Anda di halaman 1dari 9

MKU ETIKA DAN PROFESIONALISME

“ANALISIS DILEMA ETIK PADA PRAKTIK KEDOKTERAN”


 

RHARA AULIA (1718011067)


ASSYIVA PUTRI (1758011058)
KASUS DILEMA ETIK
Sekitar 266 dari total 10.272 anak di bawah usia lima tahun (balita) di Kabupaten Temanggung belum diimunisasi. Mereka terlewati
atau ada penolakan dari orang tua mereka sehingga tak diimunisasi. "Balita yang belum diimunisasi ini tersebar di 39 desa dan
bahkan ada puluhan yang terkonsentrasi di satu desa,", kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung Supardjo di
Temanggung, Jawa Tengah, Senin (11/11/2019). Ia menyampaikan hal tersebut pada Pertemuan Penguatan Program Imunisasi
Melalui Pendekatan Lintas Sektoral yang digelar LPPM Undip dan Dinas Kesehatan Temanggung. Pertemuan itu diikuti pula oleh
perwakilan Polri, TNI, camat, kader kesehatan, MUI, dan tokoh agama.

Dia mengatakan jumlah balita yang terkonsentrasi belum diimunisasi 22 anak, yakni di Desa Bonjor, Kecamatan Tretep, sedangkan
di desa lain rata-rata satu atau dua balita per desa.Menurutnya, terkonsentrasinya anak balita yang belum diimunisasi itu jika tidak
tertangani maka akan membahayakan dan timbul jatuh korban seandainya muncul penyakit menular dan membahayakan, seperti
TBC atau difteri.

"Beberapa waktu lalu ada KLB difteri, satu orang meninggal karena ternyata tidak mendapat imunisasi, sehingga lingkungannya
harus diimunisasi ulang," katanya. Ia mengatakan pencapaian target imunisasi di Kabupaten Temanggung 97,92% atau di atas target
95%. Adanya penolakan dilakukan sebagian masyarakat harus menjadi permasalahan dan dihadapi bersama. "Menjadi hak dari bayi
untuk hidup sehat dalam hidupnya, yakni mendapat imunisasi, juga keterjaminan kesehatan generasi mendatang," katanya.
Anggota Tim Penelitian Kesehatan LPPM Undip Martini mengatakan penolakan imunisasi karena berbagai alasan, antara lain tidak
percaya kualitas vaksin, meragukan kehalalannya dan pemahaman tertentu. Padahal, katanya, vaksin imunisasi telah mendapat
sertifikasi halal dari MUI dan bahkan negara-negara Islam di Timur Tengah membeli dari Indonesia.

"Negara lain membeli dari Indonesia tetapi yang dari Indonesia justru meragukan," katanya. Ia mengatakan tidak mendapat
imunisasi adalah tanggung jawab sosial dan bukan pribadi saja, karena bila terkena penyakit tidak hanya yang bersangkutan tetapi
juga lingkungannya. "Maka perlu keterlibatan lintas sektoral dalam penanganan," katanya. Ia menyampaikan dalam hasil survei
cepat target imunisasi di Temanggung memang sudah tercapai, tetapi variabel ketepatan imunisasi masih kurang. "[Anak] Balita
yang baru lahir akan tepat dalam imunisasi, tetapi setelah pulang dari klinik biasanya terlambat diimunisasi," katanya.
DILEMA ETIK
Kaidah dasar bioetika yang menjadi dilema dalam kasus ini
adalah beneficience dan non-maleficiene. Pada prinsip
beneficence dimana dokter harus melakukan yang terbaik untuk
setiap invidual pasien sedangkan berdasarkan prinsip non-
maleficence dokter harus melakukan tindakan yang tidak
menimbulkan kerugian pada pasien. Memberikan imunisasi
pasien dapat memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit
tertentu, mecegah penyebaran penyakit, dan melindungi dari
resiko kematian dan cacat. Jika seorang anak dibiarkan untuk
tidak mendapatkan imunisasi, hal tersebut sangat tidak sesuai
dengan prinsip beneficience dan non-maleficience sehingga
dokter harus mengambil tindakan untuk mengimunisasi.
PEMBAHASAN
(KAIDAH BIOETIK)
1. Autonomy
Prinsip etik yang pertama adalah Autonomy dimana pasien dalam
hal ini adalah anak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk
memilih tindakan tertentu yang memperbolehkan setiap orang
untuk memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya (Halperin MD &
Mac Donald, 2007).

Anak yang masih muda dianggap tidak kompeten dan kurang


pengetahuan untuk membuat pilihan dengan implikasi sepanjang
hidup Hal ini akan menjadi tidak beralasan untuk menganggap
bahwa bayi (infant) atau anak dapat membuat keputusan secara
otonomi untuk diimunisasi (Baines, 2008)
2. Beneficence dan Non-maleficence
Prinsip beneficence menyatakan bahwa terdapat kewajiban moral untuk
memberikan kebaikan dan membantu orang lain, sedangkan non
maleficence adalah menghindari hal yang berbahaya (Do no harm). Prinsip
ini diaplikasikan pada imunisasi dengan pandangan, keuntungan dari
imunisasi harus lebih besar dari pada bahaya yang mungkin ditimbulkan
akibat imunisasi. Imunisai mungkin dapat dilihat menguntungkan pada
keduanya baik individu maupun masyarakat. Imunisasi dianjurkan pada
anak-anak sebagai prosedur profilaksis. Pertama, bahaya publik jika
penyakit ini sangat menular luas dapat mengakibatkan mortalitas dan
morbiditas. Kedua, jika ditularkan, penyakit ini mempunyai potensi untuk
membahayakan setiap individu, imunisasi digunakan untuk mencegah hal
ini. Ketiga efektifitas imunisasi dalam melindungi masyarakat telah terbukti.
PEMBAHASAN
(TEORI ETIKA)
1. Utilitarianisme

Utilitarianisme adalah salah satu teori teleological utama dan konsekuensialis yang
dikemukakan oleh JS Mill dan J. Bentham, dimana prinsipnya bahwa moralitas suatu
tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai
kebahagiaan umat manusia, sesuai dengan the principle of utility. Prinsip kegunaan ini
menjadi norma tindakan pribadi maupun untuk kebijakan pemerintah (Bertens, 2007).

Tindakan yang terbaik adalah tindakan yang paling memberikan manfaat. Tindakan
dikatakan baik atau tidak tergantung pada keseimbangan antara kemanfaatan dengan
potensi bahaya yang dapat ditimbulkan dari tindakan tersebut. Imunisasi memberikan
lebih banyak keuntungan baik bagi anak supaya terhindar dari berbagai penyakit
infeksi, ataupun dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas. Sebagai contoh, imunisasi telah terbukti menekan angka
kejadian dan angka kematian akibat penyakit campak di Indonesia.
2. Deontology

Deontologisme merupakan teori yang ditulis oleh filsuf German yang bernama Immanuel Kant. Kant
menyatakan bahwa hukum universal harus mendasari setiap tindakan, baik buruknya suatu tindakan
tidak berdasarkan pada hasilnya melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan
perbuatan tersebut. Aliran ini sangat penuh dengan hal-hal etik, dimana setiap tindakan dilihat secara
moral adalah benar (Anita J, 2008).

Dari pandangan teori ini, tenaga medis telah melakukan tindakan beretika yang bertitik tolak pada
kewajiban (obligation) yang berasal dari hati nurani sendiri. Imunisasi merupakan program pemerintah
yang wajib diberikan oleh dokter/petugas kesehatan, dalam hal ini apa yang dilakukan dokter
berlandaskan aturan/hukum yang mengaturnya, sesuai dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal
130 yang isinya, “Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap pada setiap bayi dan anak.”
 
Orang tua yang akan memberikan keputusan tindakan imunisasi ini dengan dasar memberikan yang
terbaik bagi anak. Adapun efek samping yang dapat ditimbulkan dari imunisasi memang tidak dapat
dihilangkan akan tetapi kewajiban untuk memberikan imunisasi bagi tenaga kesehatan dan orang tua
sangat sesuai dengan teori ini.
Solusi yang dapat dilakukan oleh dokter dalam menghadapi dilemma etik mengenai
penolakan imunisasi harus sesuai dengan alasan penolakan yang diberikan oleh
keluarga pasien, yang dapat dilakukan oleh dokter antaralain :

1. Jika penolakan karena keyakinan bahwa imunisasi sangat berbahaya bagi anak,
maka dokter berkewajiban untuk menjelaskan resiko dan efek samping yang jauh
lebih sedikit daripada tidak mendapatkan imunisasi, menjelaskan kebingungan atau
mispresepsi yang mungkin dimiliki oleh keluarga pasien.

2. Jika alasan perhatian terhadap 1 atau 2 imunisasi secara khusus berbahaya, maka
sampaikan secara jujur tentang risiko dan keuntungan yang didapat dari setiap
vaksin dan diskusikan setiap imunisasi secara terpisah.

Selain itu solusi lain yang dapat dilakukan oleh dokter adalah memberikan informed
consent setiap kali akan melakukan tindakan pemberian imunisasi pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Alison Fernbach. 2011. Parental rights and decision
making regarding vaccinations: Ethical dilemmas for the
primary care provider Journal of the American Academy
of Practitioners 23 (2011) 336–345.

Angus Dawson. 2005. The Determination Of ‘Best


Interests’ In Relation To Childhood Vaccinations, Bioethics
ISSN 0269-9702 188 – 205 Volume 19 Number 2 2005

Undang-undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai