Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS KESANTUNAN BERBAHASA

PADA KASUS PELANGGARAN


BERBAHASA DI MEDIA SOSIAL

Oleh :
Della Azzura Kurniasari
191810401075
Contoh kasus
Hina Polisi di Facebook Usai Ditilang,
Seorang PNS Dijerat UU ITE
BALIKPAPAN, KOMPAS.com –
A, pegawai negeri sipil dan S satuan pengamanan pada sebuah perusahaan pegadaian di Kota
Tarakan, Kalimantan Utara, harus berurusan dengan Kepolisian Resor Tarakan akibat ujaran kebencian di
media sosial.
Rabu (14/6/2017) sore lalu, A dan S diperiksa Jahtanras Polres Tarakan setelah menulis status yang
mengandung hinaan kepada Polri di Facebook. “Kami memeriksa keduanya setelah mengunggah konten
ujaran kebencian itu,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tarakan, Ajun Komisaris Polisi Choirul
Yusuf, Kamis (15/6/2017).
Awalnya, polisi lalu lintas menegur A lantaran berhenti di depan waralaba KFC yang berada di
samping sebuah halte Plaza THM. Polisi menegaskan di situ merupakan area dilarang parkir dan A
diminta memindahkan mobilnya masuk ke area parkir plaza. Namun A tidak mengindahkan teguran itu.
PNS ini beralasan berhenti hanya sebentar untuk mengambil baterai komputer jinjing yang dipesan di
sebuah toko komputer di dalam THM. Polisi pun menilang A. A keberatan ditilang polisi. A kemudian
menulis status pada sebuah forum jual beli di FB, Sabtu (9/6/2017). “Polantas menilang karena itu
pelanggaran. Ia keberatan dan menuliskan kekesalannya di FB,” kata Choirul. Pada sebuah forum jual beli
FB, A menulis, “Sore2 kena tilang karna stop di tanda larangan p ditanya apa beda tanda larang P
dan S dijawab sama aja.  Kok gitu lulus jadi polisi. Tidak bisa bedakan tanda larangan P dan S
dasar polisi bodoh. Kita bikin coba ramaikan saja biar banyak yang baca, banyakan likenya aja biar
lain tahu.“ Status itu berbalas. S dengan akun bernama Trio Langgeng membalas status A dengan
tulisan: “p=polisi, s= sinting jdi itu lh maksut tnda P&S di jln, yg nilang tuh polisi sinting”.
Menganalisis kesantunan bahasa
Aktivitas penyampaian pesan di forum besar seperti media sosial sedang marak- maraknya

terjadi. Apa yang sedang mereka pikirkan sampai yang mereka lakukan telah menginspirasi dan memotivasi

para netizen ini untuk merangkai sebuah kata kemudian diunggah lewat media sosial masing-masing. Namun

ironisnya, semangat berkata-kata secara tertulis ini tidak diimbangi dengan sikap penggunaan kesantunan

bahasa. Kenyataan juga membuktikan, di dalam tuturannya tidak jarang ditemukan praktik-praktik

pelanggaran.

Media sosial yang sangat sering digunakan oleh orang jaman sekarang salah satunya adalah

facebook. Pengguna facebook menggunakan media sosial ini untuk komunikasi dan bersosialisasi. Bahkan

sekarang sudah berkembang menjadi media untuk berdagang. Oleh karena itu, penggunaan bahasa yang

baik dan efektif untuk menjaga kesantunan berbahasa sangat penting dilakukan penggunanya.

Kasus yang saya ambil tersebut diatas merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran

kesantunan berbahasa. Kasus ini sangat miris melihat pelakunya sendiri adalah seorang PNS, yang bisa

dibilang adalah orang berpendidikan. Disebutkan bahwa pelaku melakukan pelanggaran yaitu parkir

sembarangan yang disitu terang-terangan telah terpasang tanda dilarang parkir. Akhirnya pelaku ditilang

polisi disebabkan pelanggaran yang dilakukannya. Namun si pelaku nampak tidak terima dan akhirnya

mengunggah status di facebook.


Pelaku menuliskan, “Sore2 kena tilang karna stop di tanda larangan p ditanya apa beda
tanda larang P dan S dijawab sama aja.  Kok gitu lulus jadi polisi. Tidak bisa bedakan
tanda larangan P dan S dasar polisi bodoh. Kita bikin coba ramaikan saja biar banyak
yang baca, banyakan likenya aja biar lain tahu.“
Tuturan diatas merupakan tuturan yang menunjukkan isi perasaan. Tuturan seperti ini
sangat tidak memenuhi kaidah kesantunan bahasa, sebab suatu tuturan disebut santun jika :
 Tidak terdengar memaksa atau angkuh,
 Memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan
 Menyenangkan lawan tutur
Dapat dilihat, pelaku menggunakan kalimat “... dasar polisi bodoh.” yang berarti
menunjukkan keangkuhan dan keadaan yang bisa dipastikan tidak menyenangkan lawan
tuturnya. Jangankan lawan tuturnya, orang asing yang membaca saja mungkin bisa
merasakannya.
Pelaku juga tidak menggunakan bahasa yang halus dan sopan, mencerminkan orang ini
tidak mencerminkan perilaku budaya manusia, terutama budaya Bahasa Indonesia. Di akhir,
pelaku juga menambahkan, “Kita bikin coba ramaikan saja biar banyak yang baca,
banyakan likenya aja biar lain tahu.” Tuturan ini menunjukkan ajakan yang tidak baik
kepada orang lain, yaitu agar ikut menjelek-jelekkan orang yang belum tentu kita tahu
identitasnya. Hal ini jelas melanggar hukum. Pelaku juga tidak menunjukkan sikap menghargai
karena tidak menggunakan sapaan dan kosakata yang menyenangkan lawan bicara.
Kesimpulan
Berdasarkan contoh kasus diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masih
banyak pengguna media sosial facebook yang tidak memperhatikan kaidah
kesantunan bahasa. Tidak pandang umur dan jabatan, bisa dibilang
masyarakat Indonesia masih kurang memahami apa itu kesantunan
berbahasa. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan generasi muda di
Indonesia. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa yang mengandungi nilai-
nilai murni dan perlakuan yang positif perlu diterapkan sejak dini.

Anda mungkin juga menyukai