatakan :

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlindungan meliputi
unsur-unsur berikut: (a) perencanaan, (b) pemanfaatan, (c) pengendalian, (d) pemeliharaan, (e)
pengawasan, (f) penegakan hukum. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Perencanaan perlindungan dan penglolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui
tahapan: (a) inventarisasi lingkungan hidup, (b) penetapan wilayah ekoregion, (c) penyusunan RPPLH.
Selanjutnya, inventarisasi lingkungan hidup dibedakan atas inventarisasi lingkungan hidup nasional,
tingkat pulau/kepulauan dan tingkat wilayah ekoregion. Tujuan inventarisasi lingkungan hidup adalah
untuk memperoleh data dan sumber daya alam yang meliputi; (a) potensi dan ketersediaan, (b) jenis yang
dimanfaatkan, (c) bentuk penguasaan, (d) pengetahuan pengelolaan, (e) bentuk kerusakan dan (f) konflik
dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Selanjutnya, inventarisasi lingkungan hidup akan
menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion. Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan
mempertimbangkan kesamaan: (a) karakteristik bentang alam, (b) daerah aliran sungai, (c) iklim, (d) flora
dan fauna, (e) sosial budaya, (f) ekonomi, (g) kelembagaan masyarakat, (h) hasil inventarisasi lingkungan
hidup.
Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat rumusan pengertian tentang
konsep-konsep yang digunakan dalam batang tubuh undang-undang tersebut sebanyak 39 sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1. Bandingkan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 yang mana
memuat 25 pengertian. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap memuat
rumusan pengertian dari beberapa konsep dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berasal dari undang-
undang sebelumnya. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat
pengertian dari 35 konsep yang relevan dengan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu: (1) lingkungan hidup, (2) perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, (3) pembangunan berkelanjutan, (4) rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, (5) ekosistem, (6) pelestarian fungsi lingkungan hidup, (7) daya dukung,
(8) lingkungan hidup, (9) daya tampung lingkungan hidup, (10) sumber daya alam, (11) kajian
lingkungan hidup strategis, (12) analisis mengenai dampak lingkungan hidup, (13) upaya pengelolaan
lingkungan hidup, (14) upaya pemantauan lingkungan hidup, (15) baku mutu lingkungan hidup, (16)
pencemaran lingkungan hidup, (17) kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, (18) perusakan
lingkungan hidup, (19) kerusakan lingkungan hidup, (20) konservasi sumber daya alam, (21) perubahan
iklim, (22) limbah, bahan berbahaya dan beracun, (23) limbah bahan berbahaya dan beracun, (24)
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, (25) dampak lingkungan hidup, (26) organisasi
lingkungan hidup, (27) audit lingkungan hidup, (28) ekoregion, (29) kearifan lokal, (30) masyarakat
hukum adat, (31) orang, (32) instrumen ekonomi lingkungan hidup, (33) ancaman serius, (34) izin
lingkungan, (35) izin usaha.
Beberapa konsep atau istilah baru yang dirumuskan dalam Undang-Undang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan tidak ditemukan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997
maupun Undang-Undang Lingkungan Hidup 1982 adalah kajian lingkungan hidup strategis, disingkat
Kajian Lingkungan Hidup Strategis, kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, bahan berbahaya dan
beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, pengelolaan limbah B3, dumping, audit lingkungan
hidup, ekoregion, kearifan lokal, masyarakat hukum adat, instrumen ekonomi, ancaman serius, izin
lingkungan.

Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah “rangkaian analisis sistematis, menyeluruh dan
partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.” Kajian
Lingkungan Hidup Strategis yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan instrumen kebijakan, perencanaan dan program.
Diintrodusinya konsep Kajian Lingkungan Hidup Strategis didasari oleh pertimbangan bahwa
instrumen-instrumen kebijakan yang berorientasi pada sebuah kegiatan, misalnya perizinan dan Analisis
mengenai dampak lingkungan saja tidak memadai untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan
karena kegiatan-kegiatan yang bersifat makro justeru menimbulkan dampak yang lebih luas dan
bermakna sehingga perhatian harus difokuskan pula pada kegiatan makro seperti pembangunan suatu
wilayah, kebijakan dan program pembangunan.
Kerusakan lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 17 yaitu”perubahan langsung dan/atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup”. Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 pengertian kerusakan lingkungan hidup
tidak ditemukan, yang ada hanya pengertian perusakan lingkungan hidup. Dengan adanya rumusan kerusakan
lingkungan hidup pada dasarnya tidak diperlukan lagi rumusan perusakan lingkungan hidup karena dengan
pengertian kerusakan lingkungan hidup menunjukkan salah satu masalah lingkungan hidup, sedangkan
perusakan lingkungan hidup mengandung makna perbuatan atau tindakan yang menimbulkan kerusakan
lingkungan, sehingga Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat menjadi lebih
hemat istilah. Misalkan untuk istilah pencemaran lingkungan cukup dengan sendirinya dipahami sebagai salah
satu masalah lingkungan.

