Anda di halaman 1dari 36

Korupsi Dalam Perspektif Budaya,

Hukum Dan Agama

Nurcholis
Korupsi Dalam Perspektif Budaya
dan Agama
Agama merupakan salah satu hal yang sangat
berhubungan erat dengan kasus korupsi, karena
agama merupakan dasar dari segala kepercayaan
dan keyakinan tiap individu. Dalam semua ajaran
agama, tidak ada yang mengajarkan umatnya
untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi.
Namun pada kenyataannya, praktek korupsi
sudah menjadi kegiatan yang tidak asing, dan
secara sadar atau tidak, terjadi dalam berbagai
aspek kehidupan, terutama kehidupan sehari-
hari.
Sebuah negara agama tidak menjanjikan
kebersihan negara itu sendiri dari praktek
korupsi. Indonesia sebagai negara yang
memiliki penduduk mayoritas Muslim, maupun
negara-negara di Amerika Latin yang
mayoraitas penduduknya bukan non-Muslim
memiliki "citra" yang serupa di mata dunia
terkait dengan praktek korupsi yang terjadi di
masing-masing negara
 Hukum korupsi dalam berbagai ajaran agama
dan tradisi lain ada beragam, diantaranya
yaitu:
Kristen: suap dapat butakan mata (hati), agar
terus jaga tatanan hidup, hidup adalah
perjuangan, takut kepada Tuhan, jauhkan
koruptor.
 Hindu: pemimpin korup tak akan hidup
kembali, suap sebagai pintu masuk dosa,
pendosa tak diakui oleh Tuhan dan kena
karma, etika "kau rasakan apa yang
kurasakan", agar terus hidup sederhana.
Konfusianis: pendidikan beretika,
pengendalian diri, pemerintahan akan hancur
bila rakyat sudah tak    menaruh kepercayaan
terhadapnya.
Buddha: tujuan hidup yaitu nirwana (puncak),
manusia korup akan tak bahagia.
Dalam terminologi Islam dikenal istilah yang
hampir sama dengan korupsi yaitu Risywah
(suap), hanya saja risywah ini hanya
menyangkut sebahagian dari istilah korupsi
yaitu suap menyuap antara seseorang dengan
orang lain dengan imbalan uang tertentu guna
memperoleh pekerjaan atau jabatan.
termasuk di dalamnya manipulasi,
pungli, mark up, dan pencairan dana
pubik secara terselubung dan
bersembunyi di balik dalil-dalil
konstitusi, dengan niat untuk
memperoleh keuntungan yang lebi
besar secara tidak sah dari apa yang
seharusnya diperoleh menurut kadar
dan derajat pekerjaan seseorang.
Untuk lebih lanjut dalam masalah ini dapat
diuraikan penyebab-penyebab terjadinya peraktek
korupsi, antara lain adalah sebagai berikut :
1.Lemahnya Keyakinan Agama
Lemahnya keyakinan agama adalah merupakan
salah satu faktor penyebab seseorang melakukan
korupsi. Kita semua mengetahui bahwa penduduk
Indonesia 100 adalah beragama dan 88 di
antaranya adalah penganut agama Islam. Hal ini
menunjukkan bahwa sesunguhnya pelaku-pelaku
korupsi itu adalah orang yang memiliki dan
meyakini agama, dan sebahagian besar di
antaranya adalah penganut agama Islam.
Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya pelaku tindak pidana korupsi itu
adalah penganut agama Islam. Padahal
sesungguhnya ajaran agama Islam itu dapat
mencegah seseorang dari perbuatan keji dan
munkar termasuk di dalamnya mencegah
perbuatan korupsi. Yang jadi masalah adalah
ada beberapa orang tertentu yang rajin
melaksanakan ibadah sesuai ajaran agamanya,
namun peraktek korupsinya tetap juga jalan.
Hal ini disebabkan oleh karena
pelaksanaan ajaran agama itu tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan sekaligus tidak mendalami makna
yang terkandung dalam ibadah itu.
Akibatnya ibadah yang dilaksanakan
baru sebatas ibadah ritual ceremonial,
belum menjalankan ibadah sebagai
ibadah ritual dan aktual.
 2.Pemahaman Keagamaan yang keliru
 Pemahaman keagamaan yang keliru yang

dimaksudkan di sini adalah adanya satu


pemahaman bahwa setiap berbuat satu kebaikan
akan diberikan pahalanya tujuh ratus kali lipat
pada satu pihak, sebagaimana tercermin dalam
Firman Allah SWT :
 Artinya : Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan

oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di


Jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap
butir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Maha luas (kurniaNya) lagi Maha Mengetahui.
 3.Adanya Kesempatan dan Sistem yang Rapuh
 Seseorang melakukan tindak pidana korupsi salah
satunya adalah disebabkan adanya kesempatan dan
peluang serta didukung oleh sistem yang sangat
kondusif untuk berbuat korupsi. Adanya kesempatan
dan peluang itu antara lain adalah dalam bentuk
terbukanya kesempatan dan peluang untuk berbuat
korupsi karena tidak adanya pengawasan melekat dari
atasannya dan terkadang justru atasannya
mengharuskan seseorang untuk berbuat korupsi.
 Atau bisa dalam bentuk sistem penganggaran yang
memang mengharuskan seseorang berbuat korupsi
seperti diperlukannya uang pelicin untuk menggolkan
anggaran kegiatan, atau dalam bentuk lain
diperlukannya uang setoran kepada atasan di akhir
pelaksanaan kegiatan.
 4.Mentalitas yang rapuh
 Mentalitas ataupun sikap mental yang rapuh adalah

disebabkan pengetahuan dan pengamalan agama yang


kurang, disamping penyebab-penyebab lainnya. Apabila
pengetahuan dan pengamalan agama seseorang baik,
maka dapat dipastikan bahwa sikap mental orang tersebut
akan baik, namun demikian tidak semua yang bermental
baik berarti memiliki pengetahuan dan pengamalan agama
yang baik, sebab masih banyak penyebab-penyebab
lainnya yang menyebabkan seseorang bermental baik.
 Perlu diketahui bahwa faktor mentalitas ini adalah

merupakan faktor yang paling dominan yang menyebabkan


terjadinya korupsi, sebab dalam kenyataannya yang
melakukan peraktek korupsi itu biasanya yang paling
tinggi jabatannya, disamping yang mempunyai peluang
dan kesempatan untuk melakukannya.
 5.Faktor Ekonomi / Gaji Kecil
 Faktor ekonomi / gaji kecil ditengarai adalah salah satu

faktor penyebab orang melakukan korupsi, sebab bagaimana


mungkin seseorang tidak melakukan korupsi, sementara
gajinya relatif kecil, kebutuhannya banyak, dan dia mengelola
uang. Sebagaimana diketahui bahwa gaji Pegawai Negeri Sipil
di Indonesia adalah merupakan salah satu gaji terendah di
dunia dan jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan
negara tetangga Singapura dan Malaysia, akibatnya untuk
mencari tambahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
dan kebutuhan anak-anak sekolah, maka dicarilah jalan
pintas dengan mengambil uang negara secara tidak sah
(melawan hukum).
 Hal ini sepintas kilas dapat dibenarkan, tetapi karena yang

melakukannya hampir semua orang yang mempunyai


kesempatan dan peluang, maka keuangan negara habis
dikorupsi orang-orang tertentu untuk selanjutnya dinikmati
oleh orang-orang tertentu pula.
 6.Faktor Budaya
 Adalah sebuah kebiasaan bagi kita orang Indonesia

bahwa setiap seseorang menjadi pejabat tinggi dalam


sebuah pemerintahan, maka yang bersangkutan akan
menjadi sandaran dan tempat bergantung bagi
keluarganya, akibatnya dia diharuskan melakukan
perbuatan korupsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan keluarganya tersebut, apalagi permintaan
akan kebutuhan itu datang dari orang yang sangat
berpengaruh bagi dirinya seperti mamak umpamanya.
 Selain daripada itu dalam budaya kita akan dianggap

bodoh seseorang manakala dia tidak mempunyai apa-


apa di luar penghasilannya, sementara dia menduduki
suatu jabatan penting, akibatnya dipaksa untuk
melakukan korupsi.
 7.Faktor Kebiasaan dan Kebersamaan
 Peraktek korupsi sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi yang
mempunyai peluang dan kesempatan melakukannya,
ditambah lagi peraktek korupsi ini telah dilakukan oleh
banyak orang, dan bahkan dilakukan secara berjamaah.
Akibatnya peraktek ini menjadi kebiasaan yang tak perlu
diusik dan diutak-atik.
 Akhirnya terjadilah pembiasaan terhadap yang salah, padahal
seharusnya kita membiasakan yang benar dan bukan
membenarkan yang biasa apalagi perbuatan yang salah itu
merugikan dan menjadi wabah penyakit serius bagi bangsa
Indonesia seperti korupsi. Kebiasaan ini harus dicegah dan
bila perlu dibasmi sampai ke akar-akarnya, sehingga hilang
sama sekali dari bumi Indonesia.
 8.Penegakan Hukum yang Lemah
 Orang tidak kapok melakukan korupsi secara berulang-
ulang, salah satu penyebabnya adalah karena tidak
adanya sanksi hukum yang jelas yang diberikan kepada
pelaku korupsi, padahal hukuman terhadap mereka
telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tetapi karena penegakan
hukumnya lemah, ditambah dengan aparat penegak
hukumnya juga pelaku korupsi, maka pelaku korupsi
tadi tidak merasa jera dengan perbuatannya dan bahkan
semakin menjadi-jadi, akibatnya menjadi sebuah
kebiasaan yang sulit dihindari apalagi untuk dihentikan.
 9.Hilangnya Rasa Bersalah
 Seorang koruptor tidak merasa bersalah atas perilakunya memakan uang
negara, sebab dia merasa bahwa korupsi tidak sama dengan mencuri.
Baginya korupsi berbeda dengan mencuri. Orang seperti ini sering
berdalih, kalau yang dirugikan itu negara maka negara tidak bisa bersedih
apalagi menangis, apalagi saya ini termasuk bahagian dari negara. Kalau
yang dicuri uang rakyat, maka rakyat yang mana ? sebab saya sendiri juga
adalah rakyat, hal itu berarti bahwa saya juga mencuri uang saya sendiri.
 Akibatnya para pelaku korupsi itu tidak pernah merasa bersalah atas
perbuatannya, padahal kalaulah ia merasa bersalah atas perbuatannya
maka besar kemungkinan ia akan mengembalikan uang yang
dikorupsinya itu atau minimal dia tidak akan mengulangi lagi
perbuatnnya di kemudian hari. Perasaan hilangnya rasa bersalah atau
tidak punya rasa malu ini, harus ditumbuh kembangkan lagi, sehingga
menjadi bahagian dari hidup ataupun menjadi budaya bangsa. Namun
inilah yang sudah hilang dari diri bangsa ini.
 10.Hilangnya Nilai Kejujuran
 Nilai kejujuran adalah merupakan satu asset yang sangat

berharga bagi seseorang yang beriman dan bertaqwa


kepada Allah SWT, sebab kejujuran akan mampu menjadi
benteng bagi seseorang untuk menghindari perbuatan-
perbuatan munkar seperti perbuatan korupsi ini.
 Hanya saja memang harus diakui bahwa nilai-nilai

kejujuran telah hilang dari pelaku-pelaku korupsi itu.


Oleh karena itulah maka sejak kecil dalam rumah tangga
sudah harus ditanamkan nilai-nilai kejujuran kepada
anak-anak sesuai dengan hadis Nabi, Katakanlah yang
benar itu walau pahit sekalipun.
 11.Sikap Tamak dan Serakah
 Sikap tamak dan serakah adalah merupakan dua sikap yang sering
menjerumuskan ummat manusia ke jurang kehinaan dan
keghancuran sebab kedua sikap ini mengantar manusia kepada
sikap tidak pernah merasa puas dan tidak pernah merasa cukup
sekalipun harta yang telah dimilikinya sudah melimpah ruah. Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran :
 Artinya : Bagi orang-orang yang memenuhi seruan TuhanNya,
(disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak
memenuhi seruan Tuhan, sekiranya mereka mempunyai semua
(kekayaan) yang ada di bumi, dan ditambah sebanyak isi bumi itu
lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan
kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang
buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahannam dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.
 12.Ingin Cepat Kaya, Tanpa Usaha dan Kerja Keras
 Korupsi cepat tumbuh da berkembang biak dengan pesat
adalah disebabkan sikap manusia yang ingin cepat
mendapatkan kekayaan, tanpa melalui usaha dan kerja
keras, akibatnya korupsi menjadi pilihan utama untuk
dilaksanakan, sebab pekerjaan korupsi tidak memerlukan
kerja keras dan tidak memerlukan waktu lama. Dalam
sekejap seseorang bisa cepat kaya dan mendapat harta
yang berlimpah ruah, hanya dengan melakukan korupsi.
Korupsi nampaknya menjadi jalan pintas untuk
mendapatkan harta kekayaan yang berlimpah, padahal
dalam konsep agama Islam, untuk mendapatkan harta
kekayaan haruslah melalui kerja keras dan halal.
 13.Terjerat Sifat Materialistik, Kapitalistik dan Hedonistik
 Materialistik, Kapitalistik dan hedonistik adalah tiga sifat yang siap
siaga mengantarkan ummat manusia untuk menghalalkan segala
macam cara agar mendapatkan harta yang berlimpah. Harta yang
berlimpah inipun tidak pernah merasa puasa dan cukup, selalu
kehausan dan kekurangan setiap saat.
 Sudah punya mobil satu maka ingin punya mobil dua, sudah punya
mobil dua maka iapun berhasrat untuk memiliki tiga dan seterusnya,
akibatnya apapun dilakukan untuk mendapatkannya termasuk di
dalamnya dengan melakukan korupsi yang jelas-jelas
menyengsarakan rakyat dan negara. Oleh karena itulah maka Nabi
memperingatkan kepada yang haus akan harta melalui sabda beliau :
 Artinya : Rasulullah SAW bersabda, : Celakah hamba dinar dan hamba
dirham, hamba permadani, dan hamba baju. Apabila ia diberi maka
ia puas dan apabila ia tidak diberi maka iapun menggerutu kesal.
KORUPSI MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM
Definisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No.
31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30
bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal
tersebut menerangkan secara terperinci
mengenai perbuatan yang bisa dikenakan
sanksi pidana karena korupsi
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang
sudah dijelaskan diatas, masih ada tindak
pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31
Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis
tindak pidana yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi itu adalah:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara
korupsi
2. Tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar.
3. Bank yang tidak memberikan keterangan
rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan palsu
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak
memberikan keterangan atau memberikan
keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor
Pasal-pasal berikut dibawah ini dapat dikaitkan
dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan
barang dan jasa pemerintah.
Melawan Hukum untuk Memperkaya Diri Pasal 2 UU
No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
1) Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)..
(2). Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan. Rumusan korupsi pada Pasal
2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun
1971. Perbedaan rumusan terletak pada
masuknya kata ”dapat” sebelum unsur
”merugikan keuangan/perekonomian negara”
pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan
saat ini, pasal ini termasuk paling banyak
digunakan untuk memidana koruptor.
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan
termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus
memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang atau korporasi;
2. Melawan hukum;
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau
suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Menyalahgunakan Kewenangan
Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau 6 denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Menyuap Pegawai Negeri
Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pemborong Berbuat Curang
Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001: (1) Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus
lima puluh juta rupiah)
Pegawai Negeri Menerima Hadiah/Janji Berhubungan
dengan Jabatannya Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001: Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00
(dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya.
Pegawai Negeri Memeras dan Turut Serta
Dalam Pengadaan Diurusnya Pasal 12 UU No.
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: 9
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)
Gratifikasi dan Tidak Lapor KPK
Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut::
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;; b. yang nilainya
kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda 10 paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

Anda mungkin juga menyukai