Anda di halaman 1dari 30

Kejang sebagai Manifestasi Klinis pada

Gangguan Autoimun Somatik


Mutiara Nur Adinda (112019030)
ABSTRAK
• Risiko serangan epilepsi tampaknya meningkat pada beberapa gangguan autoimun (SLE, DMT1,

Myasthenia Gravis, Celiac’s disease, RA, ensefalopati Hashimoto, psoriasis, MS, dan Pemfigoid

Bulosa).

• Peneliti meninjau gangguan autoimun yang berbeda dan dapat muncul dengan kejang sebagai

komorbid dan mendiskusikan mekanisme yang mendasari kemungkinan kejadian


1 PENDAHULUAN
EPILEPSI
Kondisi neurologi dengan komorbiditas psikiatrik dan sistemik

Gejala akut kejang tanpa pencetus telah dilaporkan pada pasien dengan
gangguan autoimun

Studi meta-analisis : peningkatan 3 kali lipat risiko epilepsi (OR : 2.66)

Mekanisme hubungan yang mungkin antara gangguan autoimun


dan kejang masih belum jelas.
Sitokin
Pro-inflamasi Anti-inflamasi
Interferon (IFN) ∝, β, dan γ, tumor fibroblast growth factor (FGF),
necrosis factor (TNF) ∝, dan high interleukin (IL)1ra dan IL10
mobility group box (HMGB) 1
1.1 Disfungsi Sistem Kekebalan Tubuh sebagai
Mekanisme Kasualitas pada Epilepsi
• Sitokin : kelompok protein kecil dengan peran utama
menghantarkan sinyal sel dalam sistem kekebalan tubuh
termasuk SSP.
• studi imunohistokimia pada jaringan otak yang direseksi pada
orang dengan epilepsi di lobus temporal menunjukkan
peningkatan level IL1 β dibandingkan dengan kelompok
kontrol
• menunjukkan bahwa orang dengan berbagai sindrom epilepsi
termasuk epilepsi pada lobus temporal, displasia kortikal fokus,
tuberous sklerosis, west syndrome, dan kejang demam memiliki
level sitokin pro-inflamasi yang lebih tinggi dibanding dengan
kelompok kontrol.
2 METODE
METODE
 Sebuah pencarian penuh PubMed dan GOOGLE SCHOLAR
hingga Mei 2018 identifikasi setiap laporan di mana
prevalensi kejang pada gangguan autoimun dan
mekanisme yang mungkin diperiksa.

 Setelah identifikasi setiap artikel yang relevan, daftar


referensi yang ditinjau untuk referensi lebih lanjut.
3 Sistemik Lupus
Eritematosus (SLE)
Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE)
 Studi meta-analisis menunjukkan : sakit kepala
(28%); gangguan suasana perasaan (20%);
disfungsi kognitif (20%) dan kejang (10%) adalah
gejala neuro-psikiatri yang paling umum.
 Tingginya prevalensi kejang diantara orang
dengan SLE (prevalensi: 1,6%-16%) Sebuah studi
cross-sectional dengan lebih dari 5.000 orang
dengan SLE dan lebih dari 25.000 kontrol
ditemukan epilepsi 4,7 kali lebih mungkin dalam
kelompok SLE
 Studi kohort retrospektif juga melaporkan bahwa
SLE dikaitkan dengan 5,6 kali lipat peningkatan
risiko epilepsi
4 Diabetes Melitus
Tipe 1 (DMT1)
Diabetes Melitus Tipe 1
• 80% diabetes melitus tipe 1 mendahului onset kejang.
• Antibodi GAD ditemukan sekitar 85% pada orang yang
baru terdiagnosis DMT1 dan sekitar sepertiga pada
mereka dengan durasi lebih dari 5 tahun. Gambaran ini
melebihi tingkat prevalensi epilepsi pada DMT1
• Peran GAD dalam DMT1 dan epilepsi belum sepenuhnya
dipahami karena belum diketahui bagaimana antibodi GAD
dapat menyebabkan disfungsi otak.
5 Myasthenia
Gravis (MG)
Myasthenia Gravis
• Sebuah studi kohort melaporkan bahwa sekitar 3% dari
orang dengan MG memiliki epilepsi.
• studi berbasis populasi menunjukan bahwa risiko epilepsi
pada MG lebih besar 4,9 kali dari yang diharapkan
• MG dihubungkan dengan tingginya sitokin tapi kurangnya
bukti apakah perubahan ini menyebabkan rentan terhadap
epilepsi
Celiac’s
6 Disease
Celiac’s Disease
• Gejala neurologis telah dilaporkan pada sekitar 10% dari
pasien
• Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah anak-anak di
wilayah Mediterania dengan epilepsi di lobus oksipital.
• Dalam studi populasi terbaru mengidentifikasikan bahwa
atrofi vili-vili lebih parah pada PC yang berhubungan
dengan risiko berkembangnya penyakit menjadi epilepsi.
• Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan
mekanisme mengapa atrofi melindungi terhadap epilepsi.
Rheumatoid
7 Arthritis
Rheumatoid Arthritis
• Dua penelitian berbasis populasi melaporkan peningkatan
risiko epilepsi pada orang dengan RA dibandingkan pada
kelompok kontrol. hubungan antara RA dan epilepsi dapat
dijelaskan dengan vaskulitis, infeksi SSP, dan penggunaan
methotrexat dan sulfasalazin
• Tingkat sitokin meningkat dapat memberikan penjelasan
alternatif.
Ensefalopati
8 Hashimoto
Ensefalopati Hashimoto
• Ditandai dengan akut-subakut timbulnya manifestasi
neuropsikiatri dengan peningkatan level anti-thyroid
antibodies (ATA) termasuk anti-TPO, anti-TG, dan kadang
anti-TSG
• Kejang adalah presentasi paling sering terjadi sampai dua
pertiga individu.
• Secara keseluruhan, patogenesis yang tepat dari HE tidak
jelas tetapi respon yang baik terhadap steroid mungkin
mendukung peran dari sistem kekebalan tubuh.
9 Psoriasis
PSORIASIS
• Hubungan antara psoriasis dan epilepsi pertama disarankan oleh
pengobatan anti-kejang diantara orang dengan psoriasis
• Sebuah studi berbasis populasi terbaru melaporkan kemungkinan
epilepsi 1,9 kali lipat lebih tinggi diantara orang dengan psoriasis
dibandingkan dengan kelompok kontrol. karakteristik epilepsi belum
dipastikan
• Sitokin mungkin memainkan peran penting dalam pengembangan
psoriasis tetapi bukti kurang apakah perubahan ini menyebabkan
rentan terhadap epilepsi.
Multiple
10 Sclerosis (MS)
Multiple Sclerosis
• Terjadinya kejang pada orang dengan MS telah dilaporkan sejak awal
• Sampai dengan 2% kasus berkembang menjadi epilepsi dalam 10
tahun setelah terdiagnosis MS.
• Sekitar 2-3% dari orang dengan MS memiliki epilepsi.
• Terjadinya epilepsi pada MS tampaknya dikaitkan dengan penipisan
korteks terutama pada lobus temporal, korteks insular, dan cingulate
gyrus.
Neuromyelitis Optica
• Penyakit autoimun SSP yang berbagi banyak gejala dengan MS
• Anti-aquaporin 4 (anti-AQP4) antobodi tampaknya berhubungan
dengan kondisi ini.
• Sebuah studi skala kecil mengindikasikan bahwa epilepsi mungkin
lebih umum pada NMO dibandingkan pada MS
• Kehadiran epilepsi telah dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk
pada kedua penyakit ini. Seperti di MS, lesi otak dan kemungkinan
meningkatnya kadar sitokin menjelaskan peningkatan risiko epilepsi
Pemfigoid
11 Bullosa
Pemfigoid Bullosa
• Mungkin disebabkan oleh autoantibodi terhadap protein
hemidesmosomal BP antigen (BPAG 1) (target: BP230) dan BPAG2
(target: BP180 atau jenis XVII kolagen).
• Penyakit neurologi yang berbeda, termasuk demensia, stroke,
penyakit parkinson dan MS telah dilaporkan sebagai komorbid pada
BP.
Implikasi bagi
Manajemen Klinis
Dan Studi yang
Akan Datang
• Rekomendasi spesifik pada manajemen epilepsi pada gangguan
autoimun sistemik masih kurang.
• Beberapa AED (misalnya asam valporat) cenderung meningkatkan
risiko obesitas pada individu dengan TIDM. Imunoterapi dengan
kortikosteroid, imunoglobulin intravena (IVIg), plasmapheresis,
siklofosfamid, dan rituximab telah disarankan untuk pengobatan AE
dan beberapa sindrom epilepsi.
• Sitokin dan autoantibodi yang berbeda mungkin berefek pada otak
dan mencetuskan kejang tapi masih sedikit diketahui dengan tepat
kaskade inflamasi dan bagaimana jalur ini dapat dimodulasi dan
diantaranya.
• Studi yang akan datang dibutuhkan untuk mengidentifikasian subgrup
yang mungkin bermanfaat dari imunoterapi atau obat anti-inflamasi.
Thanks!

Anda mungkin juga menyukai