Anda di halaman 1dari 33

Hipertensi dan Covid-19

Disusun oleh :
Veronica Meidy
1765050234

Dosen Pembimbing :
Dr. Donnie Lumban Gaol, Sp.PD-KGH
PENDAHULUAN
Virus corona merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen.Virus corona tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronaviridae dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan
karakteristik genom.

Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China setiap
hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020..

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah


dua kasus. Tingkat mortalitas COVID-19 di Indonesia sebesar 8,9%, angka ini
merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. 2
TINJAUAN
PUSTAKA
COVID-19
DEFINISI

Virus corona merupakan virus RNA strain


tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Virus corona tergolong ordo
Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronaviridae dibagi dua subkeluarga
dibedakan berdasarkan serotipe dan
karakteristik genom. Terdapat empat genus
yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus,
deltacoronavirus dan gamma coronavirus.
EPIDEMIOLOGI
Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China setiap hari dan memuncak
diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi
di sekitar, kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China.

Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus
lain dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka,
Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia,
Prancis, dan Jerman

COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua
kasus.2 Data 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi berjumlah 1.528
kasus dan 136 kasus kematian..
FAKTOR RISIKO
penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan
faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2.

Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang
lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2

Komorbiditas yang paling umum dalam satu laporan adalah hipertensi (30%), diabetes (19%), dan penyakit
jantung koroner (8%).2

Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Kanker diasosiasikan
dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan gangguan
maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons
imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19
HIPERTENSI DENGAN COVID-19
• Pasien COVID-19 yang hipertensi secara langsung tidak menyiratkan hubungan
kausal antara hipertensi dan COVID-19 atau keparahannya, karena hipertensi
sering terjadi pada orang tua, dan orang yang lebih tua tampaknya berada pada
tingkat yang lebih tinggi.

• Beberapa organisasi telah menekankan fakta bahwa kontrol tekanan darah tetap
menjadi pertimbangan penting untuk mengurangi beban penyakit, bahkan jika
itu tidak berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi virus SARS-CoV-2
HIPERTENSI DENGAN COVID-19
• fakta bahwa hipertensi, dan bentuk lain dari penyakit kardiovaskular juga sering
ditemukan pada pasien COVID-19, sering diobati dengan inhibitor angiotensin-
converting enzyme (ACE) dan penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan
bahwa SARS-CoV-2 , virus yang menyebabkan COVID-19, berikatan dengan ACE2
di paru-paru untuk masuk ke dalam sel

• Telah ditunjukkan bahwa ACE inhibitor dan ARB meningkatkan ACE2, yang
secara teoritis dapat meningkatkan pengikatan SARS-Cov-2 ke paru-paru dan
efek patofisiologisnya yang menyebabkan cedera paru yang lebih besar.
HIPERTENSI DENGAN
COVID-19
Dalam studi eksperimental, ACE2 sebenarnya telah dirancang untuk melindungi dari cedera paru-paru. ACE2
membentuk angiotensin 1-7 dari angiotensin II, dan dengan demikian mengurangi aksi inflamasi angiotensin
II, dan meningkatkan potensi efek anti inflamasi angiotensin 1-7.

Dengan demikian, dengan mengurangi salah satu pembentukan angiotensin II dalam kasus ACE inhibitor,
atau dengan memusuhi aksi angiotensin II dengan memblokir reseptor angiotensin AT1 dalam kasus ARB,
agen ini dapat berkontribusi untuk mengurangi inflamasi sistemik dan khususnya di paru-paru, jantung, dan
ginjal

Dengan demikian, ACE inhibitor dan ARB dapat mengurangi potensi untuk pengembangan baik sindrom
gangguan pernapasan akut, miokarditis atau cedera ginjal akut, yang dapat terjadi pada pasien COVID-19.

belum ada bukti bahwa hipertensi terkait dengan hasil COVID-19, atau bahwa penghambat ACE atau
penggunaan ARB berbahaya, atau dalam hal ini bermanfaat, selama pandemi COVID-19. Penggunaan agen
ini harus dipertahankan untuk kontrol tekanan darah, dan tidak boleh dihentikan, setidaknya berdasarkan
bukti saat ini saat in
PATOGENESIS
Pada manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang
melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan membuat
jalan masuk ke dalam sel.

Glikoprotein akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-2.

Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis protein-
protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di permukaan
sel

Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel,
genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua
poliprotein dan protein struktural.

Selanjutnya, genom virus akan mulai untuk bereplikasi


Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam membran retikulum
endoplasma atau sel golgi  pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan
protein nukleokapsid.

Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan sel golgi. Pada tahap akhir,
vesikel yang mengandung partikel virus akan bergabung dengan membran plasma untuk
melepaskan komponen virus yang baru

Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada infeksi SARS-CoV-2.
Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi
lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan
Ketika virus masuk ke dalam sel, antigen virus akan dipresentasikan ke antigen
presentation cells (APC)

Presentasi antigen virus terutama bergantung pada molekul MHC kelas I. Namun, MHC
kelas II juga turut berkontribusi.

Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel,
genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua
poliprotein dan protein struktural.

Presentasi antigen selanjutnya menstimulasi respons imunitas humoral dan selular


tubuh yang dimediasi oleh sel T dan sel B yang spesifik terhadap virus

Pada respons imun humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap SARS-CoV
Skema replikasi dan patogenesis virus
Sistem Renin-Angiotensin Aldosteron

Sistem Renin-Angiotensin Aldosteron memainkan peranan penting dalam


homeostasis dalam tekanan darah dan resisten vaskular

Angiotensin II, melalui aktivasi reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1),


adalah vasokonstriktor kuat dalam arteriol dan dapat meningkatkan
retensi natrium dan cairan

Aldosteron, mineralokortikoid yang disekresi oleh korpus adrenal sebagai


respons terhadap angiotensin II, memainkan peran rumit dalam
mengatur natrium dan keseimbangan air dalam saluran pengumpul distal
ginjal.
Sistem Renin-Angiotensin Aldosteron

ACE2 adalah enzim penentu regulasi utama yang mengkatalisis perubahan


angiotensin II menjadi angiotensin (1-7),  mengurangi efeknya pada vasokonstriksi,
retensi natrium, dan fibrosis

Meskipun angiotensin II adalah substrat utama ACE2, enzim itu juga memecah
angiotensin I menjadi angiotensin- (1-9) dan berpartisipasi dalam hidrolisis peptida
lain

Karena ACE inhibitor dan ARB memiliki efek yang berbeda pada angiotensin II,
substrat utama ACE2, efek agen ini pada level dan aktivitas ACE2 dapat diantisipasi
berbeda.

Meskipun homologi struktural substansial antara ACE dan ACE2, situs aktif enzim
mereka berbeda. Akibatnya, ACE inhibitor dalam penggunaan klinis tidak secara
langsung mempengaruhi aktivitas ACE2
Interaksi antara SARS-CoV-2 dan Sistem Renin-
Angiotensin-Aldosterone
DIAGNOSIS

Pada hipertensi anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat


hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan gejala-gejala Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh,
penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, termasuk berat dan tinggi badan. Pada pemeriksaan awal,
penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan dianjurkan
penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan penyakit pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri sehingga dapat
hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti mengevaluasi hipotensi postural.
merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial
lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain)

HIPERTENSI

Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis


Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada yang membesar dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru
penderita hipertensi : pengurukan funsi ginjal, elektrolit dapat ditemukan rhonki basah halus dan tanda
serum, glukosa puasa, dan lemak dapat diulang kembali bronkospasme.Pemeriksaan abdomen untuk menemukan
setelah pemberian agen antihipertensi dan selanjutnya sesuai adanya bruit renal atau abdominal, pembesaran ginjal atau
dengan indikasi klinis. Pemeriksaan laboratorium ekstensif adanya pulsasi aorta yang abnormal. Dilakukan juga
diperlukan pada pasien dengan hipertensi yang resisten pemeriksaan pada ekstremitas untuk mengevaluasi edema atau
terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis mengarah pada hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan fisik sebaiknya
bentuk kedua dari hipertensi termasuk pemeriksaan saraf.
DIAGNOSIS

Pada pasien COVID-19 manifestasi klinis memiliki


spektrum yang luas, mulai dari tanpa gejala Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan
(asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi,
berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% bisa disertai dengan demam, batuk (dengan atau
kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. .
keadaan kritis.

COVID-19

Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai Kasus yang dikonfirmasi adalah kasus tersangka
dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) dengan uji molekul positif. Diagnosis spesifik dilakukan
frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres dengan tes molekuler spesifik pada sampel
pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% pernapasan (usap tenggorokan). Pemeriksaan
tanpa bantuan oksigen. Pada pasien geriatri dapat laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung
muncul gejala-gejala yang atipikal. Lebih dari 40% jenis, fungsi ginjal, elektrolit, analisis gas darah,
demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat dikerjakan
antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami sesuai dengan indikasi.
demam suhu lebih dari 39°C.
• Trombositopenia juga kadang dijumpai, sehingga kadang
diduga sebagai pasien dengue
• X-ray dada biasanya menunjukkan infiltrat bilateral tetapi
mungkin normal pada penyakit awal
• CT- Scan lebih sensitif dan spesifik. Pencitraan CT umumnya
menunjukkan infiltrat, gambaran tanah kaca.. Efusi pleura

Covid-19
5%, limfadenopati 10%. Hal ini juga abnormal pada pasien /
pasien tanpa gejala
Tatalaksana Hipertensi

• Dalam manajemen pasien COVID-19 dengan hipertensi, penggunaan ACEI dan


ARB menjadi masalah kontroversial. Efek terapeutik ini melibatkan ACE2,
reseptor seluler yang diketahui dari SARS-COV-2 yang diperlukan untuk masuk
ke dalam sel inang. Pengobatan ACEI dan ARB dapat meningkatkan ekspresi
ACE2 dalam studi berbasis hewan. Angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEIs) dan angiotensin II receptor blockers (ARBs) adalah bagian agen
penghambat renin-angiotensin-aldosterone system (RAS) dan dianggap sebagai
salah satu lini pertama obat untuk pengelolaan sebagian besar pasien dengan
hipertensi. Penggunaan agen ini harus dipertahankan untuk kontrol tekanan
darah, dan tidak boleh dihentikan
Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan jika tekanan
darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada kelompok
usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <150 mmHg dan
tekanan darah diastolik <90 mmHg.

Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik mulai


diberikan jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-59 tahun).

Rekomendasi 3: Pada kelompok usia <60 tahun, terapi farmakologik mulai


diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg.
Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi
farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg dan
tekanan darah diastolic <90 mmHg.

Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target
terapi adalah tekanan darah sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.

Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita diabetes melitus, terapi inisial
dapat menggunakan diuretik-thiazide, penghambat kanal kalsium, angiotensin-converting enzyme
inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB).
Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes melitus terapi
inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau penghambat kanal kalsium.

Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi antihipertensi harus
menggunakan ACEI atau ARB untuk memperbaiki outcome pada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua
pasien gagal ginjal kronis dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun penderita diabetes melitus
atau bukan.)

Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila target tekanan darah tidak tercapai setelah 1
bulan pengobatan maka dosis obat harus ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari
golongan yang sama (golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB).
Jika target tekanan darah masih belum dapat tercapai
setelah menggunakan 2 macam obat maka dapat
ditambahkan obat ketiga (tidak boleh menggunakan
kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan
obat yang berasal dari rekomendasi 6 karena ada
kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat untuk
mencapai target tekanan darah maka terapi
antihipertensi dari golongan yang lain dapat digunakan. 
Tatalaksana Covid-19

Terapi Farmakologi
• Biarpun belum ada obat yang terbukti meyakinkan efektif melalui uji
klinis, China telah membuat rekomendasi obat untuk penangan
COVID-19 dan pemberian tidak lebih dari 10 hari

IFN-alfa, 5 juta unit atau dosis ekuivalen, 2


kali/hari secara inhalasi
LPV/r, 200 mg/50 mg/kapsul, 2 kali 2 kapsul/hari per oral

RBV 500 mg, 2-3 kali 500 mg/hari intravena dan dikombinasikan
dengan IFN-alfa atau LPV/r

Klorokuin fosfat 500 mg (300 mg jika klorokuin), 2 kali/ hari per oral;

Arbidol (umifenovir), 200 mg setiap minum, 3 kali/hari per oral


Italia juga sudah membuat pedoman penanganan
COVID-19 berdasarkan derajat keparahan
penyakit

Asimtomatis, gejala ringan, berusia <70 tahun


tanpa faktor risiko: observasi klinis dan terapi
suportif.

Gejala ringan, berusia >70 tahun dengan faktor risiko dan bergejala demam, batuk, sesak napas,
serta rontgen menunjukkan pneumonia: LPV/r 200 mg/50 mg, 2 x 2 tablet per hari; atau
Darunavir/ritonavir (DRV/r) 800 mg/100 mg, 1 x 1 tablet per hari; atau Darunavir/cobicistat 800
mg/150 mg, 1 x 1 tablet per hari; DAN klorokuin fosfat 2 x 500 mg/hari atau hidroksiklorokuin
(HCQ) 2 x 200 mg/hari. Terapi diberikan selama 5-20 hari berdasarkan perubahan klinis.
Pada kasus membutuhkan terapi oksigen atau perburuk secara cepat,
terapi poin 2 dihentikan dan diganti remdesivir (RDV) 200 mg (hari 1)
dilanjutkan 100 mg (hari 2-10) dan klorokuin 2 x 500 mg/hari atau HCQ
200 mg, 2 kali perhari. Obat selama 5-20 hari, berdasarkan perubahan
klinis. Jika nilai Brescia COVID respiratory severity scale (BCRSS) ≥2,
berikan deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10 mg/hari
selama 5 hari dan/atau tocilizumab.

Pneumonia berat, ARDS/gagal napas, gagal hemodinamik,


atau membutuhkan ventilasi mekanik: RDV 200 mg (hari 1),
100 mg (hari 2-10); DAN klorokuin fosfat 2 x 500 mg/hari
atau HCQ 2 x 200 mg/ hari. Kombinasi diberikan selama 5-
20 hari. Jika RDV tidak tersedia, berikan suspensi LPV/r 5
mL, 2 kali per hari atau suspensi DRV/r; DAN HCQ 2 x 200
mg/hari.
Terapi ARDS: deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10
mg/hari selama 5 hari atau tocilizumab. Rekomendasi dosis
tocilizumab adalah 8 mg/kgBB pada ≥ 30 kg dan 12 mg/kgBB pada <
30 kg. Dapat diberikan sebanyak 3 kali dengan jarak 8 jam bila dengan
satu dosis dianggap tidak ada perbaikan.
Kesimpulan

• Hipertensi resisten merupakan masalah medis umum dan prevalensinya


diperkirakan semakin meningkat. Diagnosis HR membutuhkan penggunaan
teknik pengukuran tekanan darah yang baik dan menyingkirkan adanya
pseudoresistensi. Etiologinya hampir selalu multifaktorial dan faktor- faktor
penyebab yang reversibel perlu diidentifikasi. Penyebab sekunder HR yang
paling sering adalah PA, PGK, RAS, dan OSA. Terapi farmakologis HR harus
didasarkan pada dosis toleransi maksimum dari beberapa obat anti hipertensi,
dimana salah satunya harus menggunakan diuretik kerja panjang untuk
mengontrol kelebihan volume cairan tubuh. Terapi intervensi dapat menjadi
pilihan apabila sudah terjadi hipertensi refrakter.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai