Anda di halaman 1dari 89

SPECIAL NEED CHILDREN

Essie Octiara
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
Tujuan khusus modul

1. Mampu mengevaluasi dan analisis perilaku


pasien yang memerlukan perawatan khusus
secara profesional
2. Mampu mengetahui cara mengelola,
mengevaluasi dan tata laksana perawatan gigi
anak berkebutuhan khusus
3. Mampu merujuk pasien anak berkebutuhan
khusus
DEFENISI
• Special Need Children atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yaitu
seseorang mempunyai hambatan perilaku, fisik maupun intelektual
yang mengharuskan dokter mengubah pendekatan kepadanya dengan
berbagai cara untuk melakukan perawatan (Feasby & Wright, 1975).
• Klasifikasi terbaru dalam menentukan ABK menurut panduan
kurikulum sekolah luar biasa tahun 2003 yaitu:
- Visually Handicaped (Tuna Netra)
- Hearing Imparement ( Tuna Rungu)
- Mentally Retardation (Tuna Grahita)
- Physically Handicaped (Tuna Daksa)
- Behavior/ Emotionally Disordered (Tuna Laras)
- Tuna Wicara
- Tuna Ganda.
• Klasifikasi kemudian berkembang lagi dengan menambahkan :
- HIV Aids
- Gifted (Potensi Kecerdasan Istimewa , IQ>125)
- Talented (Potensi Bakat Istimewa/ Multipel
intelegensi: bahasa, logico matematik, bodily
kinesthetic, musical dll)
- Kesulitan Belajar (Hiperaktif, ADD/ADHD, disleksia,
disgraphia, dysphasia/bicara dll)
- Lambat belajar (IQ=70-90)
- Autis
- Korban penyalahgunaan narkoba dan Indigo
• Keberadaan ABK semakin lama semakin meningkat.
• Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial tahun
2003: jumlah ABK di Indonesia sekitar 1,48 juta jiwa
atau 0,7% dari jumlah penduduk Indonesia.
• Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016: ABK
mengalami kenaikan menjadi 1,6 juta jiwa.
• Jumlah ABK lebih besar dari data BPS, hal ini
berdasarkan asumsi PBB yang menyatakan bahwa
paling sedikit 10 persen anak usia sekolah (5-14
tahun) menyandang kebutuhan khusus
1. RETARDASI MENTAL (Tuna Grahita)
• Retardasi mental atau keterbelakangan mental
adalah suatu keadaan ketidaksempurnaan
perkembangan kemampuan mental yang
mengakibatkan keterlambatan perkembangan
gerakan (motorik), bicara, dan keterbatasan
menyesuaikan diri dengan lingkungan
• Retardasi mental adalah anak yang memiliki
problema belajar disebabkan adanya hambatan
perkembangan inteligensi, mental, emosi, sosial dan
fisik (Delphie, 2012)
Epidemiologi
• Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi.
• Di indonesia 1-3 persen penduduknya menderita kelainan
ini.
• Insidennya sulit di ketahui karena retardasi metal kadang-
kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan
dimana retardasinya masih dalam taraf ringan.
• Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak
umur 10 sampai 14 tahun.
• Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan.
Kondisi retardasi mental berdasarkan klasifikasi
menurut DSM-IV
1. Retardasi mental ringan
•  Sekitar 75-90% kasus retardasi mental masuk dalam klasifikasi
ini.
• Nilai fungsi intelektual antara 50-70.
• Lambat dalam mempelajari kemampuan menyesuaikan diri.
• Dapat berkomukasi dan melakukan fungsi sosial dalam
masyarakat dengan baik.
• Dapat mengurus diri sendiri dengan baik.
• Secara umum dapat berfungsi seperti orang lain yang normal
dengan beberapa keterbatasan yang dapat dilatih.
2. Retardasi mental sedang
• Sekitar 10-25% dari kasus retardasi mental masuk dalam klasifikasi ini.
• Nilai dari fungsi intelektual antara 35-49.
• Kemampuan menyesuaikan diri rendah terutama kemampaun
berbahasa.
• Dapat melakukan aktivitas yang mudah (sederhana) dan mengurus diri
sendiri
• Dapat mempelajari hal-hal dasar tentang kesehatan dan keselamatan
diri.
3. Retardasi mental berat
• Sekitar 10-25% dari kasus retardasi mental masuk dalam klasifikasi ini.
• Nilai dari fungsi intelektual antara 20-34.
• Kemampuan menyesuaikan diri sangat rendah.
• Kemampuan komunikasi hampir tidak ada, kadang dapat memberikan
beberapa respon.
• Selalu memerlukan pengawasan terhadap dirinya.
• Dapat dilatih mengurus diri yang mudah (sederhana) dilakukan.
4. Retardasi mental sangat berat

• Sekitar 10-25% dari kasus retardasi mental masuk dalam


klasifikasi ini.
• Nilai dari fungsi intelektual kurang dari 20.
• Sering disertai dengan cacat bawaan dari lahir.
• Membutuhkan bantuan untuk mengurus diri dan membutuhkan
pengawasan ketat.
• Selain kondisi fungsi intelektual dan kemampuan menyesuaikan
diri, dapat juga ditemukan gejala lain sebagai bagian dari
penyakit.
• Contohnya kejang setelah trauma atau cedera berat pada kepala.
• Tuna grahita dapat diklasifikasikan kedalam
tiga kelompok :
1) Kelompok mampu didik, IQ 68-78
2) Kelompok mampu latih, IQ 52-55
3) Kelompok mampu rawat, IQ 30-40
ETIOLOGI
• Retardasi mental dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk genetik
dan lingkungan.
• Sekitar 30-50% penyebab dari retardasi mental tidak diketahui
penyebabnya.
• Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental:
1. Kelainan anatomis pada otak
2. Kekurangan oksigen selama di dalam kandungan atau saat proses
persalinan yang lama dan susah.
Otak memerlukan oksigen untuk dapat berfungsi dengan baik.
Apabila terjadi kekurangan oksigen selama lebih dari 5 menit dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak. Kerusakan pada otak
dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental dan gangguan pada
kemampuan motorik
3. Kerusakan otak yang luas akibat trauma atau cedera kepala berat
4. Kanker ganas pada otak
5. Infeksi selama di dalam kandungan, yaitu toksoplasma,
sitomegalovirus (CMV), rubella, herpes simpleks, dan sifilis.
6. Ibu demam lama selama mengandung
7. Penggunaan obat anti kejang dan alkohol selama kehamilan.
Beberapa obat anti kejang tidak aman untuk ibu hamil dan
dapat menyebabkan kecacatan pada janin.
Pemilihan obat anti kejang yang aman dan kontrol dokter yang
teratur dapat mengurangi resiko ini.
Alkohol yang dikonsumsi ibu dapat masuk ke dalam sirkulasi
janin dan mempengaruhi janin.
Konsumsi alkohol selama kehamilan dapat menyebabkan
terjadinya sindroma fetal alkohol
 
8. Kekurangan yodium selama di dalam kandungan dan
di awal kehidupan sehingga terjadi kekurangan
hormon tiroid.
Yodium merupakan bahan yang diperlukan untuk
membuat hormon tiroid.
Hormon tiroid berfungsi untuk membantu
pertumbuhan termasuk pertumbuhan dari otak.
Apabila kekurangan hormon ini dapat menyebabkan
terjadinya retardasi mental
9. Sindrom Down terjadi kelainan genetik berupa
trisomi pada kromosom 21
10. Sindroma DiGeorge, terjadi kelainan genetik berupa
delesi pada kromoson 22.
KESEHATAN GIGI DAN MULUT
• Memiliki kebersihan mulut yang buruk dan
prevalensi penyakit periodontal maupun karies gigi
yang tinggi
• Peningkatan maloklusi gigi: pseudoprognatism,
crossbite anterior dan gigitan terbuka.
• Keadaan rongga mulut yang buruk pada anak
retardasi mental dipengaruhi oleh kesulitan anak
dalam menjaga kesehatan gigi dan mulutnya secara
mandiri dan otot mulut yang kurang aktif untuk
mendapatkan pembersihan dengan baik
• Upaya pencegahan yang dapat dilakukan :
pendidikan kesehatan gigi dan mulut, kontrol
plak, pit dan fisur sealing, fluoride, skaling rutin
dan profilaksis, serta pelayanan kesehatan
mulut di sekolah (promosi kesehatan)
• Perawatan gigi pada anak retardasi mental,
dibutuhkan kesabaran dan ingat segitiga
perawatan gigi anak
• Kasus yang berat dilakukan perawatan dgn
anestesi umum
2. AUTISME
• Autisme merupakan gangguan perkembangan
fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan
afeksi, komunikasi verbal (bahasa) dan non
verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest
(minat), kognisi dan atensi.
• Autisme: kelainan dengan ciri perkembangan
yang terlambat atau yang abnormal dari
hubungan sosial dan bahasa.
• Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu
sindroma gangguan perkembangan anak yang sangat
kompleks mulai dari ringan sampai berat yang
disertai sindroma lainnya seperti gangguan sensoris,
mental retardasi, atau kejang-kejang.
• Berdasar waktu munculnya gangguan, autisme
dibedakan menjadi 2:
1. autisme yang terjadi sejak bayi, bisa terdeteksi usia
bayi 6 bulan
2. autisme regresif, terjadi ketika anak usia 1,5- 2
tahun, ditandai dengan regresi atau kemunduran
kembali
EPIDEMIOLOGI
• Prevalensi Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autism
adalah 1: 500 anak.
• Pada saat itu,frekuensi autisme diperkirakan 2-5 per
10.000 anak
• Frekuensi autisme meningkat 10 kali lipat pada tahun
1995
• Peningkatan jumlah autisme bawaan mencapai 3-4 kali
lipat, dan autisme regresif 10 kali lipat
• Pria lebih sering dijumpai daripada wanita dengan
perbandingan 4:11 .
ETIOLOGI:
• Hingga saat ini belum jelas penyebabnya
• Faktor genetik (familial: 2% pada saudara kandung), abnormalitas
kromoson
• Faktor imunologik (alergi)
• Faktor perinatal: kondisi fisik saat hamil dan melahirkan, yang
mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, dan tuberus sklerosis
• Faktor paska natal: infatile spasme, epilepsi mioklonik, meningitis
dan ensefalitis
• Faktor biokimia, adanya disfungsi metallothionein atau
ketidakmampuan tubuh untuk mengikat logam berat sehingga
berakibat menimbulkan keracunan logam, sebagai contoh tingginya
kandungan merkuri dalam tubuh
• Faktor psikodinamika
Gambaran Klinis
• Gejala autisme dapat timbul pada usia dini, kurang dari 1
tahun
• Gangguan perilaku: interaksi dan hubungan yang
abnormal terhadap lingkungan atau sosial (anak tidak
mau bermain dengan anak lain), kurang sadar terhadap
perasaan orang lain, kurang menunjukkan respon, tidak
menikmati sentuhan fisik dan menghindari kontak mata.
• Perilaku motorik aneh seperti berputar-putar, jalan jinjit,
bertepuk tangan, diulang tanpa sebab jelas.
• Mempunyai ritual stereotip, bila diganggu marah atau
menantang (suka mengamuk).
• Bermain imajinatif, seperti pengemudi mobil balap.
• Sangat peka atau tertarik pada tekstur atau bunyi
tertentu.
• Gangguan komunikasi: komunikasi bahasa
abnormal, echolalia (mengulang kata seperti
burung beo), neologisme (mengulang kata-kata
baru).
Komunikasi nonverbal seperti isyarat melalui gerak-
gerik tubuh (gesture) kurang.
DIAGNOSIS
• Menegakkan diagnosis autisme diperlukan
serangkaian tes, yang dilakukan oleh berbagai
bidang disiplin ilmu
• Umumnya diagnosis ditegakkan secara klinis.
• DSM IV mengemukakan kriteria untuk
menegakkan diagnosis autisme
TERAPI
• Gangguan autisme dapat dikurangi dengan mengenali gejala
alergi/menghindari makanan penyebabnya ( kasein dan glutein)
• Terapi biomedis, seperti mengubah pola makan, membersihkan
usus dari jamur dan kuman, meningkatkan daya tahan tubuh,
dan detoksifikasi logam beracun.
• Terapi psikologi diperlukan untuk mendampingi anak ini
memperoleh kemandirian diri sendiri, seperti toilet training,
terapi musik, dll.
• Terapi psikofarmaka
• Terapi oksigen hiperbarik untuk meningkatkan konsentrasi
oksigen pada tubuh.
• Terapi herbal untuk pasien autisme.
KESEHATAN GIGI DAN MULUT
• Kesehatan gigi anak autis umumnya buruk.
• Penyakit gigi dan mulut penderita autisme sama
seperti orang normal, ditemukan adanya penyakit
periodontal dan karies gigi, hal ini diperparah
ketidakmampuannya menyikat gigi secara baik dan
benar, disebabkan gangguan konsentrasi dan
interaksi anak sehingga sulit menerima instruksi cara
menyikat gigi
• Teknik pengajaran dpt digunakan pedagogi
PERAWATAN GIGI DAN PENCEGAHAN
• Biasanya anak autis ketakutan melihat dokternya. Pendekatan
bertahap (teknik desensitisasi) maupun teknik TSD (Tell-Show-
Do) memungkinkan membangun kepercayaan dokter gigi
dengan pasien autisme
• Kesabaran dan keahlian khusus, mutlak diperlukan,
komunikasi verbal dan non verbal dimodifikasikan dalam
membujuk anak
• Kasus autis sedang dan berat: dipilih sedasi inhalasi dan
general anastesi
• Pencegahan : melatih dengan telaten pada anak autisme,
bagaimana cara menyikat gigi yang baik dan benar, tentunya
dengan melibatkan orang tua atau pengasuhnya
3. CEREBRAL PALSY (CP)
(Tuna Daksa/kelainan fisik)

