Anda di halaman 1dari 23

ETIKA DAN HUKUM

KESEHATAN
“Peraturan Dan Perundang Undangan
Yang Mendasari Praktik Kebidanan”

KELO
MPO
K 14
Disusun Oleh :
1. Rizca Casi Widowati 1810630100023
2. Mira Nurmalasari 1810630100027
3. Hikmah Febriana 1810630100036
“PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2012
TENTANG PEMBERIAN ASI
EKSKLUSIF”
Bab 1
“Ketentuan Umum”
( Pasal 1 )
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 bulan,
tanpa menambah dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain
( Pasal 2 )
Pengaturan pemmberian ASI eksklusif bertujuan untuk :
a.Menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif
b.Memberikan perlindungan terhadap ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya
c.Meningkatkan peran dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah dan
pemerintah terhadap pemeberian ASI eksklusif.
Bayi adalah anak dari baru lahir sampai berusia 12 bulan
Susu formula bayi adalah susu yang secara khusus di formulasikan sebagai pengaganti ASI
untuk bayi sampai usia 6 bulan
Bab 3
“ASI EKSKLUSIF”
( Pasal 6 )
Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya
( Pasal 7 )
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 tidak berlaku dalam hal terdapat :
a.Indikasi medis
b.Ibu tidak ada
c.Ibu terpisah dari bayi
( Pasal 9 )
Nakes dan penyelenggara Yankes wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang
baru lahir kepada ibunya paling singkat selama satu jam
( Pasal 13 )
1. Untuk mencapai pemanfaat pemebrian ASI eksklusif secara optimal, tenaga kesehatan
dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan informasi dan
edukasi ASI Eksklusif kepada ibu dan keluarga sejak pemeriksaan kehamilan sampai
dengan periode pemberian ASI eksklusif selesai
2. Informasi dan edukasi paling sedikit mengenai :
a.Keuntungan dan keunggulan pemberian ASI
b.Gizi ibu, persiapan dan mempertahankan menyusui
c.Akibat negatif dari pemberian makanan botol secara parsial terhadap pemberian ASI
d.Kesulitan untuk mengubah kesputusan untuk tidak memberikan ASI

( Pasal 14 )
1. Setiap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang
berwenang berupa : teguran lisan, teguran tertulis, dan/atau pencabutan izin
2. Setiap penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan dikenakan sanksi
administratif oleh pejabat yang berwenang berupa teguran lisan, dan atau teguran tertulis
3. Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan menteri
Bab 4
Penggunaan Susu Formula Bayi Dan Produk Bayi Lainnya
( Pasal 17 dan Pasal 18 )
4. Setiap tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang memberikan susu formula
bayi dan/atau produk bayi lainnya yang menghambat program pemberian ASI eksklusif kecuali diperuntukkan
dalam pasal 7
5. Setiap tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dailarang menerima dan
mempromosika susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI
Eksklusif
Bab 5
Tempat Kerja Dan Tempat Sarana Umum
( Pasal 34 )
Pengurus tempat kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif
kepada bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja
Bab 6
Dukungan Masyarakat
( Pasal 37 )
Masyarakat harus mendukung keberhasilan program pemberian ASI eksklusif baik secara perorangan, kelompok,
maupun organisasi
Bab 7
Pendanaan
( Pasal 38 )
Pendanaan program pemberian ASI eksklusif dapat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara,
daerahatau sumberlain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan
Bab 8
Pembinaan Dan Pengawasan
( Pasal 39 )
Menteri, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah non kementerian, gubernur, dan bupati atau walikota melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program pemberian ASI eksklusif sesuai dengan tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing
“PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 97 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN MASA
SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA
SESUDAH MELAHIRKAN, PENYELENGGARAAN PELAYANAN
KONTRASEPSI, SERTA PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL”
BAB 1
(Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil)
Pasal 1
Audit Maternal Perinatal adalah serangkaian kegiatan penelusuran sebab kematian atau kesakitan ibu,
perinatal dan neonatal guna mencegah kesakitan atau kematian serupa di masa yang akan datang.
Pasal 2
Tujuan Audit Maternal Perinatal :
a. menjamin kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas;
Pasal 3
Pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota menjamin ketersediaan sumber daya
kesehatan, sarana, prasarana, dan penyelenggaraan
Pasal 4
Pelayanan Kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilaksanakan secara menyeluruh terpadu dan berkesinambungan, Serta dilakukan sesuai standard.
BAB II
PELAYANAN KESEHATAN MASA SEBELUM HAMIL, MASA HAMIL, PERSALINAN, DAN MASA
SESUDAH MELAHIRKAN
Bagian Kesatu Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil
Pasal 5
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil dilakukan untuk mempersiapkan perempuan dalam menjalani
kehamilan dan persalinan yang sehat dan selamat serta memperoleh bayi yang sehat
Pasal 6
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan gizi
Pasal 7
Pemeriksaan penunjang
Pasal 8
Pemberian imunisasi dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap penyakit Tetanus.
Pasal 9
Pemberian suplementasi gizi bertujuan untuk pencegahan anemia gizi.
Pasal 11
Materi pemberian komunikasi informasi dan edukasi dilakukan sesuai tahap perkembangan mental dan kebutuhan.
Bagian kedua
(Pelayanan Kesehatan Masa Hamil)
Pasal 12
Bertujuan untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga
mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat dan
berkualitas.
Pasal 13
Pelayanan Kesehatan Masa Hamil dilakukan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali selama masa kehamilan
yang dilakukan:
a. 1 (Satu) kali pada trimester pertama;
b. 1 (Satu) kali pada trimester kedua; dan
c. 2 (Dua) kali pada trimester ketiga
Bagian Ketiga
(Persalinan)
Pasal 14
(1) Persalinan harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 15
(1) Pelayanan Kesehatan Masa Sesudah Melahirkan meliputi:
a. pelayanan kesehatan bagi ibu; dan
b. pelayanan kesehatan bayi baru lahir.
Pasal 16
(1) Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) huruf g
bertujuan untuk menjaga jarak kehamilan berikutnya atau membatasi jumlah anak yang dilaksanakan
dalam masa nifas
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan
Masa Sesudah Melahirkan
BAB III
PENYELENGGARAAN PELAYANAN KONTRASEPSI
Pasal 18
(1) Penyelenggaan Pelayanan Kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari
segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan.
Pasal 19
(1) Pergerakan pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dilakukan
sebelum pelayanan sampai pasangan usia subur siap untuk memilih metode kontrasepsi.
Pasal 20
(1) Pemberian atau pemasangan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b harus
didahului oleh konseling dan persetujuan tindakan medik (Informed Consent).
Pasal 21
Penanganan terhadap efek samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) huruf c dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat berupa konseling, pelayanan sesuai standar, dan/atau rujukan ke
fasilitas pelayanan kesehatan lanjutan
Pasal 22
Pilihan metode kontrasepsi yang dilakukan oleh pasangan suami istri harus mempertimbangkan usia, paritas, jumlah
anak, kondisi kesehatan, dan norma agama.
Pasal 23
Metode kontrasepsi
Pasal 24
Kontrasepsi darurat diberikan kepada ibu tidak terlindungi kontrasepsi atau korban perkosaan untuk mencegah
kehamilan
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
( PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL)
Pasal 26
Pelayanan Kesehatan Seksual diberikan agar setiap perempuan menjalani kehidupan seksual dengan pasangan yang sah
Pasal 27
1) Pelayanan Kesehatan Seksual dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat lanjutan.
Pasal 28
1) Pelayanan Kesehatan Seksual yang dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dilakukan dalam
bentuk:
a. keterampilan sosial;
b. komunikasi, informasi, dan edukasi;
c. konseling;
Pasal 29
1) Pelayanan seksual dalam bentuk keterampilan sosial, komunikasi, informasi, dan edukasi, serta konseling merupakan
pelayanan seksual dasar yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih.
BAB V
(DUKUNGAN MANAJEMEN)
Bagian kedatu
Pencatatan dan Pelaporan
Pasal 30
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan ibu harus melakukan
Pencatatan dan Pelaporan sesuai dengan mekanisme yang berlaku
Bagian Kedua
Surveilans Kesehatan Ibu dan Anak
Pasal 31
Surveilans Kesehatan Ibu dan Anak merupakan kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian atau masalah kesehatan ibu dan anak
Pasal 32
Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam meliputi:
a. pelayanan kesehatan ibu dan anak;
b. kelahiran bayi;
c. kesakitan ibu dan anak; dan
d. kematian ibu dan anak.
Pasal 33
1) Pemantauan wilayah setempat dilakukan melalui kegiatan mengumpulkan, mengolah, menganalisis dan
menginterprestasi data serta menyebarluaskan informasi ke penyelenggara program dan pihak terkait untuk tindak
lanjut.
Pasal 34
(1) Audit maternal perinatal dilakukan terhadap setiap kasus kematian dan kesakitan ibu masa hamil, persalinan, dan
masa sesudah melahirkan, dan bayi baru lahir.
Pasal 35
Respon tindak lanjut dilakukan berdasarkan hasil analisis dan interpretasi pemantauan wilayah setempat dan audit
maternal perinatal melalui menyebarluaskan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait untuk
tindak lanjut
Bagian Ketiga
Penyeliaan Fasilitatif
Pasal 36
(1) Dalam rangka pembinaan, penjagaan mutu, dan perencanaan terhadap pelayanan kesehatan ibu, dilakukan
supervisi dalam bentuk penyeliaan fasilitatif.
Pasal 37
(1) Dalam rangka Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu, dilakukan Perencanaan Percepatan Penurunan Angka
Kematian Ibu yang dilakukan secara terpadu.
Pasal 38
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Terpadu merupakan kegiatan pelayanan kesehatan yang mengintegrasikan semua
pelayanan kesehatan dalam lingkup kesehatan reproduksi
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pencatatan dan pelaporan, Surveilans
BAB VI
SUMBER DAYA KESEHATAN
Bagian Kesatu Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 40
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan Pelayanan Kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil,
persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual
sesuai dengan standar.
Pasal 41
(1) Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama wajib mampu melakukan upaya promotif, preventif, stabilisasi kasus
dan merujuk kasus yang memerlukan rujukan.
Pasal 42
(1) Sumber daya manusia dalam pelayanan Kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah
melahirkan, dan penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, meliputi tenaga kesehatan dan tenaga nonkesehatan.
Pasal 43
(1) Tenaga nonkesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa
sesudah melahirkan, dan penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, merupakan tenaga yang terlatih.
Pasal 44
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 harus melakukan penanganan komplikasi meliputi komplikasi:
a. obstetri;
b. penyakit menular dan penyakit tidak menular; dan
c. masalah gizi.
Pasal 45
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan perbekalan
kesehatan
BAB VII
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 46
(1) Dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan ibu yang optimal diperlukan peran serta
masyarakat baik secara perseorangan maupun terorganisasi.
Pasal 47
(1) Program perencanaan persalinan dan pencegahan komplikasi merupakan suatu kegiatan dalam rangka meningkatkan
cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru lahir.
Pasal 48
(1) Penyelenggaraan kelas ibu hamil bertujuan untuk meningkatan pengetahuan dan keterampilan ibu mengenai
kehamilan, persalinan, perawatan nifas, keluarga berencana, perawatan bayi baru lahir dan senam hamil.
Pasal 49
(1) Kemitraan antara bidan dan dukun dapat dilakukan untuk meningkatkan cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 50
(1) Rumah tunggu kelahiran merupakan tempat atau ruangan yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara bagi ibu
hamil dan pendampingnya sebelum maupun sesudah masa persalinan
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi, Penyelenggaraan Kelas
Ibu Hamil, Kemitraan Bidan dan Dukun, serta Rumah Tunggu Kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai
dengan Pasal 50 diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 52
(1) Pendanaan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan,
penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual berasal dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah, masyarakat, swasta dan sumber lain.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 53
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan program pelayanan kesehatan masa
sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, dan
pelayanan kesehatan seksual.
Pasal 54
(1) Pemerintah daerah provinsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan Kesehatan
masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi,
dan pelayanan kesehatan seksual di kabupaten/kota melalui koordinasi, advokasi, monitoring dan evaluasi.
Pasal 55
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
Kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan
kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual diwilayahnya dengan melakukan pelatihan tenaga kesehatan dan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
“PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN
2018 TENTANG PELAYANAN
KEGAWATDARURATAN”
Bab 1
Ketentuan umum
Pasal 1
Pelayanan Kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan
oleh pasien gawat darurat dalam waktu segera
Pasal 2
Acuan Pengaturan pelayanan kegawatdaruratan
Bab 2
Kriteria
Pasal 3
Kriteria kegawatdaruratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;
b. adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;
c. adanya penurunan kesadaran;
d. adanya gangguan hemodinamik; dan/atau
e. memerlukan tindakan segera.
Yang di tetapkan oleh mentri
Bab 3
Pelayanan
Pasal 4
Pelayanan Kegawatdaruratan meliputi penanganan kegawatdaruratan:
a.prafasilitas pelayanan kesehatan;
b.intrafasilitas pelayanan kesehatan; dan
antarfasilitas pelayanan kesehatan.
Pasal 5
Penanganan kegawatdaruratan prafasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a meliputi :
a. tindakan pertolongan; dan/atau
b. evakuasi medik
Pasal 6
Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan penanganan Kegawatdaruratan intrafasilitas pelayanan
kesehatan dan antarfasilitas pelayanan kesehatan
Pasal 7
(2)Penanganan kegawatdaruratan intrafasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikategorikan berdasarkan atas kemampuan pelayanan:
a.sumber daya manusia;
b.sarana;
c.prasarana;
d.obat;
e.bahan medis habis pakai; dan
f.alat kesehatan.
Pasal 8
tindakan rujukan terhadap Pasien dari suatu Fasilitas Pelayanan Kesehatan ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain yang
lebih mampu
Pasal 9
Pelayanan Kegawatdaruratan intrafasilitas pelayanan kesehatan dilakukan di:
a.ruang pelayanan Gawat Darurat atau ruang tindakan untuk Puskesmas, Klinik, dan tempat praktik mandiri Dokter,
Dokter Gigi, serta tenaga kesehatan; dan
b.Instalasi Gawat Darurat (IGD) untuk Rumah Sakit.
Pasal 10
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan
Pelayanan Kegawatdaruratan harus memiliki:
a.sumber daya manusia; dan
b. sarana, prasarana, obat dan bahan medis habis pakai, dan alat kesehatan.
Pasal 11
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.Dokter;
b.Dokter Gigi;
c.perawat; dan/atau tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan.
Pasal 12
Tanggung jawab dokter atau dokter gigi dalam pelayanan kegawat daruratan.
Pasal 13
Sarana, prasarana, obat dan bahan medis habis pakai, dan alat kesehatan dipenuhi berdasarkan standar masing-masing
jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelayanan Kegawatdaruratan
Bab IV
Pembinaan dan pengawasan
Pasal 15
Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh menteri, gubernur, wali kota dilaksanakan melalui monitoring dan evaluasi
dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan pemantauan langsung
Bab V
Ketentuan penutup
Pasal 16
Peraturan Menteri mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Anda mungkin juga menyukai