KEPERAWATAN PADA
PASIEN DIFTERI
OLEH KELOMPOK 6
DEFENISI
Difteri ditularkan secara kontak langsung dengan penderita atau karier melalui droplet
transmission saat batuk, bersin atau berbicara. Bakteri C.Diphtheriae menginvasi melalui
mukosa atau kulit, lalu berkembang biak pada permukaan mukosa traktus respirasi bagian
atas dan mengeluarkan toksin yang menyebar ke seluruh tubuh secara hematogen dan
limfatogen. Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk racun
atau toksin yang mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut
dengan terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas, kerusakan
jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata,
vagina. Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).
Toksin menghambat pembentukan protein dalam sel, sehingga sel akan mati. Di daerah
kolonisasi kuman akan tampak nekrosis jaringan. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal yang
bersama jaringan nekrotik membentuk eksudat fibrin, yang kemudian menjadi
pseudomembran, melekat erat dan berwarna putih kelabu. Jika pseudomembran dilakukan
kerokan maka akan terjadi pendarahan.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang muncul pada difteri sangat umum dan tidak khas. Dari anamnesis bisa
didapatkan gejala seperti berikut :
Gejala mirip ISPA, Nyeri tenggorokan, Anoreksia, Malaise,Suara serak, Terdapat
bercak/kotoran putih atau abu-abu di saluran pernapasan. Jika dilepas akan berdarah, ”Bull
neck” appearance, karena pembesaran mukosa dan kelenjar getah bening pada leher.
Diphtheria Hidung Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen
mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah
septum nasi.
Diphtheria Tonsil-Faring Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring,
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
Diphtheria Laring Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas.
Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa
otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
KLASIFIKASI
Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun
organ lainnya (Mansjoer et al., 2007):
Saluran nafas : obstruksi jalan nafas, bronkopneumonia, atelektasis paru
Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman.
Urogenital : nefritis.
Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata (minggu III), dan
umum (setelah minggu IV
PENATALAKSANAAN
Prinsip tatalaksana penyakit ini adalah untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
menghindari terjadinya komplikasi, mengeliminasi bakteri C. Diphteriae untuk mencegah penularan dan
mengobati infeksi sekunder. Untuk mencapainya perlu dilakukan langkah dibawah ini :
Karantina
Pasien dikarantina hingga selesainya masa akut dan hasil kultur hapusan tenggorokan negatif 2 kali
secara berturut-turut.
Antitoksin Difteria
Diberikan agar menetralisasi toksin sebelum menginfeksi sel. Antitoksin difteri digunakan untuk
imunisasi pasif dan berasal dari serum kuda, karena itu reaksi setelah penyuntikan merupakan hal biasa.
Profilaksis anak : 1000-3000 UI, injeksi intramuskular
Profilaksis dewasa : 3000-5000 UI, injeksi intramuskular
Antibiotik
Makrolida
Eritromisin 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian. Diberikan selama 7-10 hari.
Penicilin
< 27kg : injeksi 600.000 unit IM
> 27kg : injeksi 1.200.000 unit IM
PENCEGAHAN
Pencegahan secara general dengan menjaga higiene dan mengedukasi orang tua dan anak
tentang bahaya penyakit dan cara penularan pencegahannya. Umumnya, seorang anak harus
divaksin untuk menambah imunitas. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak akan mempunyai antibodi terhadap toksin difteria jika telah
mendapat imunisasi difteri lengkap.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menangani atau mencegah penyebaran
maupun penularan difteri (Mansjoer et al., 2007):
Isolasi pasien.
Pemberian imunisasi.
Pencarian dan pengobatan pasien. Dilakukan dengan uji schick.
Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan lingkungan (Kartono, 2007).
TERIMA KASIH