Anda di halaman 1dari 36

Fiqh Ikhtilaf

KH Zuber Safawi, SH.I


“…jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)…”
(An Nisaa : 59)
Sebab Munculnya Ikhtilaf
Muncul karena adanya perangai tercela, seperti :
1. Ikhtilaf yang 1. Membanggakan diri dan mengagumi pendapatnya sendiri.
disebabkan oleh faktor 2. Buruk sangka kepada orang lain dan mudah menuduh
akhlak tanpa bukti.
3. Egoisme dan mengikuti hawa napsu, menjadikan ambisius
terhadap kepemimpinan atau kedudukan.
4. Fanatik kepada pendapat, mazhab, dan golongan.
5. Fanatik kepada negeri, daerah, partai, jama’ah atau
pemimpin.

Ikhtilaf yang timbul karena perangai tercela ini adalah


perselisihan yang tidak terpuji dan harus dihindari.

2. Ikhtilaf yang Timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai suatu


masalah, baik ilmiah maupun amaliah.
disebabkan oleh faktor
pemikiran Masalah ilmiah adalah perbedaan menyangkut cabang-cabang
syariat dan beberapa masalah akidah yang tidak menyentuh
prinsip-prinsip yang pasti.
Masalah amaliah adalah perbedaan mengenai sikap-sikap
politik dan pengambilan keputusan atas berbagai masalah,
akibat, perbedaan sudut pandang, kelengkapan data dan
informasi, pengaruh lingkungan dan zaman.
Persatuan adalah Kewajiban Islam

Islam adalah satu-satunya agama yang mengajak kepada


persaudaraan yang terwujud dalam persatuan dan
solidaritas, saling menolong dan membantu, serta
mengecam perpecahan dan perselisihan.

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah


diwasiatkan-Nya kepada Nuh apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (Asy Syura: 13)
Persatuan adalah Kewajiban Islam
Sunnah Nabawiah juga mengajak pada persatuan,
ukhuwwah dan mahabbah, serta mengecam tindakan
nyleneh, perselisihan dan permusuhan.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, Umar telah menyampaikan


khutbah kepada kami di Al Jabiah, lalu berkata, ‘Wahai manusia,
sesungguhnya aku berdiri di hadapan kalian menggantikan kedudukan
Rasulullah SAW di antara kita kemudian beliau bersabda, “Aku
wasiatkan kepada kalian (agar mengikuti) para sahabatku kemudian
generasi berikutnya kemudian generasi berikutnya … Kalian harus
berjamaah. Waspadalah terhadap perpecahan karena sesungguhnya
setan bersama orang yang sendirian, dan dia (setan) akan lebih jauh dari
dua orang. Barangsiapa menginginkan bau wangi surga maka
hendaklah komit dengan jamaah…”’” (HR Tirmidzi)
Islam Membenci Perpecahan
Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan, sampai-
sampai Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang
sedang membaca Al Qur’an agar menghentikan bacaannya
apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.

“Bacalah Al Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian,


tetapi jika kalian berselisih, hentikanlah bacaan itu.” (Muttafaq alaih)

Meski keutamaan membaca Al Qur’an sangat besar, setiap huruf


yang dibaca berpahala sepuluh kebaikan, tapi Rasulullah tak
mengijinkan membacanya jika hal itu membawa pada
pertentangan dan perselisihan baik menyangkut qira’at maupun
adab-adab lainnya.
Mengapa Harus Menjaga Persatuan dan Kesatuan?
1. Persatuan akan memperkuat orang-orang yang lemah
dan menambah kekuatan orang-orang yang sudah kuat.

Ibarat bangunan, satu batu bata saja tak akan banyak berarti,
betapapun matangnya batu bata itu. Demikian pula batu bata yang
berserakan tak akan membentuk kekuatan bila tidak ditata dan
direkatkan menjadi suatu bangunan.

Orang Mukmin yang satu dengan orang Mukmin lainnya


seperti bangunan yang saling memperekat.”
(Mutaffaq ‘alaih)
Mengapa Harus Menjaga Persatuan dan Kesatuan?
2. Persatuan merupakan benteng pertahanan dari ancaman
kehancuran.

Laksana seekor kambing yang berada di tengah kelompoknya, tak ada


serigala yang berani memangsanya karena perlindungan kawanan itu
sendiri. Serigala itu akan berani memangsanya manakala kambing itu
keluar dari kawanannya atau berjalan sendirian.

“Sesungguhnya setan itu adalah serigala manusia,


sedangkan serigala itu hanya memakan kambing yang lepas
(dari kawanannya).” (Al Hadits)
Landasan Pemikiran bagi
Fiqhul Ikhtilaf
Perbedaan Masalah Furu’
Perbedaan masalah furu’ (cabang) adalah suatu
kemestian, rahmat dan keleluasaan.
Adanya perbedaan pendapat merupakan sunnatullah
yang muncul karena adanya tabiat yang melekat, seperti:
1. Tabiat Agama
Hukum-hukum Allah dalam ajaran Islam ada yang bersifat
manshuh’alaih (eksplisit) dan ada pula yang maskut’anhu
(implisit). Di antara yang eksplisit tersebut terdapat pula hal-
hal yang sifatnya muhkamat dan mutasyabihat, qath’iyat
(pasti) dan dhaniyat (belum pasti), juga sharih (jelas) dan
mu’awwal (memungkinkan adanya penafsiran).
Perbedaan Masalah Furu’
2. Tabiat Bahasa
Sumber hukum yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah
disusun berdasarkan kaidah bahasa yang memiliki karakter
tersendiri. Ada lafal yang bersifat musytarak (memiliki lebih dari
satu arti), ada pula yang berupa majas (kiasan). Ada lafal yang
bersifat ‘aam maupun khas, ada pula yang mutlaq dan muqayyad.

3. Tabiat Manusia
Keaneka ragaman manusia, baik dari kepribadian, pemikiran,
tabiat, sikap mental dan kecederungannya menimbulkan
aneka variasi dalam memahami atau menyikapi sesuatu.
Perbedaan yang ada sesungguhnya merupakan ikhtilafu
tanawwul (perbedaan yang bersifat variatif) bukan ikhtilafu
tadhaddu (perbedaan yang bersifat pertentangan).
Perbedaan Masalah Furu’
4. Tabiat Alam dan Kehidupan
Tabiat alam yang diciptakan oleh Allah dalam keadaan
beraneka bentuk dan ragamnya. Demikian pula tabiat
kehidupan yang senantiasa beraneka ragam dan
berubah sesuai dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Perbedaan Masalah Furu’
Munculnya perbedaan pendapat dalam masalah furu’ memang
sebuah sunnatullah yang terlahir dari tabiat yang telah Allah
ciptakan. Perbedaan ini sesungguhnya adalah rahmat karena
memberikan peluang untuk berijtihad dan memperkaya ruang
pemahaman sekaligus amal. Ini membuat ajaran Islam menjadi
luwes dan tidak sempit.
Tentu saja, perbedaan yang ada bukanlah perbedaan yang didasari
pembangkangan terhadap ajaran Allah dan Rasulullah, atau
kedengkian dan kebencian, bukan juga upaya untuk
menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Tapi semata-mata
memperjelas nash yang bersifat umum atau menegaskan hukum
dalam suatu nash yang fleksibel sehingga mencakup beberapa
alternatif kemungkinan pemahaman dan ijtihad.
Sekitar Perbedaan Mazhab
1. Perbedaan Menyangkut Mazhab Aqidah
Perbedaan ini harus ditiadakan karena akan memecah
belah barisan Kaum Muslimin. Ummat Islam harus
bersatu dalam mazhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang
mencerminkan pemikiran Islam yang benar di masa
Rasulullah SAW dan Khilafah Rasyidah sesudahnya.

“Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah para


khalifah yang terpimpin sesudahku. Berpegangteguhlah
kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham.”
Sekitar Perbedaan Mazhab

2. Perbedaan Menyangkut Mazhab Fiqih


Perbedaan mazhab fiqih adalah perbedaan yang dibolehkan.
Perbedaan ini merupakan kekayaan pandangan dan
keleluasaan dalam pemilihan cara untuk mengaplikasikan
nash dalam kehidupan. Perbedaan yang ada bukan
merupakan sumber perpecahan, namun merupakan pilihan
landasan ilmiah untuk menjalankan syariat.
Mengikuti Manhaj Pertengahan
Ali r.a. berkata, “Hendaklah kalian berpegang pada sikap
pertengahan. Dengan sikap ini, orang yang tertinggal
harus menyusul dan orang yang berlebihan harus kembali
mundur.”

Di antara sikap pertengahan yang dianjurkan adalah bersikap


seimbang (tawazun) tidak berlebihan dalam agama dan tidak
pula menguranginya, tidak memperketat masalah-masalah
kecil dan berlapang dada terhadap perbedaan pendapat.
Mengikuti Manhaj Pertengahan
Prinsip umum yang dianut para Sahabat Rasul adalah tashil
(memudahkan) dan musamah (toleransi) dalam masalah
furu’iyah. Para Sahabat menghindari kajian-kajian yang
terlalu rumit dan terlalu mendalam sehingga membuat
kemudahan jadi kesulitan dan kelapangan menjadi
kesempitan.

“… Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu


dalam agama suatu kesempitan…” (Al Hajj: 78)
Mengutamakan Muhkamat,
Bukan Mutasyabihat
Mengikuti ayat-ayat muhkamat dan menjadikannya
sebagai prinsip serta landasan berpikir dan berprilaku
merupakan sikap kaum intelektual. Adapun mengikuti
ayat-ayat mutasyabihat adalah sikap orang-orang yang di
dalam hatinya penuh penyakit.

Apabila ayat-ayat muhkamat ditinggalkan, terbukalah


perdebatan dan perbantahan, terutama menyangkut
masalah-masalah pelik dan kecil yang sejak dulu,
sekarang dan nanti akan membingungkan akal.
Mengutamakan Muhkamat,
Bukan Mutasyabihat
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di
antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-
pokok isi Al Qur’an, dan yang lain (ayat-ayat) mautasyabihat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang
mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepadanya (Al Qur’an), semua
itu dari sisi Rabb kami.’ Dan tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
(Ali Imran: 7)
Tidak Memastikan dan Tidak
Menolak dalam Masalah Ijtihadiyah

Tidak boleh ada penolakan dari seseorang kepada orang


lain dalam masalah ijtihadiyah. Seorang mujtahid tidak
boleh menolak pendapat mujtahid lain. Demikian pula
seorang muqallid (pengikut) tidak boleh menolak
muqallid lain, apalagi menolak seorang mujtahid.
Tidak Memastikan dan Tidak
Menolak dalam Masalah Ijtihadiyah
Ketika ditanya apakah masalah ijtihadiyah harus dingkari atau
dihindari dan bagaimana dengan orang melaksanakan salah
satu dari dua pendapat, Ibnu Taimiyah menjawab, “Segala puji
milik Allah. Orang yang –dalam masalah-masalah ijtihadiyah–
mengamalkan sebagian pendapat ulama, tidak boleh dihindari
ataupun diingkari. Demikian pula orang yang mengamalkan
salah satu dari dua pendapat, ia idak boleh dikecam. Jika dalam
suatu masalah terdapat dua pendapat, bagi orang yang telah
tampak mana yang lebih kuat, ia boleh beramal sesuai
dengannya. Tetapi jika tidak, ia boleh mengikuti sebagian
ulama yang dapat dipercaya dalam menjelaskan mana yang
lebih kuat (rajih) di antara dua pendapat. Wallahu a’lam.”
Menelaah Perbedaan Pendapat
Para Ulama
Dengan menelaah perbedaan pendapat para ulama, maka
akan memperluas pemahaman tentang masalah yang
diperselisihkan. Memahami apa yang menjadi landasan,
sudut pandang dan dalil dari masing-masing mazhab (ulama)
dalam menyikapi atau berpendapat terhadap suatu hal.
Sehingga selain keluasan pemahaman akan suatu masalah,
akan terbangun pula sikap adil, mau mendengar pendapat
lain, dan menghindarkan diri dari sikap fanatik.
Membatasi Pengertian dan Istilah
Pembatasan pengertian dan istilah menjadi sangat perlu
untuk menghindari perdebatan yang berlebihan akibat
perbedaan titik tolak. Seringkali perdebatan yang terjadi
hanyalah masalah terminologis dan tidak memberikan buah
yang bersifat amaliah.

Oleh karena itu, para ulama selalu berusaha membebaskan


diri dari pangkal perselisihan sehingga tidak terjebak pada
hal yang sia-sia dengan penjelasan secara gamblang dan
detail terhadap suatu istilah atau permasalahan.
Menggarap Masalah-masalah Besar
yang Dihadapi Umat
Terjadinya perselisihan yang menjauhkan dari persatuan umat
salah satunya disebabkan oleh kosongnya jiwa dari cita-cita
dan masalah besar. Kekosongan jiwa inilah yang menjadikan
orang mempertentangkan masalah-masalah kecil.

Oleh karenanya, menjadi kewajiban para da’i dan pemikir-


pemikir Islam untuk mengajak kaum muslimin menangani
masalah-masalah besar yang dihadapi umat. Termasuk dalam
hal ini meninggalkan masalah-masalah yang tiada guna dan
hasilnya jika dibahas.
Menggarap Masalah-masalah
Besar yang Dihadapi Umat’
Setidaknya ada tujuh masalah besar yang sekarang ini dihadapi
oleh umat Islam
1. Ketertinggalan ilmu 4. Pembaratan dan ghazwul
pengetahuan, teknologi fikri.
dan peradaban. 5. Permusuhan dan
2. Ketimpangan sosial pendudukan Zionisme.
ekonomi. 6. Perpecahan dan
3. Kediktatoran dan persengketaan Dunia
kesewenang-wenangan. Arab dan Islam.
7. Dekadensi moral
Bekerja Sama dalam Masalah yang
Disepakati
Para da’i Islam berkewajiban untuk menekankan
dakwahnya pada masalah-masalah yang disepakati sebelum
menggarap yang lainnya. Karena ini adalah kewajiban
agama dan kebutuhan masyarakat.
Marilah kita bekerja sama mengajarkan “alfabeta” Islam dan
dasar-dasar aqidah, ibadah, akhlak, dan adab yang tidak
diperselisihkan para ulama. Marilah kita bekerja sama dalam
memelihara, mengaplikasikan, dan melindungi syariat Islam
dari orang-orang yang ingin mengubah hal-hal yang qath’i
(gamblang) menjadi hal-hal yang zhanni (samar-samar), hal-hal
yang muhkamat menjadi hal-hal yang mutasyabihat.
Toleransi dalam Masalah yang
Diperselisihkan
Yang dimaksud toleransi di sini adalah tidak fanatik
terhadap suatu pendapat yang bertentangan dengan
pendapat lain dalam masalah khilafiyah atau kepada satu
mazhab dan imam dengan mazhab atau imam lainnya.

Toleransi ini diwujudkan dalam sikap:


1. Menghormati pendapat orang lain.
2. Menyadari adanya beragam kebenaran.
3. Menyadari adanya perbedaan dalam memahami realitas.
Menahan Diri dari Mengkafirkan
Sesama Muslim

“Tahanlah diri kalian dari (menuduh) orang yang


mengucapkan Laa ilaha illallah, janganlah kalian
mengkafirkan mereka karena suatu dosa. Barangsiapa
mengkafirkan orang yang mengucapkan Laa ilaha
illallah maka ia lebih dekat kepada kekafiran.”
(HR Thabrani)
Landasan Moral bagi
Fiqhul Ikhtilaf
Ikhlas karena Allah dan Terbebas
dari Hawa Nafsu
Banyak terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat yang
tampaknya terlihat ilmiah, namun sebenarnya dilatarbelakangi
oleh dorongan nafsu. Ambisi dan dorongan pribadi, fanatisme
golongan, sering turut serta seolah-olah merupakan masalah
umat yang harus diperjuangkan.

Padahal jika semua pihak mau melepaskan diri dari dorongan


nafsu dan mengikhlaskan diri karena Allah, maka mereka semua
akan berpihak pada kebenaran, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-
tama menyerahkan diri kepada Allah.”’ (Al An’am: 163)
Meninggalkan Fanatisme
Seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah
dan berpihak hanya pada kebenaran jika ia dapat
membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat
orang, mazhab dan golongan.

Seseorang yang mampu menghilangkan fanatisme dalam


dirinya adalah orang yang mampu mengikatkan dirinya
pada dalil. Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan, ia
segera mengikutinya meski bertentangan dengan
mazhab yang dianutnya, pendapat imam yang
dikaguminya, atau sikap golongan yang diikutinya.
Berprasangka Baik
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah
dosa…” (Al Hujurat: 12)

Berprasangka baik terhadap sesama muslim merupakan akhlak


dasar dalam pergaulan dan berinteraksi dengan sesama. Sikap
ini akan menjauhkan dari rasa tidak suka yang menyebabkan
dorongan untuk berselisih. Akhlak dan pandangan seorang
mukmin tidak boleh didasarkan pada keinginan untuk memuji
diri sendiri dan menimpakan kesalahan kepada orang lain.
Tidak Menyakiti dan Mencela

Sikap tidak menyakiti dan mencela orang yang berbeda


pendapat dengan kita merupakan faktor yang bisa
menguatkan persatuan dan kesatuan umat, sehingga
akan mempermudah kerja sama dan meminimalisir
pertikaian. Para ulama salaf dahulu mencontohkan untuk
tidak saling mencela, justru mereka saling memuji meski
tetap berbeda pendapat.
Menjauhi Jidal dan Permusuhan
Sengit
“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah
orang yang sengit dan suka permusuhan.” (HR Muslim)

Rasulullah SAW mengecam keras perbantahan dan


menganjurkan umatnya agar menjauhinya. Dan
perbantahan yang paling dibenci adalah perbantahan di
sekitar Al Qur’an yang sesungguhnya diturunkan Allah
untuk memberi kata putus terhadap apa yang
diperselisihkan manusia.
Dialog dengan Cara yang Lebih Baik
Kebalikan dari berbantahan adalah berdialog dengan cara
yang baik. Memilih ungkapan yang lembut dan sejuk
serta tidak melukai hati adalah salah satu cara berdialog
yang dianjurkan. Selain itu dialog yang baik lebih
menekankan pada “titik-titik persamaan” dan “faktor-
faktor kesepakatan”, bukan sebaliknya.
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah lebih
mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”(An Nahl: 125)
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai