Essie Octiara DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK Tujuan khusus modul
1. Mampu mengevaluasi dan analisis perilaku
pasien yang memerlukan perawatan khusus secara profesional 2. Mampu mengetahui cara mengelola, mengevaluasi dan tata laksana perawatan gigi anak berkebutuhan khusus 3. Mampu merujuk pasien anak berkebutuhan khusus DEFENISI • Special Need Children atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yaitu seseorang mempunyai hambatan perilaku, fisik maupun intelektual yang mengharuskan dokter mengubah pendekatan kepadanya dengan berbagai cara untuk melakukan perawatan (Feasby & Wright, 1975). • Klasifikasi terbaru dalam menentukan ABK menurut panduan kurikulum sekolah luar biasa tahun 2003 yaitu: - Visually Handicaped (Tuna Netra) - Hearing Imparement ( Tuna Rungu) - Mentally Retardation (Tuna Grahita) - Physically Handicaped (Tuna Daksa) - Behavior/ Emotionally Disordered (Tuna Laras) - Tuna Wicara - Tuna Ganda. • Klasifikasi kemudian berkembang lagi dengan menambahkan : - HIV Aids - Gifted (Potensi Kecerdasan Istimewa , IQ>125) - Talented (Potensi Bakat Istimewa/ Multipel intelegensi: bahasa, logico matematik, bodily kinesthetic, musical dll) - Kesulitan Belajar (Hiperaktif, ADD/ADHD, disleksia, disgraphia, dysphasia/bicara dll) - Lambat belajar (IQ=70-90) - Autis - Korban penyalahgunaan narkoba dan Indigo • Keberadaan ABK semakin lama semakin meningkat. • Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial tahun 2003: jumlah ABK di Indonesia sekitar 1,48 juta jiwa atau 0,7% dari jumlah penduduk Indonesia. • Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016: ABK mengalami kenaikan menjadi 1,6 juta jiwa. • Jumlah ABK lebih besar dari data BPS, hal ini berdasarkan asumsi PBB yang menyatakan bahwa paling sedikit 10 persen anak usia sekolah (5-14 tahun) menyandang kebutuhan khusus 1. RETARDASI MENTAL (Tuna Grahita) • Retardasi mental atau keterbelakangan mental adalah suatu keadaan ketidaksempurnaan perkembangan kemampuan mental yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan gerakan (motorik), bicara, dan keterbatasan menyesuaikan diri dengan lingkungan • Retardasi mental adalah anak yang memiliki problema belajar disebabkan adanya hambatan perkembangan inteligensi, mental, emosi, sosial dan fisik (Delphie, 2012) Epidemiologi • Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. • Di indonesia 1-3 persen penduduknya menderita kelainan ini. • Insidennya sulit di ketahui karena retardasi metal kadang- kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. • Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. • Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki- laki dibandingkan dengan perempuan. Kondisi retardasi mental berdasarkan klasifikasi menurut DSM-IV 1. Retardasi mental ringan • Sekitar 75-90% kasus retardasi mental masuk dalam klasifikasi ini. • Nilai fungsi intelektual antara 50-70. • Lambat dalam mempelajari kemampuan menyesuaikan diri. • Dapat berkomukasi dan melakukan fungsi sosial dalam masyarakat dengan baik. • Dapat mengurus diri sendiri dengan baik. • Secara umum dapat berfungsi seperti orang lain yang normal dengan beberapa keterbatasan yang dapat dilatih. 2. Retardasi mental sedang • Sekitar 10-25% dari kasus retardasi mental masuk dalam klasifikasi ini. • Nilai dari fungsi intelektual antara 35-49. • Kemampuan menyesuaikan diri rendah terutama kemampaun berbahasa. • Dapat melakukan aktivitas yang mudah (sederhana) dan mengurus diri sendiri • Dapat mempelajari hal-hal dasar tentang kesehatan dan keselamatan diri. 3. Retardasi mental berat • Sekitar 10-25% dari kasus retardasi mental masuk dalam klasifikasi ini. • Nilai dari fungsi intelektual antara 20-34. • Kemampuan menyesuaikan diri sangat rendah. • Kemampuan komunikasi hampir tidak ada, kadang dapat memberikan beberapa respon. • Selalu memerlukan pengawasan terhadap dirinya. • Dapat dilatih mengurus diri yang mudah (sederhana) dilakukan. 4. Retardasi mental sangat berat
• Sekitar 10-25% dari kasus retardasi mental masuk dalam
klasifikasi ini. • Nilai dari fungsi intelektual kurang dari 20. • Sering disertai dengan cacat bawaan dari lahir. • Membutuhkan bantuan untuk mengurus diri dan membutuhkan pengawasan ketat. • Selain kondisi fungsi intelektual dan kemampuan menyesuaikan diri, dapat juga ditemukan gejala lain sebagai bagian dari penyakit. • Contohnya kejang setelah trauma atau cedera berat pada kepala. • Tuna grahita dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok : 1) Kelompok mampu didik, IQ 68-78 2) Kelompok mampu latih, IQ 52-55 3) Kelompok mampu rawat, IQ 30-40 ETIOLOGI • Retardasi mental dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk genetik dan lingkungan. • Sekitar 30-50% penyebab dari retardasi mental tidak diketahui penyebabnya. • Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental: 1. Kelainan anatomis pada otak 2. Kekurangan oksigen selama di dalam kandungan atau saat proses persalinan yang lama dan susah. Otak memerlukan oksigen untuk dapat berfungsi dengan baik. Apabila terjadi kekurangan oksigen selama lebih dari 5 menit dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak. Kerusakan pada otak dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental dan gangguan pada kemampuan motorik 3. Kerusakan otak yang luas akibat trauma atau cedera kepala berat 4. Kanker ganas pada otak 5. Infeksi selama di dalam kandungan, yaitu toksoplasma, sitomegalovirus (CMV), rubella, herpes simpleks, dan sifilis. 6. Ibu demam lama selama mengandung 7. Penggunaan obat anti kejang dan alkohol selama kehamilan. Beberapa obat anti kejang tidak aman untuk ibu hamil dan dapat menyebabkan kecacatan pada janin. Pemilihan obat anti kejang yang aman dan kontrol dokter yang teratur dapat mengurangi resiko ini. Alkohol yang dikonsumsi ibu dapat masuk ke dalam sirkulasi janin dan mempengaruhi janin. Konsumsi alkohol selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya sindroma fetal alkohol
8. Kekurangan yodium selama di dalam kandungan dan di awal kehidupan sehingga terjadi kekurangan hormon tiroid. Yodium merupakan bahan yang diperlukan untuk membuat hormon tiroid. Hormon tiroid berfungsi untuk membantu pertumbuhan termasuk pertumbuhan dari otak. Apabila kekurangan hormon ini dapat menyebabkan terjadinya retardasi mental 9. Sindrom Down terjadi kelainan genetik berupa trisomi pada kromosom 21 10. Sindroma DiGeorge, terjadi kelainan genetik berupa delesi pada kromoson 22. KESEHATAN GIGI DAN MULUT • Memiliki kebersihan mulut yang buruk dan prevalensi penyakit periodontal maupun karies gigi yang tinggi • Peningkatan maloklusi gigi: pseudoprognatism, crossbite anterior dan gigitan terbuka. • Keadaan rongga mulut yang buruk pada anak retardasi mental dipengaruhi oleh kesulitan anak dalam menjaga kesehatan gigi dan mulutnya secara mandiri dan otot mulut yang kurang aktif untuk mendapatkan pembersihan dengan baik • Upaya pencegahan yang dapat dilakukan : pendidikan kesehatan gigi dan mulut, kontrol plak, pit dan fisur sealing, fluoride, skaling rutin dan profilaksis, serta pelayanan kesehatan mulut di sekolah (promosi kesehatan) • Perawatan gigi pada anak retardasi mental, dibutuhkan kesabaran dan ingat segitiga perawatan gigi anak • Kasus yang berat dilakukan perawatan dgn anestesi umum 2. AUTISME • Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan afeksi, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. • Autisme: kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang abnormal dari hubungan sosial dan bahasa. • Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu sindroma gangguan perkembangan anak yang sangat kompleks mulai dari ringan sampai berat yang disertai sindroma lainnya seperti gangguan sensoris, mental retardasi, atau kejang-kejang. • Berdasar waktu munculnya gangguan, autisme dibedakan menjadi 2: 1. autisme yang terjadi sejak bayi, bisa terdeteksi usia bayi 6 bulan 2. autisme regresif, terjadi ketika anak usia 1,5- 2 tahun, ditandai dengan regresi atau kemunduran kembali EPIDEMIOLOGI • Prevalensi Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autism adalah 1: 500 anak. • Pada saat itu,frekuensi autisme diperkirakan 2-5 per 10.000 anak • Frekuensi autisme meningkat 10 kali lipat pada tahun 1995 • Peningkatan jumlah autisme bawaan mencapai 3-4 kali lipat, dan autisme regresif 10 kali lipat • Pria lebih sering dijumpai daripada wanita dengan perbandingan 4:11 . ETIOLOGI: • Hingga saat ini belum jelas penyebabnya • Faktor genetik (familial: 2% pada saudara kandung), abnormalitas kromoson • Faktor imunologik (alergi) • Faktor perinatal: kondisi fisik saat hamil dan melahirkan, yang mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, dan tuberus sklerosis • Faktor paska natal: infatile spasme, epilepsi mioklonik, meningitis dan ensefalitis • Faktor biokimia, adanya disfungsi metallothionein atau ketidakmampuan tubuh untuk mengikat logam berat sehingga berakibat menimbulkan keracunan logam, sebagai contoh tingginya kandungan merkuri dalam tubuh • Faktor psikodinamika Gambaran Klinis • Gejala autisme dapat timbul pada usia dini, kurang dari 1 tahun • Gangguan perilaku: interaksi dan hubungan yang abnormal terhadap lingkungan atau sosial (anak tidak mau bermain dengan anak lain), kurang sadar terhadap perasaan orang lain, kurang menunjukkan respon, tidak menikmati sentuhan fisik dan menghindari kontak mata. • Perilaku motorik aneh seperti berputar-putar, jalan jinjit, bertepuk tangan, diulang tanpa sebab jelas. • Mempunyai ritual stereotip, bila diganggu marah atau menantang (suka mengamuk). • Bermain imajinatif, seperti pengemudi mobil balap. • Sangat peka atau tertarik pada tekstur atau bunyi tertentu. • Gangguan komunikasi: komunikasi bahasa abnormal, echolalia (mengulang kata seperti burung beo), neologisme (mengulang kata-kata baru). Komunikasi nonverbal seperti isyarat melalui gerak- gerik tubuh (gesture) kurang. DIAGNOSIS • Menegakkan diagnosis autisme diperlukan serangkaian tes, yang dilakukan oleh berbagai bidang disiplin ilmu • Umumnya diagnosis ditegakkan secara klinis. • DSM IV mengemukakan kriteria untuk menegakkan diagnosis autisme TERAPI • Gangguan autisme dapat dikurangi dengan mengenali gejala alergi/menghindari makanan penyebabnya ( kasein dan glutein) • Terapi biomedis, seperti mengubah pola makan, membersihkan usus dari jamur dan kuman, meningkatkan daya tahan tubuh, dan detoksifikasi logam beracun. • Terapi psikologi diperlukan untuk mendampingi anak ini memperoleh kemandirian diri sendiri, seperti toilet training, terapi musik, dll. • Terapi psikofarmaka • Terapi oksigen hiperbarik untuk meningkatkan konsentrasi oksigen pada tubuh. • Terapi herbal untuk pasien autisme. KESEHATAN GIGI DAN MULUT • Kesehatan gigi anak autis umumnya buruk. • Penyakit gigi dan mulut penderita autisme sama seperti orang normal, ditemukan adanya penyakit periodontal dan karies gigi, hal ini diperparah ketidakmampuannya menyikat gigi secara baik dan benar, disebabkan gangguan konsentrasi dan interaksi anak sehingga sulit menerima instruksi cara menyikat gigi • Teknik pengajaran dpt digunakan pedagogi PERAWATAN GIGI DAN PENCEGAHAN • Biasanya anak autis ketakutan melihat dokternya. Pendekatan bertahap (teknik desensitisasi) maupun teknik TSD (Tell-Show- Do) memungkinkan membangun kepercayaan dokter gigi dengan pasien autisme • Kesabaran dan keahlian khusus, mutlak diperlukan, komunikasi verbal dan non verbal dimodifikasikan dalam membujuk anak • Kasus autis sedang dan berat: dipilih sedasi inhalasi dan general anastesi • Pencegahan : melatih dengan telaten pada anak autisme, bagaimana cara menyikat gigi yang baik dan benar, tentunya dengan melibatkan orang tua atau pengasuhnya 3. CEREBRAL PALSY (CP) (Tuna Daksa/kelainan fisik)
Brunner dan Suddarth:
• Cerebral adalah otak • Palsy adalah kelumpuhan, kelemahan, atau kurangnya pengendalian otot dalam setiap pergerakan atau bahkan tidak terkontrol. • Kerusakan otak tersebut mempengaruhi sistem dan penyebab anak mempunyai koordinasi yang buruk, keseimbangan yang buruk, pola-pola gerakan yang abnormal atau kombinasi dari karakter-karakter tersebut • United Cerebral Palsy Association merumuskan Cerebral Palsy sebagai suatu kumpulan keadaan, biasanya pada masa kanak-kanak, yang ditandai dengan kelumpuhan, kelemahan, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi motorik yang disebabkan gangguan pada pusat kontrol motorik di otak. • CP bukanlah suatu penyakit tertentu melainkan gangguan atau kelainan disebabkan oleh kerusakan permanen otak pada periode prenatal dan perinatal. • Kelainan ini mungkin melibatkan kelemahan otot, kekakuan, atau kelumpuhan, keseimbangan berkurang, gerakan tidak teratur, dan tidak terkoordinasi EPIDEMIOLOGI • Insiden CP sekitar 800.000 orang di Amerika Serikat memiliki beberapa derajat cerebral palsy • 2 sampai 3 dari 1.000 bayi lahir dengan cerebral palsy • 40% sampai 50% anak lahir dengan cerebral palsy yang prematur, lahir dengan berat badan rendah antara 1500g dan 2499g dikelahiran, • 63,5 per 1000 kelahiran anak hidup dengan berat badan kurang dari 1500g, atau anak lahir cerebral palsy prematur disertai dengan berat badan yang rendah. ETIOLOGI a. Prenatal: Genetik atau kongenital (misalnya, anoxia, infeksi, alkohol atau penyalahgunaan obat, ketidakcocokan Rh, dan gangguan metabolisme, kurangnya asam folat) b. Natal: Anoksia, perdarahan. c. Postnatal: cedera kepala, infeksi, neoplasma, anoksia. • Penelitian di Pakistan tahun 2014: faktor risiko paling umum penyebab cerebral palsy adalah hubungan atau pertalian darah, kejang neonatal, infeksi selama kehamilan dan kurangnya perawatan antenatal. Penyebab prenatal adalah trauma ibu, kekurangan gizi, infeksi selama kehamilan dan kelahiran ganda. Di antara semua ini faktor, adanya infeksi atau demam selama kehamilan lebih menonjol dalam masyarakat. • KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK CEREBRAL PALSY 1. Cerebral palsy tipe Spastic Tipe ini paling umum ditemukan (Prevalensi 50% sampai 70%) Spastic berarti kekakuan atau keketatan otot- otot. Otot-otot ini menjadi kaku karena pesan pada otot disampaikan secara tidak benar oleh bagian otak yang rusak. Tipe spastic terbagi menjadi: a. Monoplegia: hanya satu ekstrimitas saja yang mengalami spastic, umumnya hal ini terjadi pada salah satu lengan/ekstrimitas atas. b. Diplegia Spastic atau uncomplicated diplegia pada prematuritas: spastic yang menyerang traktus kortikospinal bilateral. Dapat terjadi pada kedua lengan atau kedua kaki pada tubuh c. Hemiplegia Spastic yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang biasanya menyerang ekstrimitas atas/ektremitas bawah, menyerang lengan dan kaki pada salah satu sisi tubuh. d. Triplegia Spastic pada triplegia menyerang tiga buah ekstrimitas, umumnya menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki. e. Quadriplegia Spastic yang tidak hanya menyerang ekstrimitas atas, tetapi juga ekstrimitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity) pada tungkai. 2. CP tipe Athetosis, kelainan disebabkan oleh luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun tengah. Tipe ini terjadi sekitar 15% sampai 20% dari orang yang terkena.
3. Ataxia. Kondisi ataxia tidak begitu umum dibandingkan dengan
spasticity dan athetosis. Kondisi ini disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak dibagian belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot. Angka kejadian tipe ini yakni 5% hingga 10%. 4. CP tipe Campuran, tipe ini memiliki frekuensi kejadian 5% sampai 10%. Dua atau lebih jenis yang muncul pada orang yang sama. Kombinasi karakteristiknya misalnya campuran spasticathetoid quadriplegia. GAMBARAN KLINIS Beberapa manifestasi umum pada cerebral palsy: a. Keterbelakangan mental. Sekitar 60% dari orang-orang dengan CP menunjukkan beberapa derajat keterbelakangan mental. b. Gangguan kejang. Kejang biasa menyertai CP pada 30% sampai 50% kasus, yang terjadi terutama selama masa bayi dan anak usia dini. Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsan. c. Defisit sensorik atau disfungsi. Pendengaran yang menurun lebih umum terdapat pada CP , gangguan mata mempengaruhi sekitar 35% dari orang dengan CP . Cacat visual yang paling umum adalah strabismus. d. Gangguan bicara. Lebih dari separuh pasien dengan CP memiliki beberapa masalah-ucapan, biasanya dysarthria yaitu ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan baik karena kurangnya kontrol dari otot-otot bicara. e. Kontraktur yang bersamaan. Orang dengan kelenturan dan kekakuan menunjukkan postur tungkai yang abnormal dan kontraktur selama pertumbuhan, terutama karena tidak berfungsinya otot. KESEHATAN GIGI DAN MULUT a. Penyakit periodontal, sebagian besar dimiliki oleh penderita CP. Gangguan fungsi motorik dan koordinasi dapat menghambat pemeliharaan kebersihan mulut yang baik dan sebagian besar pasien menderita gingivitis yang berat. Penderita tidak mampu menyikat gigi , mereka harus didampingi oleh orang lain Diet makanan perlu dilakukan, anak-anak yang mengalami kesulitan mengunyah dan menelan cenderung makan makanan lunak, yang mudah ditelan dan tinggi karbohidrat. Pasien CP menggunakan fenitoin untuk mengontrol kejang yang umumnya terjadi dan akan mengakibatkan tingginya derajat hiperplasia gingiva b. Karies gigi. Karies gigi pada CP lebih menonjol dibanding anak normal. Faktor stagnasi makanan, yang disebabkan ketidakmampuan anak atau orang tuanya membersihkan mulut. c. Maloklusi. Prevalensi maloklusi pada pasien dengan CP adalah sekitar dua kali lipat pada populasi umum disebabkan keabnormalan aktivitas otot-otot mulut. Hal ini dihubungkan dengan derajat tonsitas otot-otot muka, mastikasi atau gerakan deglutasi, dan gerakan involentari yang tidak normal, mempengaruhi lengkung rahang. Umumnya kondisi ini terlihat pada gigi anterior rahang atas, overbite berlebihan dan overjet, gigitan terbuka, dan crossbite unilateral. Penyebab utama ada hubungan harmonis antara otot intraoral dan perioral. Gerakan tidak terkoordinasi dan tidak terkendali rahang, bibir, dan lidah memiliki frekuensi lebih besar pada CP d. Bruxism, sering diamati pada pasien dengan CP tipe athetosis. Oklusal yang parah karena adanya gesekan dari gigi sulung dan permanen yang dapat dicatat, dengan menimbulkan kerugian vertikal dimensi interarch. e. Trauma. CP lebih rentan terhadap trauma, khususnya gigi anterior rahang atas. Peningkatan kecenderungan untuk jatuh, bersama dengan berkurangnya ekstensor refleks untuk melindunginya ketika jatuh. Kerentanan juga mencakup aspirasi dan menelan benda asing PERAWATAN GIGI • Kebanyakan penderita cerebral palsy cukup kooperatif, namun tidak dapat duduk dengan tenang di kursi perawatan gigi. • Departmentof Developmental Medicine, The Royal Children’s Hospital menyatakan beberapa anak CP dapat mengembangkan perilaku yang mengganggu, tidak ramah atau sulit untuk ditangani. • Practical Oral Care for People With Cerebral Palsy tahun 2009 mengatakan CP memiliki masalah dengan gerakan dan postur. Refleks primitif umum terjadi CP dan sering terjadi ketika kepala dipindahkan atau pasien terkejut • Drooling juga terjadi pada 30% anak dengan cerebral palsy. Drooling biasanya karena kesulitan untuk membuka mulut. Hal ini dapat menyebabkan aspirasi, iritasi kulit,dan kesulitan artikulasi • Dibutuhkan stabilisasi bantu dan postural individu di kursi gigi sesuai perlakuan pendekatan perkembangan saraf (neuro developmental treatment) • Keberhasilan perawatan tergantung kerjasama dan komunikasi verbal serta non verbal yang dilakukan antara dokter gigi dengan penderita. Diperlukan kesabaran yang lebih dari dokter gigi sehubungan dengan keterbatasan penderita. Penderita CP mengalami gerakan tak terkontrol mencakup daerah orofasial seperti menggigit dan memasukan sesuatu pada mulutnya, reflek menggerak-gerakan kepala, sering tersedak, tertelan. • Kasus yang berat: dilakukan perawatan dengan general anestesi 4. Anak Gangguan Fisik • Tuna Netra • Tuna Rungu a. Tuna Netra • Tuna netra adalah gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian • Ada dua kategori besar yang tergolong dengan kehilangan kemampuan penglihatan yaitu: 1) Low vision: orang yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan tugasnya yang berkaitan dengan penglihatan namun dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan menggunakan strategi pendukung penglihatan, melihat dari dekat, penggunaan alat-alat bantu dan juga modifikasi lingkungan sekitar 2) Kebutaan: orang yang kehilangan kemampuan penglihatan atau hanya memiliki kemampuan untuk mengetahui adanya cahaya atau tidak. Etiologi tuna netra • Endogen: masalah keturunan atau pertumbuhan anak dalam kandungan (TBC) • Eksogen: faktor luar setelah anak lahir, contoh tumor dll. Dampak Tuna Netra 1. Perkembangan kognitif dan kemampuan konseptual Anak mengandalkan informasi taktil dan auditif untuk belajar Menurut Kirk dan Gallagher: anak tuna netra memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata- rata 2. Perkembangan motorik Perkembangan motorik cenderung lambat, body awarness tidak tepat Anak tuna netra harus mengetahui terlebih dahulu bagian tubuh, arah, ruang dll 3. Perkembangan sosial Kurangmampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan, hal ini mungkin diakibatkan pola asuh orang tua atau lingkungan yang mendukung terjadinya hal tersebut Kesehatan Gigi dan Mulut • Gingivitis, paparan jangka panjang plak dapat menyebabkan hilangnya perlekatan periodontal. • Karies akibat kebersihan rongga mulut yang tidak baik Metode pengajaran pada tuna netra • Metode meningkatkan kebersihan gigi dan mulut pada anak tunanetra: pendidikan penyikatan gigi dengan menggunakan model rahang dan metode pendampingan pada saat menyikat gigi • Metode menyikat gigi dengan menggunakan teknik taktil: Dental Braille Education (DBE). DBE merupakan suatu proses belajar dalam bidang kesehatan gigi dan mulut bagi tunanetra menggunakan media huruf braille sehingga diharapkan dapat mewujudkan derajat kesehatan gigi dan mulut yang optimal serta memiliki kemandirian dalam menjaga kesehatan giginya b. Tuna Rungu • Tunarungu : anak memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara sehingga disebut tunawicara (Kementerian Kesehatan RI, 2010). • Definisi lain tunarungu: kondisi kerusakan fungsi alat organ pendengaran secara sebagian (hard of hearing) atau menyeluruh (deaf) yang menyebabkan kekurangan atau hilangnya kemampuan mendengar (Kosasih, 2012) Karakteristik anak tuna rungu • Anak tuna rungu/tuna wicara mengalami gangguan komunikasi secara verbal karena kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya, sehingga mereka menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi, oleh karena itu pergaulan dengan orang normal mengalami hambatan. • Memiliki sifat egosentris melebihi anak normal, cepat marah dan mudah tersinggung. • Kesehatan fisik pada anak tuna rungu umumnya sama dengan anak normal lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2010) • Pasien dengan tuna rungu biasanya takut, atau bahkan kesal, karena mereka merasa tidak mengerti apa yang ditanyakan kepada mereka. • Tuna rungu tidak mendengar apa yang orang lain katakan namun mereka berpura-pura untuk mengerti untuk mencegah rasa malu (Welbury dkk., 2005). Klasifikasi tuna rungu • Menurut Boothroyd, klasifikasi ketunarunguan adalah: 1) Kelompok I : kehilangan 15-30 dB (mild hearing losses atau ketunarunguan ringan) daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal. 2) Kelompok II : kehilangan 31-60 dB (moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang) daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian. 3) Kelompok III : kehilangan 61-90 dB (severe hearing losses atau ketunarunguan berat) daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada. 4) Kelompok IV : kehilangan 91-120 dB (profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat) daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. 5) Kelompok V : kehilangan lebih dari 120 dB, (total hearing losses atau ketunarunguan total) daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. • Penyebab gangguan pendengaran terbagi dalam dua kategori: 1) Faktor genetik. Pengaruh genetik dapat menyebabkan cacat tulang telinga bagian tengah, sehingga mengakibatkan berkurangnya pendengaran. 2). Faktor lingkungan/pengalaman. a. Prenatal, infeksi seperti rubella atau obat-obatan selama kehamilan. b. Perinatal: sesak dada, penyakit kuning, kelahiran premature, serta obat-obatan. c. Postnatal: infeksi dan obat-obatan. Kesehatan Gigi dan Mulut • Prevalensi karies tinggi, oral hygiene buruk, serta kebutuhan perawatan gigi yang tidak terpenuhi ditemukan pada anak tunarungu (Jain, 2008). • Keterbatasan pendengaran menyebabkan tunarungu kesulitan untuk mengikuti instruksi sehingga menyebabkan kurangnya kebersihan gigi dan mulut pada tunarungu (Fiske dkk., 2007). Metode pengajaran pada tuna rungu
• Media berupa visual dianggap lebih efektif
untuk mengedukasi tentang kesehatan gigi dan mulut pada tunarungu (Koch & Poulsen, 2006). 5. CELAH BIBIR DAN LANGIT-LANGIT • Celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan kongenital yang paling sering terjadi di regio orofasial. • Celah dapat terjadi pada satu sisi rahang ataupun dua sisi rahang. • Celah bibir dan langit-langit merupakan celah orofasial yang terjadi pada bibir hingga ke palatum yang diakibatkan adanya kegagalan dalam proses penyatuan prosesus frontonasal dan prosesus maksilaris KLASIFIKASI CELAH BIBIR DAN LANGIT-LANGIT • Klasifikasi celah bibir dan langit-langit menurut Kernahan dan Stark yaitu: Grup I : Celah langit-langit primer, meliputi celah bibir dan kombinasi celah bibir dengan celah pada tulang alveolar. Celah biasanya terdapat pada foramen insisivum (gambar 1a). Grup II : Celah langit-langit sekunder atau celah yang terdapat di belakang foramen insisivum, meliputi celah langit-langit lunak dan keras dengan variasinya (gambar 1b dan c) Grup III: Kombinasi celah langit-langit primer dan sekunder (gambar 1 d). • Klasifikasi celah langit-langit menurut Veau: a.Tipe 1 : Celah hanya terdapat pada langit-langit saja (2a) • b. Tipe 2 : Celah terdapat pada langit-langit lunak dan keras di belakang foramen insisivum (2b) • c. Tipe 3 : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar pada satu sisi (2c) • d. Tipe 4 : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar pada dua sisi (2d) GAMBAR 1 GAMBAR 2 EPIDEMIOLOGI • Di Amerika, angka kelahiran bayi dengan kelainan celah yaitu 1 dari 700 kelahiran. • Ras Asia dan Ras Indian Amerika memiliki prevalensi tertinggi terjadinya celah orofasial dengan perbandingan 1:500. • Ras Eropa memiliki prevalensi dalam batas sedang yaitu 1:1000, sementara prevalensi terjadinya celah terendah yaitu pada Ras Afrika dengan perbandingan 1:2500. • Di Indonesia, prevalensi nasional bibir sumbing adalah 0,2% (berdasarkan keluhan responden atau observasi pewawancara). • Menurut RISKESDAS tahun 2013, di Sumatera Utara terdapat 0,2% bayi berumur 24-59 bulan yang menderita bibir sumbing ETIOLOGI • Genetik, hanya 20% sampai 30% kasus celah bibir dan langit-langit yang dihubungkan dengan faktor genetik saja. • Sebagian besar kasus diduga diakibatkan adanya kombinasi antara kelainan genetik individual dengan faktor lingkungan. • Lingkungan: a. Nutrisi ibu (kekurangan asam folat, zinc, defisiensi kolesterol dan multivitamin) b. Konsumsi alkohol di masa kehamilan c. Merokok dalam masa kehamilan d. Radiasi sinar rontgen e. Infeksi pada trisemester pertama (cth virus rubela) f. Konsumsi obat-obatan pada ibu hamil karena bersifat teratogenik. Penggunaan obat-obatan seperti steroid, antikonvulsan (phenytoin dan phenobarbital), asam retinoat dapat meningkatkan terjadinya celah bibir dan langit-langit g. Stress, stress yang timbul pada ibu dapat menyebabkan terangsangnya fungsi hipothalamus Adrenocorticotropic Hormone (ACTH). Akibatnya, ACTH merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan. h. Trauma, adanya tekanan pada perut ibu yang mengakibatkan trauma. Hal yang paling banyak menyebabkan tekanan eksternal tersebut yaitu ketika ibu tergelincir maupun jatuh. i. Toksisitas logam berat. Adanya kandungan logam seperti timbal (Pb) dan Hg dalam darah dapat menyebabkan keguguran maupun infertilitas.
• Sindrom. Sindrom dapat berupa sindrom
monogenik (mutasi dari gen tunggal) maupun sindrom kromosomal (kekurangan ataupun kelebihan gen). PERAWATAN PENDAHULUAN
• Pada bayi baru lahir akan menghadapi kesulitan dalam menyusu,
yaitu tidak efisiennya pengisapan saat menyusu dan kemungkinan susu masuk ke saluran napas sehingga menyebabkan bayi tersedak serta air susu keluar melalui hidung. • Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk menyusu lebih lama sehingga perut bayi kembung, tidak nyaman serta kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi. • Adanya celah menyebabkan kemampuan bayi untuk menutup rongga mulut dan mengisap, tidak adekuat sehingga bayi tidak mampu menarik cairan ke dalam mulut secara efisien. • Kelainan orofasial memiliki potensi untuk mengubah kemampuan mengisap, menelan, tipe tekanan dan fungsi struktur mulut yang terlibat dalam proses asupan makanan pada bayi. • Pembentukan isapan intra oral pada bayi yang mengalami celah bibir dan langit-langit terganggu oleh ketidakmampuan bayi membentuk penutupan anterior yang memadai dengan menggunakan bibir dan ketidakmampuan untuk menutup rongga mulut inferior akibat celah langit-langit bilateral, sehingga bayi sulit untuk menekan puting di antara lidah dan langit-langit. • Pada celah langit-langit terdapat akses antara rongga mulut dan rongga hidung dalam menempatkan makanan dan sekresi oral berada di dekat rongga eustachia. • Keadaan ini mengarah pada tingkat kejadian otitis media kronis yang tinggi pada bayi penderita. • Perawatan dini harus diberikan kepada bayi yang baru lahir yang mengalami dengan celah bibir dan langit-langit karena fungsi alami dari daya isap dan penelanan yang menjadi sulit sehingga terjadi masalah dalam pemberian susu dan pertimbangan pertumbuhan kraniofasial yang cepat pada 12 bulan pertama, terutama 12 minggu pertama. Lengkung rahang yang lebih normal yang terbentuk pada usia dini akan mempengaruhi perkembangan struktur tulang wajah, dan cenderung menghasilkan pola pertumbuhan yang normal. • Pada bayi yang segmen premaksilanya menunjukkan pergeseran ke depan, rangkaian perawatan meliputi konstruksi feeding prosthesis dengan modifikasi penempatan ikatan ekstra oral untuk mengembalikan posisi segmen yang bergeser. • Teknik Pemberian makan 1. Botol susu khusus 2. Spuit 3. Feeding Plate PERAWATAN • Perawatan celah bibir dan langit-langit harus dilakukan secara teintegrasi oleh spesialis gigi anak, spesialis orthodonti, spesialis prostodonti, spesialis bedah mulut dan maksilofasial, spesialis bedah plastik, audiologis, spesialis THT-KL, dokter anak, speech patologist, psikiater dan pekerja sosial dalam sebuah tim. • Tim disesuaikan dengan kebutuhan pasien serta ketersediaan spesialis serta anggota tim lainnya. • Untuk pembedahan pertama, pasien harus memenuhi syarat “The Rule of Tens”, yaitu ketika berat bayi mencapai 10 pon atau setara dengan 4,5 kg, jumlah leukosit bayi di bawah 10.000 per milimeter kubik, HB di atas 10 gr% dan umur di atas 10 minggu, namun bila bayi belum dapat memenuhi persyaratan ketika berumur 10 minggu, tindakan bedah celah bibir dapat dilakukan ketika bayi berumur 3-5 bulan. KESEHATAN GIGI DAN MULUT - Agenesis insisif lateral atas, supernumerari teeth, agenesis insisif bawah - Penelitian: Gigi agenesis ditemukan pada 66,7% pasien dgn gigi insisif lateral atas paling sering ditemukan - Supernumerari teeth ditemukan 16,7% , mikrodonsia (37%), taurodonsia (70,5%), transposisi atau gigi ektopik (30,8%), dilaserasi (19,2%), dan hipoplasia (30,8%). - Gigi impaksi juga ditemukan 6. SINDROM DOWN (SD)
• Sindroma Down adalah kelainan kromosom
yang disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel yang mengakibatkan adanya kromosom tambahan 21 atau trisomi 21 • Pada tahun 1956, ditemukan bahwa komplemen normal manusia 46 kromosom dan pada tahun 1959 ditemukan bahwa sindroma Down dikaitkan dengan kromosom ekstra 21, dengan total 47 kromosom EPIDEMIOLOGI - Prevalensi DS rata rata di seluruh dunia adalah 1 dari 700 - 1000 kelahiran hidup - Terjadi rata – rata sebanyak 0.45% dari setiap konsepsi. - Riskesdas 2013, angka kecacatan sindrom down memiliki nilai sebesar 0,12 pada tahun 2010 dan mengalami peningkatan sebesar 0,13 % pada tahun 2013. ETIOLOGI • Banyak teori berkembang mengenai penyebab sindroma Down, tetapi tidak diketahui penyebab sebenarnya • Masalah non-disjunction dari kromosom 21 selama oogenesis, sehingga kromosom 21 ekstra yang terdapat pada ibu diturunkan pada anak. • Keterlibatan seorang ayah sebagai etiologi melalui non-disjunction selama spermatogenesis. • Abnormalitas hormon • Sinar-X • Infeksi virus • Masalah imunologi • Kecenderungan genetik • Ketidakseimbangan enzim mungkin sebagai penyebabnya • Usia ibu hamil diatas 35 tahun beresiko tinggi • Usia ayah yang lebih tua Gambaran Klinis • Mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol • Bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar, lehernya agak pendek. • Pangkal hidung yang lebar dan datar, ukuran mulut kecil, letak telinga agak rendah • Jarak diantara 2 mata berjauhan sehingga mata menjadi sipit. • Tangan yang pendek termasuk ruas jari- jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. • Lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). • Anomali sistem saraf sering menunjukkan fungsi motorik dan otot yang kurang sehingga koordinasi tubuh dan kekuatan terbatas. • Pengucapan umumnya lebih lambat dibandingkan dengan penerimaan bahasa. Lambatnya berbicara dan kualitas suara serak • Memiliki beberapa tingkat IQ yang kurang (retardasi mental) • Sering disertai penyakit sistemik seperti: Cacat jantung/ penyakit jantung bawaan, Kanker sel darah putih (leukimia), Kelainan pada sistem kekebalan tubuh, Pnemonia, Dimensia, Alzheimer, Gangguan tidur/ apnea tidur, Obesitas, Penyumbatan gastrointesnital, Gangguan hormon tiroid, Infertilitas, Kejang, Infeksi telinga, Gangguan pendengaran, Gangguan penglihatan, Menderita masalah kulit seperti psoriasis, Masalah tulang, Gangguan otot KEADAAN KLINIS RONGGA MULUT • Anomali kerangka utama yang mempengaruhi struktur orofacial antara lain hipoplasia di pertengahan wajah, dengan jembatan hidung, tulang-tulang wajah pertengahan dan rahang atas yang relatif kecil ukurannya, palatum sempit dan tinggi. • Lidah makroglossia, lidah berfisur, dan pembesaran papilla lidah sehingga pasien mengalami kesulitan berbicara dan pengunyahan. • Bibir bawah tebal, kering, dan pecah-pecah. • Maloklusi dari gigi atas dan bawah karena pernapasan melalui mulut, pengunyahan yang tidak benar, bruxism, openbite anterior, disfungsi temporomandibular joint. • Memiliki insisivus lateral yang tidak normal, mahkotanya berbentuk kerucut, pendek, dan kecil. • Kehilangan tulang periodontal yang parah sehingga terjadi periodontitis • Sering terjadi hipokalsifikasi pada gigi • Erupsi gigi terlambat sampai selama dua sampai tiga tahun KESEHATAN GIGI DAN MULUT • Prevalensi karies gigi rendah: Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya prevalensi karies yaitu terlambatnya erupsi gigi, kurangnya paparan dengan lingkungan yang kariogenik, kehilangan gigi yang kongenital, tingginya pH saliva, meningkatnya bikarbonat, mikrodonsia, adanya jarak antara gigi, dan fisur yang dangkal. • Anak SD memiliki jumlah Streptococcus mutans yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak normal. • Sering terjadi xerostomia karena mengkonsumsi obat dan dapat juga terjadi karena pernafasan melalui mulut. PERAWATAN GIGI • Ingat segitiga perawatan gigi anak • Menggunakan managemen behavioral • Kasus sedang sampai berat dilakukan anaestesi umum (tergantung IQ anak) • Pertimbangan penyakit sistemik yang menyertai PENDEKATAN PADA ANAK ABK • Harus mampu menyesuaikan dengan keadaan sosial, intelektual, dan emosional. • Kurangnya perhatian, gelisah, hiperaktif, dan perilaku emosional yang tidak menentu merupakan ciri ABK dalam menjalani perawatan gigi. • Dokter gigi harus mengetahui tingkatan ABK dengan melakukan konsultasi bersama dokter yang merawat anak atau pengasuh lain jika anak tidak tinggal bersama orang tua. • Berikan keluarga penjelasan singkat mengenai praktek gigi sebelum mencoba pengobatan. • Perkenalkan pasien dan keluarga pada pekerja di praktek gigi. Hal ini akan membiasakan pasien dengan para pekerja dan fasilitas yang ada serta akan mengurangi rasa takut pasien terhadap ketidaktahuannya. • Perbolehkan pasien untuk membawa benda yang disenanginya (boneka binatang, selimut, atau mainan) pada saat berkunjung . • Lakukan berulang-ulang; berbicara perlahan dan dalam istilah yang sederhana. • Jika pasien memiliki sistem komunikasi alternatif, seperti papan gambar atau perangkat elektronik, pastikan itu tersedia untuk membantu penjelasan mengenai instruksi gigi. • Berikan hanya satu instruksi pada satu waktu. • Hargai pasien dengan pujian setelah berhasil menyelesaikan setiap prosedur. • Dengarkan pasien secara aktif. Pasien ABK sering mengalami masalah dengan komunikasi, dan dokter gigi harus sangat sensitif terhadap gerakan dan permintaan lisan. • Ajak orang tua untuk melihat proses perawatan dan untuk membantu dalam komunikasi dengan pasien. • Buatlah jadwal perawatan secara berkala. • Tingkatkan secara bertahap ke prosedur yang lebih sulit (misalnya anestesi dan restoratif gigi) setelah pasien menjadi terbiasa dengan lingkungan klinik gigi. • Jadwalkan kunjungan pasien di pagi hari, pada saat dokter gigi, staf, dan pasien belum merasa lelah. • Dengan persiapan yang memadai dokter gigi dan pekerja dapat memberikan pelayanan yang baik. Pemahaman yang menyeluruh mengenai tingkat pasien yang berkebutuhan khusus dan kemampuan pasien dan dengan kesabaran dan pengertian, dokter gigi tidak akan memiliki masalah yang signifikan dalam memberikan perawatan gigi. Sekolah Luar Biasa • Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah sekolah bagi anak berkebutuhan khusus yaitu salah satu jenis sekolah yang bertanggungjawab melaksanakan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. • SLB dikelompokkan menjadi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) a. SLB-A: sekolah untuk tunanetra b. SLB-B: sekolah untuk tunarungu c. SLB-C: sekolah untuk tunagrahita d. SLB-D: sekolah untuk tunadaksa e. SLB-E: sekolah untuk tunalaras f. SLB-F: sekolah untuk autis g. SLB-G: sekolah untuk tunaganda