Anda di halaman 1dari 23

Tuberkulosis (TB) pada

Diabetes Mellitus (DM)


ANGGA DOMINIUS (I11112063)
ALVINA ELSA BIDARI (I11112038)
DWI LESTIANA PUTRI (I11112034)
FAWAID AKBAR (I11112029)
ANTONY HALIM (I1011131029)

PEMBIMBING : DR. ARI PRABOWO, SP.P

RSUD DR ABDUL AZIZ SINGKAWANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2018
PENDAHULUAN

Prevalensi
kasus
TB di dunia
PENDAHULUAN

Prevalensi
kasus
DM di dunia
PENDAHULUAN
 Menurut WHO, pada tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta
kasus per tahun, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian
akibat TB.
 Pengendalian TB mulai mengalami kendala seiring dengan peningkatan
jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di dunia, yaitu terdapat sekitar 285 juta
pasien DM dan akan bertambah menjadi 438 juta di tahun 2030.
 Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta
berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya
mortalitas. Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM
 Sebaliknya juga bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya
intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan
DM, namun akan mengalami perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT).
TUBERKULOSIS
Definisi dan Epidemiologi
 Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat
mengenai organ lain.
 Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah
India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000
kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia
Etiologi
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali
ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk
mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama basil Koch. Bahkan, penyakit TB
pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)
Cara Penularan
Patogenesis
Klasifikasi
TB Paru Kasus baru

Pasien yang pernah


Tipe penderita diobati TB:
TB paru - Kambuh
- Gagal
- Putus obat

Pasien yang riwayat


pengobatan sebelumnya
tidak diketahui
Tatalaksana
OAT lini pertama
TUBERKULOSIS
PADA DIABETES MELLITUS
Epidemiologi
 Prevalensi DM secara substansial akan meningkat, dari perkiraan pada tahun 200
adalah 151 juta orang dewasa hingga menjadi 382 juta pada 2013 dan
diprediksikan meningkat hingga 592 juta pada 2035.
 Prevalensi diabetes sekitar 15-30% pasien dengan TB, kondisi ini akan meningkat,
terutama bila pasien DM berada di Negara berkembang yang notabene kasus
TB juga sangat tinggi, tatalaksana diabetes pada pasien TB menjadi hal yang sulit
pada praktek klinik.
 2 review sistematik yang mencakup 15 penelitian menunjukkan risiko TB pada
pasien DM setidaknya meningkat 3 kali lipat, konsisten di seluruh regio geografik
dan meningkat pada populasi muda.
 Sebuah metaanalisis menunjukkan bahwa diabetes terkait dengan risiko relatif TB
sebesar 3.11. Sebuah penelitian di Amerika TB MDR juga terkait dengan DM
dengan odds ratio 2.1
Hubungan TB dan DM
 Hubungan antara DM dan TB bersifat bidireksional. TB dapat memicu terjadinya
kasus DM baru.
 Gangguan toleransi glukosa adalah faktor risiko signifikan untuk menjadi DM.
Pada banyak kasus, kejadian toleransi glukosa terganggu dapat kembali normal
setelah TB telah berhasil diterapi, namun risiko DM masih tetap tinggi.
 TB aktif harus menjadi diagnosa banding pada pasien dengan perbesaran
pankreas. TB diketahui sebagai penyebab pankreatitis dan pankreatitis TB akan
terungkap hanya setelah terjadi diabetes.
 Di sisi lain, pengujian DM pada pasien yang belum terdiagnosis sebelumnya dan
belum diterapi TB dapat memicu overdiagnosis DM. TB dapat memicu terjadinya
hiperglikemik-terkait infeksi yang mirip pada kejadian DM. Hiperglikemik terkait TB
sering memperburuk kontrol glikemik pada DM dan dengan demikian
memerlukan penggunaan insulin. Penyesuaian dosis harus dilakukan setelah
pasien berhasil diterapi TB.
Patofisiologi
 Diabetes terkait dengan menurunya imunitas seluler. Terjadi penurunan kadar
limfosit T dan penurunan hitung neutrofil pada DM.
 Menurunnya kadar sitokin T-helper 1 (Th1), prduksi TNF-alfa dan IL-1 beta dan IL-6
juga ditemukan pada pasien DM dan TB dibandingkan dengan pasien DM.
Sitokin Th1 adalah bahan vital untuk mengontrol dan menghambat bakteri MTB.
Penurunan jumlah limfosit T dan fungsinya ini bertanggungjawab terhadap
rentanya pasien DM mengidap TB.
 Fungsi makrofag juga dihambat pada pasien DM, dengan penurunan produksi
reaktif oksigen spesies dan fungsi kemotatik dan fagositiknya. hiperglikemik
memiliki efek menekan efek respiraotry brust. Kombinasi dari proses disfungsi
tersebut berkontribusi pada meningkatnya faktor risiko TB pada pasien DM.
Deteksi TB pada Pasien DM
 Rekomendasi: Minimalnya, pasien dengan DM harus ditanyakan mengenai
gejala batuk (minimal lebih dari 2 minggu) pada saat mendiagnosis DM atau
ketika check up DM. Pasien dengan tanda dan gejala TB seperti batuk dan
demam lama terutama pasien yang berada di wilayah dengan prevalensi tinggi
TB. Pasien - pasien tersebut harus diperiksa sesuai dengan guideline national TB.
Prosedur diagnostik lainnya, seperti TB ekstraparu harus diperiksa lebih ketat
sesuai dengan guideline nasional.
 Rekomendasi: Pasien TB harus diskrining DM pada saat memulai terapi TB,
diagnosis dilakukan dimana sumber diagnosis tersedia. Jenis skrining dan
pemeriksaan diagnostik harus diadaptasikan pada konteks sistem kesehatan
lokal dan ketersediaan alat diagnostiknya.
Tatalaksana DM pada Pasien TB
 Kontrol glukosa secara optimal akan meningkatkan hasil terapi TB dan
mencegah berbagai komplikasi terkait DM. Namun, TB sering memicu menurunya
nafsu makan, menurunya Berat Badan dan aktivitas fisik (pasien dapat lemah
dan pasif), semuanya ini dapat mempengaruhi homeostasis glukosa.
 Terapi insulin harus dimulai pada saat terdiagnosis, menggunakan ragimen basal
bolus atau premixed insulin. Penggunaan OAD oral dikontraindikasikan pada
pasien TB namun dapat digunakan ketika salah satu penyakit telah terkendali
 Pada pemilihan obat antiDM, beberapa obat memiliki interaksi dengan obat TB,
seperti Rifampisin. Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik dari obat
golongan Sulfonilurea dan turunannya. Penggunaan insulin menjadi salah satu
pilihan dalam terapi DM pada TB sebab insulin tidak dimetabolisme, insulin tidak
memiliki intraksi farmakokinetik dengan rifampisin atau OAT lain.
Tatalaksana TB pada Pasien DM
 DM berkaitan dengan meningkatnya risiko gagal terapi TB, kematian dan
kekambuhan.
 Pada umumnya, pasien dengan TB dan DM tidak diterapi secara berbeda
dengan pasien TB lainnya. Namun, metodenya harus dipertimbangkan.
 Meningkatnya gagal terapi TB pada pasien DM dapat disebabkan karena
resistensi M. TB atau kepatuhan yang rendah, perubahan respons imun pada
pasien DM atau menurunya konsentrasi OAT pada pasien DM.
 Di Indonesia, paparan rifampicin dan konsentrasi plasma rifampisin maksimum
sekitar 50% lebih rendah pada pasien TB dengan DM dibandingkan dengan
pasien TB saja disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin. Selain itu, BB yang
lebih berat dapat menurunkan paparan rifampisin, terutama selama fase
lanjutan terapi TB. Oleh sebab itu, dosis OAT harus disesuaikan menurut berat
badan pasien, walaupun strategi ini sulit ketika penggunaan FDC.
Tatalaksana TB pada Pasien DM
 Pilihan lain untuk meningkatkan hasil tatalaksana TB pada pasien DM adalah
memperpanjang durasi terapi, sebuah kemungkinan yang telah diadvokasikan
pada beberapa guideline namun masih diteliti lebih lanjut.
 Efek toksik OAT lini pertama terhadap saraf yaitu Isoniazid yang menyebabkan
neuropati perifer dan toksik okular yaitu etambutol harus dipertimbangkan
karena efek ini akan lebih sering terjadi terutama pada pasien DM sebab kedua
efek samping OAT tersebut juga adalah komplikasi dari DM. Frekuensi dosis
etambutol harus dikurangai ketika pasien DM memiliki penurunan fungsi ginjal.
Pada pasien DM dengan neuropati perifer dan pemberian isoniazid hendaknya
diberikan pyridoxine juga.
Kesimpulan
 Hubungan antara DM dan TB bersifat bidireksional dan berkaitan satu sama lain.
 pasien DM mudah mengalami TB karena terjadi penurunan imunitas seluler
seperti limfosit T, netrofil dll serta penurunan fungsi makrofag alveolar
 Risiko TB pada pasien DM meningkat 3 kali lipat, serta risiko terjadinya TB MDR.
 Pasien DM yang berada di wilayah prevalensi TB tinggi harus dilakukan skrining
gejala TB dan identifikasi orang dengan batuk lebih dari 2-3 minggu pada pasien
DM, sebaliknya pasien TB harus dievaluasi DM
 Rifampisin dapat meningkatkan metabolisme obat antidiabetik golongan
sulfonilurea, sehingga pilihan OAD yang dapat digunakan antara lain insullin atau
metformin
 Penggunaan INH dan ethambutol dapat memperberat komplikasi DM berupa
neuropati dan gangguan penglihatan. Pada INH dapat diberikan piridoksin untuk
mencegah efek samping tersebut.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai