PERUNDANG-UNDANGAN Purnadi Purbacaraka dkk (1979) menyebutkan terdapat enam asas peraturan perundang-undangan yang terdiri :
1. Undang-undang tidak berlaku surut;
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang- undang yang bersifat umum (Lex specialis derograt lex general); 4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang- undang yang berlaku kemudian (Lex posteriore derograt lex priori); 5. Undang-undang tidak dapat diganggu-gugat; 6. Undang-undang sebagai sarana semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan sepiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat). Amiroeddin Syarif (1987, hlm. 74) dalam bukunya Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya membagi asas peraturan perundang-undangan menjadi lima, yaitu :
1. Asas tingkatan hirarkhis;
2. Undang-undang tidak dapat diganggu-gugat; 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derograt lex general); 4. Undang-undang tidak berlaku surut; 5. Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex posteriore derograt lex priori); Hans Kelsen (1945, hlm. 113) dengan stufentheorie yang berpendapat bahwa :
Norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hirarkhis tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm). Maria Farida Indrati Soeprapto (1998 hlm. 25) mengemukakan bahwa teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa :
Suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah
(das Doppelte Rechtssantlitz), norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai suatu masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicanut atau di hapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya dicabut atau terhapus pula. Dianutnya asas hirarkhis dalam peraturan perundang-undangan mempunyai beberapa konsekuensi, yaitu :
1. Suatu peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi 2. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah hanya dapat dicabut atas kuasa peraturan perundang-undangan yang setingkat atau yang lebih tinggi; 3. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, apabila meterinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka peraturan perundang- undangan tersebut tidak dapat diberlakukan. A. Hamid Attamimi (1990, hlm. 323) mengemukakan beberapa asas pembentukan peraturan perundang- undangan, yaitu :
1. Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple), kalimat-kalimat bersifat
kebesaran dan retorikal hanya merupakan tambahan yang membingungkan; 2. Istilah yang dipilih sedapat mungkin bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan maksud menghilangkan kesempatan yang minim untuk perbedaan pendapat dan individual; 3. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan aktual, menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik; 4. Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang, bahasa hukum bukan latihan logika, malinkan untuk latihan pemahaman yang sederhana dari orang-orang kebanyakan; 5. Hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan, atas pengubahan gunakan semua itu apabila benar-benar diperlukan; 6. Hukum hendaknya tidak bersifat argumentatif/dapat diperdebatkan; 7. Pembantukan hukum harus membawa kemanfaatan praktis dan tidak menggoyahkan sendi-sendi dasar, keadilan dan hakekat permasalahan. Baharudin Lopa (1996) menegaskan bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus diperhatikan bebarapa hal, yaitu :
• Peraturan perundang-undangan tersebut harus ditujukan untuk
kepentingan dan kemakmuran rakyat; • Peraturan perundang-undangan itu harus demokratis, artinya pembentukannya harus menyertakan partisipasi masyarakat; • Rumusannya tidak bersifat multi interptretasi; • Peraturan-perundang-undangan tersebut tidak boleh diskriminatif, artinya harus memberikan peluang yang sama kepada seluruh rakyat dan tidak hanya untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok masyarakat. A. Hamid Attamimi (1990, hlm. 371) membagi asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi dua, yaitu :
1. Asas formal yang meliputi :
a. asas tujuan yang jelas b. asas perlunya pengaturan; c. asas materi muatan yang tepat; d. asas dapatnya dilakukan; e. asas dapatnya dikenali. 2. Asas material yang meliputi : a. asas sesuai dengan cita hukum Indonesia; b. asas sesuai dengan hukum dasar negara; c. asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan d. asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi. Dalam pembuatan peraturan perundang- undangan termasuk di dalamnya perda dan keputusan kepala daerah harus memiliki tiga landasan, yaitu landasan filosofis (filosofiche grondslag), landasan sosiologis (sociologische grondslag) dan landasan yuridis (juridische grondslag). LANDASAN FILOSOFIS
Landasan filosofis tidak lain adalah berisi nilai-nilai moral
atau etika dari suatu bangsa tersebut. Rosjidi Ranggawidjaja (1998, hlm. 43) mengatakan bahwa moral dan etika pada dasarnya nilai-nilai yang baik dan tidak baik, nilai-nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi. Di dalamnya ada nilai-nilai kebenaran keadilan, kesusialaan dan berbagai nailai lainnya yang dianggap baik. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikayakan bahwa landasan filosofis peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak lain adalah Pancasila yang memuat sila-sila yang merupakan pandangan hidup bangsa . Dengan perkataan lain dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus menjiwai semangat dalam setiap peraturan perundang-undangan. LANDASAN SOSIOLOGIS
Landasan sosiologis menurut Bagir Manan (1992, hlm. 15)
menyatakan bahwa hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam masyarakat. Walaupun demikian tidak berarti bahwa apa yang ada pada suatu saat dan dalam suatu masyarakat, akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).
Memperhatikan hal tersebut, maka sebenarnya yang dimaksud
bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan sosiologis, artinya bahwa produk hukum tersebut harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang diakui kebenarannya dan yang mendorong masyarakat untuk mempertahankannya. Landasan yuridis Bagir Manan (1992, hlm. 14) menyatakan bahwa landasan yuridis sangat penting dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan karena akan menunjukkan :
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang; 2. Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat; 3. Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Keharusan tidfak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaedah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusntya sampai pada peraturan perundang- undangan tingkat lebih bawah.