Brunner dan Suddarth:


• Cerebral adalah otak
• Palsy adalah kelumpuhan, kelemahan, atau
kurangnya pengendalian otot dalam setiap
pergerakan atau bahkan tidak terkontrol.
• Kerusakan otak tersebut mempengaruhi sistem dan
penyebab anak mempunyai koordinasi yang buruk,
keseimbangan yang buruk, pola-pola gerakan yang
abnormal atau kombinasi dari karakter-karakter
tersebut
• United Cerebral Palsy Association merumuskan Cerebral
Palsy sebagai suatu kumpulan keadaan, biasanya pada
masa kanak-kanak, yang ditandai dengan kelumpuhan,
kelemahan, tidak adanya koordinasi atau
penyimpangan fungsi motorik yang disebabkan
gangguan pada pusat kontrol motorik di otak.
• CP bukanlah suatu penyakit tertentu melainkan
gangguan atau kelainan disebabkan oleh kerusakan
permanen otak pada periode prenatal dan perinatal.
• Kelainan ini mungkin melibatkan kelemahan otot,
kekakuan, atau kelumpuhan, keseimbangan berkurang,
gerakan tidak teratur, dan tidak terkoordinasi
EPIDEMIOLOGI
• Insiden CP sekitar 800.000 orang di Amerika Serikat
memiliki beberapa derajat cerebral palsy
• 2 sampai 3 dari 1.000 bayi lahir dengan cerebral palsy
• 40% sampai 50% anak lahir dengan cerebral palsy
yang prematur, lahir dengan berat badan rendah
antara 1500g dan 2499g dikelahiran,
• 63,5 per 1000 kelahiran anak hidup dengan berat
badan kurang dari 1500g, atau anak lahir cerebral
palsy prematur disertai dengan berat badan yang
rendah.
ETIOLOGI
a. Prenatal: Genetik atau kongenital (misalnya, anoxia, infeksi, alkohol
atau penyalahgunaan obat, ketidakcocokan Rh, dan gangguan
metabolisme, kurangnya asam folat)
b. Natal: Anoksia, perdarahan.
c. Postnatal: cedera kepala, infeksi, neoplasma, anoksia.
• Penelitian di Pakistan tahun 2014: faktor risiko paling umum
penyebab cerebral palsy adalah hubungan atau pertalian darah,
kejang neonatal, infeksi selama kehamilan dan kurangnya perawatan
antenatal.
Penyebab prenatal adalah trauma ibu, kekurangan gizi, infeksi
selama kehamilan dan kelahiran ganda.
Di antara semua ini faktor, adanya infeksi atau demam selama
kehamilan lebih menonjol dalam masyarakat.
• KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK CEREBRAL
PALSY
1. Cerebral palsy tipe Spastic
Tipe ini paling umum ditemukan (Prevalensi
50% sampai 70%)
Spastic berarti kekakuan atau keketatan otot-
otot.
Otot-otot ini menjadi kaku karena pesan pada
otot disampaikan secara tidak benar oleh
bagian otak yang rusak.
Tipe spastic terbagi menjadi:
a. Monoplegia: hanya satu ekstrimitas saja yang mengalami
spastic, umumnya hal ini terjadi pada salah satu
lengan/ekstrimitas atas.
b. Diplegia Spastic atau uncomplicated diplegia pada
prematuritas: spastic yang menyerang traktus
kortikospinal bilateral. Dapat terjadi pada kedua lengan
atau kedua kaki pada tubuh
c. Hemiplegia Spastic yang melibatkan traktus kortikospinal
unilateral yang biasanya menyerang ekstrimitas
atas/ektremitas bawah, menyerang lengan dan kaki pada
salah satu sisi tubuh.
d. Triplegia Spastic pada
triplegia menyerang tiga
buah ekstrimitas,
umumnya menyerang
lengan pada kedua sisi
tubuh dan salah satu
kaki.
e. Quadriplegia Spastic
yang tidak hanya
menyerang ekstrimitas
atas, tetapi juga
ekstrimitas bawah dan
juga terjadi keterbatasan
(paucity) pada tungkai.
2. CP tipe Athetosis, kelainan disebabkan oleh luka pada sistem
ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun tengah.
Tipe ini terjadi sekitar 15% sampai 20% dari orang yang terkena.

3. Ataxia. Kondisi ataxia tidak begitu umum dibandingkan dengan


spasticity dan athetosis. Kondisi ini disebabkan oleh luka pada
otak kecil yang terletak dibagian belakang kepala (cerebellum)
yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi
pada kerja otot. Angka kejadian tipe ini yakni 5% hingga 10%.
4. CP tipe Campuran, tipe ini memiliki frekuensi kejadian 5% sampai
10%.
Dua atau lebih jenis yang muncul pada orang yang sama.
Kombinasi karakteristiknya misalnya campuran spasticathetoid
quadriplegia.
GAMBARAN KLINIS
Beberapa manifestasi umum pada cerebral palsy:
a. Keterbelakangan mental.
Sekitar 60% dari orang-orang dengan CP menunjukkan
beberapa derajat keterbelakangan mental.
b. Gangguan kejang.
Kejang biasa menyertai CP pada 30% sampai 50% kasus,
yang terjadi terutama selama masa bayi dan anak usia dini.
Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsan.
c. Defisit sensorik atau disfungsi.
Pendengaran yang menurun lebih umum terdapat pada CP ,
gangguan mata mempengaruhi sekitar 35% dari orang
dengan CP .
Cacat visual yang paling umum adalah strabismus.
d. Gangguan bicara.
Lebih dari separuh pasien dengan CP memiliki beberapa
masalah-ucapan, biasanya dysarthria yaitu
ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata
dengan baik karena kurangnya kontrol dari otot-otot
bicara.
e. Kontraktur yang bersamaan.
Orang dengan kelenturan dan kekakuan menunjukkan
postur tungkai yang abnormal dan kontraktur selama
pertumbuhan, terutama karena tidak berfungsinya otot.
KESEHATAN GIGI DAN MULUT
a. Penyakit periodontal, sebagian besar dimiliki oleh penderita CP.
Gangguan fungsi motorik dan koordinasi dapat menghambat
pemeliharaan kebersihan mulut yang baik dan sebagian besar
pasien menderita gingivitis yang berat.
Penderita tidak mampu menyikat gigi , mereka harus didampingi
oleh orang lain
Diet makanan perlu dilakukan, anak-anak yang mengalami
kesulitan mengunyah dan menelan cenderung makan makanan
lunak, yang mudah ditelan dan tinggi karbohidrat.
Pasien CP menggunakan fenitoin untuk mengontrol kejang yang
umumnya terjadi dan akan mengakibatkan tingginya derajat
hiperplasia gingiva
b. Karies gigi.
Karies gigi pada CP lebih menonjol dibanding anak normal.
Faktor stagnasi makanan, yang disebabkan ketidakmampuan anak atau
orang tuanya membersihkan mulut.
c. Maloklusi.
Prevalensi maloklusi pada pasien dengan CP adalah sekitar dua kali lipat
pada populasi umum disebabkan keabnormalan aktivitas otot-otot mulut.
Hal ini dihubungkan dengan derajat tonsitas otot-otot muka, mastikasi
atau gerakan deglutasi, dan gerakan involentari yang tidak normal,
mempengaruhi lengkung rahang.
Umumnya kondisi ini terlihat pada gigi anterior rahang atas, overbite
berlebihan dan overjet, gigitan terbuka, dan crossbite unilateral.
Penyebab utama ada hubungan harmonis antara otot intraoral dan
perioral.
Gerakan tidak terkoordinasi dan tidak terkendali rahang, bibir, dan lidah
memiliki frekuensi lebih besar pada CP
d. Bruxism, sering diamati pada pasien dengan CP tipe athetosis.
Oklusal yang parah karena adanya gesekan dari gigi sulung
dan permanen yang dapat dicatat, dengan menimbulkan
kerugian vertikal dimensi interarch.
e. Trauma.
CP lebih rentan terhadap trauma, khususnya gigi anterior
rahang atas.
Peningkatan kecenderungan untuk jatuh, bersama dengan
berkurangnya ekstensor refleks untuk melindunginya ketika
jatuh.
Kerentanan juga mencakup aspirasi dan menelan benda asing
PERAWATAN GIGI
• Kebanyakan penderita cerebral palsy cukup kooperatif,
namun tidak dapat duduk dengan tenang di kursi perawatan
gigi.
• Departmentof Developmental Medicine, The Royal Children’s
Hospital menyatakan beberapa anak CP dapat
mengembangkan perilaku yang mengganggu, tidak ramah
atau sulit untuk ditangani.
• Practical Oral Care for People With Cerebral Palsy tahun 2009
mengatakan CP memiliki masalah dengan gerakan dan postur.
Refleks primitif umum terjadi CP dan sering terjadi ketika
kepala dipindahkan atau pasien terkejut
• Drooling juga terjadi pada 30% anak dengan cerebral palsy. Drooling
biasanya karena kesulitan untuk membuka mulut.
Hal ini dapat menyebabkan aspirasi, iritasi kulit,dan kesulitan artikulasi
• Dibutuhkan stabilisasi bantu dan postural individu di kursi gigi sesuai
perlakuan pendekatan perkembangan saraf (neuro developmental
treatment)
• Keberhasilan perawatan tergantung kerjasama dan komunikasi verbal
serta non verbal yang dilakukan antara dokter gigi dengan penderita.
Diperlukan kesabaran yang lebih dari dokter gigi sehubungan dengan
keterbatasan penderita.
Penderita CP mengalami gerakan tak terkontrol mencakup daerah
orofasial seperti menggigit dan memasukan sesuatu pada mulutnya,
reflek menggerak-gerakan kepala, sering tersedak, tertelan.
• Kasus yang berat: dilakukan perawatan dengan general anestesi
4. Anak Gangguan Fisik
• Tuna Netra
• Tuna Rungu
a. Tuna Netra
• Tuna netra adalah gangguan daya penglihatan, berupa
