Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN

KEPERAWATAN PADA
PASIEN DIFTERI

OLEH KELOMPOK 6
DEFENISI

Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium


diphtheriae. Kelainan atau proses patologi yang terjadi disebabkan oleh eksotoksin yang
dihasilkan oleh bakteri tersebut(strain toksigenik). Untuk dapat bersifat toksigenik diduga suatu
bacteriophage memegang peranan penting.
Dalam Jurnal Pasarpolis (2017) Penyakit difteri didefinisikan sebagai penyakit yang
menyerang saluran pernafasan terutama pada bagian laring, amandel, atau tonsil, dan
tenggorokan. Ketika saluran pernafasan terinfeksi oleh virus ini, membran atau lapisan lengket
yang berwarna abu-abu akan berkembang di area tenggorokan sehingga menyebabkan batuk
disertai sesak nafas akut yang akan berujung kepada kematian.
Sudoyo (2009) mendefinisikan difteri sebagai penyakit infeksi yang menular dan terjadi
secara lokal pada mukosa saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram
positif Corynebacterium Diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat berbentuk membran
pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang
diproduksi oleh basil.
ETIOLOGI

Etiologi Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi


nama Cornyebacterium Diphteriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan dapat memproduksi
eksotoksin (Sudoyo, 2009). Terdapat tiga jenis basil, yaitu bentuk gravis,
mitis, dan intermedius. Basil dapat membentuk (Mansjoer et al., 2007) :

Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan berwarna


putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena; terdiri dari
fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil
Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan
jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan
saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin ini adalah 0,02 ml
PATOFISIOLOGI

Difteri ditularkan secara kontak langsung dengan penderita atau karier melalui droplet
transmission saat batuk, bersin atau berbicara. Bakteri C.Diphtheriae menginvasi melalui
mukosa atau kulit, lalu berkembang biak pada permukaan mukosa traktus respirasi bagian
atas dan mengeluarkan toksin yang menyebar ke seluruh tubuh secara hematogen dan
limfatogen. Setelah melalui masa inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk racun
atau toksin yang mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian berlanjut
dengan terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan menimbulkan gagal nafas, kerusakan
jantung dan saraf. Difteri ini akan berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata,
vagina. Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo, 2009).
Toksin menghambat pembentukan protein dalam sel, sehingga sel akan mati. Di daerah
kolonisasi kuman akan tampak nekrosis jaringan. Sebagai respons, terjadi inflamasi lokal yang
bersama jaringan nekrotik membentuk eksudat fibrin, yang kemudian menjadi
pseudomembran, melekat erat dan berwarna putih kelabu. Jika pseudomembran dilakukan
kerokan maka akan terjadi pendarahan.
MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang muncul pada difteri sangat umum dan tidak khas. Dari anamnesis bisa
didapatkan gejala seperti berikut :
Gejala mirip ISPA, Nyeri tenggorokan, Anoreksia, Malaise,Suara serak, Terdapat
bercak/kotoran putih atau abu-abu di saluran pernapasan. Jika dilepas akan berdarah, ”Bull
neck” appearance, karena pembesaran mukosa dan kelenjar getah bening pada leher.

Pada hasil pemeriksaan fisik akan didapatkan :


Keadaan umum terlihat toksik dan gelisah, Demam tidak tinggi, Halitosis (bau mulut),
Frekuensi nadi meningkat, Faring ; Hiperemis, edema, terdapat pseudomembran (membran
tebal, abu-abu, kesan berbulu) bila sampai menutupi tonsil. Jika digores akan berdarah, Leher :
Bull neck, Kadang disertai distress napas ; stidor, weezing, sianosis, dan retraksi dinding dada.
Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria (Sudoyo, 2009) :

 Diphtheria Hidung Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala
sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen
mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah
septum nasi.
 Diphtheria Tonsil-Faring Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari
timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring,
meluas ke uvula dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.
 Diphtheria Laring Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala
obstruksi saluran nafas atas.
 Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa
otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
KLASIFIKASI

Klasifikasi difteri secara klinis menurut lokasinya (Sudoyo, 2009):


Infeksi ringan, jika pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya
pilek dan nyeri waktu menelan.
Infeksi sedang, jika pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan laring sehingga
keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.
Infeksi berat, jika terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan nefritis.
KOMPLIKASI

Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun
organ lainnya (Mansjoer et al., 2007):
Saluran nafas : obstruksi jalan nafas, bronkopneumonia, atelektasis paru
Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman.
Urogenital : nefritis.
Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata (minggu III), dan
umum (setelah minggu IV
PENATALAKSANAAN

Prinsip tatalaksana penyakit ini adalah untuk menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
menghindari terjadinya komplikasi, mengeliminasi bakteri C. Diphteriae untuk mencegah penularan dan
mengobati infeksi sekunder. Untuk mencapainya perlu dilakukan langkah dibawah ini :
Karantina
Pasien dikarantina hingga selesainya masa akut dan hasil kultur hapusan tenggorokan negatif 2 kali
secara berturut-turut.
Antitoksin Difteria
Diberikan agar menetralisasi toksin sebelum menginfeksi sel. Antitoksin difteri digunakan untuk
imunisasi pasif dan berasal dari serum kuda, karena itu reaksi setelah penyuntikan merupakan hal biasa.
 Profilaksis anak : 1000-3000 UI, injeksi intramuskular
 Profilaksis dewasa : 3000-5000 UI, injeksi intramuskular
Antibiotik
 Makrolida
Eritromisin 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis pemberian. Diberikan selama 7-10 hari.
Penicilin
< 27kg : injeksi 600.000 unit IM
> 27kg : injeksi 1.200.000 unit IM
PENCEGAHAN

Pencegahan secara general dengan menjaga higiene dan mengedukasi orang tua dan anak
tentang bahaya penyakit dan cara penularan pencegahannya. Umumnya, seorang anak harus
divaksin untuk menambah imunitas. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier. Seorang anak akan mempunyai antibodi terhadap toksin difteria jika telah
mendapat imunisasi difteri lengkap.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menangani atau mencegah penyebaran
maupun penularan difteri (Mansjoer et al., 2007):
Isolasi pasien.
Pemberian imunisasi.
Pencarian dan pengobatan pasien. Dilakukan dengan uji schick.
Biasakan hidup bersih dan selalu menjaga kebersihan lingkungan (Kartono, 2007).
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai