Anda di halaman 1dari 65

NAMA : CINDI PUTRI AYU BR.

GINTING
NPM :1915100369
PRODI :AKUNTANSI
KELAS { :REG.1 1F
MATA KULIAH :MANAJEMEN
 Analisis Rantai Nilai Ikan Cakalang Di Kota Ambon, Maluku ............................................. (Estu
Sri Luhur dan Risna Yusuf)

 ANALISIS RANTAI NILAI IKAN CAKALANG


DI KOTA AMBON, MALUKU
 Value Chain Analysis of Skipjack Tuna in Ambon,
Maluku
 *Estu Sri Luhur dan Risna Yusuf
 Balai Besar RIset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Gedung
Balitbang KP I Lt. 4
 Jalan Pasir Putih Nomor 1 Ancol Timur, Jakarta Utara, Indonesia
 Telp: (021) 64711583 Fax: 64700924
 Diterima tanggal: 24 Agustus 2016 Diterima setelah perbaikan: 15
Februari 2017 Disetujui terbit: 6 Juni 2017

*email: s2luhur@gmail.com
ABSTRAK
 Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji rantai nilai komoditas ikan cakalang
sehingga diperoleh besaran nilai tambah dan tingkat efisiensi pada setiap simpul
rantai pasok. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder dari
instansi terkait dan pelaku usaha. Data dikumpulkan melalui wawancara kepada
responden dengan teknik purposive dan snowball sampling. Data selanjutnya
dianalisis dengan analisis nilai tambah, rantai pasok dan rantai nilai. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemasaran ikan cakalang memiliki tiga saluran
distribusi yaitu: (1) dari nelayan ke pedagang pengumpul dan ke pedagang
pengecer; (2) dari nelayan ke pedagang pengumpul kemudian ke pengolah ikan
asar, dan; (3) dari nelayan ke UPI/cold storage. Analisis rantai pasok menunjukkan
bahwa ikan cakalang sebagian besar (50%) didistribusikan ke UPI/cold storage dan
sisanya dengan porsi yang sama (25%) didistribusikan ke pedagang pengecer
dan pengolah ikan asar. Analisis rantai nilai menunjukkan bahwa nilai tambah
terbesar dihasilkan pada saluran pemasaran kedua, yaitu sebesar Rp.23.062/kg.
Simpul rantai pasok nelayan cenderung tidak efisien pada ketiga saluran
pemasaran. Rekomendasi kebijakan yang diusulkan: (1) koordinasi dengan
Bappeda dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan sebagai upaya
pengembangan industrialisasi ikan cakalang; (2) melakukan introduksi dan
penyebaran teknologi pengolahan ikan cakalang dari Balitbang KP dan
perguruan tinggi setempat untuk meningkatkan nilai tambah produk, dan; (3)
memperluas akses pasar dengan mengefisienkan sistem distribusi, baik melalui
jalur laut maupun udara.
 Kata Kunci: rantai nilai, cakalang, industrialisasi, nilai tambah, Ambon
J. Sosek KP Vol. 12 No. 1 Juni 2017: 93-105
PENDAHULUAN
Maluku merupakan salah satu provinsi di bagian Timur Indonesia dengan bentuk kepulauan yang dikelilingi
oleh perairan laut yang luasnya mencapai 92,4% (658.294,69 km2) dari luas wilayah Maluku secara keseluruhan. Kondisi
geografis ini membuat Maluku memiliki potensi produksi ikan tangkap sebesar 1,63 juta ton per tahun, sedangkan tingkat
pemanfaatannya baru 21% atau sekitar 341,966 ton (Listriana, 2011). Ikan pelagis besar merupakan komoditas unggulan
diperkirakan memiliki potensi sumberdaya sebesar 1.655,81 ton dengan nilai pemanfaatan maksimum lestari (MSY) sebesar
827,90 ton dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 662,32 ton/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
Provinsi Maluku, 2012).
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan salah satu jenis ikan kelompok pelagis besar yang banyak
ditemui di perairan Maluku. Hal ini ditunjukkan oleh data statistik Kota Ambon yang menempatkan ikan cakalang sebagai
salah satu hasil tangkapan yang bernilai ekonomis tertinggi pada tahun 2012 (Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Ambon,
2012). Dari aspek pemasarannya, cakalang juga merupakan jenis sumberdaya perikanan terpenting karena menjadi
komoditi ekspor dan bahan konsumsi dalam negeri (Manik, 2007). Cakalang di Kota Ambon tidak hanya dikonsumsi dalam
bentuk segar, tetapi juga diolah menjadi ikan asap (smoked fish) yang dikenal dengan nama ikan asar dengan pemasaran
dalam lingkup Pulau Ambon dan pasar dalam negeri.
Kegiatan usaha pengolahan ikan asap ini terus didorong perkembangannya oleh instansi terkait karena sejalan
dengan program industrialisasi yang dicanangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2011. Program
industrialisasi ini serupa dengan konsep agroindustri yang mampu mentransformasi produk primer (bahan mentah)
menjadi produk olahan (Suryana, 2005). Menurut Hicks (1995), agroindustri memiliki ciri-ciri: (1) meningkatkan nilai
tambah; (2) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan; (3) meningkatkan daya simpan,
dan; (4) meningkatkan pendapatan dan keuntungan produsen.
Keberlanjutan usaha pengolahan ikan asar ini sangat bergantung pada kontinuitas pasokan ikan cakalang sebagai bahan
baku utama. Untuk itu, perlu kerjasama antara berbagai pihak yang terkait dalam industri pengolahan ikan cakalang, baik
pelaku usaha dan pemerintah dalam menjaga ketersediaan produksi hingga ke tangan pengolah ikan asar. Menurut
Vermulen et al. (2008), analisis rantai nilai dilakukan untuk menilai semua kegiatan usaha dan pemangku kepentingan serta
hubungannya dalam rantai pasok. Analisis rantai nilai ini bertujuan untuk mengatasi kendala inefisiensi seperti variabilitas,
mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan. Dengan demikian, tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji rantai nilai terhadap ikan cakalang guna mengetahui besaran efisiensi pada setiap simpul pasok
dan juga mengetahui nilai tambah pada setiap saluran pemasaran. Hasil analisis ini selanjutnya akan digunakan sebagai
rekomendasi kebijakan dalam meningkatkan upaya pengembangan industri pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di
Kota Ambon.
Keberlanjutan usaha pengolahan ikan asar ini sangat
bergantung pada kontinuitas pasokan ikan cakalang sebagai bahan
baku utama. Untuk itu, perlu kerjasama antara berbagai pihak yang
terkait dalam industri pengolahan ikan cakalang, baik pelaku usaha
dan pemerintah dalam menjaga ketersediaan produksi hingga ke
tangan pengolah ikan asar. Menurut Vermulen et al. (2008), analisis
rantai nilai dilakukan untuk menilai semua kegiatan usaha dan
pemangku kepentingan serta hubungannya dalam rantai pasok.
Analisis rantai nilai ini bertujuan untuk mengatasi kendala inefisiensi
seperti variabilitas, mengurangi kerentanan dan meningkatkan
kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan. Dengan demikian,
tulisan ini bertujuan untuk mengkaji rantai nilai terhadap ikan
cakalang guna mengetahui besaran efisiensi pada setiap simpul pasok
dan juga mengetahui nilai tambah pada setiap saluran pemasaran.
Hasil analisis ini selanjutnya akan digunakan sebagai rekomendasi
kebijakan dalam meningkatkan upaya pengembangan industri
pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di Kota Ambon.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah
pada bulan April- November 2013. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposif
dengan dasar pertimbangan penetapan PPN Ambon yang terletak di Kota
Ambon sebagai salah satu kawasan percontohan industrialisasi perikanan dan
penetapan Kota Ambon sebagai lumbung ikan nasional.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dari hasil wawancara dengan 4 instansi terkait (PPN Ambon, PPI
Erie, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, serta Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Maluku), 11 orang nelayan dengan hasil tangkapan ikan
cakalang, 13 orang pedagang/ pemasar, 7 orang pengolah ikan asar, dan 5 unit
pengolahan ikan (cold storage). Jumlah contoh/ responden nelayan yang
diambil berdasarkan pada jenis ikan yang ditangkap dan alat tangkap yang
digunakan pada lokasi penelitian. Basis penggunaan responden pedagang dan
pengolah adalah menggunakan teknik snow ball sampling, yaitu satu responden
kunci (nelayan) memberikan informasi tentang responden kunci lain
(pedagang dan pengolah ikan asar) dalam satu jalur rantai pasok (supply
chain). Pedagang yang dijadikan responden adalah jibu-jibu yang beroperasi di
PPI Erie dan pedagang di Pasar Arumbai. Jumlah UPI/ cold storage yang
diambil berdasarkan cold storage yang dituju oleh nelayan cakalang yang
terletak di lokasi penelitian.
Informasi yang dihimpun dari instansi terkait meliputi
kondisi eksisting penangkapan ikan cakalang, distribusi pemasaran
bahan baku, pelaksanaan program industrialisasi berbasis perikanan
tangkap laut, serta pembinaan dan pengembangan usaha pengolahan
ikan asar. Informasi dari pelaku utama (nelayan, pengolah, pedagang
dan UPI/cold storage) meliputi kegiatan usaha setiap pelaku, rantai
pasok dan nilai yang terbentuk, nilai tambah yang dihasilkan,
lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dan hubungan antar-
lembaga pemasaran yang terbentuk.
Data sekunder dikumpulkan dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Kota Ambon maupun Provinsi Maluku, PPN Ambon, PPI
Erie, BPS Kota Ambon dan Bappeda Kota Ambon. Data meliputi
jumlah produksi, harga, jumlah armada, jumlah nelayan, alat tangkap
yang digunakan, volume perdagangan dan pasar tujuan perdagangan
ikan cakalang.
Metoda Analisis
Metode analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan memaparkan
hasil analisis yang diperoleh. Pendekatan kuantitatif digunakan dalam
penghitungan nilai tambah, biaya produksi, harga jual dan besaran efisiensi di
setiap simpul pada mata rantai nilai. Definisi operasional dan formulasi
penghitungan untuk variabel nilai tambah dan efisiensi yang digunakan
adalah sebagai berikut.
Nilai Tambah (Value Added)
Menurut Tarigan (2007), nilai tambah suatu produk merupakan hasil
dari nilai produk akhir dikurangi dengan biaya antara yang terdiri dari biaya
bahan baku dan bahan pendukung. Nilai tambah adalah nilai yang
ditambahkan pada barang dan jasa yang dipakai oleh unit produksi dalam
proses produksi sebagai biaya antara. Dengan demikian, makin besar nilai
komponen biaya antara yang digunakan maka nilai tambah produk tersebut
makin kecil (Mangifera, 2015).
Dasar penghitungan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rp/kg
bahan baku seperti metode penghitungan nilai tambah yang digunakan oleh
Hayami (1987). Secara fungsional, nilai tambah (NT) tersebut dapat
diformulasi sebagai berikut:
NT = f (K, B, T, H, U, h, L)
dimana K adalah kapasitas produksi; B adalah jumlah bahan
baku yang digunakan (kg); T adalah jumlah tenaga kerja yang
diperlukan (orang); H adalah harga output (Rp/kg); U adalah upah
kerja (Rp); h adalah harga bahan baku (Rp/ kg); dan L adalah nilai
input lain (Rp/kg)
Analisis biaya produksi digunakan sebagai pendekatan seperti
yang dipakai oleh Purwaningsih (2013). Keuntungan per unit industri
adalah selisih antara penerimaan (jumlah produksi x harga produk)
dengan biaya–biaya pada rantai pemasaran meliputi biaya investasi,
biaya operasional (bahan baku dan tenaga kerja), dan biaya overhead.
Komponen pada biaya berbeda untuk usaha penangkapan,
pendistribusian, penyimpanan, dan pengolahan.
Kinerja Rantai Nilai
Salah satu indikator untuk menilai kinerja rantai nilai adalah dengan
mengukur efisiensi pemasaran. Ciri khusus dari produk pertanian (termasuk
di dalamnya perikanan) adalah usaha yang memiliki resiko kegagalan yang
tinggi sehingga upaya untuk meningkatkan bagian nelayan terhadap harga
jual menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan. Selain faktor penawaran dan
permintaan, harga di tingkat nelayan sangat dipengaruhi oleh efisiensi
saluran pemasaran. Rendahnya harga di tingkat nelayan seringkali
disebabkan oleh buruknya sistem transportasi sehingga bagian harga yang
seharusnya diterima petani digunakan untuk biaya transportasi (Rofaida,
2012).
Farmer’s share (FS) merupakan salah satu pendekatan untuk
mengukur seberapa besar pelaku usaha memperoleh bagian dari harga di
tingkat konsumen. Dalam penelitian ini FS mengukur seberapa besar
peternak memperoleh bagian dari harga di tingkat konsumen Formulasi dari
FS adalah dengan membandingkan harga di tingkat peternak dengan harga
di tingkat konsumen (Azzaino, 1991):
FS = (harga di tingkat nelayan : harga di tingkat konsumen) x 100%
Dengan asumsi bahwa produsen merupakan pihak yang memiliki
resiko usaha tertinggi, maka semakin besar proporsi harga yang
diterima petani maka semakin adil sistem pemasaran. Pemasaran
yang efisien merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu
sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran terjadi jika sistem tersebut
dapat memberikan kepuasan kepada pihak yang terlibat dalam
pemasaran. Suatu pemasaran dikatakan efisien jika farmer’s share lebih
besar dari marjin pemasaran (Azzaino, 1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekonomi Perikanan Kota Ambon
Kegiatan perikanan di Kota Ambon didominasi oleh kegiatan
penangkapan laut karena wilayahnya yang dikelilingi oleh laut lepas
dan teluk. Posisi geografis ini menguntungkan bagi nelayan karena
sepanjang tahun dapat melakukan penangkapan dengan berpindah
lokasi ke laut lepas (Laut Banda) saat musim angin Barat dan
berpindah ke laut dalam (Teluk Ambon) saat musim angin timur.
Pada tahun 2012, jumlah armada dan alat tangkap di Kota Ambon
masing-masing berjumlah 1.346 dan 3.682 unit. Kegiatan
penangkapan sebagian besar didominasi oleh jukung sebesar 64%,
perahu motor tempel (32%), perahu papan (3%) dan kapal motor
(1%). Kondisi ini disebabkan oleh karena nelayan lokal Kota Ambon
masih banyak yang menggunakan perahu berukuran ukuran kecil
(77%), sedangkan kapal-kapal besar didominasi oleh kapal eks asing
milik cold storage yang beroperasi di kawasan PPN Tantui Ambon
(PPN Ambon, 2012).
Jenis alat tangkap yang digunakan oleh sebagian besar nelayan antara
lain jaring angkat, jaring insang, pancing tonda, huhate (pole and line)
dan pukat cincin (BPS Kota Ambon, 2012). Berdasarkan dominasi
penggunaan, alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah jala,
bubu, serok, bagan dan lainnya (65%), jaring angkat (14%), jaring
insang (10%), dan pancing tonda (8%). Jenis ikan yang ditangkap
antara lain ikan cakalang, kembung, julung, tongkol, layang, selar dan
ikan lainnya. Dari jenis ikan tersebut, ikan layang menjadi ikan yang
besar volume pemasarannya yaitu sebesar 57%, tongkol 13% dan ikan
cakalang sebanyak 12% (BPS Kota Ambon, 2012).
Pada tahun 2012, volume produksi perikanan tangkap laut Kota
Ambon adalah sebanyak 31.785 ton dengan nilai produksi sebesar
Rp.173.202.315.000. Produksi tersebut disumbang oleh ikan pelagis
kecil, pelagis besar, dan ikan demersal. Berdasarkan wilayah ekologis,
volume produksi disumbang besar oleh ikan pelagis kecil yaitu ikan
layang sebanyak 10.412,42 ton dengan nilai Rp.41,6 miliar dan ikan
selar sebanyak 789,97 ton dengan nilai produksi sebesar
Rp.3.949.850.000. Untuk ikan pelagis besar, volume dan nilai produksi
terbesar disumbang oleh ikan tongkol yang masing-masing sebesar
10.059,59 ton dan Rp.30.178.770, ikan cakalang dengan volume
produksi 6.452,05 ton senilai Rp.48.390.375.000, dan ikan tuna
sebanyak 2.106,78 ton dengan nilai produksi Rp.42.135.600.000.
Jenis Ikan Jumlah (Ton) Harga Nilai (000 Rp)
Fish Species Volume (Ton) (Rp/Kg) Value(000000 Rp)
Price
(Rp/Kg)
Cakalang/Ski 6,452 (20%) 7,500 48,390 (28%)
pjack Tuna
Tuna/Tuna 2,107 (7%) 20,000 42,136 (24%)
 Tabel 1. Jumlah dan Nilai Produksi Menurut Jenis Ikan di Kota Ambon, 2012.

Kembung/Ras 952 (3%) 3,500
Table 1. Production Volume and Value by Species in Ambon, 2012.
3,330 (2%)
trelligers
Tongkol/Scom 10,060 (32%) 3,000 30,178 (18%)
bridae
Layang/Scad 10,412 (33%) 4,000 41,650 (24%)
Selar/Trevaille 790 (2%) 5,000 3,950 (2%)
s

Lalosi/Lalosi 412 (1%) 3,000 1,237 (1%)

Teri/Anchovy 35 (0,1%) 2,000 71 (0%)


Lainnya/ 565 (2%) 4,000 2,260 (1%)
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari aspek volume produksi
maka ikan layang dan tongkol menjadi komoditas utama di Kota
Ambon, tetapi jika dilihat dari nilai produksi maka ikan cakalang dan
tuna yang memberikan sumbangan terbesar. Hal ini disebabkan oleh
karena tingkat harga ikan pelagis kecil cenderung rendah
dibandingkan dengan harga ikan cakalang dan tuna yang mencapai 2-
5 kali lipat lebih tinggi. Faktor inilah yang membuat ikan tuna dan
cakalang menjadi komoditas utama perikanan Kota Ambon.
Pemasaran ikan tuna dan cakalang juga lebih luas karena menjadi
komoditi ekspor ke negara tujuan Amerika Serikat dan juga ke pasar
regional seperti Jakarta dan Surabaya. Sementara ikan layang dan
selar dipasarkan di pasar lingkup Pulau Ambon saja.
Sementara itu, kegiatan pengolahan adalah mengolah ikan
cakalang menjadi produk ikan asap (smoked fish) yang dikenal dengan
nama ikan asar karena pengolah asal Ambon menyatakan bahwa ikan
asarnya tidak sama dengan ikan asap daerah lain yang berbeda dalam
proses pengolahannya. Umumnya penjualan ikan asar yang tersebar
di beberapa tempat, namun terbesar terdapat di desa Hative Kecil 40-
90% dan Desa Passo dan Desa Poka 15,15% (Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Kota Ambon, 2012).
Mata Rantai Pemasaran Ikan Cakalang
Nelayan dengan hasil tangkapan ikan cakalang adalah
nelayan yang menggunakan alat tangkap pole and line (huhate) dan
purse seine. Ikan cakalang merupakan jenis komoditas yang menjadi
target utama nelayan pole and line. Nelayan pole and line biasanya
berada di laut antara lima hingga tujuh hari dalam sekali trip pada
musim panen, sedangkan pada musim paceklik nelayan hanya dapat
melakukan trip sebanyak tiga hingga empat kali dalam waktu satu
bulan. Kapal yang digunakan oleh nelayan pole and line biasanya
memiliki ukuran 28-30 GT.
Nelayan ikan cakalang biasanya menjual ikan hasil
tangkapannya ke pedagang pengumpul yang berasal dari berbagai
macam daerah di Pulau Ambon seperti Latuhalat, Tulehu dan Way.
Pedagang-pedagang pengumpul ini sering disebut sebagai jibu-jibu.
Harga yang digunakan saat transaksi pedagang pengumpul dan
nelayan ditentukan oleh pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul
menentukan harga berdasarkan harga ikan hasil tangkapan hari
sebelumnya dan dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan hari
transaksi. Jika hasil tangkapan banyak, harga akan turun. Sebaliknya,
jika hasil tangkapan sedikit, harga ikan akan naik. Selain menjual ke
pedagang eceran, biasanya pedagang pengumpul menjual ke pengolah
ikan tradisional, misalnya pengolah ikan asar yang berada di Galala.
Harga yang digunakan saat transaksi pedagang pengumpul dan
pengolah biasanya sama seperti harga yang ditentukan pedagang
pengumpul ke pedagang eceran. Akan tetapi, biasanya para pengolah
tradisional sudah memiliki langganan jibu-jibu yang bertindak sebagai
supplier bahan baku untuk produk olahannya. Akan tetapi, ikan
cakalang hasil tangkapan nelayan kebanyakan dijual ke UPI (cold
storage) untuk diekspor ke beberapa daerah di dalam negeri seperti
Jakarta dan Surabaya serta beberapa negara seperti Jepang dan
Amerika.
Sistem rantai pemasaran pada komoditas ikan cakalang
di PPI Erie Ambon terdapat tiga rantai. Rantai pertama adalah
pemasaran dari nelayan ke pedagang pengumpul lalu ke
pedagang pengecer. Rantai pemasaran kedua dari nelayan ke
pedagang pengumpul lalu ke pengolah tradisional. Rantai
pemasaran ketiga menunjukkan aliran distribusi dari nelayan
ke UPI/ cold storage.
Nelayan yang menangkap ikan cakalang merupakan
nelayan dengan alat tangkap purse seine. Nelayan tersebut
melaut dengan prinsip one day fishing atau melakukan trip
sekali dalam satu hari. Nelayan tersebut berangkat melaut
pukul 18.00 WIT dan pulang ke daratan sekitar pukul 06.00
WIT. Nelayan yang membawa pulang ikan cakalang sebagai
hasil tangkapannya tersebut telah ditunggu oleh pedagang
pengumpul di PPI Erie untuk kemudianditempatkan dalam
wadah loyang berukuran 30-40 kg ikan cakalang pada setiap
loyangnya. Ikan cakalang yang sudah dibeli oleh pedagang
pengumpul kemudian dibawa ke Pasar Arumbai untuk
dilelang ke pedagang pengecer lalu dari pedagang pengecer
tersebut ikan cakalang dipasarkan kepada konsumen. Seperti
inilah rantai pertama pemasaran ikan cakalang terjadi.
Pada rantai yang kedua pedagang pengumpul membeli ikan dari
nelayan kemudian menjualnya ke pengolah tradisional untuk diolah menjadi
ikan asar dan dipasarkan kepada konsumen. Pengolah tradisional membeli
ikan dari pedagang pengumpul yang biasanya telah menjadi langganannya
sejak lama karena adanya ikatan diantara mereka berdua. Ikatan yang terjadi
biasanya diakibatkan masalah utang piutang ataupun masalah kepercayaan
yang telah terjalin sejak lama.
Nelayan menjual ikan hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul
masing-masing sebesar 25%, sedangkan pada saluran 3 nelayan menjual ikan
cakalang ke UPI (cold storage) sebanyak 50%. Pedagang pengumpul atau jibu-
jibu menjual ikan cakalang dengan kualitas baik ke pedagang pengecer yang
berada di luar kota seperti Jakarta dan Surabaya, sedangkan yang kualitas
rendah dijual kepada pedagang pengecer yang berjualan di Pasar Arumbai.
Sistem penjualan yang dilakukan pedagang pengumpul kepada pedagang
pengecer menggunakan sistem lelang dimana pedagang pengumpul yang
bertindak sebagai price maker. Pedagang pengecer tidak dapat membeli ikan
cakalang langsung dari nelayan dikarenakan keterbatasan modal. Pedagang
pengecer hanya dapat membeli ikan cakalang dari pedagang pengumpul
dengan sistem lelang. Kondisi ini disebabkan karena pedagang pengecer
dapat membayar di kemudian hari apabila membeli di pedagang
pengumpul, sedangkan jika membeli langsung ke nelayan meskipun
harganya lebih rendah. Hal inilah yang membuat harga ikan cakalang
tergolong tinggi di pasaran karena harga ditentukan oleh pedagang
pengumpul.
Pedagang pengumpul yang menjual ikan hasil tangkapannya
ke pedagang pengecer biasanya juga mensuplai ikan cakalang kepada
para pengolah tradisional produk ikan asap. Pengolah tradisional
biasanya telah memiliki langganan jibu-jibu karena adanya ikatan
ekonomi yang terkait masalah utang piutang dan ikatan yang terkait
kepercayaan yang telah terjalin sejak lama. Ikan cakalang yang telah
diolah dijual dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan ikan cakalang yang belum diolah. Selain dikonsumsi oleh
penduduk lokal, ikan cakalang asap biasanya juga dijual kepada
wisatawan domestik dan mancanegara.
Selain menjual ikan cakalang ke pedagang pengumpul nelayan
juga menjual ikan cakalang hasil tangkapannya ke UPI (cold storage)
untuk diolah menjadi produk beku. Ikan cakalang yang langsung
dijual ke cold storage banyak didaratkan di PPN Ambon. Harga ikan
cakalang yang dijual oleh nelayan ke UPI (cold storage) lebih tinggi jika
dibandingkan dengan harga ikan cakalang yang dijual nelayan ke
pedagang pengumpul. Ikan cakalang tersebut kemudian diekspor
sebagian ke berbagai daerah di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya,
akan tetapi ada juga yang diekspor ke luar negeri seperti ke Jepang dan
Amerika.
 Analisis Rantai Nilai (Value Chain Analysis)
Industri perikanan tangkap dan industri pengolahan ikan
menjadi inti dari klaster industri perikanan karena pada kedua jenis
industri tersebut terjadi aliran material (ikan) dan proses pertambahan
nilai. Di samping itu, keduanya juga menyerap tenaga kerja terbesar
pada sektor perikanan (Purwaningsih, 2015). Istilah value-chain
industrial cluster didefinisikan oleh Brown (2000) sebagai klaster
industri yang memiliki keterkaitan input-output atau buyer–supplier
sebagai suatu mata rantai.
Analisis rantai nilai ikan cakalang di Kota Ambon dilakukan
pada setiap saluran pemasaran yang terbentuk berikut ini.
 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Cakalang merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai
ekonomi tinggi di Kota Ambon. Ikan cakalang didistribusikan di pasar
domestik dan luar negeri dalam bentuk segar dan beku. Selain dikonsumsi
segar, cakalang diolah menjadi ikan asap (smoked fish) dengan distribusi pasar
lokal dan regional.
Rantai pemasaran ikan cakalang diidentifikasi terdiri dari tiga saluran,
yaitu a) saluran dari nelayan - pedagang pengumpul pedagang pengecer; b)
saluran dari nelayan pedagang pengumpul pengolah ikan asar; c) saluran
dari nelayan UPI/cold storage.
Rantai pasok ikan cakalang menunjukkan pihak UPI/cold storage
menjadi lembaga pemasaran terbesar (50%) dalam aliran pasok dari nelayan,
sedangkan pedagang pengecer dan pengolah masing-masing mendapat porsi
25% dari hasil tangkapan ikan cakalang dari nelayan.
Rantai nilai ikan cakalang menunjukkan nilai tambah terbesar
dihasilkan pada saluran pemasaran kedua, yaitu sebesar Rp. 23.062,-/kg. Hal
ini disebabkan oleh adanya proses pengolahan pengasapan terhadap bahan
baku utama (ikan cakalang) yang mengakibatkan nilai jual akhir meningkat
hingga lima kali lipat.
Simpul rantai pasok nelayan cenderung tidak efisien pada ketiga
saluran pemasaran. Hal ini disebabkan nelayan tidak memiliki kekuatan
dalam menentukan harga jual akibat terbentuknya struktur pasar yang
monopsoni.
 Implikasi Kebijakan
Melibatkan multisektor atau integrated management dalam
pengelolaan industri cakalang.
Melakukan introduksi dan penyebaran teknologi pengolahan
ikan cakalang yang dihasilkan oleh Badan Riset dan Sumber Daya
Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) dan perguruan tinggi
setempat untuk meningkatkan efisiensi industri cakalang.
Memperluas akses pasar dengan membuka alternatif jalur
distribusi, baik melalui jalur darat, laut maupun udara, yang murah
dan mudah sehingga pelaku usaha memiliki pilihan dalam
mendistribusikan hasil produksinya.
RIVIEW JURNAL RANTAI NILAI
IKAN CAKALANG

Judul Analisis Rantai Nilai Ikan Cikalang Di Kota Ambon, Maluku

Jurnal Jurnal Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan Gedung Balitbang
KP I Lt. 4
Volume Dan Vol. 12 No. 1 , Halaman 93-105
Halaman
Tahun 2017
Penulis Estu Sri Luhur dan Risna Yusuf
Riviewer Cindi Putri Ayu Br. Ginting (1915100369)
Tanggal 14 Oktober 2019
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji rantai nilai komoditas ikan cakalang
Penelitian sehingga diperoleh besaran nilai tambah dan tingkat efesiensi pada setiap simpul
rantai pasok.
Objek Objek dalam penelitian ini adalah nelayan, pedagang, pengelola
Penelitian
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif asosiatif
Penelitian
Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan kuantitatif.
Sumber Data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
dari hasil wawancara dengan 4 instansi terkait (PPN Ambon, PPI Erie, Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Maluku), 11 orang nelayan dengan hasil tangkapan ikan cakalang, 13 orang
pedagang/ pemasar, 7 orang pengolah ikan asar, dan 5 unit pengolahan ikan (cold
storage).
Teknik Basis penggunaan responden pedagang dan pengolah adalah menggunakan
Analisis teknik snow ball sampling, yaitu satu responden kunci (nelayan)
Data memberikan informasi tentang responden kunci lain (pedagang dan
pengolah ikan asar) dalam satu jalur rantai pasok (supply chain).
Populasi 4 instansi terkait (PPN Ambon, PPI Erie, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Ambon, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku)
Sampel 11 orang nelayan dengan hasil tangkapan ikan cakalang, 13 orang pedagang/
pemasar, 7 orang pengolah ikan asar, dan 5 unit pengolahan ikan (cold
storage).
Hasil Rantai pasok ikan cakalang menunjukkan pihak UPI/cold storage menjadi
Penelitian lembaga pemasaran terbesar (50%) dalam aliran pasok dari nelayan,
sedangkan pedagang pengecer dan pengolahmasing-masing mendapat porsi
25% dari hasil tangkapan ikan cakalang dari nelayan.
Rantai nilai ikan cakalang menunjukkan nilai tambah terbesar dihasilkan
pada saluran pemasaran kedua, yaitu sebesar Rp. 23.062,-/kg. Hal ini
disebabkan oleh adanya proses pengolahan pengasapan terhadap bahan baku
utama (ikan cakalang) yang mengakibatkan nilai jual akhir meningkat hingga
lima kali lipat.
Simpul rantai pasok nelayan cenderung tidak efisien pada ketiga saluran
pemasaran. Hal ini disebabkan nelayan tidak memiliki kekuatan dalam
menentukan harga jual akibat terbentuknya struktur pasar yang monopsoni.
Kelebihan Memaparkan secara lengkap pendahuluan dan penulisannya teratur.
Kekurangan Space penulisannya tidak teratur
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 16 No. 1 [April 2015] 51-64
Optimalisasi Kinerja Rantai Pasokan dan Rantai Nilai [Jannah dkk.]

OPTIMALISASI KINERJA RANTAI PASOKAN DAN


RANTAI NILAI TEMBAKAU KASTURI (VOOR OOGST) DI
KABUPATEN JEMBER
Performance Optimization of Tobacco Kasturi (Voor Oogst)
Supply Chain and Value Chain in Jember
Rita Zachratul Jannah*1, Hariadi Subagja2, Hari Rujito3
1 Program Studi Manajemen Agribisnis – Program Pascasarjana
Politeknik Negeri Jember
2 Program Studi Manajemen Bisnis Unggas - Politeknik Negeri
Jember
3 Program Studi Manajemen Agroindustri - Politeknik Negeri
Jember
Penulis Korespondensi: email rita1.mbipb.polije@gmail.com
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian adalah untuk menggambarkan dan menganalisis kinerja
rantai pasok dan rantai nilai Tembakau Kasturi di Kabupaten Jember. Metode penelitian
menggunakan analisis pemetaan rantai nilai, analisis integrasi pasar dan Analisis hierarki
proses. Hasil penelitian menunjukan bahwa hambatan yang terjadi pada rantai nilai
Tembakau Kasturi berdasarkan temuan lapang dapat didentifikasi sebagai berikut:
Kurangnya penerapan Good Tobacco Practices (GTP), Biaya usaha tani yang besar, Kurangnya
modal, Kelembagaan petani yang tidak solid, Ketidakseimbangan jenis pasokan dan jenis
kebutuhan tembakau, Biaya transportasi dan tenaga kerja tinggi, Kurangnya teknologi
pengeringan, Tidak ada kepastian harga dan pasar, Rantai pemasaran yang panjang, Struktur
pasar yang monopsoni, Akses pasar terbatas asimetri informasi. Hambatan yang terjadi
dalam rantai nilai Tembakau Kasturi merupakan suatu tantangan yang harus dipetakan,
diidentifikasi dan diberi solusi terbaik yang mencakup semua stakeholder yang ada di
sepanjang rantai nilai Tembakau Kasturi. Solusi yang dapat diambil untuk memecahkan
permasalahn tersebut adalah sbb: Pelatihan good tobacco practice, Bantuan permodalan
petani, Pemberdayaan kelembagaan petani, Peran pemerintah dan APTI melakukan
pengawasan dalam pemberdayaan kelembagaan dan kemitraan, Kepastian harga dan pasar,
Membentuk pola pemberdayaan & kemitraan, Law enforcement. Dalam penelitian ini
menunjukkan nilai error correction model (ECM) sebesar β2 = 0.15 Hal ini menginterpretasikan
bahwa penyesuaian pada kondisi equilibrium variabel harga produsen Tembakau Kasturi
adalah sebesar 6 minggu. Dengan menggunakan model variance equation dapat diketahui
volatilitas yang terjadi pada harga Tembakau Kasturi yang merupakan hasil penjumlahan
antara kedua koefisien ARCH dan GARCH yaitu sebesar 0.545043. Berdasarkan tolak ukur
pengukuran dari hasil penjumlahan yang kurang dari 1 menunjukkan bahwa adanya low
volatility. Pada hasil penelitian menggunakan analisis hierarki proses (AHP) kepastian harga
merupakan prioritas yang paling penting. Sedangkan alternatif strategi yang dapat diterpkan
yaitu pemberdayaan petani dan pengembangan kemitraan.
Kata Kunci: tembakau kasturi, rantai nilai, strategi.
PENDAHULUAN
Bagi masyarakat Jember tembakau merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari aspek psikologis sosial kehidupan bertani. Pada struktur industri
Tembakau Kasturi di Kabupaten Jember selalu terjadi fluktuasi harga dan
ketidakpastian kebutuhan konsumen. Hal ini merupakan cerminan dari asimetris
information atau ketidakseimbangan dalam penguasaan informasi pada setiap mata
rantai tataniaga tembakau kasturi. Fluktuasi harga tembakau sebenarnya
merupakan perwujudan dari adanya excess demand disuatu waktu tertentu, namun
di saat yang lain terjadi excess supply. Excess demand menimbulkan kenaikan harga
karena pada struktur pasar tersebut konsumen kekurangan pasokan tembakau.
Pada tahun 2011 terjadi kenaikan harga dan disertai dengan membaiknya mutu
tembakau. Harga tembakau kasturi mencapai rata-rata Rp 40.000/kg, sedangkan
produksi tembakau sebanyak 108.874,30 kw. Kondisi ini sangat menguntungkan
bagi petani karena produksi tembakau terserap dengan maksimal dan pendapatan
petani meningkat. Sedangkan excess supply terjadi karena ketersediaan produk
melimpah sehingga terjadi penurunan harga.
Pada tahun 2012 rata-rata harga Tembakau Kasturi mencapai Rp 31.000
dengan produksi sebesar 177.834 kw. Penurunan harga tembakau dan penyerapan
produksi tembakau yang kurang maksimal menyebabkan petani banyak
mengalami kerugian. Kedua kondisi pasar tersebut mempengaruhi psikologis
masyarakat dalam menentukan rotasi masa tanam tembakau tahun depan.
Menurut Arifien (2013), Jatuhnya harga pada tahun sebelumnya biasanya diikuti
dengan penurunan areal dan produksi tembakau. Demikian juga sebaliknya
tingginya harga tahun sebalumnya akan diikuti dengan peningkatan areal dan
produksi yang signifikan pada musim yang akan datang. Menurut Arifien (2013)
Inventarisasi mengenai kebutuhan bahan baku oleh konsumen tembakau seperti
pabrik rokok, supplier, ataupun eksportir sangat diperlukan oleh produsen
tembakau.
Manajemen rantai pasok merupakan strategi alternatif yang
memberikan solusi dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan
untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui pengurangan biaya
operasi dan perbaikan pelayanan dan kepuasan konsumen. (Annatan
dan Ellitan, 2008). Tata kelola dalam suatu rantai nilai mengacu pada
struktur hubungan dan mekanisme koordinasi yang terjadi antara para
pelaku dalam rantai nilai. Tata kelola merupakan konsep yang luas
yang pada dasarnya memastikan bahwa interaksi antara para peserta
di dalam rantai nilai telah terorganisir. Aturan-aturan yang mengatur
hubungan komersil dalam rantai nilai dapat membatasi atau
menghambat peran kaum miskin, namun dapat pula menciptakan
pembelajaran yang penting serta peluang peningkatan. Aturan
komersil bisa jadi amat spesifik (terkodifikasi), misalnya tingkatan
kualitas (grade) yang ditetapkan dan diuraikan secara jelas untuk
produk-produk pertanian yang dikaitkan dengan harga atau rumusan
harga secara transparan (ACIAR, 2012).
Tanaman tembakau (Nicotianae tabacum L) termasuk genus Nicotinae,
serta familia Solanaceae. Spesies-spesies yang mempunyai nilai ekonomis adalah
Nicotianae Tabocum L dan Nicotianae Rustica dengan rincian sebagai berikut:
 Nicotiana rustica L mengandung kadar nikotin yang tinggi (max n = 16 %)

biasanya digunakan untuk membuat abstrak alkoloid (sebagai bahan baku


obat dan isektisida), jenis ini banyak berkembang di Rusia dan India.
 Nicotiana tabacum L mengandung kadar nikotin yang rendah (min n = 0.6%)

jenis ini umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok.


Matnawi (1997) menyebutkan bahwa tanaman tembakau memiliki
sistematik botani serta sistematik morfologi. Sistematik botani meliputi
Kelas : Dicotyledoneae,
Ordo : Personatae,
Familia : Solanaceae,
Sub familia : Nicotianae,
Genus : Nicotiana
Spesies : Nicotiana tabaccum dan
Nicotiana rustica.
Menurut Indrajit dan Pranoto (2002), rantai pasokan adalah suatu
sistem tempat organisasi menyalurkan barang produksi dan jasanya kepada para
pelanggannya. Model rantai pasokan yaitu suatu gambaran mengenai hubungan
mata rantai dari pelaku-pelaku tersebut yang dapat membentuk seperti mata
rantai yang terhubung satu dengan yang lain. Salah satu faktor kunci untuk
mengoptimalkan rantai pasok adalah dengan menciptakan alur informasi yang
bergerak secara mudah dan akurat diantara jaringan atau mata rantai tersebut,
dan pergerakan barang yang efektif dan efisien yang menghasilkan kepuasan
maksimal pada para pelanggan.
Menurut Austin (1992) dan Brown (1994) menyadur dari Marimin dan
Maghfiroh (2010), manajemen rantai pasok pertanian berbeda dengan
manajemen rantai pasok produk manufaktur karena:
1. Produk pertanian bersifat mudah rusak
2. Proses pananaman, pertumbuhan, pemanenan tergantung
pada iklim dan musim
3. Hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi
4. Produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk ditangani.
Aliran produk dari produsen sampai konsumen memunculkan adanya
rantai nilai (value chain), yang masing-masing aktivitas tersebut merupakan
kegiatan yang bisa saling terpisah namun sangat bergantung satu dengan yang
lain. Analisis value chain dapat digunakan sebagai alat analisis stratejik yang
digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif,
dimana perusahaan dapat meningkatkan nilai tambah (value added) maupun
penurunan biaya sehingga dapat membuat usaha lebih kompetitif (Porter, 1980).
BAHAN DAN METODE
Pemetaan Rantai Nilai
Salah satu langkah awal yang terpenting dalam melakukan
analisis Manajemen Rantai Pasokan adalah dengan melakukan analisis
terhadap model atau kondisi rantai nilai yang terjadi. rantai nilai
mengacu pada serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk
menghadirkan suatu produk (atau jasa) dimulai dari tahap konseptual,
dilanjutkan dengan beberapa tahap produksi, hingga pengiriman ke
konsumen akhir dan pemusnahan setelah penggunaannya (ACIAR,
2012). Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pemetaan proses inti dalam rantai nilai
2. Pemetaan para pelaku utama yang terlibat dalam rantai nilai
dan apa saja yang dilakukan
3. Pemetaan pengetahuan dan alur informasi
4. Pemetaan layanan yang digunakan dalam rantai nilai
5. Pemetaan hambatan dan potensi solusinya
6. Pemetaan nilai pada berbagai tingkatan pada rantai nilai
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemetaan Proses Inti Pada Rantai Nilai Tembakau Kasturi
Pada pemetaan proses inti tembakau kasturi terdapat beberapa
kegiatan proses penting yang dilakukan seperti proses penyediaan input atau
saprodi, penanaman, produksi dan pengolahan, perdagangan, dan proses
yang dilakukan oleh gudang atau pabrikan. Pada rantai nilai tembakau kasturi
diawali dengan proses penyediaan input atau saprodi seperti persiapan lahan,
bibit, alsintan, obat obatan pertanian dll. Dilanjutkan pada proses penanaman
yang memakan watu hingga 65-70 hari. Kemudian dilanjutkan dengan proses
produksi dan pengolahan dimana terdapat proses pengolahan pasca panen
dari penyujenan pengeringan hingga pengemasan.
Pemasaran tembakau voor oogst kasturi menjadi suatu kegiatan
penentu yang layak diperhitungkan baik oleh produsen, distributor,
konsumen maupun pemerintah. Pemasaran produk tembakau kasturi (Voor
Oogst) di Kabupaten Jember secara umum ditujukan untuk pemenuhan pasar
domestik. Hal tersebut, berkaitan dengan karakteristik produk agribisnis yang
umumnya perishable menjadi suatu hal yang seringkali dipertimbangkan dalam
pemasaran produk agribisnis sehingga di perlukan pngolahan dan
penanganan lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang diinginkan sesuai
pangsa pasar yang dituju. Tembakau dikembangkan sebagai tanaman
perdagangan yang terbentuk sebagai industri padat karya dan padat modal,
bahkan dapat digolongkan sebagai komoditas perdagangan yang memiliki
resiko yang tinggi.
Berdasarkan informasi dari Asosiasi Petani Tembakau Kasturi
(APTK) Jember (2015), Selama ini para pembeli tembakau Jember
sebanyak 22 perusahaan, namun beberapa perusahan-perusahaan
tersebut merupakan konsumen terbesar krosok kasturi antara lain PT
Adi Sampoerna sebagai supplier, PT Gudang Garam dan PT Djarum
sebagai pabrik rokok dan PT Pandu Sata Utama sebagai eksportir dll.
Proses pembelian tembakau yang dilakukan oleh gudang maupun
perwakilannya yang tersebar di beberapa daerah sentra produksi harus
selesai dalam waktu dua bulan karena tembakau asalan yang diperoleh
dari petani harus segera diamankan dari gangguan lembab dan
diproses lebih lanjut untuk mengantisipasi serangan jamur serta
kesalahan penyimpanan yang lain. Mutu tembakau asalan sangat
mudah rusak karena reaksi enzimatis masih terus berlangsung.
Tembakau asalan harus segera masuk proses lanjutan berupa
fermentasi (aging, stapling), pengeringan ulang (redrying, threshing), atau
peracikan awal (preblending) jika diperlukan.
RIVIEW JURNAL RANTAI NILAI
TEMBAKAU KASTURI
Judul OPTIMALISASI KINERJA RANTAI PASOKAN DAN RANTAI NILAI
TEMBAKAU KASTURI (VOOR OOGST) DI KABUPATEN JEMBER
Jurnal Program Studi Manajemen Politeknik Negeri Jember
Volume Dan Vol. 16 No. 1 Halaman 51-64
Halaman
Tahun 2015
Penulis Rita Zachratul Jannah, Hariadi Subagja, Hari Rujito
Riviewer Cindi Putri Ayu Br. Ginting (1915100369)
Tanggal 15 Oktober 2019
Tujuan Penelitian Tujuandari penelitian adalah untuk menggambarkan dan menganalisis
kinerja rantai pasok dan rantai nilai Tembakau Kasturi di Kabupaten
Jember.
Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah perusahaan dan masyarakat
Metode Metode penelitian menggunakan analisis pemetaan rantai nilai, analisis
Penelitian integrasi pasar dan Analisis hierarki proses.
Jenis Data Jenis data yang di gunakan adalah sekunder
Sumber Data Pada pemetaan proses inti tembakau kasturi terdapat beberapa
kegiatan proses penting yang dilakukan seperti proses
penyediaan input atau saprodi, penanaman, produksi dan
pengolahan, perdagangan, dan proses yang dilakukan oleh
gudang atau pabrikan.
Teknik Analisis Data Salah satu langkah awal yang terpenting dalam melakukan analisis
Manajemen Rantai Pasokan adalah dengan melakukan analisis terhadap
model atau kondisi rantai nilai yang terjadi. rantai nilai mengacu pada
serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk menghadirkan suatu
produk (atau jasa) dimulai dari tahap konseptual, dilanjutkan dengan
beberapa tahap produksi, hingga pengiriman ke konsumen akhir dan
pemusnahan setelah penggunaannya (ACIAR, 2012).
Populasi Masyarakat di kabupaten Jember

Sampel Petani tembakau kasturi

Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukan bahwa hambatan yang terjadi pada rantai
nilai Tembakau Kasturi berdasarkan temuan lapang dapat didentifikasi
sebagai berikut: Kurangnya penerapan Good Tobacco Practices (GTP),
Biaya usaha tani yang besar, Kurangnya modal, Kelembagaan petani
yang tidak solid, Ketidakseimbangan jenis pasokan dan jenis kebutuhan
tembakau, Biaya transportasi dan tenaga kerja tinggi, Kurangnya
teknologi pengeringan, Tidak ada kepastian harga dan pasar, Rantai
pemasaran yang panjang, Struktur pasar yang monopsoni, Akses pasar
terbatas asimetri informasi.
Kelebihan Isi jurnal singkat, padat, dan jelas, penggunaan kata yang tepat dan baku
Kekurangan Tidak memberitahukan deskripsi secara lengkap
E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata ISSN: 2301-6523 Vol. 2, No.
3, Juli 2013 http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA 99
Rantai Nilai Komoditas Kentang Granola di Desa
Candikuning Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan
 I MADE SUKAYANA

 DWI PUTRA DARMAWAN*)

 NI PUTU UDAYANI WIJAYANTI

Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas


Udayana
Jl. PB Sudirman Denpasar 80232 Bali
Email : dwiputradarmawan@yahoo.com
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Hortikultura merupakan salah satu potensi dalam
pembangunan pertanian. Komoditas tanaman hortikultura yang
dihasilkan dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu kelompok
sayur – sayuran, kelompok buah – buahan, kelompok tanaman
biofarmaka, dan kelompok tanaman hias. Tanaman hortikultura
mampu meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan nilai
tambah, perluasan peluang usaha, dan kesempatan kerja pedesaan
(Rukmana, 1997).
Komoditas kentang merupakan salah satu komoditas dari
tanaman hortikultura yang memiliki prospek yang cukup cerah,
mengingat produksi kentang memiliki peranan yang sangat penting
yakni dapat menambah gizi bagi masyarakat, dapat memenuhi
permintaan untuk kebutuhan konsumsi hotel – hotel dan restauran,
sedangkan bagi petani dapat meningkatkan pendapatannya dan dari
segi penyediaan input (penjualan) mendapat keuntungan (Novary,
1997).
Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan
merupakan salah satu desa yang memproduksi komoditas kentang.
Jenis kentang yang dikembangkan di Desa Candikuning adalah
jenis kentang granola. Kentang granola merupakan salah satu jenis
kentang yang cocok dikembangkan di Desa Candikuning karena
sesuai dengan iklim dan ketinggian tempat tersebut. Selain itu
produktivitas komoditas kentang jenis granola lebih tinggi dari jenis
kentang yang lain yaitu mencapai 20 ton/ha – 40 ton/ha.
Rantai nilai komoditas kentang adalah semua aktivitas yang
dilakukan sampai pada distribusinya pada konsumen akhir
(Campbell, 2008). Permasalahan utama yang dihadapi oleh
sebagaian besar petani hortikultura adalah memiliki mata rantai
pemasaran yang cukup panjang, memiliki kendala dalam
penyediaan bibit, ketidakmampuan untuk memenuhi konsumen,
lemahnya infrastruktur, fasilitas yang tidak memadai, keadaan
cuaca yang tidak menentu, merupakan barang dagang yang mudah
rusak, dan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga. Mata rantai
sistem agribisnis yang terlalu panjang juga menjadikan posisi tawar
petani lemah. Lemahnya posisi tawar menyebabkan petani tidak
bisa menentukan harga pada komoditas tanaman (Parining, 1999).
Oleh karena itu sangat menarik untuk dikaji rantai nilai komoditas
kentang di Desa Candikuning Kecamatan Baturiti Kabupaten
Tabanan.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui rantai nilai komoditas kentang di Desa
Candikuning Kecamatan baturiti Kabupaten Tabanan.

2. Metode Penelitian
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2012 sampai maret 2013. Penentuan lokasi ini
dilakukan dengan metode purposive, yaitu suatu metode penentuan daerah penelitian secara sengaja dan
terencana dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : (1) Desa Candikuning merupakan salah satu
daerah yang penduduknya berusahatani komoditas kentang serta merupakan sentra produksi kentang di
Kecamatan Baturiti. (2) Petani di Desa Candikuning melakukan usahatani kentang secara kontinyu. (3)
Belum pernah dilakukan penelitian serupa di desa tersebut.
2.2 Metode Pengumpulan dan Variabel Penelitian
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
observasi, wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan kuisioner, dan dengan
dokumentasi.
Menurut Antara (2006 ), populasi adalah kumpulan individu dengan kualitas dan ciri-ciri yang telah
ditetapkan, sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi.
Populasi dari penelitian ini adalah petani yang mengusahakan usahatani komoditas kentang di Desa
Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan yaitu sebanyak 50 rumah tangga petani kentang.
Responden dalam penelitian ini sebesar 30% dari keseluruhan populasi, sehingga jumlah responden yang
diambil sebanyak 15 petani kentang berdasarkan metode proposional random sampling. Untuk mengetahui
lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat, dipergunakan metode snowballing. Lembaga pemasaran yang
terlibat dalam penelitian ini ada tiga lembaga pemasaran yaitu pedagang pengumpul sebanyak 4 orang,
pedagang besar sebanyak 2 orang, dan pedagang pengecer sebanyak 2 orang.
3. Simpulan dan Saran
3.1 Simpulan
 Hasil penelitian di dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut :

 1. Sistem produksi yang dilakukan petani kentang di Desa Candikuning


mulai dari penyiapan lahan untuk produksi, menyediakan bibit dan
melakukan penyemaian, penanaman, pemupukan, pengendalian hama dan
penyakit, faktor-faktor pendukung produksi sampai pasca panen.
 2. Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat empat tipe saluran
pemasaran yang berbeda. Saluran pemasaran yang terpanjang terjadi
dimana pengepul membeli kentang dari petani dan menjual ke pedagang
besar dan dibeli lagi oleh pedagang pengecer untuk dijual kekonsumen.
Sedangkan saluran pemasaran yang terpendek yaitu pengumpul membeli
kentang dari petani untuk dijual langsung kekonsumen.
 3. Marjin pemasaran yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran
pada setiap saluran berbeda-beda. Pada saluran pertama marjin
pemasarannya sebesar Rp. 7.750,- merupakan marjin terbesar karena saluran
yang dilalui lebih panjang, dan pada saluran kedua sebesar Rp. 7.500,- .
Pada saluran ketiga marjin pemasarannya sebesar Rp.6000,- sedangkan pada
saluran keempat marjin pemasarannya paling kecil, hal ini dikarenakan
saluran pemasaran yang dilalui adalah yang terpendek yaitu sebesar Rp.
4000,-.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penulis untuk keberlanjutan rantai
nilai komoditas kentang granola adalah sebagai berikut :
1. Perlu diadakan pendampingan pada sepanjang rantai nilai,
yang melibatkan unsur pemerintah, pengusaha, serta perguruan tinggi.
Pendampingan yang dilakukan terkait dengan budidaya dan
perlakuan pascapanen, sehingga diharapkan terbentuk rantai nilai
yang berkelanjutan. Disisi lain, melalui pendampingan, pelatihan, dan
bantuan yang diberikan kepada petani akan dapat digunakan sesuai
dengan tujuan pemberiannya.
2. Petani diharapkan dapat menjalin kerjasama yang baik
dengan lembaga pemasaran agar lebih mudah untuk memperoleh
informasi perkembangan harga serta terjadinya koordinasi penyaluran
produk yang selaras sehingga tidak adanya monopoli harga dalam
sistem saluran pemasaran komoditas kentang.
REVIEW JURNAL RANTAI NILAI
KENTANG GRANOLA

Judul Rantai Nilai Komoditas Kentang Granola di Desa Candikuning


Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan

Jurnal Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana


Volume Dan Vol. 2, No. 3, halaman 99-108
Halaman
Tahun 2013
Penulis I MADE SUKAYANA, DWI PUTRA DARMAWAN, NI PUTU UDAYANI
WIJAYANTI
Riviewer Cindi Putri Ayu Br. Ginting (1915100369)
Tanggal 15 Oktober 2019
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rantai nilai
komoditas kentang di Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten
Tabanan.
Objek Penelitian Objek penelitiannya adalah masyarakat Candikuning, Kecamatan
Baturiti, Kabupaten Tabanan.
Metode Penelitian Penentuan lokasi ini dilakukan dengan metode purposive, yaitu suatu
metode penentuan daerah penelitian secara sengaja dan terencana
dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : (1) Desa Candikuning
merupakan salah satu daerah yang penduduknya berusahatani
komoditas kentang serta merupakan sentra produksi kentang di
Kecamatan Baturiti. (2) Petani di Desa Candikuning melakukan usahatani
kentang secara kontinyu. (3) Belum pernah dilakukan penelitian serupa
di desa tersebut.
Teknik Analisis Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan
Data menggunakan metode observasi, wawancara langsung dengan responden
dengan menggunakan kuisioner, dan dengan dokumentasi.
Populasi Petani yang mengusahakan kentang di Desa Candikuning dan lembaga
pemasaran
Sampel 50 rumah tangga petani kentang, pedagang pengumpul sebanyak 4 orang,
pedagang besar sebanyak 2 orang, dan pedagang pengecer sebanyak 2
orang.
Hasil Penelitian Hasil penelitian di dapat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem produksi yang dilakukan petani kentang di Desa Candikuning
mulai dari penyiapan lahan untuk produksi, menyediakan bibit dan
melakukan penyemaian, penanaman, pemupukan, pengendalian hama
dan penyakit, faktor-faktor pendukung produksi sampai pasca panen.
2. Dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat empat tipe saluran
pemasaran yang berbeda. Saluran pemasaran yang terpanjang terjadi
dimana pengepul membeli kentang dari petani dan menjual ke pedagang
besar dan dibeli lagi oleh pedagang pengecer untuk dijual kekonsumen.
Sedangkan saluran pemasaran yang terpendek yaitu pengumpul membeli
kentang dari petani untuk dijual langsung kekonsumen.
3. Marjin pemasaran yang diperoleh masing-masing lembaga pemasaran
pada setiap saluran berbeda-beda. Pada saluran pertama marjin
pemasarannya sebesar Rp. 7.750,- merupakan marjin terbesar karena
saluran yang dilalui lebih panjang, dan pada saluran kedua sebesar Rp.
7.500,- . Pada saluran ketiga marjin pemasarannya sebesar Rp.6000,-
sedangkan pada saluran keempat marjin pemasarannya paling kecil, hal
ini dikarenakan saluran pemasaran yang dilalui adalah yang terpendek
Kelebihan Singkat dan padat

Kekurangan Isi yang di tampilkan di abstrak tidak lengkap


E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata ISSN: 2301-6523 Vol. 2, No.
4, Oktober 2013 http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA 247
Manajemen Rantai Nilai Jeruk Madu di Desa Barus Jahe
Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo Sumatra Utara
RINA JULIANA TARIGAN
 DWI PUTRA DARMAWAN

 I GEDE SETIAWAN ADI PUTRA

PS Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana


Jl PB. Sudirman Denpasar 80232 Bali
Email: dwiputradarmawan@yahoo.com
1. Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Pertanian di Indonesia memegang peranan yang sangat penting
dari keseluruhan perekonomian nasional (Mubryarto, 1985). Hal ini
terbukti dari banyaknya penduduk yang bekerja pada sektor pertanian
dan sebagian produk nasional berasal dari pertanian. Akhir-akhir ini
pembahasan tentang agribisnis (agribusiness) telah berkembang
sedemikian rupa sehingga menarik perhatian banyak orang, baik dari
kalangan yang biasa mempelajari bidang pertanian maupun kalangan
nonpertanian. Peran komoditas hortikultura akan terus ditingkatkan
melalui pengembangan agribisnis, sehingga nilai tambah dari produk
hortikultura dapat ditingkatkan. Hal tersebut sejalan dengan orientasi
pembangunan pertanian yang secara bertahap beralih dari pendekatan
produksi ke pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis.
Sumatra Utara, khususnya di Desa Barus Jahe merupakan salah satu
daerah yang cocok untuk tanaman jeruk madu dan memang di Desa ini komoditas
utamanya yaitu jeruk madu. Komoditas jeruk madu di Desa Barus Jahe ini dijual
dalam keadaan masih segar atau tanpa diolah terlebih dahulu. Selain jeruk madu
Desa Barus Jahe juga dikenal sebagi penghasil sayur mayur yang biasanya juga
dipasarkan ke dalam dan luar Kota Sumatra, misalnya pulau Jawa.
Masalah yang sering dihadapi oleh petani yaitu bagaimana cara
mendapatkan keuntungan yang paling efisien dari rantai nilai pemasaran yang ada
di Desa Barus Jahe, hal ini sejalan dengan data dari ( Parining, 1999; Ssejemba, 2008
) yang menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya mutu komoditas
pertanian adalah kurangnya proses penanganan prapanen untuk hama dan
penyakit. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman yang lebih lagi untuk petani
dalam hal strategi dalam pemasaran hasil panen mereka dan bagaimana
menerapkan pola manajemen rantai nilai dalam memasarkan hasil panen mereka.
Oleh karena itu, melalui pemahaman itulah tentunya memberikan pelajaran dan
informasi yang menguntungkan bagi petani khususnya dalam hal memasarkan
hasil panen mereka.
Kabupaten Karo tepatnya di Kecamatan Barus Jahe merupakan daerah
yang terletak pada dataran tinggi. Sehingga sangat cocok untuk pengembangan
usaha pertanian. Pengembangan pertanian bertujuan untuk kesejahteraan petani
dan keluarganya dalam berusaha tani dengan melakukan agribisnis pertanian.
Kabupaten Karo merupakan daerah yang memiliki potensi berupa lahan kering,
sawah, dan perikanan. Khusus di Barus Jahe, kawasan ini sangat cocok ditanami
sayur-sayuran dan buah- buahan karena memiliki keunggulan komparatif.
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pola rantai nilai komoditas buah jeruk di daerah penelitian
2. Untuk mengetahui share keuntungan yang diperoleh pada masing-masing rantai
nilai
3. Untuk menganalisis manajemen yang diterapkan sepanjang rantai nilai.

2. Metode Penelitian
Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan dengan metode purposive
sampling, penelitian dilaksanakan di desa Barus Jahe, Kecamatan Barus Jahe,
Kabupaten Karo, Sumatra Utara dimulai dari bulan Juli – November 2012.
Penentuan lokasi penelitian ini didasari dengan pertimbangan sebagai berikut:
1) Desa Barus Jahe merupakan salah satu sentra penghasil jeruk madu yang
terkenal di Kabupaten Karo.
2) Adanya kesediaan dari pemerintah desa dan juga penduduk di Desa Barus Jahe
dalam melakukan penelitian ini.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan
data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka yang dapat
dihitung, sedangkan data kualitatif adalah data yang tidak dapat dihitung dengan
satuan hitung. Data kuantitatif dalam penelitian ini yaitu share profit margin jeruk
madu dan data kualitatif dalam penelitian ini yaitu rantai nilai komoditas jeruk
madu, dan manajemen rantai nilainya. Sumber data yang digunakan adalah data
primer yang diperoleh langsung dari responden dan data sekunder yang diperoleh
dari literatur – literatur yang terkait dengan penelitian.
Metode yang digunakan dalam memperoleh data penelitian ini
adalah metode wawancara, dan metode kusioner. Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 300 petani yang memiliki
memiliki areal jeruk madu di Desa Barus Jahe. Sampel yang digunakan
adalah 30 orang petani jeruk madu, hal ini sejalan dengan data ( Gay,
1976 ) yang menyatakan bahwa salah satu ukuran minimum yang
dapat diterima berdasarkan tipe penelitian yaitu penelitian korelasi
subjek terdiri atas 30 subjek.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
karateristik petani, ilmu usaha tani, pendapatan petani, struktur rantai
nilai, konsep pemasaran, saluran pemasaran, dan subsistem agribisnis
hulu. Data dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan
metode deskriptif correlations dengan dibantu oleh SPSS. Dalam
penelitian ini metode deskriptif correlation digunakan untuk mengukur
variabel konsep pemasaran dan saluran pemasaran.
Menghitung besarnya margin pemasaran dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Mm= Pe – Pf ( 1 )
Dimana :
 Mm = marjin pemasaran di tingkat petani
 Pe = harga di tingkat kelembagaan pemasaran tujuan pemasaran dari
petani
 Pf = harga di tingkat petani
 Selain itu untuk menghitung biaya total usaha tani dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
TC=FC + VC ( 2 )
Dimana :
 TC=Total biaya
 FC=Biaya tetap
 VC=Biaya variabel
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola rantai pada rantai nilai pemasaran jeruk
madu dimulai dari petani sebagai produsen, stakeholders, dan pasar akhir. Petani jeruk madu
sebagai produsen jeruk madu juga sebagai penentu harga awal untuk harga jeruk madu itu
sendiri yang menjual hasil panennya ke stakeholders. Stakeholders yang ikut terlibat
memasarkan hasil panen yaitu pedagang pengumpul, pedagang pengecer, dan agen yang
menyalurkan hasil panen ke pasar akhir atau konsumen.
Konsumen sangat berperan dalam menentukan banyak sedikit jumlah permintaan
jeruk madu yang dibutuhkan di pasar. Melalui permintaan ini juga harga jeruk madu di
pasaran terkadang mengalami fluktuasi. Oleh karena itu konsumen yang ada di Tanah Karo
saat ini membutuhkan ketersediaan jeruk madu secara berkala. Walaupun Tanah Karo
merupakan sentra penghasil jeruk madu, akan tetapi sebagian masyarakatnya masih ada
yang tidak memilih untuk berkebun sayur – mayur daripada jeruk madu itu sendiri.
Konsumen disini bukan hanya masyarakat sekitar Tanah Karo melainkan juga wisatawan
yang sering berkunjung berwisata di daerah wisata Berastagi.
Kegiatan petani dengan para pedagang pengumpul sering dapat dilihat di kebun
milik petani. Dimana biasanya pedagang pengumpul langsung melihat sendiri hasil panen
milik petani dan transaksi berikutnya terjadi di kebun milik petani tersebut. Begitu juga
dengan kegiatan pedagang pengumpul dengan pedagang pasar yang ada di Pasar Buah
Berastagi, pedagang pengumpul biasanya sudah memiliki langganan tersendiri dalam
menjual hasil panen milik petani. Cara ini sekaligus memudahkan pedagang pengumpul
ataupun petani untuk memasarkan barang nya tanpa harus menunggu dengan waktu yang
lama. Dari sinilah jeruk madu langsung dipasarkan ke beberapa pedagang pasar, konsumen,
hingga ke luar kota sekaligus. Dengan beberapa rincian biaya yang didapat oleh pelaku
pemasaran jeruk madu tiap-tiap transaksi hingga ke konsumen akhir tentunya.
4. Kesimpulan
1. Terdapat 3 pola rantai nilai komoditas buah jeruk madu di daerah
penelitian ini yaitu:
saluran I : Petani → Pedagang pengumpul → Pasar →
Konsumen,
 saluran II : Petani → Pasar → Pedagang pengecer → Konsumen

 saluran III : Petani → Pedagang pengumpul → Pedagang pengecer


→ Luar kota.
2. Share keuntungan di tiap –tiap saluran berbeda-beda. Semakin
panjang pelaku pemasaran semakin banyak juga biaya- biaya yang
bertambah di rantai pemasaran.
3. Manajemen rantai nilai di daerah penelitian sudah berjalan dengan
baik.
REVIEW JURNAL RANTAI NILAI
JERUK MADU

Judul Manajemen Rantai Nilai Jeruk Madu di Desa Barus Jahe Kecamatan
Barus Jahe Kabupaten Karo Sumatra Utara
Jurnal PS Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Volume Dan Halaman Vol. 2, No. 4, Halaman 247 -256
Tahun 2013
Penulis RINA JULIANA TARIGAN ,DWI PUTRA DARMAWAN ,I GEDE
SETIAWAN ADI PUTRA
Riviewer Cindi Putri Ayu Br. Ginting (1915100369)
Tanggal 15 Oktober 2019
Tujuan Penelitian Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pola rantai nilai
komoditas buah jeruk di daerah penelitian , untuk
mengetahui share keuntungan yang diperoleh pada masing-
masing rantai nilai, untuk menganalisis manajemen yang
diterapkan sepanjang rantai nilai.

Objek Penelitian Petani jeruk madu


Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam memperoleh data penelitian ini
adalah metode wawancara, dan metode kusioner.
Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
kuantitatif dan data kualitatif.
Sumber Data Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah karateristik
petani, ilmu usaha tani, pendapatan petani, struktur rantai nilai,
konsep pemasaran, saluran pemasaran, dan subsistem agribisnis
hulu. Data dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan
metode deskriptif correlations dengan dibantu oleh SPSS. Dalam
penelitian ini metode deskriptif correlation digunakan untuk
mengukur variabel konsep pemasaran dan saluran pemasaran.

Teknik Analisis Teknik analisis data yang di gunakan adalah wawancara


Data

Populasi Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 300 petani yang
memiliki memiliki areal jeruk madu di Desa Barus Jahe.
Sampel Sampel yang digunakan adalah 30 orang petani jeruk madu
Hasil Penelitian Hasil penelitian mendapatkan bahwa manajemen rantai nilai yang ada di
Desa Barus Jahe, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo Sumatra Utara
sudah berjalan dengan cukup baik. Ini terbukti dengan adanya sebagian besar
petani jeruk madu yang langsung menjual hasil panennya ke pasar, dimana
upaya ini dilakukan untuk mengantarkan nilai maksimum keuntungan
mereka kepada konsumen akhir dengan biaya yang serendah mungkin
Kelebihan Menyajikan kesimpulan dan abstrak secara lengkap
Kekurangan Terkadang mengandung kata-kata yang tidak di mengerti
ANALISIS RANTAI NILAI PEMASARAN IKAN LAYANG DI DESA
KEMA III
KECAMATAN KEMA KABUPATEN MINAHASA UTARA
Marla Wahiu1; Siti Suhaeni2; Srie J. Sondakh2
 1) Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam

Ratulangi Manado
 2) Staff Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam
Ratulangi Manado
 Koresponden email : marlawahiu@gmail.com
Abstrak
Tujuan dari peneltian ini, yaitu: (1) Mengetahui saluran pemasaran ikan Layang di
Desa Kema III. (2)Menganalisis perhitungan nilai tambah dan selisih margin pemasaran antar
pelaku rantai nilai ikan Layang di Desa
Kema III. (3) Menganalisis rantai nilai pada setiap saluran pemasaran ikan Layang di Desa
Kema III.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan deskriptif
kuantitatif. Deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan memaparkan hasil
analisis yang diperoleh dengan menggunakan kalimat yang mudah dimengerti. Deskriptif
kuantitatif digunakan dalam penghitungan nilai tambah, biaya produksi, harga jual dan
margin disetiap simpul pada mata rantai nilai. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1) Di
Desa Kema III terdapat 3 saluran pemasaran, dan yang efektif adalah saluran pemasaran
yang ke 3 karena merupakan saluran yang terpendek, yaitu nelayan menjual langsung ke
UPI. 2)Margin pemasaran yang terkecil dari ketiga saluran pemasaran yang ada di Desa
Kema III adalah saluran pemasaran yang ke 3 yaitu 0 karena yang diterima produsen sama
dengan yang dibayarkan konsumen. 3) Rantai nilai yang diciptakan dari ketiga saluran
pemasaran yang ada diperoleh nilai tambah yang terkecil pada saluran 2 yaitu sebesar Rp.
7.671/Kg dan yang terbesar pada saluran 1 yaitu Rp. 10.069,- per kg. Namun yang paling
efektif dan efisien yaitu pada saluran ke tiga karena Farmer’s share (FS) lebih besar dari marjin
pemasaran (MP) dengan marjin pemasaran sepenuhnya untuk UPI. Sedikitnya pelaku usaha
yang terlibat akan membuat biaya
transportasi dapat dikurangi sehingga marjin untuk UPI dan nilai FS memiliki nilai tertinggi
dibandingkan rantai pemasaran lainnya.
Kata Kunci: pemasaran, pedagang perantara, rantai nilai
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia yang kaya akan hasil lautnya, dimana terdiri dari 17.508
pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya
meliputi 5,8 juta km² atau 70% dari luas total teritorial
Indonesia. Sepanjang garis pantai dan bentangan perairan laut
ini terkandung kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah
mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui (dapat pulih)
hingga yang tidak dapat diperbaharui yang sangat bermanfaat
bagi manusia. Usaha perikanan memiliki peran penting dalam
penyediaan bahan pangan dan pendorong ekonomi suatu
wilayah khususnya pada daerah pesisir. Usaha perikanan
tangkap adalah sebuah kegiatan usaha yang berfokus untuk
memproduksi ikan dengan cara menangkap ikan (Sambuaga
dkk, 2016), dimana usaha perikanan tangkap merupakan salah
satu usaha yang dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan ikan
dalam rangka menjaga ketahanan pangan suatu wilayah
(Wulandari dkk, 2016).
METODE PENELITIAN
 Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.
Penelitian studi kasus adalah suat penelitian kualitatif yang berusaha menemukan
makna, menyelidiki proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang
mendalam dari individu, kelompok, atau situasi (Emzir,2010).
 Metode Pengambilan Data

Pengambilan data pada penelitian menggunakan metode sampling, yaitu


mengambil sebagian dari populasi. Populasi terdiri dari tiga jenis dalam pelaku
rantai nilai ikan Layang di Desa Kema III. Empat jenis sampel yang diambil yaitu
nelayan penangkap ikan Layang, pedagang besar dan pedagang pengecer. Sampel
untuk nelayan diambil 6 orang nelayan pemilik, pedagang Pengumpul 10 orang
diambil sebagai sampel dan pedagang pengecer juga 10 orang diambil sebagai
sampel. Metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling.
Sampel nelayan ditentukan yang menangkap ikan layang sedangkan sampel
pedagang pengumpul dan pedagang pengecer disyaratkan yang berada dalam
saluran pemasaran ikan layang hasil tangkapan ke enam nelayan responden. Jadi
jumlah sampel seluruhnya adalah 26 orang. Contohnya nelayan responden 1, ikan
hasil tangkapannya melalui 3 saluran pemasaran yaitu saluran 1, 2 dan 3, maka
sampel yang diambil adalah pedagang pengumpul 2 orang, pedagang pengecer 2
orang. Begitu pula untuk saluran pemasaran yang dilalui oleh ikan hasil tangkapan
nelayan responden 2, 3, 4, 5 dan 6, sehingga jumlah responden pedagang
pengumpul berjumlah 10 orang, dan pedagang pengecer 10 orang. Cara
pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara,observasi,
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif.
Deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan memaparkan hasil analisis yang
diperoleh dengan menggunakan kalimat yang mudah dimengerti. Deskriptif kuantitatif
digunakan dalam penghitungan nilai tambah, biaya produksi, harga jual dan margin di setiap
simpul pada mata rantai nilai. Masingmasing tujuan penelitian akan menggunakan analisis
sebagai berikut:
1. Tujuan pertama untuk mengetahui saluran mata rantai pemasaran akan digunakan metode
deskriptif kualitatif, yaitu dengan menelusuri saluran pemasaran ikan Layang dari mulai
didaratkan oleh nelayan sampai ke konsumen akhir.
2. Tujuan kedua untuk mengetahui nilai tambah dasar penghitungan yang digunakan pada
penelitian ini adalah Rp/kg bahan baku seperti metode penghitungan nilai tambah yang
digunakan oleh Hayami (1987). Secara fungsional, nilai tambah (NT) tersebut dapat
diformulasi sebagai berikut:
NT = f (K, T, H, U, h, L)
Dimana:
 NT = Nilai Tambah

 F = Fungsi

 B = Jumlah bahan baku yang digunakan

 K = Kapasitas produksi;

 T = Jumlah tenaga kerja yang diperlukan

 (orang);

 H = Harga output (Rp/kg);

 U = Upah kerja (Rp);

 h = Harga bahan baku (Rp/ kg); dan

 L = Nilai input lain (Rp/kg)


3. Tujuan ketiga untuk mengetahui
Rantai Nilai akan digunakan Analisis Rantai Nilai atau Value Chain
Analysis (VCA). Ciri khusus dari produk perikanan adalah usaha yang
memiliki risiko kegagalan yang tinggi sehingga upaya untuk
meningkatkan bagian nelayan terhadap harga jual menjadi sesuatu
yang mutlak harus dilakukan. Selain faktor penawaran dan
permintaan, harga di tingkat nelayan sangat dipengaruhi oleh efisiensi
saluran pemasaran. Rendahnya harga ditingkat nelayan seringkali
disebabkan oleh buruknya sistem transportasi sehingga bagian harga
yang seharusnya diterima nelayan digunakan untuk biaya transportasi
(Rofaida, 2012). Fisherman’s share (FS) merupakan salah satu
pendekatan untuk mengukur seberapa besar pelaku usaha
memperoleh bagian dari harga di tingkat konsumen. Dalam penelitian
ini FS mengukur seberapa besar nelayan memperoleh bagian dari
harga di tingkat konsumen. Formulasi dari FS adalah dengan
membandingkan harga di tingkat nelayan dengan harga di tingkat
konsumen (Azzaino, 1991)
Kesimpulan
1. Di Desa Kema III terdapat 3 saluran pemasaran, dan yang efektif
adalah saluran pemasaran yang ke 3 karena merupakan saluran yang
terpendek, yaitu nelayan menjual langsung ke UPI.
2. Margin pemasaran yang terkecil dari ketiga saluran pemasaran
yang ada di Desa Kema III adalah saluran pemasaran yang ke 3 yaitu 0
karena yang diterima produsen sama dengan yang dibayarkan konsumen.
3. Rantai nilai yang diciptakan dari ketiga saluran pemasaran yang
ada diperoleh nilai tambah yang terkecil pada saluran 2 yaitu sebesar Rp.
7.671/Kg dan yang terbesar pada saluran 1 yaitu Rp. 10.069,- per kg.
Namun yang paling efektif dan efisien yaitu pada saluran ke tiga karena
Farmer’s share (FS) lebih besar dari marjin pemasaran (MP). Dengan
proporsi marjin pemasaran sepenuhnya untuk UPI. Sedikitnya pelaku
usaha yang terlibat akan membuat biaya transportasi dapat dikurangi
sehingga marjin untuk UPI dan nilai FS memiliki nilai tertinggi
dibandingkan rantai pemasaran lainnya.
RIVIEW JURNAL RANTAI NILAI
IKAN LAYANG
Judul ANALISIS RANTAI NILAI PEMASARAN IKAN LAYANG DI DESA
KEMA III
KECAMATAN KEMA KABUPATEN MINAHASA UTARA
Jurnal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado
Volume Dan Vol. 6 No. 11, halaman 837-850
Halaman
Tahun 2018
Penulis Marla Wahiu1, Siti Suhaeni, Srie J. Sondakh
Riviewer Cindi Putri Ayu Br. Ginting (1915100369)
Tanggal 15 Oktober 2019
Tujuan Penelitian Tujuan dari peneltian ini, yaitu: (1) Mengetahui saluran pemasaran ikan
Layang di Desa Kema III. (2)
Menganalisis perhitungan nilai tambah dan selisih margin pemasaran
antar pelaku rantai nilai ikan Layang di Desa
Kema III. (3) Menganalisis rantai nilai pada setiap saluran pemasaran ikan
Layang di Desa Kema III.
Objek Penelitian Masyarakat di desa Kema lll kecamatan Kema kabupaten Minahasa Utara
Metode Penelitian Metode penelitian yang di gunakan adalah wawancara
Jenis Data Penelitian ini menggunakan jenis data
deskriptif kualitatif dan deskriptif
kuantitatif.
Sumber Data Deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan memaparkan
hasil analisis yang diperoleh dengan menggunakan kalimat yang mudah
dimengerti. Deskriptif kuantitatif digunakan dalam penghitungan nilai
Teknik Analisis Cara pengumpulan data dalam penelitian ini melalui
Data wawancara,observasi, dokumentasi, dan studi pustaka.

Populasi Nelayan penangkap ikan


Layang, pedagang besar dan pedagang
pengecer.
Sampel Sampel untuk nelayan diambil 6 orang nelayan pemilik, pedagang
Pengumpul 10 orang diambil sebagai sampel dan pedagang pengecer
juga 10 orang diambil sebagai sampel.
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini dapat disimpulkan : 1) Di Desa Kema III terdapat 3
saluran pemasaran, dan yang efektif adalah
saluran pemasaran yang ke 3 karena merupakan saluran yang terpendek,
yaitu nelayan menjual langsung ke UPI. 2)
Margin pemasaran yang terkecil dari ketiga saluran pemasaran yang ada
di Desa Kema III adalah saluran
pemasaran yang ke 3 yaitu 0 karena yang diterima produsen sama
dengan yang dibayarkan konsumen. 3) Rantai
nilai yang diciptakan dari ketiga saluran pemasaran yang ada diperoleh
nilai tambah yang terkecil pada saluran 2
yaitu sebesar Rp. 7.671/Kg dan yang terbesar pada saluran 1 yaitu Rp.
10.069,- per kg.

Kelebihan Bentuknya ringkas dan menarik, hanya menyajikan inti informasi


Kekurangan Pengertiannya terlalu luas

Anda mungkin juga menyukai