kebutaan menyeluruh atau sebagian
• Ada dua kategori besar yang tergolong dengan kehilangan
kemampuan penglihatan yaitu:
1) Low vision: orang yang mengalami kesulitan untuk
menyelesaikan tugasnya yang berkaitan dengan penglihatan
namun dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan
menggunakan strategi pendukung penglihatan, melihat dari
dekat, penggunaan alat-alat bantu dan juga modifikasi
lingkungan sekitar
2) Kebutaan: orang yang kehilangan kemampuan penglihatan
atau hanya memiliki kemampuan untuk mengetahui adanya
cahaya atau tidak.
Etiologi tuna netra
• Endogen: masalah keturunan atau
pertumbuhan anak dalam kandungan (TBC)
• Eksogen: faktor luar setelah anak lahir, contoh
tumor dll.
Dampak Tuna Netra
1. Perkembangan kognitif dan kemampuan
konseptual
Anak mengandalkan informasi taktil dan
auditif untuk belajar
Menurut Kirk dan Gallagher: anak tuna netra
memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-
rata
2. Perkembangan motorik
Perkembangan motorik cenderung lambat, body
awarness tidak tepat
Anak tuna netra harus mengetahui terlebih dahulu
bagian tubuh, arah, ruang dll
3. Perkembangan sosial
Kurangmampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungan, hal ini mungkin diakibatkan pola asuh
orang tua atau lingkungan yang mendukung
terjadinya hal tersebut
Kesehatan Gigi dan Mulut
• Gingivitis, paparan jangka panjang plak dapat
menyebabkan hilangnya perlekatan
periodontal.
• Karies akibat kebersihan rongga mulut yang
tidak baik
Metode pengajaran pada tuna netra
• Metode meningkatkan kebersihan gigi dan mulut pada anak
tunanetra: pendidikan penyikatan gigi dengan menggunakan
model rahang dan metode pendampingan pada saat
menyikat gigi
• Metode menyikat gigi dengan menggunakan teknik taktil:
Dental Braille Education (DBE).
DBE merupakan suatu proses belajar dalam bidang
kesehatan gigi dan mulut bagi tunanetra menggunakan
media huruf braille sehingga diharapkan dapat mewujudkan
derajat kesehatan gigi dan mulut yang optimal serta
memiliki kemandirian dalam menjaga kesehatan giginya
b. Tuna Rungu
• Tunarungu : anak memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga disebut tunawicara (Kementerian
Kesehatan RI, 2010).
• Definisi lain tunarungu: kondisi kerusakan fungsi alat
organ pendengaran secara sebagian (hard of hearing)
atau menyeluruh (deaf) yang menyebabkan
kekurangan atau hilangnya kemampuan mendengar
(Kosasih, 2012)
Karakteristik anak tuna rungu
• Anak tuna rungu/tuna wicara mengalami gangguan
komunikasi secara verbal karena kehilangan seluruh atau
sebagian daya pendengarannya, sehingga mereka
menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi, oleh
karena itu pergaulan dengan orang normal mengalami
hambatan.
• Memiliki sifat egosentris melebihi anak normal, cepat
marah dan mudah tersinggung.
• Kesehatan fisik pada anak tuna rungu umumnya sama
dengan anak normal lainnya (Kementerian Kesehatan RI,
2010)
• Pasien dengan tuna rungu biasanya takut, atau
bahkan kesal, karena mereka merasa tidak
mengerti apa yang ditanyakan kepada mereka.
• Tuna rungu tidak mendengar apa yang orang
lain katakan namun mereka berpura-pura
untuk mengerti untuk mencegah rasa malu
(Welbury dkk., 2005).
Klasifikasi tuna rungu
• Menurut Boothroyd, klasifikasi ketunarunguan adalah:
1) Kelompok I : kehilangan 15-30 dB (mild hearing losses
atau ketunarunguan ringan) daya tangkap terhadap
suara cakapan manusia normal.
2) Kelompok II : kehilangan 31-60 dB (moderate hearing
losses atau ketunarunguan sedang) daya tangkap
terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.
3) Kelompok III : kehilangan 61-90 dB (severe hearing
losses atau ketunarunguan berat) daya tangkap
terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
4) Kelompok IV : kehilangan 91-120 dB (profound
hearing losses atau ketunarunguan sangat berat)
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak
ada sama sekali.
5) Kelompok V : kehilangan lebih dari 120 dB, (total
hearing losses atau ketunarunguan total) daya
tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada
sama sekali.
• Penyebab gangguan pendengaran terbagi dalam dua kategori:
1) Faktor genetik.
Pengaruh genetik dapat menyebabkan cacat tulang telinga
bagian tengah, sehingga mengakibatkan berkurangnya
pendengaran.
2). Faktor lingkungan/pengalaman.
a. Prenatal, infeksi seperti rubella atau obat-obatan selama
kehamilan.
b. Perinatal: sesak dada, penyakit kuning, kelahiran
premature, serta obat-obatan.
c. Postnatal: infeksi dan obat-obatan.
Kesehatan Gigi dan Mulut
• Prevalensi karies tinggi, oral hygiene buruk,
serta kebutuhan perawatan gigi yang tidak
terpenuhi ditemukan pada anak tunarungu
(Jain, 2008).
• Keterbatasan pendengaran menyebabkan
tunarungu kesulitan untuk mengikuti instruksi
sehingga menyebabkan kurangnya kebersihan
gigi dan mulut pada tunarungu (Fiske dkk.,
2007).
Metode pengajaran pada tuna rungu

• Media berupa visual dianggap lebih efektif


untuk mengedukasi tentang kesehatan gigi
dan mulut pada tunarungu (Koch & Poulsen,
2006).
5. CELAH BIBIR DAN LANGIT-LANGIT
• Celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan
kongenital yang paling sering terjadi di regio
orofasial.
• Celah dapat terjadi pada satu sisi rahang ataupun
dua sisi rahang.
• Celah bibir dan langit-langit merupakan celah
orofasial yang terjadi pada bibir hingga ke palatum
yang diakibatkan adanya kegagalan dalam proses
penyatuan prosesus frontonasal dan prosesus
maksilaris
KLASIFIKASI CELAH BIBIR DAN
LANGIT-LANGIT
• Klasifikasi celah bibir dan langit-langit menurut Kernahan
dan Stark yaitu:
Grup I : Celah langit-langit primer, meliputi celah bibir dan
kombinasi celah bibir dengan celah pada tulang alveolar.
Celah biasanya terdapat pada foramen insisivum (gambar
1a).
Grup II : Celah langit-langit sekunder atau celah yang terdapat
di belakang foramen insisivum, meliputi celah langit-langit
lunak dan keras dengan variasinya (gambar 1b dan c)
Grup III: Kombinasi celah langit-langit primer dan sekunder
(gambar 1 d).
• Klasifikasi celah langit-langit menurut Veau: a.Tipe
1 : Celah hanya terdapat pada langit-langit saja
(2a)
• b. Tipe 2 : Celah terdapat pada langit-langit lunak
dan keras di belakang foramen insisivum (2b)
• c. Tipe 3 : Celah pada langit-langit lunak dan keras
mengenai tulang alveolar pada satu sisi (2c)
• d. Tipe 4 : Celah pada langit-langit lunak dan keras
mengenai tulang alveolar pada dua sisi (2d)
GAMBAR 1 GAMBAR 2
EPIDEMIOLOGI
• Di Amerika, angka kelahiran bayi dengan kelainan celah yaitu 1
dari 700 kelahiran.
• Ras Asia dan Ras Indian Amerika memiliki prevalensi tertinggi
terjadinya celah orofasial dengan perbandingan 1:500.
• Ras Eropa memiliki prevalensi dalam batas sedang yaitu 1:1000,
sementara prevalensi terjadinya celah terendah yaitu pada Ras
Afrika dengan perbandingan 1:2500.
• Di Indonesia, prevalensi nasional bibir sumbing adalah 0,2%
(berdasarkan keluhan responden atau observasi pewawancara).
• Menurut RISKESDAS tahun 2013, di Sumatera Utara terdapat
0,2% bayi berumur 24-59 bulan yang menderita bibir sumbing
ETIOLOGI
• Genetik, hanya 20% sampai 30% kasus celah bibir dan
langit-langit yang dihubungkan dengan faktor genetik saja.
• Sebagian besar kasus diduga diakibatkan adanya kombinasi
antara kelainan genetik individual dengan faktor lingkungan.
• Lingkungan:
a. Nutrisi ibu (kekurangan asam folat, zinc, defisiensi
kolesterol dan multivitamin)
b. Konsumsi alkohol di masa kehamilan
c. Merokok dalam masa kehamilan
d. Radiasi sinar rontgen
e. Infeksi pada trisemester pertama (cth virus rubela)
f. Konsumsi obat-obatan pada ibu hamil karena bersifat
teratogenik. Penggunaan obat-obatan seperti steroid,
antikonvulsan (phenytoin dan phenobarbital), asam retinoat
dapat meningkatkan terjadinya celah bibir dan langit-langit
g. Stress, stress yang timbul pada ibu dapat menyebabkan
terangsangnya fungsi hipothalamus Adrenocorticotropic
Hormone (ACTH). Akibatnya, ACTH merangsang kelenjar
adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan hidrokortison,
sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat
menganggu pertumbuhan.
h. Trauma, adanya tekanan pada perut ibu yang mengakibatkan
trauma. Hal yang paling banyak menyebabkan tekanan
eksternal tersebut yaitu ketika ibu tergelincir maupun jatuh.
i. Toksisitas logam berat. Adanya kandungan
logam seperti timbal (Pb) dan Hg dalam darah
dapat menyebabkan keguguran maupun
infertilitas.

• Sindrom. Sindrom dapat berupa sindrom


monogenik (mutasi dari gen tunggal) maupun
sindrom kromosomal (kekurangan ataupun
kelebihan gen).
PERAWATAN PENDAHULUAN

• Pada bayi baru lahir akan menghadapi kesulitan dalam menyusu,


yaitu tidak efisiennya pengisapan saat menyusu dan kemungkinan
susu masuk ke saluran napas sehingga menyebabkan bayi tersedak
serta air susu keluar melalui hidung.
• Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk menyusu lebih lama
sehingga perut bayi kembung, tidak nyaman serta kebutuhan nutrisi
tidak terpenuhi.
• Adanya celah menyebabkan kemampuan bayi untuk menutup
rongga mulut dan mengisap, tidak adekuat sehingga bayi tidak
mampu menarik cairan ke dalam mulut secara efisien.
• Kelainan orofasial memiliki potensi untuk mengubah kemampuan
mengisap, menelan, tipe tekanan dan fungsi struktur mulut yang
terlibat dalam proses asupan makanan pada bayi.
• Pembentukan isapan intra oral pada bayi yang mengalami
celah bibir dan langit-langit terganggu oleh
ketidakmampuan bayi membentuk penutupan anterior
yang memadai dengan menggunakan bibir dan
ketidakmampuan untuk menutup rongga mulut inferior
akibat celah langit-langit bilateral, sehingga bayi sulit
untuk menekan puting di antara lidah dan langit-langit.
• Pada celah langit-langit terdapat akses antara rongga
mulut dan rongga hidung dalam menempatkan makanan
dan sekresi oral berada di dekat rongga eustachia.
• Keadaan ini mengarah pada tingkat kejadian otitis media
kronis yang tinggi pada bayi penderita.
• Perawatan dini harus diberikan kepada bayi yang baru lahir
yang mengalami dengan celah bibir dan langit-langit karena
fungsi alami dari daya isap dan penelanan yang menjadi sulit
sehingga terjadi masalah dalam pemberian susu dan
pertimbangan pertumbuhan kraniofasial yang cepat pada 12
bulan pertama, terutama 12 minggu pertama.
Lengkung rahang yang lebih normal yang terbentuk pada usia
dini akan mempengaruhi perkembangan struktur tulang wajah,
dan cenderung menghasilkan pola pertumbuhan yang normal.
• Pada bayi yang segmen premaksilanya menunjukkan
pergeseran ke depan, rangkaian perawatan meliputi konstruksi
feeding prosthesis dengan modifikasi penempatan ikatan
ekstra oral untuk mengembalikan posisi segmen yang bergeser.
• Teknik Pemberian makan
1. Botol susu khusus
2. Spuit
3. Feeding Plate
PERAWATAN
• Perawatan celah bibir dan langit-langit harus
dilakukan secara teintegrasi oleh spesialis gigi
anak, spesialis orthodonti, spesialis prostodonti,
spesialis bedah mulut dan maksilofasial, spesialis
bedah plastik, audiologis, spesialis THT-KL, dokter
anak, speech patologist, psikiater dan pekerja
sosial dalam sebuah tim.
• Tim disesuaikan dengan kebutuhan pasien serta
ketersediaan spesialis serta anggota tim lainnya.
• Untuk pembedahan pertama, pasien harus
memenuhi syarat “The Rule of Tens”, yaitu
ketika berat bayi mencapai 10 pon atau setara
dengan 4,5 kg, jumlah leukosit bayi di bawah
10.000 per milimeter kubik, HB di atas 10 gr%
dan umur di atas 10 minggu, namun bila bayi
belum dapat memenuhi persyaratan ketika
berumur 10 minggu, tindakan bedah celah bibir
dapat dilakukan ketika bayi berumur 3-5 bulan.
KESEHATAN GIGI DAN MULUT
- Agenesis insisif lateral atas, supernumerari teeth,
agenesis insisif bawah
- Penelitian: Gigi agenesis ditemukan pada 66,7%
pasien dgn gigi insisif lateral atas paling sering
ditemukan
- Supernumerari teeth ditemukan 16,7% ,
mikrodonsia (37%), taurodonsia (70,5%),
transposisi atau gigi ektopik (30,8%), dilaserasi
(19,2%), dan hipoplasia (30,8%).
- Gigi impaksi juga ditemukan
6. SINDROM DOWN (SD)

• Sindroma Down adalah kelainan kromosom


yang disebabkan oleh kesalahan dalam
pembelahan sel yang mengakibatkan adanya
kromosom tambahan 21 atau trisomi 21
• Pada tahun 1956, ditemukan bahwa
komplemen normal manusia 46 kromosom
dan pada tahun 1959 ditemukan bahwa
sindroma Down dikaitkan dengan kromosom
ekstra 21, dengan total 47 kromosom
EPIDEMIOLOGI
- Prevalensi DS rata rata di seluruh dunia
adalah 1 dari 700 - 1000 kelahiran hidup
- Terjadi rata – rata sebanyak 0.45% dari setiap
konsepsi.
- Riskesdas 2013, angka kecacatan sindrom
down memiliki nilai sebesar 0,12 pada tahun
2010 dan mengalami peningkatan sebesar
0,13 % pada tahun 2013.
ETIOLOGI
• Banyak teori berkembang mengenai penyebab sindroma Down, tetapi
tidak diketahui penyebab sebenarnya
• Masalah non-disjunction dari kromosom 21 selama oogenesis, sehingga
kromosom 21 ekstra yang terdapat pada ibu diturunkan pada anak.
• Keterlibatan seorang ayah sebagai etiologi melalui non-disjunction
selama spermatogenesis.
• Abnormalitas hormon
• Sinar-X
• Infeksi virus
• Masalah imunologi
• Kecenderungan genetik
• Ketidakseimbangan enzim mungkin sebagai penyebabnya
• Usia ibu hamil diatas 35 tahun beresiko tinggi
• Usia ayah yang lebih tua
Gambaran Klinis
• Mempunyai paras muka yang hampir sama
seperti muka orang Mongol
• Bentuk kepala yang relatif kecil dari normal
(microchephaly) dengan bagian
anteroposterior kepala mendatar, lehernya
agak pendek.
• Pangkal hidung yang lebar dan datar, ukuran
mulut kecil, letak telinga agak rendah
• Jarak diantara 2 mata berjauhan sehingga
mata menjadi sipit.
• Tangan yang pendek termasuk ruas jari-
jarinya serta jarak antara jari pertama dan
kedua baik pada tangan maupun kaki
melebar.
• Lapisan kulit biasanya tampak keriput
(dermatoglyphics).
• Anomali sistem saraf sering menunjukkan
fungsi motorik dan otot yang kurang sehingga
koordinasi tubuh dan kekuatan terbatas.
• Pengucapan umumnya lebih lambat
dibandingkan dengan penerimaan bahasa.
Lambatnya berbicara dan kualitas suara serak
• Memiliki beberapa tingkat IQ yang kurang
(retardasi mental)
• Sering disertai penyakit sistemik seperti:
Cacat jantung/ penyakit jantung bawaan, Kanker sel
darah putih (leukimia), Kelainan pada sistem
kekebalan tubuh, Pnemonia, Dimensia, Alzheimer,
Gangguan tidur/ apnea tidur, Obesitas,
Penyumbatan gastrointesnital, Gangguan hormon
tiroid, Infertilitas, Kejang, Infeksi telinga, Gangguan
pendengaran, Gangguan penglihatan, Menderita
masalah kulit seperti psoriasis, Masalah tulang,
Gangguan otot
KEADAAN KLINIS RONGGA MULUT
• Anomali kerangka utama yang mempengaruhi
struktur orofacial antara lain hipoplasia di
pertengahan wajah, dengan jembatan hidung,
tulang-tulang wajah pertengahan dan rahang atas
yang relatif kecil ukurannya, palatum sempit dan
tinggi.
• Lidah makroglossia, lidah berfisur, dan
pembesaran papilla lidah sehingga pasien
mengalami kesulitan berbicara dan pengunyahan.
• Bibir bawah tebal, kering, dan pecah-pecah.
• Maloklusi dari gigi atas dan bawah karena pernapasan
melalui mulut, pengunyahan yang tidak benar,
bruxism, openbite anterior, disfungsi
temporomandibular joint.
• Memiliki insisivus lateral yang tidak normal,
mahkotanya berbentuk kerucut, pendek, dan kecil.
• Kehilangan tulang periodontal yang parah sehingga
terjadi periodontitis
• Sering terjadi hipokalsifikasi pada gigi
• Erupsi gigi terlambat sampai selama dua sampai tiga
tahun
KESEHATAN GIGI DAN MULUT
• Prevalensi karies gigi rendah:
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya
prevalensi karies yaitu terlambatnya erupsi gigi,
kurangnya paparan dengan lingkungan yang kariogenik,
kehilangan gigi yang kongenital, tingginya pH saliva,
meningkatnya bikarbonat, mikrodonsia, adanya jarak
antara gigi, dan fisur yang dangkal.
• Anak SD memiliki jumlah Streptococcus mutans yang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak normal.
• Sering terjadi xerostomia karena mengkonsumsi obat
dan dapat juga terjadi karena pernafasan melalui mulut.
PERAWATAN GIGI
• Ingat segitiga perawatan gigi anak
• Menggunakan managemen behavioral
• Kasus sedang sampai berat dilakukan
anaestesi umum (tergantung IQ anak)
• Pertimbangan penyakit sistemik yang
menyertai
PENDEKATAN PADA ANAK ABK
• Harus mampu menyesuaikan dengan keadaan sosial,
intelektual, dan emosional.
• Kurangnya perhatian, gelisah, hiperaktif, dan perilaku
emosional yang tidak menentu merupakan ciri ABK dalam
menjalani perawatan gigi.
• Dokter gigi harus mengetahui tingkatan ABK dengan
melakukan konsultasi bersama dokter yang merawat anak
atau pengasuh lain jika anak tidak tinggal bersama orang
tua.
• Berikan keluarga penjelasan singkat mengenai praktek gigi
sebelum mencoba pengobatan.
• Perkenalkan pasien dan keluarga pada pekerja di
praktek gigi.
Hal ini akan membiasakan pasien dengan para
pekerja dan fasilitas yang ada serta akan
mengurangi rasa takut pasien terhadap
ketidaktahuannya.
• Perbolehkan pasien untuk membawa benda yang
disenanginya (boneka binatang, selimut, atau
mainan) pada saat berkunjung .
• Lakukan berulang-ulang; berbicara perlahan dan
dalam istilah yang sederhana.
• Jika pasien memiliki sistem komunikasi
alternatif, seperti papan gambar atau
perangkat elektronik, pastikan itu tersedia
untuk membantu penjelasan mengenai
instruksi gigi.
• Berikan hanya satu instruksi pada satu waktu.
• Hargai pasien dengan pujian setelah berhasil
menyelesaikan setiap prosedur.
• Dengarkan pasien secara aktif.
Pasien ABK sering mengalami masalah dengan
komunikasi, dan dokter gigi harus sangat sensitif
terhadap gerakan dan permintaan lisan.
• Ajak orang tua untuk melihat proses perawatan
dan untuk membantu dalam komunikasi dengan
pasien.
• Buatlah jadwal perawatan secara berkala.
• Tingkatkan secara bertahap ke prosedur yang lebih
sulit (misalnya anestesi dan restoratif gigi) setelah
pasien menjadi terbiasa dengan lingkungan klinik
gigi.
• Jadwalkan kunjungan pasien di pagi hari, pada saat
dokter gigi, staf, dan pasien belum merasa lelah.
• Dengan persiapan yang memadai dokter gigi dan
pekerja dapat memberikan pelayanan yang baik.
Pemahaman yang menyeluruh mengenai tingkat
pasien yang berkebutuhan khusus dan kemampuan
pasien dan dengan kesabaran dan pengertian,
dokter gigi tidak akan memiliki masalah yang
signifikan dalam memberikan perawatan gigi.
Sekolah Luar Biasa
• Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah sekolah bagi anak
berkebutuhan khusus yaitu salah satu jenis sekolah yang
bertanggungjawab melaksanakan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus.
• SLB dikelompokkan menjadi (Kementerian Kesehatan RI, 2010)
a. SLB-A: sekolah untuk tunanetra
b. SLB-B: sekolah untuk tunarungu
c. SLB-C: sekolah untuk tunagrahita
d. SLB-D: sekolah untuk tunadaksa
e. SLB-E: sekolah untuk tunalaras
f. SLB-F: sekolah untuk autis
g. SLB-G: sekolah untuk tunaganda

Anda mungkin juga menyukai