Pengertian perubahan iklim dirumuskan dalam Pasal 1 butir 19 yaitu “berubahnya iklim yang diakibatkan
langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfer
secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu
yang dapat dibandingkan”. Meskipun perubahan iklim dirumuskan, Undang-Undang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memuat pasal atau bab khusus yang mengatur prinsip-prinsip
pengendalian dan pengelolaan perubahan iklim. Istilah perubahan iklim hanya sekadar disebut dalam Pasal 10
ayat (2) f dan (4) d yang mengatur Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 16 e
yang mengatur Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Konsep-konsep lainnya seperti bahan berbahaya dan
beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, kearifan lokal dan masyarakat hukum adat, instrumen
ekonomi, ancaman serius, izin lingkungan akan diuraikan pada bagian tersendiri ketika membahas konsep-
konsep tersebut.
Pengertian lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Pengertian perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum”.

Pengertian pembangunan berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-


Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “upaya sadar dan terencana, yang
memadukan lingkungan hidup, sosial, ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi
masa kini dan masa depan.”
Pengertian ekosistem sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 5 adalah: “tatanan unsur lingkungan
hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling memengaruhi dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup.” Pengertian pelestarian fungsi lingkungan
hidup dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6, yaitu “rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.” Konsep daya dukung lingkungan hidup dirumuskan
dalam Pasal 1 butir 7, yaitu “kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain dan keseimbangan antar kedua.” Selanjutnya, konsep daya tampung lingkungan
hidup dirumuskan sebagai berikut: “kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.” Konsep daya dukung lingkungan berguna
dalam kaitannya dengan pengendalian perusakan lingkungan hidup, sedangkan konsep daya tampung
lingkungan hidup berguna dalam kaitannya dengan pengendalian pencemaran lingkungan hidup.
Rumusan pengertian-pengertian pelestarian fungsi lingkungan hidup, daya dukung lingkungan hidup dan
daya tampung lingkungan hidup dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup tidak berbeda secara prinsipil dengan rumusan pengertian ketiga konsep itu di dalam Undang-
Undang Lingkungan Hidup 1997.
Pengertian sumber daya alam sebagaimana dirumuskan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: “unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya alam, baik
hayati maupun non-hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.” Sebaliknya, Undang-
Undang Lingkungan Hidup 1997 memuat istilah sumber daya saja tanpa kata “alam” yang bersifat lebih luas
dari sumber daya alam karena meliputi pula sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Menurut
pendapat penulis lebih tepat menggunakan istilah sumber daya alam karena lingkungan hidup memang
mengandung sumber daya alam.

Pengertian analisis mengenai dampak lingkungan, disingkat Analisis mengenai dampak lingkungan,
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 adalah “kajian mengenai dampak penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” Rumusan pengertian Analisis mengenai
dampak lingkungan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup 1997 memuat kata “besar” di samping kata
“penting”. Dalam Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kata “besar”
ditiadakan. Menurut penulis penghilangan kata “besar” dapat dibenarkan karena antara keduanya seperti
“redundancy” atau pengulangan. Selain itu, jika dilihat dari konsep Environmental Impact Assessment (EIA)
dalam NEPA, Undang-undang lingkungan hidup Amerika Serikat – yang kemudian diadopsi oleh Indonesia –
menggunakan istilah “significant impact”. Kata penting lebih tepat sebagai padanan kata “significant”
daripada kata “besar”.
Hukum mempunyai kedudukan dan arti penting dalam pemecahan masalah lingkungan hidup dan
merupakan dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah. Namun hukum bukanlah satu-satunya
sarana untuk menampung kebutuhan masyarakat terhadap pemecahan masalah lingkungan, peran serta
Pengadilan dan pemahaman terhadap substansi hukum lingkungan juga diperlukan. Dalam hal ini perlu
kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah dan keseimbangan hubungan antara kepentingan
umum dan kepentingan perseorangan serta antara hak dan kewajiban.

Terhadap masalah lingkungan diperlukan pola pikir global, tapi langkah-langkah dan tindakan yang perlu
diambil dalam rangka pengelolaan lingkungan sifatnya lokal. Kunci utama kebijakan lingkungan terletak
pada penetapan sarana yang diperlukan bagi langkah-langkah operasional.

Hukum lingkungan hidup merupakan instrument yuridis yang memuat kaidah-kaidah tentang
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk mencegah penyusutan dan kemorosotan mutu lingkungan.
Dikatakan oleh Danusaputro bahwa hukum lingkungan hidup adalah konsep studi lingkungan hidup
yang mengkhususkan pada ilmu hukum, dengan objek hukumnya adalah tingkat perlindungan sebagai
kebutuhan hidup.

Hukum lingkungan pada dasarnya mencakup penataan dan penegakan atau compliance and enforcement.
Yang meliputi bidang hukum administrasi, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
Keberadaan hukum lingkungan dimaksudkan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan alam
dari kemerosotan mutu dan kerusakannya dalam rangka menjaga kelestariannya. Tentang hukum
lingkungan ini Koesnadi Hardjasoemantri berpendapat, bahwa hukum lingkungan merupakan bidang
ilmu yang masih sangat muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dasawarsa akhir ini.[5]

Walaupun keberadaan hukum lingkungan dalam dunia keilmuan meski dipandang baru sejalan dengan
tumbuh dan berkembangnya kesadaran akan lingkungan, pada hakekatnya dibutuhkan untuk
melindungi lingkungan hidup dari ancaman kemerosotan atau kerusakan akibat tindakan atau perilaku
manusia yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dalam jangka panjang dan
permanen untuk menunjang kehidupannya. Hukum lingkungan Indonesia ini diharapkan menjadi
pedoman bagi setiap orang yang berdomisili di Indonesia agar bertindak sesuai dengan hukum yang
berlaku dalam mengelola lingkungan hidup.
2. SUMBER HUKUM HUKUM LINGKUNGAN
Dasawarsa tahun 1970-an merupakan awal permasalahan lingkungan
secara global yang ditandai dengan dilangsungkannya Konferensi
Stockholm tahun 1972 yang membicarakan masalah lingkungan (UN
Coference on the Human Environment,UNCHE). Konferensi yang
diselenggarakan oleh PPB ini berlangung dari tanggal 5-12 juni
1972, akhirnya tanggal 5 juli ditetapkan sebagai hari lingkungan
hidup sedunia. Pada 1987 terbentuk sebuah komisi dunia yang
disebut dengan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan
Pembangunan (World Commission on Environment and
Development) yang kemudian lahir konsep sustainable development,
kemudian majelis umum PPB memutuskan untuk menyelenggarakan
konferensi di Rio de Janeiro, Brasil 1992
Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar
kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro lingkungan
dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang
mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan
(stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi
tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan
yang dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-
undang tersendiri yang mengatur mengenai lingkungan
hidup.
Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya
menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH 1982). Inilah produk hukum pertama yang dibuat di
Indonesia, setelah sebelumnya dibentuk satu kantor kementerian
tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III, 1978-
1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama
adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar
kebijakan mengenai lingkungan hidup dan akhirnya dituangkan dalam
bentuk undang-undang pada tahun 1982.
Lahirnya UULH 1982 tanggal 11 Maret 1982 dipandang sebagai pangkal
tolak atau awal dari lahir dan pertumbuhan hukum lingkungan nasional.
Sebelum lahirnya UULH 1982 sesungguhnya telah berlaku berbagai
bentuk peraturan perundang-undangan tentang atau yang berhubungan
dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam dan sumber daya buatan,
yang dipandang sebagai rezim hukum nasional klasik. Rezim hukum
lingkungan klasik berisikan ketentuan-ketentuan yang melindungi
kepentingan sektoral, sementara masalah-masalah lingkungan yang timbul
semakin kompleks sehingga peraturan perundang-undangan klasik tidak
mampu mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah lingkungan
secara efektif, sedangkan rezim hukum lingkungan modern yang dimulai
lahirnya UULH 1982 berdasarkan pendekatan lintas sektoral atau
komprehensif integral.
UULH 1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-
undang yang pertama dalam konteks hukum lingkungan modern
di Indonesia. UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum
yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum
lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-
konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di
samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan
landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku selama sebelas tahun
ternyata oleh para pemerhati lingkungan hidup dan juga pengambil
kebijakan lingkungan hidup dipandang sebagai instrumen kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Sejak pengundangan
UULH 1982 kualitas lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak
semakin baik dan banyak kasus hukum lingkungan tidak dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan
terhadap UULH 1982, setelah selama dua tahun dipersiapkan, yaitu
dari sejak naskah akademis hingga RUU, maka pada tanggal 19
September 1997 pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1997).
Selanjutnya, pada tanggal 3 Oktober 2009, pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),
didalam kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah
mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Disebabkan juga
pemanasan global yang semakin meningkat dan mengakibatkan
perubahan iklim, sehingga memperparah penurunan kualitas
lingkungan hidup.
Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH 1997 perlu untuk digantikan oleh undang –
undang yang baru. Pertama, UUD 1945 setelah perubahan secara tegas menyatakan bahwa
pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kedua, kebijakan otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan
hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di bidang
perlingkungan lingkungan hidup. Ketiga, pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga semakin memperparah penurunan kualitas lingkungan
hidup. Ketiga alasan ini ditampung dalam UULH 1997. Keempat, UULH 1997 sebagaimana
UULH 1982 memiliki celah – celah kelemahan normatif, terutama kelemahan kewenangan
penegakan hukum administratif yang dimiliki kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan
penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan dengan
mengundangkan sebuah undang – undang baru guna peningkatan penegakan hukum.
Berdasarkan hal ini menunjukan, bahwa UUPPLH memberikan warna yang baru dan berbeda
dari undang-undangan sebelumnya.
3. PRINSIP PRINSIP
HUKUM LINGKUNGAN
PRINSIP PRINSIP HUKUM LINGKUNGAN
1.Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum
2.Pembangunan Berkelanjutan
3.Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity)
4.Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity)
5.Prinsip Pencegahan (The Principle of Preventive Actio)
6.Prinsip Kehati-hatian (The Precautionary Principle)
7.Prinsip Pencemar Membayar (The Polluter-Pays Principle)
1. Perkembangan Kesadaran Lingkungan dan Perubahan Hukum
Pada era 1960an, perhatian masyarakat dunia terhadap masalah lingkungan
menjadi
semakin besar. Pada tahun 1962, terbitnya sebuah buku yang ditulis oleh Rachel
Carson, “the Silent Spring”, menandai mulai terbukanya mata dunia akan bahaya
lingkungan. Pada waktu itu, buku yang menggemparkan ini tercatat sebagai buku
terlaris di AS selama 31 minggu. Di samping itu, era 1960an dan awal 1970an,
juga
ditandai dengan kelahiran beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan
National Audubon Society, yang kemudian menjadi pertanda akan lahirnya
ratusan
ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia.
Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa masyarakat Barat pada masa
itu mulai memperhatikan masalah lingkungan. Pertama, adalah semakin
meningkatnya polusi di negara-negara maju pada waktu itu. Kedua, permasalahan
lingkungan ini kemudian mendapat sorotan yang tajam dan terus-menerus dari pers
Barat, sehingga semakin membuat masyarakat tersadarkan akan bahaya dari efek
samping pembangunan. Ketiga, pertumbuhan ekonomi negara maju sedikit banyak
telah menggeser preferensi masyarakat. Dalam hal ini, preferensi masyarakat mulai
bergeser dari hal yang bersifat material ke arah non-material, seperti perbaikan
kualitas lingkungan hidup. Keempat, pada masa itu masyarakat di negara-negara
Barat, terutama kaum kudanya, juga sedang “counter-culture”, budaya anti
kemapanan. Gerakan ini, pada gilirannya akan melihat bahwa kehancuran
lingkungan
hidup juga disebabkan oleh sistem ekonomi yang telah mapan: kapitalisme. Kelima:
adanya perkembangan teknologi dan informasi telah turut serta menyadarkan
masyarakat tentang betapa kecilnya planet kita ini.
Pada tahun 1972, di Stockholm, Swedia, diadakanlah konferensi internasional
mengenai lingkungan hidup, yang menghasilkan tiga hal utama yaitu di bidang
pelaksanaan (the Stockholm Action Plan), kelembagaan dan dana (United Nations
Environment Program—UNEP dan Environment Fund), serta dalam bidang politik
(the Stockholm Declaration on the Human Environment ).
Pertemuan itu sendiri ditandai dengan adanya pertentangan antara negaranegara
maju dan berkembang. Negara berkembang, yang pada waktu itu sebagian
besar merupakan negara yang baru merdeka, merasa bahwa tuntutan negara maju
mengenai perlindungan lingkungan hidup akan memberi dampak buruk bagi
pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang baru saja mereka alami. Negara
berkembang sering kali menggunakan alasan hak untuk membangun, kedaulatan
untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri, dan kebutuhan untuk menangani
masalah lingkungan di tingkat nasional dari pada di tingkat global, sebagai alasan
untuk menentang usulan negara-negara maju.
Banyak pengamat yang mengkritik hasil dari Konferensi Stockholm, dengan
menyatakan bahwa konferensi ini tidak mampu menghasilkan sesuatu yang dapat
menghasilkan suatu perubahan radikal bagi perkembangan hukum lingkungan
internasional. Konferensi ini sering kali dituduh sebagai “cosmetic event”, sebuah
propaganda dari pemerintahan negara Barat bagi rakyatnya untuk menunjukkan
bahwa pemerintahan mereka memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan telah
berjuang bagi perlindungan lingkungan di dalam pertemuan global tersebut.
Terlepas dari banyaknya kritik terhadap konferensi Stockholm, beberapa
pengamat melihat bahwa konferensi ini menghasilkan sesuatu yang, meskipun
marjinal, mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan. Konferensi Stockholm
paling tidak telah mendorong tiap-tiap negara peserta untuk lebih memusatkan
perhatian bagi masalah lingkungan dibandingkan dengan yang telah mereka lakukan
sebelumnya8. Deklarasi Stockholm juga merupakan sebuah kesepakatan politik
internasional pertama yang memuat pengakuan atas kewajiban generasi sekarang bagi
generasi yang akan datang.
2.Pembangunan Berkelanjutan
pembangunan berkelanjutan terbagi dalam beberapa bagian:
2.1.Pembangunan Berkelanjutan dalam Soft Law
2.2.Pembangunan Berkelanjutan dalam Beberapa Konvensi
2.3.Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan
2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia)
2.3.2. Kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway (Belgia v. Belanda)
2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay)
2.4.Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
2.5.Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan
2.1. Pembangunan Berkelanjutan dalam Soft Law
Sustainabel Development bukanlah merupakan sebuah konsep yang muncul pada
satu ketika, melainkan merupakan hasil dari proses perdebatan panjang antara
kebutuhan akan pembangunan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan
lingkungan hidup. Pada tahun 1983, Majelis Umum PBB membuat sebuah lembaga
yang bertugas mengkaji ulang beberapa masalah penting yang terkait dengan
pembangunan dan lingkungan hidup, serta merumuskan langkah yang inovatif,
kongkret dan realistik yang untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
Lembaga ini bernama World Commission on Environment and Development
(WCED)atau sering disebut sebagai Brundtland Commission.
Pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, diadakan sebuah
konferensi tingkat tinggi, yang dihadiri oleh para kepala negara dari seluruh dunia,
yang diberi nama United Nations Conference on Environment and Development
(UNCED) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konferensi Rio. Konferensi ini
menghasilkan 5 dokumen serta 1 institusi yang penting bagi pembangunan
berkelanjutan yaitu: Rio Declaration (Deklarasi Rio), Agenda 21—sebuah blueprint
bagi rencana kerja pengimplementasian pembangunan berkelanjutan pada abad 21,
Forestry Principles (Prinsip-prinsip Kehutanan), Biodiversity Convention (Konvensi
tentang Keanekaragaman Hayati), the Climate Change Convention (Konvensi
mengenai perubahan iklim), serta Commission on Sustainable Development—sebuah
komisi yang diciptakan untuk memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakan Rio dan
Agenda 21.
2.2. Pembangunan Berkelanjutan dalam Beberapa Konvensi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992
telah menghasilkan dua buah konvensi, yaitu UNFCCC dan CBD. Kedua konvensi
ini secara jelas telah mengadopsi pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks perubahan iklim, paragraf pembukaan dari UNFCCC
menyatakan bahwa Negara Peserta bertekad “to protect the climate system for present
and future generations”. Selanjutnya, UNFCCC menyatakan pula bahwa Negara
Peserta memiliki hak atas dan harus mendukung pembangunan berkelanjutan.
Kebijakan dan langkah-langkah perlindungan iklim haruslah sesuai dengan kondisi
dari tiap Negara, serta harus terintegrasi di dalam program pembangunan tiap Negara.
Dalam hal ini, UNFCCC mengakui bahwa pembangunan ekonomi merupakan unsur
yang esensial bagi penanganan perubahan iklim. Selanjutnya, UNFCCC juga
menginginkan terwujudnya kerja sama di antara Negara Peserta untuk menciptakan
sistem ekonomi dunia yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, terutama di negara berkembang, sehingga memungkinkan Negara
Peserta untuk mengatasi perubahan iklim secara lebih baik.
Konvensi lainnya yang juga memuat berbagai rujukan pada pembangunan
berkelanjutan, antara lain, adalah UN Convention to Combat Desertification
(UNCCD), konvensi PBB terkait upaya pencegahan penggurunan, tahun 1994. Dalam bagian
pembukaan, UNCCD menyadari bahwa pembangunan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, pembangunan sosial, dan pengentasan kemiskinan
merupakan prioritas dari negara berkembang, serta merupakan bagian penting dalam
pencapaian tujuan keberlanjutan. Pada bagian ini juga dinyatakan bahwa upaya
pencegahan dan penanggulangan penggurunan haruslah diletakkan dalam kerangkan
pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Atas dasar ini, maka UNCCD
menyatakan bahwa sebagai tujuan konvensi, upaya mengatasi penggurunan dan
dampak-dampaknya dilakukan dalam rangka berkontribusi bagi tercapainya
pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang mengalami penggurunan. Di
samping itu, seperti dicatat oleh Segger, UNCCD memuat lebih dari 40 rujukan
kepada kata “berkelanjutan” (sustainable), baik dalam konteks pembangungan,
pemanfaatan, pengelolaan, ekspolitasi, produksi, maupun praktek yang berkelanjutan
(atau tidak berkelanjutan).
2.3. Pembangunan Berkelanjutan dalam Berbagai Putusan
Di samping telah diadopsi di dalam berbagai deklarasi dan konvensi,
pembangunan berkelanjutan juga telah dimuat di dalam berbagai putusan. Dalam
level internasional, beberapa kasus yang secara jelas merujuk pada pembangunan
berkelanjutan, antara lain, adalah putusan International Court of Justice (ICJ) dalam
kasus Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia), keputusan badan arbitrase
permanen antara Belgia dan Belanda dalam kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”)
Railway pada tahun 2005, dan putusan ICJ dalam kasus Pulp Mills on the River
Uruguay (Argentina v. Uruguay), terutama pendapat dari Hakim Trindade.
2.3.1. Gabcikovo-Nagymaros (Hungaria v. Slovakia)
Pada tahun 1977, Hungaria dan Cekoslovakia menandatangani perjanjian pembangunan dan
pengoperasian sistem bendungan di Sungai Danube, di daerah Gabcikovo (wilayah
Cekoslovakia) dan
Nagymaros (wilayah Hungaria). Perjanjian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun
pembangkit listrik tenaga air di Sungai Danube, perbaikan sistem navigasi di sungai tersebut,
perlindungan daerah aliran Sungai Danube dari banjir. Di samping itu, Hungaria dan
Cekoslovakia pun
sepakat untuk menjamin bahwa proyek pembangunan yang direncanakan tersebut tidak akan
menurunkan kualitas air dari Sungai DanubSungai Danube di wilayah Gabcikovo-Nagymaros,
merupakan sebuah issue yang
penting. Meski demikian, ICJ juga menyatakan bahwa kebutuhan akan pembangunan
juga merupakan aspek yang sama pentingnya. ICJ melihat bahwa dalam kasus ini
terdapat dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kebutuhan akan
pembangunan di satu sisi, dan kebutuhan akan perlindungan di sisi lain. Dalam hal
ini, ICJ melihat pembangungan berkelanjutan sebagai sebuah prinsip untuk
mendamaikan kedua kebutuhan yang saling bertentangan ini.e dan bahwa dalam pengerjaan
dan pengoperasian proyek
lingkungan adalah satu-satunya pertimbangan yang digunakan dalam kasus
Gabcikovo-Nagymaros, maka langkah yang diambil oleh Hungaria (yaitu
menghentikan secara sepihak pelaksanaan pembangunan berdasarkan Perjanjian
tahun
1977) dapatlah dibenarkan. Namun, menurut Weeramantry, ICJ haruslah
memberikan pertimbangan yang seimbang bagi kebutuhan akan pembangunan di
satu
sisi (dalam hal ini kepentingan dari Slovakia) dan kebutuhan akan perlindungan
lingkungan di sisi lain (dalam hal ini kepentingan dari Hungaria). Dalam
pandangan
Weeramantry, prinsip hukum yang dapat menjembatani dua kebutuhan yang saling
bertentangan ini adalah prinsip pembangunan berkelanjutan. Lebih jauh lagi,
Weeramantry mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan hanya
merupakan sebuah konsep, tetapi sudah merupakan sebuah prinsip hukum yang
bersifat normatif.
2.3.2. Kasus Iron Rhine (“Ijzeren Rijn”) Railway (Belgia v. Belanda)
Sementara itu, kasus “Ijzeren Rijn” merupakan keputusan dari badan arbitrase,
yaitu the Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang mengadili sengketa
antar Belgia melawan Belanda, terkait dengan reaktivasi rel kereta yang
menghubungkan pelabuhan Antwerpen, Belgia, dengan pinggiran sungai Rhine di
Jerman, dengan melalui Noord-Brabant dan Limburg di Belanda. Jalur kereta ini
dibuka pada tahun 1830-an, dan beroperasi sampai tahun 1991. Kemudian, pada
tahun 1998 muncul usulan dari Pemerintah Belgia untuk mengaktifkan kembali,
mengadaptasi, dan memperbarui jalur kereta ini.Salah satu pertanyaan yang perlu
dijawab oleh Badan Arbitrase adalah sejauh mana Belgia atau Belanda harus
menanggung biaya dan resiko keuangan terkait dengan pemakaian, restorasi,
adaptasi, dan modernisasi jalur Iron Rhine di wilayah Belanda.
2.3.3. Kasus Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay)
Pada tanggal 4 Mei 2006, Argentina mengajukan gugatan kepada ICJ terkait
dengan dugaan pelanggaran Uruguay atas beberapa kewajiban yang termuat di dalam
Perjanjian mengenai Sungai Uruguay (Statute of the River Uruguay) yang
ditandatangani oleh Argentina dan Uruguay pada tanggal 26 Februari 1975. Dalam
hal ini, Argentina berpendapat bahwa keputusan Pemerintah Uruguay untuk
mengizinkan pembangunan dua pabrik kertas (pulp mills) di pinggir Sungai Uruguay
di dalam wilayah Uruguay merupakan bentuk pelanggaran atas Perjanjian Sungai
Uruguay tahun 1975, terutama dalam kaitannya dengan dampak dari kedua pabrik
tersebut pada kualitas air Sungai Uruguay dan daerah sekitarnya.
2.4. Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Undang-undang lingkungan hidup di Indonesia sendiri sejak awal telah memuat
gagasan-gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan. Pada Pasal 3 UU No. 4
tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup (UULH)
dinyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dilakukan untuk “menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.”
Di samping itu, Pasal 4 UU No. 4 tahun 1982 menyatakan pula bahwa salah satu
tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup adalah “terlaksananya pembangunan
berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.” Dari
bunyi Pasal 3 dan 4 tersebut terlihat bahwa meskipun UU No. 4 tahun 1982
menggunakan istilah pembangunan berwawasan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan, namun kedua istilah ini masih dapat dikatakan sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan. Gagasan tentang keadilan antar generasi pun bahkan
sudah terlihat dari Pasal 4 tersebut.
Sementara itu, UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup,
yang merupakan pengganti UU No. 4 tahun 1982, secara jelas sudah
memasukan pembangunan berkelanjutan di dalam ketentuan-ketentuannya. Hal
ini misalnya dapatdi lihat dari Pasal 3 tentang asas yang menyatakan bahwa
salah satu asas dari pengelolaan lingkungan adalah “pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan”. Dengan demikian, maka UU No. 23 tahun 1997 telah
mulai menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan”, meskipun masih
digabungkan dengan frase “berwawasan lingkungan”. Di samping itu,
pengakuan terhadap keadilan antar generasi pun terlihat di dalam Pasal 4 UU
No. 23 tahun 1997 yang menyatakan bahwa salah satu sasaran dari pengelolaan
lingkungan hidup adalah “terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan
generasi masa depan.”
Pembangunan berkelanjutan pun mendapat pengakuan di dalam UU No. 32
tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagai
pengganti dari UU No. 23 tahun 1997. Pasal 2 UU No. 32 tahun 2009 menyatakan
bahwa asas dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah asas
kelestarian dan keberlanjutan dan asas keadilan. Penjelasan Pasal 2 ini menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan asas kelestarian dan keberlanjutan adalah “bahwa
setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang
dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian
daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.”
2.5. Berbagai Makna Pembangunan Berkelanjutan
Bell dan McGillivray menyatakan bahwa terdapat paling tidak dua penafsiran
yang saling bertentangan mengenai makna dari Sustainable Development. Pandangan pertama
disebutnya sebagai “weak sustainability”. Pandangan pertama ini
berpendapat bahwa sumber daya alam saat ini dapat dikonsumsi atau “dikorbankan”
apabila hal tersebut lebih menguntungkan dibandingkan dengan tidak mengkonsumsi
sumber daya tersebut, yaitu apabila persediaan sumber daya alam yang akan diberikan
bagi generasi yang akan datang tidak mengalami pengurangan. Sumber daya di sini
tidak hanya meliputi sumber daya lingkungan, tetapi juga sumber daya manusia dan
pengetahuan, sehingga kita tidak perlu khawatir dengan hilangnya sebuah sumber
daya lingkungan selama manusia dapat menciptakan gantinya yang bernilai sama atau
lebih baik. Pandangan kedua, adalah “strong sustainability”. Pandangan ini
menyatakan bahwa sumber daya alam merupakan sesuatu yang tidak tergantikan,
dalam arti bahwa penurunan atau hilangnya sumber daya ini tidak akan dapat
terkompensasi.
3. Keadilan dalam Satu Generasi (Intragenerational Equity)
Keadilan intra generasi merupakan keadilan yang ditujukan pada mereka yang
hidup di dalam satu generasi. Keadilan intra generasi ini terkait dengan distribusi
sumber daya secara adil, yang berlaku pada tingkat nasional maupun internasional.
Lebih dari itu, di samping terkait dengan distribusi sumber daya dan manfaat/hasil
pembangunan, konsep keadilan intra generasi juga bisa dikaitkan dengan distribusi
resiko/biaya sosial dari sebuah kegiatan pembangunan. Bagi Langhelle, keadilan
intra generasi merupakan prioritas pertama dari pembangunan berkelanjutan. Hal
ini, menurut Langhelle, ditunjukkan dalam bagian pertama dari definisi
pembangunan berkelanjutan, yaitu “development that meets the needs of the
present.”. Bagian inilah yang menunjukkan adanya komitmen dari negara-negara
terhadap keadilan, termasuk redistribusi dari pihak yang kaya kepada yang miskin,
baik dalam level nasional maupun internasional.
4. Keadilan Antar Generasi (Intergenerational Equity)
Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan yang diberikan oleh WCED,
mandat bagi terwujudnya keadilan antar generasi tercermin di dalam pernyataan
“without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.
Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan menginginkan adanya keseimbangan
keadilan: adil terhadap generasi sekarang, dan adil pula terhadap generasi yang akan
datang. Menurut Voigt, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, keseimbangan
keadilan tersebut hanya bisa dijalankan melalui perlindungan terhadap integritas
ekosistem Bumi. Akibatnya, pembangunan yang dilakukan haruslah merupakan
pembangunan yang melindungi pula sistem penyangga kehidupan, terutama jika
sistem ini berada dalam ancaman. Dalam artian ini, maka konsep keadilan dalam
kerangka pembangunan berkelanjutan tidak hanya menitikberatkan pada persoalan
alokasi yang adil atas hak dan kewajiban, tetapi juga mengakui bahwa keutuhan dan
integritas lingkungan hidup merupakan bagian tidak terpisahkan dari konsep
keadilan.
5. Prinsip Pencegahan (The Principle of Preventive Action)
Beberapa ahli hukum seringkali berpendapat bahwa asas pencegahan
tercantum
dalam Prinsip Ke-21 dari Deklarasi Stockholm 1972, yang berbunyi135:
“States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the
principles of international law, the sovereign right to exploit their own
resources pursuant to their own environmental policies, and the
responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control
do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond
the limits of national jurisdiction”.
Namun demikian, perlu dinyatakan di sini sedikit perbedaan antara Prinsip ke-
21 tersebut dengan Asas Pencegahan. Pertama, Prinsip Ke-21 berangkat dari
pengakuan atas kedaulatan Negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada
di wilayahnya, sedanga Asas Pencegahan berangkat dari pengakuan atas
perlingdungan lingkungan sebagai sebuah tujuan. Kedua, Prinsip ke-21 diterapkan
dalam kerangka pencemaran lintas batas Negara (transboundary pollution),
sedangkan Asas Pencegahan diterapkan dalam konteks yang lebih luas dari sekedar
transboundary pollution. Dalam hal ini, penerapan Asas pencegahan ditujukan untuk
meminimasi munculnya resiko pencemaran lingkungan.
Hal lain yang patut dikemukakan ialah bahwa Asas Pencegahan merupakan
prinsip yang ditujukan untuk pencegahan resiko. Apa itu resiko? Ketika mecoba
membedakan resiko (risk) dengan ketidakpastian (uncertainty), para ekonomi
biasanya merujuk pada karya klasik Frank Knight, Risk, Uncertainty and Profit.
Dalam karyanya ini, Knight membedakan resiko dari ketidakpastian berdasarkan
probabilitas yang dapat kita berika pada sebuah kejadian. Dalam hal ini, Knight
membagi probabilitas ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah probabilitas
yang bisa diperolah secara a priori, “a priori probability”. Dalam kondisi ini,
probabilitas adalah peluang munculnya kejadian yang dihitung berdasarkan prinsip
umum. Kategori kedua adalah probabilitas probabilitas secara statistic, “statistical
probability”, di mana peluang munculnya kejadian hanya bisa ditentukan berdasarkan
evaluasi emipiris. Kategori ketiga disebut oleh Knight sebagai estimasi, “estimates”, yaitu
situasi ketika kita tidak memiliki dasar valid untuk menentukan
peluang berdasarkan contoh atau percobaan.
6. Prinsip Kehati-hatian (The Precautionary Principle)
Asas kehati-hatian pertama kali diterapkan di dalm kebijakan lingkungan hidup di
Jerman pada tahun awal 1970-an, dan dikenal sebagai Vorsorgeprinzip. Tujuan dari
vorsorgeprinzip adalah untuk mencegah pencemaran dengan memperkirakan secara
seksama potensi timbulnya pencemaran. Disebutkan pula bahwa prinsip ini
merupakan dasar bagi keberlanjutan sumber-sumber ekologi bagi generasi yang
datang melalui penggunaan yang hati-hati atas sumber-sumber tersebut. Harald
Hohmann menyatakan bahwa vorsorgeprinzip menghasilkan beberapa kewajiban
sebagai berikut:
- Kewajiban meminimasi sebab-sebab yang mungkin dari kerusakan
lingkungan dengan mengambil tindakan-tindakan berdasarkan teknologi
atau ilmu pengetahuan terbaru (state of technology atau state of science
and technology). Jika bukti tentang kerusakan tersebut belum terkumpul,
adanya kemungkinan saja tentang kerusakan tersebut telah cukup sebagai
dasar dilakukannya tindakan-tindakan pencegahan.
- Kewajiban tentang penghindaran (avoidance) dihasilkannya limbah serta
pengangkutan/penggunaan bahan-bahan berbahaya sejak proses produksi;
serta kewajiban untuk melakukan proses recycle terhadap limbah yang
dihasilkan
- Pelarangan terhadap penurunan kondisi lingkungan saat ini (principle of
status quo preservation). Artinya, setiap orang didorong untuk tidak
melakukan perusakan yang sebenarnya bisa dihindari (avoidable
impairments). Status quo preservation juga berarti adanya kewajiban
untuk membayar kompensasi terhadap kerusakan yang tidak bisa
dihindari;
- Aspek lingkungan secara terus-menerus harus diperhatikan dalam setiap
perencanaan kebijakan. Hal ini berarti adanya kebutuhan yang lebih besar
terhadap diberlakukannya Amdal
- Pengelolaan lingkungan hidup yang mempertimbangkan aspek ekonomi
dari alam, perlindungan dan sumber daya alam
- Penggunaan sumber daya alam yang secara ekonomi efisien
7. Prinsip Pencemar Membayar (The Polluter-Pays Principle)
Secara teoritis, Prinsip Pencemar Membayar pada dasarnya merupakan sebuah
kebijakan ekonomi dalam rangka pengalokasian biaya-biaya bagi pencemaran dan
kerusakan lingkungan, tetapi kemudian memiliki implikasi bagi perkembangan
hukum lingkungan internasional dan nasional, yaitu dalam hal terkait dengan masalah
tanggung jawab ganti kerugian atau dengan biaya-biaya lingkungan yang harus
dipikul oleh pejabat publik. Asas ini pertama-tama tercantum dalam beberapa
rekomendasi OECD pada tahun 70-an yang pada dasarnya menyatakan bahwa asas
pencemar membayar mewajibkan para pencemar untuk memikul biaya-biaya yang
diperlukan dalam rangka upaya-upaya yang diambil oleh pejabat publik untuk
menjaga agar kondisi lingkungan berada pada kondisi yang dapat diterima, atau
dengan kata lain ialah bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan upayaupaya
ini harus tercermin di dalam harga barang dan jasa yang telah menyebabkan
pencemaran selama dalam proses produksi atau proses konsumsinya.
Dengan demikian, secara teoritis asas pencemar membayar merupakan upaya
yang langsung terkait dengan konsep internalisasi eksternalitas. Alan Boyle
menyatakan bahwa dalam rangka penerapan asas pencemar membayar, kita tidak
hanya dapat mengandalkan pajak atau charge, karena instrumen ini sering kali gagal
mengurangi permintaan atas barang yang merusak lingkungan. Dalam hal ini, asas
pencemar membayar membutuhkan adanya dukungan dari instrumen lain, yaitu
pertanggung jawaban perdata. Jenis pertanggung jawaban apa yang lebih efektif
untuk menginternalkan eksternaliti ini tergantung dari banyak factor, di antaranya
tingkat keseriusan dari dampak pencemaran terhadap lingkungan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip pencemar membayar merupakan
sebuah prinsip yang ditujukan sebagai upaya untuk mendorong adanya internalisasi
eksternalitas. Dalam perspektif ekonomi, eksternalitas adalah bentuk dari kegagalan
pasar (market failure), sebab pasar gagal mempertimbangkan total biaya (dalam hal
ini pencemaran) yang diakibatkan oleh sebuah proses produksi. Dengan demikian,
eksternalitas ini dibuktikan dengan adanya harga yang tidak mencerminkan biayabiaya
lingkungan. Eksternalitas memberikan arah yang salah pada individu ketika
mengambil keputusan, sebab dengan adanya eksternalitas ini pasar gagal untuk
mencerminkan harga yang sebenarnya dari sebuah produk atau kegiatan. Setiap
orang, baik sebagai produsen maupun konsumen, gagal untuk mempertimbangkan
seluruh biaya dari keputusan dan perbuatannya, karena ada komponen biaya yang
mengalami eksternalisasi dan menjadi beban dari masyarakat secara umum.
Pendeknya, eksternalitas mencerminkan tingkah laku yang ingin meraup keuntungan
secara pribadi, tetapi tidak mau menanggung biaya yang diperlukan untuk
memperoleh keuntungan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai