Anda di halaman 1dari 19

ELFANI NUR SITA

AUGUSTINA

PENGENDALIAN OBAT DAN


PELANGGARAN DI BIDANG
FARMASI
PENGENDALIAN OBAT

PENGERTIAN
Pengendalian adalah kegiatan yang memastikan
penggunaan obat sesuai dengan formularium, sesuai
dengan diagnosis dan terapi serta memastikan
persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi
kelebihan dan juga kekurangan atau kekosongan,
kerusakan, kadaluwarsa dan kehilangan serta
pengembalian pesanan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai (Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 58 Tahun 2014).
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan
dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis 
Habis Pakai. Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat dilakukan oleh
Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi
(TFT) di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah untuk:
• Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;  
• Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;
• Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan
dankekurangan/kekosongan, kerusakan,kadaluwarsa, dan kehilangan
serta pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, danBah
anMedis Habis Pakai. kepada pihak terkait;
• Menyiapkan tempat pemusnahan;
• Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai adalah (Kemenkes RI, 2016):
• melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving);
• melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalamwaktu tiga
bulan berturut-turut (death stock);
• Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.
 

Kegiatan pengendalian mencakup (Kemenkes RI, 2010) :


• Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu.
Jumlah stok ini disebut stok kerja.
• Menentukan :
• Stok optimum adalah stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan
agar tidak mengalami kekurangan/kekosongan.
• Menentukan waktu tunggu (lead time) adalah waktu yang diperlukan
dari mulai pemesanan sampai obat diterima.
Selain itu, beberapa pengendalian yang
perlu diperhatikan dalam pelayanan
kefarmasian adalah sbb (Kemenkes RI,
2010) :
• Rekaman pemberian obat
• Pengembalian obat yang tidak di gunakan
• Pengendalian obat dalam ruang bedah dan
ruang pemulihan
*)Rekamam pemberian obat
Rekaman/catatan pemberian obat adalah
formulir yang digunakan perawat untuk
menyiapkan obat sebelum pemberian. Pada
formulir ini perawat memeriksa obat yang
diberikan sewaktu perawat berpindah dari
pasien satu ke pasien lain dengan kereta obat.
Dengan formulir ini perawat dapat langsung
merekam/mencatat waktu pemberian dan
aturan yang sebenarnya sesuai petunjuk.
*)Pengembalian obat yang tidak digunakan
Semua perbekalan farmasi yang belum
diberikan kepada pasien rawat tinggal harus
tetap berada dalam kereta dorong atau alat
bantu angkut apapun. Hanya perbekalan
farmasi dalam kemasan tersegel yang dapat
dikembalikan ke IFRS. Perbekalan farmasi
yang dikembalikan pasien rawat jalan tidak
boleh digunakan kembali. Prosedur tentang
pengembalian perbekalan farmasi ini perlu
dibuat oleh KFT bersama IFRS, perawat dan
administrasi rumah sakit.
*)Pengendalian obat dalam ruang bedah
dan ruang pemulihan
Sistem pengendalian obat rumah sakit
harus sampai ke bagian bedah, apoteker
harus memastikan bahwa semua obat yang
digunakan dalam bagian ini tepat order,
disimpan, disiapkan dan
dipertanggungjawabkan sehingga
pencatatan perlu dilakukan seperti
pencatatan di IFRS.
Sesuai dengan standar pelayanan farmasi di apotek
Keputusan menteri kesehatan RI Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004
• Untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian di
apotek
• Untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
“Apoteker harus menyadari dan memahami
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
dalam proses pelayanan”
PELANGGARAN DI BIDANG FARMASI

Praktek Monopoli dibidang Farmasi.

Sebagai seorang yang berkecimpung didunia kesehatan terutama


seorang ahli farmasi, maka banyak sekali pilihan dunia kerja yang
bisa kita pilih dan tekuni. Alam kasus ini , Indra yang bekerja di
apotek “AA” sebagai APA (apoteker Pengelola Apotek” dan hanya
datang ke apotek AA satu kali seminggu untuk memeriksa dan
mengkontrol apotek tersebut. Namun di sisi lain , Indra juga menjadi
Penanggung Jawab (PJ) pada Pedagang Besar Farmasi C.
Sedangkan ,diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA
hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker
hanya boleh memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dan Surat
Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk bekerja di dua tempat yang
berbeda , hanya untuk satu tempat dan satu profesi saja.
  Yang kedua adalah  kesepakatan yang
dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF(Pedagang
Besar Farmasi), dimana keduanya mengadakan
perjanjian kerjasama yang diwakili oleh
Indra agar mendapatkan keuntungan lebih
dibanding melalui prosedur normal.

Dari sini, dapat ditemukan titik pelanggaran


yang dilakukan. Namun tentunya akan terasa tidak
akurat bila kita menyimpulkan hal tersebut
sebagai sebuah pelanggaran tanpa adanya dasar.
Jenis Pelanggaran yang dilakukan

Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam


kasus tersebut, berikut permasalahan yang dilakukan :
1.  Yang pertama adalah masalah penanggung jawab,
dimana Apoteker A menjadi APA ( Apoteker Pengelola
Apotik ) di Apotek B dan juga sekaligus menjadi
PJ ( Penanggung Jawab ) di Pedagang Besar Farmasi C.
2.  Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang
dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF (Pedagang Besar
Farmasi ), dimana keduanya mengadakan perjanjian
kerjasama agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding
melalui prosedur normal.
Dasar Hukum Pelanggaran
Dalam Studi kasus yang pertama
perbuatan yang dilakukan oleh
apotekermerupakan pelanggaran karena
bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku, yang dalam
hal ini diatur dalam Pasal 18
Permenkes No.889 Tahun 2011, Pasal 14
UU No.5 Tahun 1999, Pasal 15 ayat (3).
Pasal 18 Permenkes 889/2011

Berikut ini ringkasan dari peraturan tersebut:


Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah
tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian,
yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan
Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker; Setiap tenaga kefarmasian yang
menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi
berupa: Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRK) yang dikeluarkan oleh Komite
Farmasi Nasional (KFN). Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
(STRTTK) yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
STRK dan STRKTT berlaku untuk jangka waktu 5
tahun dan dapat diregistrasi ulang selama
memenuhi persyaratan. Persyaratan untuk
memiliki STRK meliputi:
• Memiliki ijazah Apoteker;
• Memiliki sertifikat kompetensi profesi;
• Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan
sumpah/janji Apoteker;
• Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari
dokter yang memiliki surat izin praktik; dan
• Membuat pernyataan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika profesi.
Persyaratan untuk memiliki STRKTT:
• Memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
• Memiliki surat keterangan sehat fisik dan
mentaldari dokter yang memiliki surat izin
praktik;
• Memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari
Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan
institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang
menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
• Membuat pernyataan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.
Peraturan Menteri ini mencabut
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
184/Menkes/Per/II/1995 tentang
Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti
dan Izin Kerja Apoteker dan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor
679/Menkes/SK/V/2003 tentang
Registrasi dan Izin Kerja Asisten
Apoteker. Keduanya dinyatakan tidak
berlaku sejak tanggal 3 Mei 2011.
Pasal 14 UU 5/99
Pasal 14 UU nomor 5 tahun 1999 mengenai
integrasi vertikal berisi :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha yang lain yang bertujuan untuk
menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang
mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil
pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
Pasal 15 ayat 3
Ketentuan Pasal 15 Ayat 3 mengatur
suatu perjanjian mengenai persyaratan
tertentu, yang mengikat pembeli supaya
dia bisa memasok barang atau jasa dari
produsen dengan pemberian harga atau
potongan harga yaitu melalui suatu
perjanjian eksklusif.

Anda mungkin juga menyukai