Anda di halaman 1dari 56

PENALARAN MENURUT ALIRAN

FILSAFAT HUKUM
PENALARAN DALAM ALIRAN:
1. POSITIVISME HUKUM

Hukum adalah perintah yang mengalir dari sumber tertentu


(pembuat perintah).

Ekspektasi pembuat perintah: pihak yang diperintah


berbuat sesuatu atau menahan diri.

Jika perintah diabaikan, maka pemberi perintah akan


menjatuhkan sanksi.
Hukum dibuat oleh negara.
Sumber hukum adalah kemauan yang berdaulat
(The source of a law is the will of the sovereign).
Negara adalah pembentuk hukum, sebagai
kekuatan dan kekuasaan moral di belakang
hukum, sebagai ‘tuhan’ dunia hukum (the god of
the world of law).
Bagi positivisme hukum, satu-satunya hukum yang
diterima sebagai hukum adalah tata hukum.
Hukum hanya berlaku karena bentuk positifnya
ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
Hukum hanya ada hubungan dengan bentuk
formalnya.
Salah seorang panganut positivisme, Rudolf
von Jhering, mengatakan bahwa hukum adalah
alat untuk mencapai tujuan.
Artinya hukum tergantung dari paksaan, dan
hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak
negara.
HUKUM BAGI JHERING :

Adalah aturan hidup bersama, yang dianggap


sesuai dengan kepentingan negara.
Hukum, adalah pernyataan egoisme nasional.
Hukum dikembangkan secara sistematis dan
rasional, sesuai dengan kebutuhan hidup
bernegara.
Positivisme lahir didorong oleh perkembangan
ilmu-ilmu alam sejak tahun 1600.
Filsafat ini menemukan bentuknya yang jelas
dalam karya August Comte “Cours de
Philosophie Positive” (1830-1842).
Tesis-tesis pokok Positivisme:
• hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan
yang sah;
• hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan;
• metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu;
• tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang
berlaku bagi semua ilmu dan menggunakannya
sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi
landasan bagi organisasi sosial.
• Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan
semata2 atas pengalaman (empiris-verifikatif);
• bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam;
• berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal
tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun
dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan
perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.
LATAR BELAKANG POSITIVISME
• Positivisme hukum adalah aliran yg berasal dari pemikiran
Auguste Comte.

• Comte sebagai sosiolog ingin menerapkan metode ilmu alam


(Naturwissenscahft) yang sifat utamanya experimental-
empiris (experimenteel empirisch), shg ilmu hukum pun,
menurut Comte, dalam pengkajiannya melakukan penelitian
empiris atau hasil pengamatan pancaindra.

• Bagi Comte hanya hasil pengamatan pancaindra yg berharga


sebagai bahan ilmu pengetahuan.
• Mengapa Comte berpendapat demikian?
Teori terkenal yang dikembangkan Comte: “de
drie stadien leer” atau tiga tingkat (stadium)
perkembangan pikiran manusia (de drie
phasen van ontwikkeling van het menselijk
denken).
Tiga perkembangan pikiran manusia:
Theologisch phase: manusia belum belajar berpikir sendiri,
semua kejadian disandarkan kepada kemauan Tuhan yg tercermin
dalam kitab-kitab suci;
Metaphysische phase: manusia mulai berpikir sendiri,
membuat pengertian dan penjelasan sendiri, abstrak, spekulatif
(trancendent) yg belum diuji dengan kenyataan atau belum
didasarkan pengalaman atau observasi dg pancaindra;
Positieve Phase: manusia lebih mengedepankan kenyataan.
Kenyataan adalah hasil observasi pancaindra. Aksioma, dalil,
hukum, proposisi dan segala bentuk statement dianggap benar jika
sudah teruji secara empiris.
Pandangan Positivisme :
• Semua pengetahuan berkenaan dengan fakta materi
didasarkan kepada data “positif” dari pengalaman
• Di luar dunia fakta terdapat logika murni dan matematika
murni
• Menolak pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi
melalui metoda ilmiah empirik
• Penjelasan dikemukan dalam bentuk hipotesis atau hukum
empirik lainnya berkenaan dengan hubungan tetap di
antara gejala yang teramati
• Hubungan kausal (sebab akibat) diverifikasi melalui
hubungan di antara gejala yang teramati
• Kesahihan hipotesis ditentukan melalui pengujian empirik
(observasi dan eksperimentasi)
Esensi positivisme hukum menurut H.L.A. Hart adalah :
1.Bahwa hukum adalah perintah manusia
2.Bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara hukum dan moral atau
hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana mestinya.
3.Bahwa analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah studi
yang penting untuk dibedakan dari (walaupun sama sekali tidak) penyelidikan
historis, penyelidikan sosiologis dan penilaian kritis hukum dalam hal atau moral,
tujuan sosial, fungsi.
4.Bahwa sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar
dapat disimpulkan dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan cara logis saja.
5.Bahwa penilaian moral tidak dapat ditetapkan, karena pernyataan fakta dapat
dengan argumen rasional, bukti atau bukti (non kognitivisme dalam etika).
Hart mengakui hukum dan moralitas memiliki hubungan yang
penting. Meski demikian hubungan tersebut bukan hubungan
mutlak.
Artinya, definisi hukum tidak harus melibatkan moralitas;
legalitas tidak harus ditentukan oleh moralitas. Terkait dengan
hubungan hukum dan moralitas Hart mendesak agar keduanya
dipisahkan. Pemisahan ini menurutnya diperlukan agar kritik
moral terhadap hukum dimungkinkan dan untuk menghindari
konservatisme.
Hart berpandangan bahwa validitas hukum tidak ditentukan
oleh moralitas melainkan oleh aturan pengakuan yang berlaku
dalam sebuah sistem hukum.
Ini artinya, aturan-aturan yang bertentangan dengan moralitas
dan rasa keadilan, sepanjang aturan tersebut dibuat melalui
prosedur yang resmi atau terdapat dalam buku undang-
undang, dianggap sebagai aturan yang valid. Jika benar
demikian maka hukum tidak lagi bisa dikritik berdasarkan
moralitas. Dan jika ini yang terjadi maka hukum akan menjadi
sewenang-wenang.
Ajaran John Austin
Penganut aliran positivis yang terpenting adalah John Austin
(1790-1859). Inti ajaran John Austin dapat penulis ikhtisarkan
dalam beberapa butir berikut.
1.Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau dalam bahasa
aslinya law was the command of sovereign. Bagi Austin No Law,
No Saver, and no sovereign, no law
2.Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan
ketentuan-kententuan lain yang secara tegas dapat disebut
demikian, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau
keburukannya.
3.Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of soveireignty)
mewarnai hampir keseluruhan dari ajaran Austin.
2. ALIRAN HUKUM ALAM
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal
(umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena
kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut,
sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang
berlaku secara universal dan abadi.
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi
bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan
dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar
bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Aliran Hukum Alam berdasarkan sumbernya
dapat dibagi menjadi 2:
1. Irasional, hukum yang berlaku universal dan abadi
itu bersumber dari Tuhan secara langsung.
Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas
(Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois,
Marsilius Padua, dan John Wyclife.
2. Rasional, sumber hukum yang universal dan abadi
adalah rasio manusia. Tokoh-tokohnya, antara lain:
Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius,
Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
Tokoh Hukum Alam Irasional
Thomas Aquinas (1225-1274 M)
 Terdapat kebenaran akal disamping kebenaran wahyu dan
terdapat pengetahuan yang tidak diketahui akal, untuk itulah
diperlukan Iman.
 Terdapat dua pengetahuan :
a. Pengetahuan Alamiah
b. Pengetahuan Iman
 Pembedaan ini digunakan untuk menjelaskan antara Filsafat
dan teologi.
 Hukum alam bagian dari hukum Tuhan yang diungkapkan
dalam pikiran alam untuk membedakan yang baik dan yang
buruk.
4 MACAM HUKUM MENURUT THOMAS AQUINAS

a. Lex Aeterna
Hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia.
b. Lex Divina
Hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera
manusia.
c. Lex Naturalis
Hukum alam, yaitu penjelmaan Lex Eaterna ke dalam rasio
manusia.
d. Lex Positivis
Penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia.
Hugo de Groot alias Grotius (1583-1645)
Bapak Hukum Internasional karena dialah yang
mempopulerkan konsep hukum dalam hubungan antar negara,
seperti hukum perang dan hukum damai, hukum laut.
Sumber Hukum adalah Rasio Manusia.
Hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat
manusia.
Hukum alam tidak mungkin dapat dirubah, bahkan oleh
Tuhan Sekalipun.
Hukum alam ini diperoleh oleh manusia melalui akalnya,
tetapi Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikat.
Hukum dan Moral Menurut Penganut Aliran
Hukum Alam
Salah satu pemikiran hukum alam yang khas adalah tidak
dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral. Berbeda
halnya dengan Kaum Positivisme yang secara tegas
membedakan antara moral dan hukum.
Pada umumnya, penganut hukum alam memandang hukum
dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal
dan eksternal dari kehidupan manusia serta hubungannya
sesama manusia. Kant misalnya, menekankan bahwa moralitas
mengatur kehidupan manusia dan menjadi penuntun bagi
motivasinya. Hukum mengatur kondisi-kondisi manusia dalam
kaitannya dengan standar yang dibutuhkan mereka.
Konsep Dasar Sociological Jurisprudence

1. Eugen Ehrlich (1826-1922)


Seorang ahli hukum dari Austria, dianggap sebagai
pelopor dari aliran sociological jurisprudence
berdasarkan hasil karyanya berjudul “Fundamental
Principles of the Sociology of Law”.

Ajarannya berpokok pada pembedaan antara


hukum positif dengan hukum yang hidup (living
law), suatu pembedaan antara kaidah-kaidah
hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau apa
yang disebut oleh para antropolog sebagai pola-pola
kebudayaan (culture patterns).

Bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah


terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-
keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan
tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri.

Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada


peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara.
Kebaikan dari analisis Ehrlich adalah dapat mengarahkan
perhatian para ahli hukum pada ruang lingkup sistem
sosial, dimana akan diketemukan kekuatan-kekuatan
yang mengendalikan hukum, dan juga untuk lebih
memahami hukum dalam konteks sosial.

Sedangkan kekurangan dari analisis ini bahwa akan sulit


untuk menentukan ukuran-ukuran apa yang dipakai
untuk menentukan bahwa suatu kaidah hukum benar-
benar merupakan hukum yang hidup (dan dianggap adil).
2. Roscoe Pound (1870-1964)
Ajaran aliran sociological jurisprudence berkembang dan
menjadi populer di Amerika Serikat terutama atas jasa
Roscoe Pound (1870-1964).
Mencapai puncak perkembangan antara tahun 1900an –
1920an, Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus
dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga
kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum
untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana
kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi dengan
maksimal.
Selain itu, dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai
suatu proses (law in action), yang dibedakannya dengan
hukum yang tertulis (law in books).

Dalam ajarannya Roscoe Pound menekankan pada


beberapa prinsip, yaitu:

1. Mengubah fokus analisis tentang hukum dari semata-


mata memfokuskan diri pada doktrin-doktrin hukum
(aturan dan praktik hukum) ke fokus pada efek hukum
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, dilakukan
dengan menggunakan metode, praktik, dan temuan dari
ilmu sosial;
2. Hakim tidak hanya menerapkan undang- undang
untuk semua kasus.
Hakim harus diberikan ruang untuk diskresi
(kebebasan) yang luas dalam menerapkan hukum
dan aturan hukum hanya merupakan pedoman
umum bagi hakim;
3. Titik sentral ajaran Roscoe Pound adalah
teori tentang kepentingan (theory of interest)
dan “rekayasa sosial” (social engineering).
Ada berbagai kepentingan dalam masyarakat,
yaitu kepentingan individu, sosial, dan publik
(kepentingan publik merupakan bagian dari
kepentingan sosial).
Kepentingan-kepentingan tersebut
dilegitimasi dan diseimbangkan oleh hukum,
sehingga hukum dalam hal ini akan dipandang
sebagai alat untuk rekayasa masyarakat (Social
engineering).
4. Prinsip-prinsip etika suatu masyarakat beradab
(civilized society). Bahkan, masyarakat beradab
tersebut merupakan tujuan dan sasaran akhir dari
hukum substantif, yaitu adanya suatu pengaturan
bahwa seseorang tidak boleh menyakiti atau
merugikan orang lain; seseorang dapat memiliki
dan mengawasi harta bendanya; orang-orang
harus bertindak dengan itikad baik dalam
membuat kontrak satu sama lain;
jika seseorang memiliki benda-benda berbahaya,
dia harus menjaganya dengan baik sehingga tidak
mengancam keselamatan harta bendanya, atau
kesenangan orang lain; seseorang harus diberikan
upah yang layak atas pekerjaannya; dsb.

5. Mengembangkan teorinya tentang


perkembangan hukum dari bentuk-bentuk primitif
ke bentuk-bentuk sosialisasi hukum. Bentuk
sosialisasi hukum mempunyai tujuan akhir untuk
memaksimumkan pemenuhan keinginan dan
kehendak manusia dan masyarakat
Dalam mencoba menelaah antara sosiologi
hukum Eropa dan sociological jurisprudence di
Amerika Serikat, terlebih dahulu akan dibedakan
antara ilmu hukum sosiologis (sociological
jurisprudence) dengan sosiologi hukum (the
sociology of law).

Apabila dilihat dari sudut sejarahnya, istilah


sosiologi hukum untuk pertama kalinya
dipergunakan oleh seorang Italia yang bernama
Anzilotti pada tahun 1882. Tradisi sosiologi
hukum di Eropa Kontinental bertolak dan
melakukan penyelidikan di lapangan sosiologi
dengan membahas hubungan-hubungan antara
gejala-gejala kehidupan kelompok dengan
hukum (sociology of law).
Menurut Apeldoorn, sosiologi hukum mengambil telaah
mengenai hal berlakunya hukum dalam masyarakat.

Dari pandangan Apeldoorn di atas dapat diidentifikasi


bahwa sosiologi hukum mencakup 3 (tiga) hal, antara lain :

1. Menelaah hal berlakunya hukum di dalam masyarakat;


2. Menelaah hubungan dan pengaruh hukum terhadap
gejala-gejala sosial;
3. Mengadakan temukenal yang berlaku dalam
masyarakat.
Sementara itu, pandangan di Amerika Serikat mempunyai
karakteristik untuk mengarahkan telaah terhadap
masalah-masalah praktis dari ketertiban hukum dan
melakukan penyelidikannya di lapangan ilmu hukum
serta pertaliannya dengan cara-cara menyesuaikan
hubungan dan penertiban kelakuan yang menyangkut
kehidupan kelompok dikenal dengan ilmu hukum
sosiologis (sociological jurisprudence).
Dengan demikian, tampak dengan nyata
perbedaan antara keduanya, yaitu :

Kalau sociological jurisprudence merupakan suatu


mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan
masyarakat dan sebaliknya,
sedang sosiologi hukum (the sociology of law)
mempelajari fokusnya pada pengaruh masyarakat
kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala
yang ada dalam masyarakat itu dapat
mempengaruhi hukum tersebut.
Inti pemikiran mazhab sociological
Jurisprudence adalah bahwa hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Ahli-ahli pemikir dari aliran ini menaruh perhatian
yang sangat besar terhadap keadilan, walaupun
mereka berpendapat bahwa secara ilmiah tidak dapat
ditentukan apa yang dinamakan hukum yg adil.

Pokok-pokok pikiran dari aliran ini banyak


dikemukakan oleh Justice Holmes di dalam hasil
karyanya yang berjudul The Path of the Law, antara
lain mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah
merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang
berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita
sesuai dengan keputusan suatu pengadilan.
Kemudian Karl Llewellyn mengembangkan teori
tentang hubungan antara peraturan-peraturan
hukum dengan perubahan-perubahan sosial yang
terjadi dalam masyarakat.

Di dalam teorinya ini Llewellyn terutama


menekankan pada fungsi hukum. Tugas pokok dari
pengadilan adalah menetapkan fakta dan
rekontruksi dari kejadian-kejadian yang telah
lampau yang menyebabkan terjadinya perselisihan.
Oleh Llewellyn dikemukakan ciri-ciri aliran ini,
yaitu:

a. Realisme merupakan suatu gerakan dalam


cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum;

b. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai


hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat
untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap
bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan
maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan
sosial lebih cepat mengalami perubahan
daripada hukum;
c. Realisme mendasarkan ajarannya atas
pemisahan sementara antara Sollen dan Sein
untuk keperluan suatu penyelidikan. 
Agar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka
hendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai, dan
observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah
seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi
oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan
kesusilaan;
d. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-
konsep hukum tradisional karena realisme
bermaksud melukiskan apa yang dilakukan
sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan
orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-
definisi dalam peraturan-peraturan: yang
merupakan ramalan umum tentang apa yang
akan dikerjakan oleh pengadilan.

e. Gerakan realisme menekankan bahwa pada


perkembangan setiap bagian hukum haruslah
diperhatikan dengan seksama akibatnya.
5. CRITICAL LEGAL STUDIES (CLS)
Sampai dengan pertengahan tahun 1970-an
pendidikan dan praktek hukum di Amerika
Serikat didominasi oleh aliran formalisme
hukum (legal formalism). Aliran ini sama
dengan positivisme hukum yang muncul di
Eropa Barat pada abad 19 seiring dengan
munculnya positivisme ilmu-ilmu sosial.

Seperti halnya positivisme hukum, mazhab


formalisme hukum menganggap hukum
sebagai sebuah sistem yang netral, obyektif
dan otonom. Hukum adalah norma yang
berbeda dari politik, moral, kebudayaan atau
kebiasaan sehari-hari.
CLS: Kritik terhadap Formalisme Hukum pada
tahun 1977 di kota Madison, negara bagian
Wisconsin, Amerika Serikat diadakan
“Conference on Critical Legal Studies”.

Penyelenggara konferensi tersebut adalah para


akademisi hukum yang terlibat dalam gerakan
hak-hak sipil dan kampanye anti perang
Vietnam. Mereka menganggap formalisme
hukum tidak dapat menjawab berbagai bentuk
diskriminasi di masyarakat Amerika dan juga
Perang Vietnam. Jadi, konferensi ini mencari
cara baru dalam menafsirkan hukum dan
lahirlah Critical Legal Studies.
Tokoh dibalik Critical Legal Studies ini adalah
Dunkan Kennedy, Karl Klare, Mark Kelman,
Mark Tushnet, Morton Horwitz, Jack Balkin dan
Roberto M. Unger.

Ideologi keilmuan para tokoh hukum ini


beragam. Dunkan Kennedy adalah seorang
Marxis, sementara Roberto M. Unger adalah
seorang liberal-radikal. Walau ideologi
keilmuan mereka beragam, tapi mereka
disatukan oleh anggapan, bahwa hukum tidak
terpisahkan dari politik.
Itu sebabnya Unger mengatakan, bahwa
hukum tak terpisahkan dari politik dan
berbagai norma non-hukum lainnya. Hukum
dibentuk oleh berbagai faktor non-hukum
seperti kepentingan ekonomi, ras, gender,
atau politik.

Pembentukan hukum senantiasa


mengandaikan interaksi dan negosiasi antar
berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya
analisa hukum doktrinal hanya akan
mengisolasi hukum dari konteks sosial-
politiknya, dan membuat hukum tidak bisa
mengatasi berbagai masalah sosial politik:
diskriminasi ras, gender, agama, atau kelas.
Ciri Hukum dalam CLS:

- Serangkaian struktur, sebagai suatu realitas


virtual atau historis, yang merupakan hasil
proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik,
ekonomi, sosial, budaya, etnik, gender, dan
agama;

- Sebagai instrumen hegemoni yang cenderung


dominan, diskriminatif dan eksploitatif;

- Setiap saat terbuka bagi kritik, revisi, dan


transformasi, guna menuju emansipasi.
6. Aliran Feminisme Hukum
(Feminist Jurisprudence)
Aliran ini merupakan arus pemikiran lain yang berkembang
dalam tradisi hukum di Amerika Serikat (1970-1980)

Latar Belakang:
Tulisan-tulisan tentang perempuan dari berbagai
lapangan studi yang mempengaruhi studi ilmu hukum.
Banyaknya perempuan yang masuk sekolah hukum di
Amerika menjelang tahun 1960 an.
Akibat dari reaksi para feminis yang berperkara di
pengadilan dan mengadakan tuntutan terhadap
masalah hukum yang khas.
Feminis dalam hukum  mencoba secara
fundamental menentang beberapa asumsi penting
dalam teori hukum konvensional dan juga
beberapa kebijaksanaan konvensional dalam
penelitian hukum kritis.

Goldfarb menunjukkan "banyak pemikiran kaum


feminis telah memperlihatkan patriarki sebagai
suatu ideologi yang lebih mengancam terhadap
kehidupan mereka daripada ideologi hukum dan
telah mengarahkan upayanya untuk mengurangi
ideologi patriarki bahkan melalui penggunaan
ideologi hukum.
Kaum feminis sangat dipengaruhi pula feminisme
dalam filsafat, psikoanalisis, semiotik, sejarah,
antropologi, postmodernisme, kritik sastra dan
teori politik, tetapi lebih jauh dan mendasar
gerakan ini lebih melihat dan mengambil dari
pengalaman-pengalaman yang dialami kaum
wanita selama ini.
Ahli-ahli hukum feminis dengan sangat kritis
mencoba melihat bahwa hukum pada dasarnya
memiliki sejumlah keterbatasan untuk
merealisasikan nilai-nilai sosial, bahwa hukum
(baik pembentukan aturan, maupun substansinya)
sangat bersifat phallocentris (yaitu lebih memihak
kepentingan laki-laki), sehingga hukum berjalan
untuk kepentingan status quo.
Feminisme dalam hukum juga menolak bagaimana
posisi wanita senantiasa dimarjinalkan dalam
perjanjian, pekerjaan dan berbagai kehidupan
sosial, kaum feminis melihat bahwa sekalipun para
wanita telah berusaha untuk memperbaiki masa
depannya namun tetap saja hukum selalu
dibayang-bayangi oleh ideologi-ideologi yang
lebih maskulin.
Pemikiran dan aliran feminis lahir dari suatu
refleksi atas realitas ketidak-adilan sosial yang
dialami perempuan dalam dunia hukum. Para
pemikir feminist jurisprudence percaya bahwa
tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari
perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-
laki.

Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun


dari perspektif laki-laki sebagai instrumen
untuk melanggengkan posisi subordinasi
perempuan di hadapan laki-laki.
Feminisme telah membuat banyak perbedaan dalam
hukum, banyak penjelasan penting mengenai fungsi
hukum yang represif dan ideologi telah dan terus-
menerus dilakukan perombakan.

Feminisme Hukum tidak hanya melakukan


pencarian secara komprehensif untuk mengungkap
institusi hukum yang represif dan struktur ideologi
yang melegitimasikannya, tetapi juga mencoba
menawarkan pendekatan yang cukup kritis dalam
agenda rekonstruksinya.
Lain-lain:

Masih banyak lagi ragam penalaran tentang


hukum (aliran filsafat hukum lainnya), seperti:
Mazhab Sejarah, Mazhab Utilitarianisme, Aliran
Legal Constructivism, dan lain-lain.

Selamat memahami “warna-


warni” pemikiran hukum!

Anda mungkin juga menyukai