Anda di halaman 1dari 13

LATAR BELAKANG

Fenomena mengenai perubahan mode produksi, pergantian jenis tanaman,


pembangunan sarana-prasarana untuk aktivitas ekonomi dan penyusunan
birokrasi lokal inilah yang sekiranya ditetapkan atau dinilai oleh tim peneliti
sebagai satu gejala perubahan sosial yang terjadi di Nusantara pada masa
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Perubahan sosial serta berbagai
perkembangan dan dampaknya, secara kasat mata dapat dirasakan pada
wilayah-wilayah centra industri seperti di Pulau Jawa, Pulau Jawa menjadi
wilayah yang sangat masif menerima perkembangan dan dampak dari
perubahan yang mendasar tersebut.
Adalah wilayah Cipanas-Bogor sebagai salah satu mata rantai paling ujung
dibagian barat dari daerah Priangan yang terkena dampak langsung dari
perubahan-perubahan secara mendasar dalam aspek sosial-ekonomi. Selain
karena letaknya yang dekat dengan Batavia (pusat pemerintahan kolonial),
sebagai pusat penelitian dan pengkajian tanaman komoditi perdagangan
masa kolonial (dalam bentuk lab biologi kebun raya Bogor), dan salah satu
sentra industri perkebunan Teh di wilayah Jawa bagian barat pada era
kolonial. Sebagai wilayah yang berada didaerah pedalaman (hinterland), dan
memiliki konstruk geografis yang cukup baik untuk ditanami tanaman
komoditi perdagangan, di wilayah Bogor sempat berdiri industri semacam
teh, karet dan kelapa sawit.
Tahun 1905 ditetapkan dengan pertimbangan
pada tahun tersebut wilayah Bogor ditetapkan
sebagai Gemeente, sebuah konsep tata
pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengelola daerahnya sendiri.
Sementara itu tahun 1960 menjadi akhir
pembahasan dengan pertimbangan, bahwa pada
tahun tersebut Indonesia memasuki sebuah
sistem ekonomi sosial dan politik yang baru.
Periode ini menandai kota-kota di Indonesia
mulai mendapatkan kooptasi yang amat besar
dari penguasa dengan mengatasnamakan
pembangunan yang menghasilkan realitas yang
berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ekonomi Perkebunan (Industri Perkebunan Teh) dan Ekonomi Pribumi di Bogor Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda
Awal pengusahaan tanaman teh oleh VOC, dilakukan setelah cukup lama tanaman teh
diperkenalkan oleh Andreas Clyer, dimana pada tahun 1824 pemerintah kolonial menugaskan
perwakilannya di Jepang untuk membawa bibit-bibit teh untuk ditanam dan diproduksi di Hindia-
Belanda. Usaha tersebut dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk menghilangkan ketergantungan
terhadap komoditi perdagangan teh dari Jepang dan negeri-negeri lain yang menghasilkan teh.
Usaha penanaman teh oleh pemerintah kolonial di Jawa, khususnya di wilayah Bogor
merupakan pertanda begesernya kebijakan ekonomi kolonial di Nusantara. Ekonomi produksi
mengeser kebijakan ekonomi monopoli perdagangan, semntara itu di sisi lain untuk mendukung
kebijakan tersebut, pemerintah kolonial menyiapkan infrastruktur lainnya seperti: 1. Pendirian
perusahaan yang fokus untuk mengelola industri perkebunan teh; 2. Menyiapkan bibit-bibit teh yang
akan ditanam; 3. Menyiapkan sumber daya manusia (pekerja) untuk mengelola dan mengolah
perkebunan teh. Meskipun sudah menunjuk dan mempersiapkan perusahaan yang akan mengelola
industri teh di Jawa, akan tetapi penguasaan industri tersebut masih dikuasai (monopoli) oleh
pemerintah kolonial, bukan oleh sektor swasta.
Masyarakat Jawa Barat, khususnya yang berada di wilayah Priangan (Bogor) merupakan
bentuk masyarakat yang yang memiliki model mata pencaharian dengan berladang. Secara umum
masyarakat yang menggunakan model sistem mata pencaharian dengan model berladang ini dapat
dijumpai disekitar wilayah Priangan, dimana model mata pencaharian ini tidak memerlukan sumber
daya manusia yang banyak dalam melakukan aktivitas produksinya, selain itu sistem mata
pencaharian dengan berladang juga kerap berpindah-pindah, sesuai dengan tingkat kesuburan dan
waktu tanam
Keadaan Ekonomi di Bogor Pada Masa Krisis Ekonomi 1930 Hingga Masa Akhir
Pemerintahan Kolonial Belanda
Perubahan mendasar dalam aspek sistem ekonomi di Jawa, dari mode ekonomi subsistem menuju
industrialisasi, memberikan dampak kepada masyarakat di Jawa, khususnya di Jawa Barat dalam skala
yang besar dan luas. Perubahan yang tidak hanya terjadi dalam aspek eknomi sebagai konsekuensi dari
peralihan mode produksi, akan tetapi juga meluas hingga aspek sosial, budaya hingga politis. Pada sub-
bagian ini, peneliti akan memberikan deskripsi mengenai respon serta adaptasi yang dilakukan oleh
masyarakat pribumi diwilayah Cipanas-Bogor, dalam fase industrialisasi perkebunan yang dikuasai oleh
sektor swasta.
Keberadaan perkebunan teh ditengah masyarakat Cipanas-Bogor, sesungguhnya bukanlah hal yang
baru pada medio awal abad ke-20, akan tetapi perkebunan dengan orientasi swastanisasi merupakan hal
yang cukup memberikan pengaruh yang besar pula bagi masyarakat yang berada di Cipanas-Bogor.
Selain angka jumlah perusahaan perkebunan swasta yang meningkat, keberadaan industri perkebunan
teh, dapat menjadi jalan bagi para penduduk Cipanas-Bogor untuk mendapatkan tambahan pendapatan
rumah tangga mereka.
Tambahan pendapatan tersebut di dapatkan masyarakat, khususnya kelompok ibu-ibu rumah
tangga yang menjadi pekerja pemetik daun teh di perkebunan. Dengan semakin banyaknya lahan
perkebunan yang dibuka, maka semakin memberikan ruang akomodasi terhadap kelompok ibu-ibu
rumah tangga untuk membantu ekonomin keluarga mereka. Selain itu dengan ditopang oleh masa-
masa kejayaan dari perdagangan teh di Hindia-Belanda, pemasukan mereka menjadi bertambah, karena
juga diiringi oleh kenaikan jumlah upah mereka.
Kehidupan Petani Bogor Masa Penjajahan Jepang
Masuknya imperium Jepang ke tanah Jawa, khususnya di wilayah Jawa Barat, sejatinya mengubah hampir
seluruh kebijakan yang pernah dilakukan dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini tidak lain
karena didasari atas situasi yang mendorong, yakni masa-masa perang di wilayah Asia Pasifik. Situasi perang
yang sedang berkecamuk dan terdorong oleh pemenuhan kebutuhan barang-barang untuk proses peperangan,
membuat pemerintahan imperium Jepang, membuat desain kebijakan yang cukup berbeda dengan penjajah
sebelumnya. Jika sebelumnya pemerintah kolonial membangun pondasi ekonomi yang dioerintasikan untuk
menopang industri perkebunan sebagai profit eriented, maka pada masa penguasaan imperium Jepang, pondasi
ekonomi diletakkan dalam menopang kebutuhan perang. Hal ini yang akan memberikan perbedaan dalam
wilayah teknis dan penerapan kebijakannya di lapangan.
Kebijakan ekonomi pemerintahan Jepang yang prioritas di wilayah Bogor ialah usaha produksi beras,
tanaman jarak dan rami merupakan kebijakan yang paling fundamental dalam rangka mengeksploitasi potensi
ekonomi dari daerah Bogor. Hal ini tidak lain karena jenis-jenis tumbuhan tersebut (Padi, Jarak dan Rami)
merupakan komoditi tanaman yang mampu ditanam dan dikelola diwilayah Bogor. Khususnya beras, petani di
Bogor dikenakan kebijakan untuk menanam padi secara besar-besaran dan diwajibkan pula untuk menyetor
hasil penanaman padi kepada pemerintah Jepang dengan kompensasi pembayaran yang sangat rendah.
Penyerahan wajib tanaman padi milik para petani kepada pemerintahan imperium Jepang, dalam
perkembangan dan perjalanannya telah memberikan dampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan masyakat
di wilayah Bogor. Fenomena kekurangan asupan bahan makanan, hingga kelaparan menjadi fenomena yang
umumnya terjadi di pulau Jawa pada masa penguasaan pemerintahan imperium Jepang. Fenomena
kekuarangan pangan hingga kelaparan tersebut, bukan hanya dipicu oleh upaya eksploitasi hasil produksi yang
dilakukan oleh pemerintahan imperium Jepang semata. Perubahan orientasi tanaman komoditi, pengenalan
bibit baru, hingga pengenalan teknik menanam tanaman yang cukup baru, membuat kelompok petani
menghadapi perubahan dan ketidakpastian yang tidak menentu
PABRIK DAN PERKEBUNAN TEH DULU DAN SEKARANG

Employé-woning Tjisaroewa temidden van thee-aanplant bij


Buitenzorg (1910) ()

AFDELING GUNUNG MAS


AFDELING CIMULANG

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (SEKARANG)

PERKEBUNAN TEH (MASA KOLONIAL)


FOTO BURUH PERKEBUNAN
LUARAN
1. Artikel yang akan diseminarkan pada SENARI
(Seminar Nasional Riset Inovatif) ke- 5 yang
diselenggarakan oleh Universitas Pendidikan Ganesha
Bali pada tanggal 18 November 2017. (Proses:
menunggu pengumuman full paper yang diterima
pada tanggal 24 Oktober). Akan dipublikasikan dalam
jurnal Undiksha terindeks DOAJ, EBSCO, Indeks
Copernicus, SINTA dan Google Scholar.
2.Buku Ajar dengan judul “Adaptasi Kehidupan
Ekonomi Petani Di Bogor 1905-1960an”
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
1. Tim peneliti mengarahkan orientasi kepada
pendalaman mengenai pengaruh keberadaan
perkebunan dan dampaknya secara ekonomis
terhadap kehidupan ekonomi rumah tangga petani.
2. Pendalaman lainnya adalah mengenai jenis komoditi
perkebunan apa yang memiliki tingkat pengelolaan
dan pengawasan yang cukup mudah. Jenis tanaman
komoditi perkebunan tersebut adalah tanaman karet,
dimana jenis tanaman ini hanya membutuhkan
proses pengawasan setelah fase penanamannya
(tanaman karet).
3. Melakukan proses narasi dan analisis lebih mendalam
mengenai faktor-faktor serta sebab-sebab yang
ditimbulkan, dari budidaya dan penanaman tanaman
karet di wilayah Bogor, khususnya di Afdeling Cimulang
sebagai basis utama penanaman dan budidaya karet.
4. Sedangkan untuk luaran tahapan publikasi dan
diseminasi hasil penelitian, tim peneliti akan
memaparkan hasil penelitian ini dalam forum seminar
nasional yang dibuktikan dengan luaran proshiding dan
disertai dengan terpublikasikannya hasil penelitian ini
dalam jurnal bereputasi nasional yang ada di
Universitas Negeri Malang (Jawa Timur).
Sekian dan Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai