Anda di halaman 1dari 34

FARMAKOLOGI

TOKSIKOLOGI 3
1. Aqsalam Ismail G70118015
2. Nur Asita G70118042
3. Nur Hidayah G70118070
4. Fitri Anggun Solehah Marzuki. G70118085
5. Indah Syafirah Djumaan G70118136
6. Fatima Siti Khomairah G70118138
7. Sinar Wahyuni G70118141
8. Isnaini Safitri Kambea G70118143
9. Samaal Mallisa G70118160

INTRODUCTION
DEFINISI
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh fungi atau bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau
menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen, sedangkan
toksisitasnya bagi
manusia relatif kecil. Turunan zat-zat
yang dibuat secara semi sintesis tersebut
juga termasuk kelompok antibiotik,
begitu pula senyawa sintesis dengan
khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja,
2007).
Berdasarkan mekanisme kerjanya antibiotik dibagi
menjadi empat golongan :
Obat yang menghambat sintesis atau merusak
dinding sel bakteri
1. Antibiotik Beta-Laktam
Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai
golongan obat yang mempunyai struktur cincin
beta-laktam. Obat-obat antibiotik beta-laktam
umumnya bersifat bakterisid dan sebagian besar
efektif terhadap organisme Gram-positif dan
negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu
sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat
langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan
yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas
mekanik pada dinding sel bakteri. Obat-obat
yang termasuk golongan beta-laktam dibagi
menjadi empat yaitu:
PENISILIN SEFALOSPORIN
Golongan penisilin Golongan sefalosporin
terdiri atas Penicillin G menghambat sintesis dinding sel
dan Penicillin V, bakteri denan mekanisme serupa
Amoxicillin, dengan penicillin (Sefadroksil,
Ampicillin dan Sefuroksim dan Seftriakson).
Piperasilin.
Monobaktam (beta laktam Inhibitor beta-laktamase
monosiklik) Golongan beta-laktamase,
Golongan monobetalaktam, antara antara lain asam
lain: contohnya golongan klavulanat, Sulbaktam dan
Aztreonam. Karbapenem, Tazobaktam.
merupakan antibiotik lini ketiga
yang mempunyai aktivitas yang
lebih luas daripada sebagian besar
beta-laktam lainnya.
SEFALOSPORIN

Selafosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya (Laras, 2012) :


● 1. Generasi I : aktif pada gram positif,umumnya tidak tahan terhadap beta-laktamase
(cefalotin, cefazolin, cefradin, cefalexin, cefadroksil).
● 2. Generasi II: lebih aktif terhadap kuman gram negatif dan lebih kuat terhadap beta-
laktamase (cefachlor, cefamandole, cefmetazol dan cefuroxime).
● 3. Generasi III: lebih aktif terhadap bakteri gram negatif, meliputi P.aeruginosa dan
bacteriodes (cefoperazone, cefotaxime, ceftizoxime, ceftriaxone, cefixime).
● 4. Generasi IV : bersifat sangat resisten terhadap beta-laktamase (cefpirome dan
cefepime).
2. BASITRASIN
Basitrasin adalah kelompok yang
terdiri dari antibiotik polipeptida yang
terutama adalah basitrasin A.
Basitrasin tersedia dalam bentuk
sediaan topikal dan jarang
menyebabkan hipersensitivitas tetapi
bersifat nefrotoksik bila memasuki
sirkulasi sistemik.
3. VANKOMISIN
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang
terutama aktif terhadap bakteri Gram-positif.
Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi
yang disebabkan oleh S.aureus yang resisten
terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-
negatif dan mikobakteria resisten terhadap
vankomisin. Vankomisin diberikan secara
intravena dengan waktu paruh sekitar 6 jam.
Efek sampingnya adalah reaksi
hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi
serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas
pada dosis tinggi.
Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis
Protein

1. Aminoglikosida (Streptomisin, Neomisin, Kanamisin, Gentamisin,


Tobramisin, Amikasin dan Netilmisin)
2. Tetrasiklin (Tetrasiklin, Doksisiklin, Oksitetrasiklin, Minosiklin dan
Klortetrasiklin).
3. Kloramfenikol
4. Makrolida (Eritromisin, Azitromisin dan Roksitromisin)
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini
menghambat bakteri aerob Gram-negatif. Obat
ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan
toksisitas serius pada ginjal dan pendengaran,
khususnya pada pasien anak dan usia lanjut.
Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas
(auditorik maupun vestibular), blockade neuro
muscular (lebih jarang).

AMINOGLIKOSID
A
Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini
adalah Tetrasiklin, Doksisiklin, Oksitetrasiklin,
Minosiklin, dan Klortetrasiklin. Antibiotik
golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat
menghambat berbagai bakteri Gram-positif,
Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun
anaerob, serta mikroorganisme lain seperti
Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa
spesies mikobakteria.

TETRASIKLIN
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum
luas, menghambat bakteri Gram-positif dan
negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia,
dan Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah
sintesis protein dengan berikatan pada subu
nitribosom 50S. Efek samping: supresi sumsum
tulang, grey baby syndrome, neuritisoptik pada
anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan
timbulnya ruam.
KLORAMFENIKO
L
Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga
dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil
Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten
terhadap makrolida, namun azitromisin dapat
menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin
dapat menghambat H.influenzae, tapi azitromisin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif
terhadap H.pylori. Makrolida mempengaruhi sintesis
protein bakteri dengan cara berikatan dengan subunit 50s
ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi
peptida.

MAKROLIDA
Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-Enzim
Esensial dalam metabolisme Folat.
Trimetoprim dan sulfonamid mempengaruhi metabolisme folat melalui penghambatan kompetitif
biosintesis tetrahidrofolat yang bekerja sebagai pembawa 1 fragmen karbon yang diperlukan untuk
sintesis DNA, RNA dan protein dinding sel.
Menghambat sintesa folat. Mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obatan seperti sulfonamida dan
trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA
(asam para amino benzoat) dan glutamat. Asam folat merupakan vitamin namun pada manusia tidak
dapat mensintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa-
senyawa antimikroba.
Sulfonamid dan Trimetoprim.
Sulfonamid bersifat bakteriostatik dan Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu
menghambat sebagian besar patogen saluran kemih.

 
Berdasarkan spektrum atau kisaran terjadinya,
antibiotik dapat dibedakan menjadi dua
kelompok yaitu

● Antibiotik berspektrum sempit (narrow spektrum), yaitu antibiotik yang hanya mampu
menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat
atau membunuh bakteri gram negatif saja. Yang termasuk dalam golongan ini adalah
penisilin, streptomisin, neomisin, basitrasin.
● Antibiotik berspektrum luas (broad spektrum), yaitu antibiotik yang dapat
menghambat atau membunuh bakteri dari golongan gram positif maupun negatif. Yang
termasuk golongan ini yaitu tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin,
sefalosporin, carbapenem dan lain- lain.
Obat yang mempengaruhi sintesis atau
metabolisme asam nukleat :

○ Kuinolon
Kuinolon merupakan antibakteri sintesis yang digunakan untuk menyaingi penggunaan antibakteri golongan beta-laktam
dan makrolida dalam terapi. Kuinolon memiliki sifat spektrum antibakteri untuk melawan bakteri gram positif, gram
negatif, dan patogen mikrobakterial anaerob. Kuinolon mengalami perkembangan dan perubahan sehingga saat ini sudah
banyak agen kuinolon yang baru seperti asam nalidiksat (NA) dan nofloxacin (NLX) (Takashasi, 2003). Terdapat empat
golongan obat didalam kelompok kuinolon. Kelompok I adalah Norloxacin, kelompok II adalah Enoxacin, Ofloxacin,
dan Ciprofloxacin, kelompok III adalah Levofloxacin, dan kelompok IV adalah Moxifloxacin (Frank, 2012).
○ Nitrofuran
● Nitrofuran meliputi nitro furantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak
berubah dengan adanya makanan. Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E.coli,
Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp.
Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan lagi,
akan tetapi penggunaan antibiotik yang berlebihan akan
segera diikuti dengan munculnya kuman kebal antibiotik,
sehingga manfaatnya akan berkurang. Infeksi oleh kuman
kebal terhadap berbagai antibiotik akan menyebabkan
meningkatknya angka kesakitan dan angka kematian,
sehingga diperlukan antibiotik pilihan ke dua atau bahkan
pilihan ketiga, dimana efektifitasnya lebih kecil dan
kemungkinan mempunyai efek samping lebih banyak serta
biaya yang lebih mahal dibanding dengan pengobatan
standar (Hadi, 2008).

Resistensi Antibiotik
Bakteri dikatakan resisten bila pertumbuhannya tidak dapat
dihambat oleh antibiotika pada kadar maksimum yang dapat
ditolerir oleh pejamu. Munculnya resistensi disebabkan
karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan tidak
hati-hati pada keadaan yang mungkin dapat sembuh tanpa
pengobatan atau pada keadaan yang tidak membutuhkan
antibiotik (Mycek, 2001). Resistensi antibiotik merupakan
konsekuensi dari penggunaan antibiotik yang salah, dan
perkembangan dari suatu mikroorganisme itu sendiri, bisa
jadi karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat
(WHO, 2012).

Resistensi Antibiotik
PENYEBAB RESISTENSI

● Menurut WHO (2012), ketidaktepatan serta ketidakrasionalan penggunaan antibiotik merupakan penyebab paling
utama menyebarnya mikroorganisme resisten. Contohnya, pada pasien yang tidak mengkonsumsi antibiotik yang
telah diresepkan oleh dokternya, atau ketika kualitas antibiotik yang diberikan buruk. Adapun faktor-faktor lain
yang dapat menyebabkan adanya resistensi antibiotik adalah:
○ Kelemahan atau ketiadaan system monitoring dan surveilans
○ Ketidakmampuan sistem untuk mengontrol kualitas suplai obat
○ Ketidaktepatan serta ketidakrasionalan penggunaan obat
○ Buruknya pengontrolan pencegahan infeksi penyakti
○ Kesalahan diagnosis dan pengobatan yang diberikan
MEKANISME RESISTENSI ANTIBIOTIK
Agar efektif, antibiotik harus mencapai target dalam bentuk aktif, mengikat target, dan melakukan fungsinya sesuai
dengan mekanisme kerja antibiotik tersebut. Resistensi bakteri terhadap agen antimikroba disebabkan oleh tiga
mekanisme umum, yaitu: obat tidak mencapai target, obat tidak aktif, atau target tempat antibiotik bekerja diubah.

A. Kegagalan obat untuk mencapai target.


Membran luar bakteri gram negatif adalah penghalang yang dapat menghalangi molekul polar besar untuk masuk ke
dalam sel bakteri. Molekul polar kecil, termasuk seperti kebanyakan antimikroba, masuk ke dalam sel melalui saluran
protein yang disebut porin. Ketiadaan, mutasi, atau kehilangan Porin dapat memperlambat masuknya obat ke dalam sel
atau sama sekali mencegah obat untuk masuk ke dalam sel, yang secara efektif mengurangi konsentrasi obat di situs
aktif obat. Jika target kerja obat terletak di intraseluler dan obat memerlukan transpor aktif untuk melintasi membran sel,
resistensi dapat terjadi dari mutasi yang menghambat mekanisme transportasi obat tersebut. Sebagai contoh, gentamisin,
yang target kerjanya ribosom, secara aktif diangkut melintasi membran sel dengan menggunakan energi yang disediakan
oleh gradien elektrokimia membran sel bakteri. Gradien ini dihasilkan oleh enzim–enzim pernapasan aerob bakteri.
Sebuah mutasi dalam jalur ini atau kondisi anaerob dapat memperlambat masuknya gentamisin ke dalam sel,
mengakibatkan resistensi.
MEKANISME RESISTENSI ANTIBIOTIK

B. Inaktivasi obat.
Resistensi bakteri terhadap aminoglikosida dan antibiotik beta laktam biasanya hasil dari
produksi enzim yang memodifikasi atau merusak antibiotik. Variasi dari mekanisme ini adalah
kegagalan bakteri untuk mengaktifkan prodrug yang secara umum merupakan hal yang
mendasari resistensi M.tuberculosis terhadap isoniazid.
C. Perubahan target kerja antibiotik
Hal ini mencakup mutasi dari target alami (misalnya, resistensi fluorokuinolon), modifikasi dari
target kerja (misalnya, perlindungan ribosom dari makrolida dan tetrasiklin), atau akuisisi
bentuk resisten dari target yang rentan (misalnya, resistensi stafilokokus terhadap metisilin yang
disebabkan oleh produksi varian Peniccilin Binding Protein yang berafinitas lemah).
Konsekuensi Akibat Resistensi Antibiotik

Konsekuensi yang ditimbulkan akibat adanya resistensi antibiotik yang paling utama adalah peningkatan jumlah bakteri
yang mengalami resistensi terhadap pengobatan lini pertama. Konsekuensi ini akan semakin memberat. Dari
konsekuensi tersebut, maka akibatnya adalah penyakit pasien akan lebih memanjang, sehingga risiko komplikasi dan
kematian juga akan meningkat. Ketidakmampuan antibiotik dalam mengobati infeksi ini akan terjadi dalam periode
waktu yang cukup panjang dimana, selama itu pula, orang yang sedang mengalami infeksi tersebut dapat menularkan
infeksinya ke orang lain, dengan bagitu, bakteri akan semakin menyebar luas. Karena kegagalan pengobatan lini pertama
ini, dokter akan terpaksa memberikan peresepan terhadap antibiotik yang lebih poten dengan harga yang lebih tinggi
serta efek samping yang lebih banyak. Banyak factor yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan karena resistensi
antimicrobial ini. Dapat disimpulkan, resistensi dapat mengakibatkan banyak hal, termasuk peningkatan biaya terkait
dengan lamanya kesembuhan penyakit, biaya dan waktu yang terbuang untuk menunggu hasil uji laboratorium
tambahan, serta masalah dalam pengobatan dan hospitalisasi (Beuke C.C., 2011).
Hipersensitivitas antibiotik

Hipersensitivitas antibiotik merupakan suatu keadaan yang mungkin dijumpai


pada penggunaan antibiotik, antara lain berupa pruritus-urtikaria hingga reaksi
anafilaksis. Profesi medik wajib mewaspadai kemungkinan terjadi kerentanan
terhadap antibiotik yang digunakan pada penderita. Anafilaksis jarang terjadi
tetapi bila terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga kematian akibat anafilaksis
umumnya terjadi karena obstruksi saluran napas.
1. Hipersensitivitas tipe cepat
Keadaan ini juga dikenal sebagai immediate
hypersensitivity. Gambaran klinik ditandai
oleh sesak napas karena kejang di laring dan
bronkus, urtikaria, angioedema, hipotensi dan
kehilangan kesadaran. Reaksi ini dapat terjadi
beberapa menit setelah suntikan penisilin.

JENIS HIPERSENSITIVITAS
2. Hipersensitivitas perantara antibodi (antibody mediated
type II hypersensitivity)
Manifestasi klinis pada umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia,
granulositopenia. Tipe reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi
sitotoksik. Sebagai contoh, kloramfenikol dapat menyebabkan
granulositopeni, obat beta-laktam dapat menyebabkan anemia
hemolitikautoimun, sedangkan penisilin anti pseudomonas
dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan pada agregasi
trombosit.

JENIS HIPERSENSITIVITAS
3. Immune hypersensivity - complex mediated (tipe III)
Manifestasi klinis dari hipersensitivitas tipe III ini dapat
berupa eritema, urtikaria dan angioedema. Dapat disertai
demam, artralgia dan adenopati. Gejala dapat timbul 1-3
minggu setelah pemberian obat pertama kali, bila sudah
pernah reaksi dapat timbul dalam 5 hari. Gangguan seperti
SLE, neuritisoptik, glomerulonefritis, dan vaskulitis juga
termasuk dalam kelompok ini.

JENIS HIPERSENSITIVITAS
4. Delayed Type Hypersensitivity
Hipersensitivitas tipe ini terjadi pada pemakaian obat topikal
jangka lama seperti sulfa atau penisilin dan dikenal sebagai
kontak dermatitis. Reaksi paru seperti sesak, batuk dan efusi
dapat disebabkan nitrofurantoin. Hepatitis (karena isoniazid),
nefritis interstisial (karena antibiotik beta-laktam) dan
ensefalopati (karena klaritromisin) yang reversibel pernah
dilaporkan.

JENIS HIPERSENSITIVITAS
INTERAKSI ANTIBIOTIK

Pada sebagian antibiotik, susu dapat menganggu penyerapannya. Susu dan


sebagian antibiotik dapat mengakibatkan terbentuknya khelatasi sehingga dapat
menurunkan kadar dan efektifitas antibiotik dalam tubuh. Jadi, antibiotik tidak
perlu selalu digunakan dengan susu. Selain itu alkohol juga dapat berinteraksi
dengan antibiotik dengan mengganggu absorbsi dan metabolisme di
gastrointestinal. Seperti pada eritromycin, alkohol dapat menaikkan
pengosongan lambung, dan pada isoniazid dapat mengakibatkan gangguan
hepar (Weathermon, 1999).
Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak
Prinsip dalam penggunaan antibiotik yang bijak antara lain sebagai berikut :
● Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang
adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat.
● Kebijakan penggunaan antibiotik ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini
pertama.
● Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan
antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reverse antibiotic).
● Indikasi ketat penggunaan dimulai dengan menegaskan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit yang
dapat sembuh sendiri (self- limited).
● Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
○ Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik
○ Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi
○ Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik
○ Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta
ketersediaan obat
○ Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan
langkah sebagai berikut (Kemenkes, 2011):

■ Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak.

■ Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada laboratorium hematologi,
imunologi, dan mikrobiologi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.

■ Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.

■ Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team work).

■ Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak yang bersifat multi disiplin.

■ Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.

■ Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit,
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat.
Faktor-faktor penyebab berkembangnya resistensi
antibiotik

Fenomena resistensi antibiotik yang terjadi secara alamiah dan berkembang dengan sendirinya. Perilaku
manusia sedikit banyak membantu proses peningkatan dan penyebaran resistensi antibiotik. Tahun 2013
WHO (World Health Organization) mengeluarkan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan
berkembangnya resistensi antibiotik. Faktor-faktornya adalah sebagai berikut :
● Kurangnya respon yang komprehensif dan terkoordinasi.
● Lemah atau tidak adanya sistem pengawasan akan resistensi antimikroba.
● Sistem yang tidak memadai untuk memastikan kualitas dan gangguan pasokan obat-
obatan
● Penggunaan yang tidak tepat akan penggunaan antimikroba
● Miskinnya praktik pencegahan dan pengendalian infeksi
● Kurangnya peralatan untuk diagnosa, pencegahan, dan terapi.
Perilaku penggunaan antibiotik

Perilaku penggunaan antibiotik merupakan suatu tindakan dalam upaya mencari pengobatan dengan menggunakan
antibiotik yang diperoleh dengan bermacam cara dengan orang yang berkompeten (Tahir dalam Rizal, 2011). Perilaku
penggunaan antibiotik berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan tentang penyakit yang diderita dan antibiotik
yang sesuai untuk penyakitnya tersebut. Acuan yang biasa digunakan untuk menilai perilaku penggunaan antibiotik
adalah seperti (Sutama dalam Rizal, 2011):
1. Tempat mendapatkan antibiotik
2. Penggunaan terakhir antibiotik
3. Intensitas pemakaian antibiotik
4. Pengetahuan tentang aturan pakai
5. Tindakan mengganti antibiotik
6. Efek samping antibiotik
7. Pengetahuan tentang resistensi antibiotik
Rasionalitas penggunaan obat

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria (Kemenkes, 2011) :
1. Tepat diagnosis.
2. Tepat indikasi penyakit
3. Tepat pemilihan obat.
4. Tepat dosis. Dosis,
5. Tepat cara pemberian.
6. Tepat interval waktu pemberian.
7. Tepat lama pemberian
8. Waspada terhadap efek samping
9. Tepat penilaian kondisi pasien
10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang
terjangkau
11. Tepat informasi
12. Tepat tindak lanjut (follow-up)
13. Tepat penyerahan obat (dispensing)
14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai