Perbincangan mengenai penyederhanaan parpol terus menggelinding dan menjadi salah
satu isu utama sekarang ini. Setelah ide konfederasi digulirkan PAN, Partai Golkar menawarkan fusi. Belakangan, muncul juga wacana asimilasi dari Partai Demokrat. Sebelum membahas plus-minus konfederasi, fusi, serta asimilasi, ada baiknya kita meletakkan terlebih dahulu logika penyederhanaan partai dalam kerangka sistem kepartaian kita. Tak disangkal lagi, wacana penyederhanaan partai ini mencuat kembali karena dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, adanya tarik-menarik kepentingan terkait dengan pembahasan revisi UU No 2/2008 tentang Partai Politik. Kedua, wacana peningkatan parliamentary threshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen dari total jumlah suara dalam Pemilu. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 Ayat (1) UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif adalah 2,5 persen. Dengan ketentuan itu, parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tak berhak memunyai perwakilan di DPR. Dengan demikian, suara yang telah diperoleh parpol tersebut dianggap hangus. Pada masa Orde Baru pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan social politik, yaitu: 1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI, 2. Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo, 3. Golongan Karya. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam upaya menciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengaruh keputusan soeharto terhadap kekuasaan sukarno Diskriminasi Orde Baru terhadap Partai Politik berlanjut dengan diubahnya UU 3 tahun 1975 menjadi UU 3 tahun 1985 yang substansinya semakin membatasi ruang gerak partai-partai. Partai politik tidak lagi diberikan kebebasan daIam menentukan azas sehingga kehilangan ciri dan semakin tercerabut dari basis pemilihnya. Partai politik wajib mengubah ideologinya dengan Pancasila sebagai asas tunggal sebagaimana tercantum dalam pasal 2 UU 3 tahun 1985: “(1). Partai Politik dan Golongan Karya berazaskan Pancasila sebagai satu-satunya azas. (2). Azas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara.”