Anda di halaman 1dari 62

FARMAKOTERAPI

ASMA

KHAIRUNNISA, S.SI., M.PHARM., PH.D., APT.


Pendahuluan

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi

(peradangan) kronik saluran pernafasan yang


menyebabkan ditandai dengan gejala episodik
berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini
hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan
atau tanpa pengobatan
Penyakit radang kronik pada paru yang
dikarakterisasi oleh adanya :
1. Penyumbatan saluran nafas yang bersifat reversible
2. Peradangan pada jalan nafas
3. Peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan
Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di

negara maju.
Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia.

Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak

masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di


Amerika Serikat dan Eropa.
Penyakit asma dapat menyerang semua peringkat umur, tapi paling

sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda merupakan golongan


yang paling sering mendapat penyakit ini.
Prevalensi asma di Indonesia sekitar 5 % dan cenderung akan meningkat

Berdasarkan hasil penelitian oleh ahli asma di Asia Pasfik dalam studi

Asthma Insight & Reality in Asia Pasific (AIRIAP 2) tahun 2007, ada 64
% dari 400 orang penyandang asma di Indonesia tidak terkontrol.
Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit

dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.


Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih

jauh dari pedoman yang direkomendasikan Global Initiative forAsthma


(GINA)
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak

sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study

on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar

2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.

Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,

Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)

menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-

6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%.

Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius


Definisi Asma

Asma didefinisikan berdasarkan ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis.

Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama

pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik,
tanda yang sering ditemukan adalah mengi.
Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang

ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi.


Ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang

kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.


Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi

(peradangan) kronik saluran pernafasan yang


menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai
ransangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang
berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada
terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya
bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan
Menurut Gina (Global Initiative for Asthma) tahun
2008 defenisi asma adalah : Asma adalah penyakit
inflamasi kronis pada saluran pernafasan dimana
berbagai sel dan elemen berperan, terutama sel
mast, eosinofil, limfosit T, makrofag dan sel epitel
Secara klasik asma dibagi atas 2 kategori berdasarkan
faktor pemicunya:
1. Asma ekstrinsik atau alergi ----asma yang
disebabkan menghirup alergen yang biasanya
terjadi pada anak-anak yg memiliki keluarga
dengan riwayat alergi.
2. Asma intrinsik: mengacu pada asma yang
disebabkan faktor diluar mekanisme imunitas dan
pada umumnya pada org dewasa, contohnya
karena stress, olah raga, atau obat-obatan.
Patofisiologi

Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu:


1. Jalur Imunologis
2. Jalur saraf otonom.
Jalur Imunologi

Didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe

I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.


Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE

orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan


antibodi IgE yang melekat pada sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkus dan bronkuolus, dan menyebabkan
sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.

Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien,

faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin.


Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus

kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme
otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera

yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen.


Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan

bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa


minggu.
Jalur Saraf Otonom

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus

vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.

Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang

dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih

permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga

meningkatkan reaksi yang terjadi.

Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan

reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,

inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.

Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf


Keadaan Asma
Faktor Resiko

Faktor Genetik

1. Sejarah allergi (atopi)


2. Hipereaktivitas bronkus

3. Jenis kelamin (asma anak-anak pria 2 x)

4. Ras

5. Obesitas
Faktor lingkungan

1. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora


jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti
anjing, kucing, dan lain-lain).
2. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
Faktor lain

1. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,

jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.

2. Alergen obat-obatan tertentu (penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya,

eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain)

3. Bahan yang mengiritas (parfum, household spray, dan lain-lain)

4. Ekspresi emosi berlebihan

5. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif

6. Exercise indused asma

7. Perubahan cuaca
Tanda dan simptom

Tanda dan simptom yang terjadi ketika serangan asma

 Batuk dengan atau tanpa dahak. Ia akan bertambah parah pada waktu

malam atau awal pagi.


 Nafas berbunyi atau berdesir (wheezing)

 Dada menjadi ketat dan sesak seperti ada sesuatu menekan pada bagian

dada (chest tightness)


 Susah untuk bernafas
Diagnosis Asma

Ada 3 cara yang digunakan oleh dokter untuk


mengetahui seseorang itu menghidap penyakit asma
atau tidak, yaitu:
Amnanesis.

Pemeriksaan fisikal.

Pemeriksaan penunjang seperti uji pernafasan.


Amnanesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:

riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi),

mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi) dan

eksem atopi,

batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi,

flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,

adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),

sering terbangun pada malam hari

riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga),

Keadaan lingkungan rumah (kebersihan, lokasi dan memelihara hewan)


Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan

perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk


anatomi toraks.
Inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan

bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher,


perut dan dada.
Auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.
Pemeriksaan penunjang (Diagnosis Test)

Terdapat 6 ujian diagnosis untuk menentukan


seseorang itumenghidap asma:

Spirometry test.
Methacholine Challenge Test.
Exercise Challenge Test.
Pemeriksaan arus puncak ekspresi dengan Peak
Expirometry Flow Rate (PEFR).
Uji Alergi (untuk menilai adanya alergi)
Foto Thorax (untuk menyingkirkan penyakit selain asma)
Klasifikasi Asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi,

berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara.


Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting

bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan


jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi
tingkat pengobatan.
Klasifikasi Asma

Derajat Asma Gejala Fungsi Paru Initial treatment


I. Intermitten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE < 20% Step 1
Malam hari < 2 kali per bulan FEV1 > 80% nilai prediksi
Serangan singkat APE > 80% nilai terbaik
Tidak ada gejala antar serangan
Intensitas serangan bervariasi

II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu, Variabilitas APE 20 - 30% Step 2
tetapi < 1 kali per hari FEV1 > 80% nilai prediksi
Malam hari > 2 kali per bulan – (3- APE > 80% nilai terbaik
4 kali)
Serangan dapat mempengaruhi
aktifitas
Klasifikasi Asma

Derajat Asma Gejala Fungsi Paru

III. Persisten Siang hari ada gejala Variabilitas APE > 30% Step 3
Sedang Malam hari > 1 kali per minggu FEV1 60-80% nilai prediksi
Serangan mempengaruhi aktifitas APE 60-80% nilai terbaik
Serangan > 2 kali per minggu
Serangan berlangsung berhari-hari
Sehari-hari menggunakan inhalasi
β2-agonis short acting

IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada gejala Variabilitas APE > 30% Step 3
Setiap malam hari sering timbul FEV1 < 60% nilai prediksi
gejala APE < 60% nilai terbaik
Aktifitas fisik terbatas
Sering timbul serangan

FEV1: forced expiratory volume in 1 second


Tujuan Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Asma Bertujuan:

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat

2. Mencegah eksaserbasi akut

3. Minimal atau meniadakan simptom pada siang maupun malam hari

4. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

5. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya ----tidak ada

batasan untuk beraktivitas

6. Menghindari efek samping obat

7. Minimal penggunaan SABA

8. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel

9. Meminimalkan kunjngan ke gawat darurat


Penatalaksanaan Asma

Kegunaan penatalaksanaan asma adalah untuk mengontrol penyakit.

Asma dikatakan terkontrol bila :


 Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam

 Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise

 Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)

 Variasi harian Aliran Puncak Expiratori (APE) kurang dari 20 %

 Nilai APE normal atau mendekati normal

 Efek samping obat minimal (tidak ada)

 Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat


Ciri-ciri asma tidak terkontrol
1. Asma malam (terbangun malam hari karena gejala
asma)
2. Kunjungan ke gawat darurat, karena serangan akut
3. Kebutuhan obat pelega meningkat.
Penilaian kontrol asma
Component Well Controlled Not Well Controlled Very poorly Controlled
Simptom ≤ 2 hari/minggu > 2 hari/minggu Sepanjang hari
Terbangun tengah malam ≤ 2 kali sebulan 1-3 kali/minggu ≥ 4 kali seminggu
aktifitas Tidak ada batasan Bebarapa kegiatan Sangat terbatas
aktifitas terbatas
Penggunaan SABA untuk meredakan ≤ 2 hari/minggu > 2 hari/minggu Beberapa kali sehari
symptom
FEV1 or peak flow > 80 % of 60-80% < 60 %
predicted/personal
best
Exacerbation membutuhkan oral 0 or 1/ year ≥ 2/year ≥ 2/year
steroid
Recomendasi treatment Tetap dengan Naikan step pengobatan Penggunaan oral steroid
pengobatan setingkat, evaluasi lagi jika diperlukan dlm jangka
sekarang, kontrol dalam 2 – 6 minggu waktu singkat,
setiap 1-6 bulan, Naikkan step pengobatan 1-
turunkan step 2 step
pengobatn jiwa Evaluasi dlm 2 minggu
terkontrol denn baik
selama lebih 3 bulan
Penatalaksanaan asma kronik

A. Edukasi Penderita Untuk Mengembangkan Kebersamaan


Dalam Penata laksanaan Asma.
 Tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan pengertian pasien

tentang penyakit dan penanganannya, dan hal ini diharapkan dapat


meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan yang diberikan.
 Tujuan lain adalah agar pasien dapat mempraktekkan penanganan

secara pribadi, terutama dalam mengidentifikasi dan menghindari


pencetus dari asma , juga mengenal dan mengatasi eksaserbasi pada
stadium paling dini.
Pasien harus tahu tentang penyakitnya, bahwa gejalanya adalah obstruksi saluran

nafas, dan pengobatan ditujukan baik untuk pencegahan maupun menghilangkan

obstruksi ini. Yang penting lagi adalah menjelaskan bahwa asma adalah penyakit

kronis yang tidak bisa sembuh total. Pasien harus tahu bahwa gejala akan sering

muncul dan adanya eksaserbasi harus sudah dipikirkan. Harus diyakinkan juga bahwa

dengan penanganan yang baik, hal diatas dapat diminimalkan.

Rencana pengobatan individu juga harus ditetapkan, termasuk manfaat bermacam

obat asma, juga efek sampingnya. Pengenalan tentang obat pengontrol dan pelega juga

harus diberikan. Yang terpenting adalah untuk mengenali dan menangani eksaserbasi

sedini mungkin sehingga menghindari morbiditas yang lebih serius, bahkan kematian.
B. Menilai dan Memonitor Derajat Asma dengan Pengukuran Gejala dan

Pengukuran Fungsi Paru.


 Untuk mengukur gejala, diajukan pertanyaan mengenai seberapa seringkah penderita memakai obat-

obat reliever dan seberapa seringkah penderita mengalami gejala malam hari seperti batuk, mengi

dan sesak. Juga penting ditanyakan seberapa sering penderita membatasi aktivitas normalnya.

 Sedangkan pengukuran fungsi paru bisa memakai spirometri ataupun peak expiratory flow (PEF).

Adalah penting untuk menilai derajat penyakit, menilai besarnya variasi diurnal dari fungsi paru,

monitor respon terapi selama eksaserbasi akut, mendeteksi perburukan faal paru yang asimtomatis

dan mencegahnya untuk menjadi lebih berat, memonitor respon terhadap pengobatan kronis dan

identifikasi triger.
C. Menghindari Atau Mengontrol Pencetus Asma.

Dengan cara menghindari segala bentuk alergen seperti alergen indoor ( kutu, alergen binatang,

kecoa, jamur), menghindari alergen diluar rumah, menghindari polusi udara di dalam dan di

luar rumah, menghindari pajanan di tempat kerja, menghindari alergen makanan dan obat,

vaksinasi dan imunoterapi spesifik.

Hal diatas dapat mencegah eksaserbasi, mengurangi kebutuhan obat. Kebanyakan pasien

dengan asma kronis mempunyai bermacam pencetus, sehinga dengan menghindari satu macam

pencetus saja, manfaatnya sangat berbeda pada satu pasien dengan pasien lain.

Vaksinasi influenza dapat menyebabkan pengurangan insiden infeksi saluran nafas atas,

sehingga menurunkan kejadian eksaserbasi, walaupun hal ini masih memerlukan penelitian

lebih lanjut.
Pengobatan Asma Kronik
D. Penggunaan obat-obatan
Derajat Asma Pengobatan
I. Intermitten -Tidak di butuhkan pengobatan harian
-Eksaserbasi akan terjadi dalam waktu lama dengan fungsi paru normal dan tidak ada
gejala. Ketika terjadi eksaserbasi cukup diberi Short acting β agonis
II. Persisten Ringan Pengobatan utama
Dosis rendah inhalasi kortikosteroid
Alternatif pengobatan
Kromolin, Leukotrien, nedocromil atau Teofilin SR dengan konsentrasi serum 5-15
mcg/ml
III. Persisten Sedang Pengobatan Utama
Dosis rendah-menengah inhalasi kortikosteroid dan inhalasi long –acting β agonis
Alternatif Pengobatan
-Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang atau
- Dosis rendah sampai tinggi inhalasi kortikosteroid dan salah satu modifikasi leukotrien
atau teofilin

IV. Persisten Berat Pengobatan Utama


-Dosis tinggi inhalasi kortikosteroid dan
- Inhalasi Long-acting β agonis dan jika dibutuhkan
- Kortikosteroid tablet atau sirup (2 mg/kg/hari, tidak boleh melebihi 60 mg/hari)
(Pemakaian berulang dapat mereduksi kortikosteroid sistemik dan untuk pemeliharaan
guna kortikosteroid dosis tinggi)
Guideline pengobatan

step Long term control Quick relief


1 Tidak diperlukan Use SABA jika diperlukan
2 Low-Dose ICS SABA > 2 times/week exclude
Alternative: Leukotriene or theophyllin preexercise doses indikasi
inadequate control---perlu
peningkatan treatmen
3 Low dose ICS +LABA or Medium dose ICS Dianjurkan menurunkan step
lone pengobatan jika terkontrol baik
Alternative: Low dose ICS + Theophyllin or selama lebih dari 3 bulan
Leukotriene
4 Medium dose ICS + LABA
Alternative: Low dose ICS + Theophyllin or
Leukotriene

5 High-dose ICS + LABA


6 High dose ICS + LABA and systemic
corticosteroid
Obat-Obatan Asma

Ada 2 jenis obat-obatan asma yaitu


1. Obat-obatan yang digunakan untuk mengontrol
penyakit asma (Controller)
2. Obat-obatan yang digunakan untuk melegakan

pernafasan (Reliever)
Obat-Obatan pelega serangan asma (reliever)

Beta2-Agonis Inhalasi Short Acting

Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini

menyebabkan relaksasi otot polos saluran

nafas, meningkatkan klirens mukosilier,

mengurangi permeabilitas vaskuler dan

mengatur pelepasan mediator dari sel

mast dan basofil. Merupakan obat pilihan


Ubat-ubatan dalam kumpulan ini termasuk:
untuk asma eksaserbasi akut dan ¨ Salbutamol (Ventolin ®).
¨ Terbutalin (Bricanyl ®).
pencegahan exercise induced asthma. ¨ Fenoterol (Berotec ®).
¨ Ipratropium Bromide (Atrovent ®).
Juga dipakai untuk mengontrol  

bronkokonstriksi episodik.
Kortikosteroid Sistemik
 Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk

mengobati eksaserbasi akut yang berat karena dapat mencegah


memburuknya eksaserbasi asma, menurunkan angka masuk UGD atau
rumah sakit, mencegah relaps setelah kunjungan ke UGD dan
menurunkan morbiditas.Terapi oral lebih dipilih, dan biasanya
dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan lain dari eksaserbasi.
Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-10 hari tergantung derajad
eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau ditappering.
 Efek sampingnya antara lain:
 Osteoporosis
 Growth retardation
 Hipertensi
 Katarak
 Intoleransi glukosa
Antikolinergik

Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium bromida) adalah


bronkodilator yang memblokade jalur eferen vagal postganglion. Obat ini
menyebabkan bronkodilatasi dengan cara mengurangi tonus vagal intrinsik saluran
nafas. Juga memblokade refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi.
Obat ini mengurangi reaksi alergi fase dini dan lambat juga reaksi setelah exercise.
Dibanding beta2-agonis, kemampuan bronkodilatornya lebih lemah, juga
mempunyai onset kerja yang lambat (30-60 menit untuk mencapai efek
maksimum). Efek sampingnya adalah menyebabkan mulut kering, rasa tidak enak,
takikardia,dan palpitasi.
Teofilin Short Acting

Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol gejala asma persisten karena

fluktuasi yang besar didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini dapat diberikan pada pencegahan

exercise induced asthma dan menghilangkan gejalanya. Perannya dalam eksaserbasi masih

kontroversi. Pada pemberian beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak memberi keuntungan dalam

bronkodilatasi, tapi berguna untuk meningkatkan respiratory drive atau memperbaiki fungsi otot

respirasi dan memperpanjang respon otot polos terhadap beta2-agonis short acting.

Beta2-Agonis Oral Short Acting

Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas. Dapat dipakai pada pasien

yang tidak dapat menggunakan obat inhalasi.


Obat-obat untuk mengontrol penyakit asma (Controller)

 Controller adalah obat yang

diminum harian dan jangka


panjang dengan tujuan untuk
mencapai dan menjaga asma
persisten yang terkontrol.
Terdiri dari obat antiinflamasi
dan bronkodilator long acting.
Kortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling

efektif. Obat controller juga sering disebut sebagai obat


profilaksis, preventif atau maintenance. Obat controller
termasuk Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik,
sodium kromoglikat dan sodium nedokromil, teofilin
lepas lambat, beta2-agonist long acting inhalasi dan oral,
dan mungkin ketotifen atau antialergi oral lain.
Kortikosteroid

Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau parenteral).

Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara

pasti. Beberapa yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolisme

asam arakidonat, juga sintesa leukotrien dan prostaglandin, mengurangi

kerusakan mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin,

mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan respon reseptor

beta pada otot polos saluran nafas. Efek sampingnya antara lain: oral

candidiasis
Obat-obatan kortikosteroid.

¨ Beclomethasone (Beclomet ® atau Becotide ®).

¨ Budesonide (Pulmicort ®).

¨ Fluticasone (Flixotide ®).

¨ Sodium Cromoglycate (Intal ®).

 
Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil

Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti

belum diketahui.

Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE dari sel mast

dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil,

monosit).

Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera dan

reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan, udara dingin dan sulfur dioksida.

Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata dari jumlah eosinofil dan

penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa digunakan jangka panjang setelah

asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.


Sodium nedokromil memiliki kemampuan

antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding


sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul,
nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan
mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai
pencegahan begitu asma timbul.
Terapi lini pertama pada anak-anak tidak
menyebabkan gangguan pertumbuhan
Hanya efektif dalam bentuk inhalasi
Digunakan untuk terapi jangka panjang, efektivitas
tercapai dalam waktu 1-2 minggu
Teofilin Lepas Lambat (SR)

Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma.

Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin karena

teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang

berakibat peningkatan cyclic Adenonosine MonoPhospate (cAMP) yang akan menyebabkan

bronkodilatasi.

Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek

antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera

setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik

terhadap inflamasi kronis pada asma.


Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas

lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena

mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala

nokturnal yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.

Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem

organ yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal

yang paling sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian.

Efek kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat

pernafasan.
Beta2-Agonis Long Acting

Termasuk didalamnya adalah formoterol dan salmeterol yang mempunyai durasi

kerja panjang lebih dari 12 jam. Cara kerja obat beta 2-agonis adalah melalui

aktivasi reseptor beta2-adrenergik yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase

yang meningkatkan konsentrasi siklik AMP (cAMP) .

Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos saluran

nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler

dan dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga

menghambat reaksi asma segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen,

dan menghambat peningkatan respon saluran nafas akibat induksi histamin.


Walaupun posisi beta2-agonis inhalasi long acting masih

belum ditetapkan pasti dalam penatalaksanaan asma, studi


klinis mendapatkan bahwa pengobatan kronis dengan obat
ini dapat memperbaiki skor gejala, menurunkan kejadian
asma nokturnal, memperbaiki fungsi paru dan mengurangi
pemakaian beta2-agonis inhalasi short acting.
Efek sampingnya adalah stimulasi kardiovaskuler, tremor

otot skeletal dan hipokalemi.


 Mekanisme aksi dari long acting beta2-agonis oral, sama

dengan obat inhalasi. Obat ini dapat menolong untuk


mengontrol gejala nokturnal asma. Dapat dipakai sebagai
tambahan terhadap obat kortikosteroid inhalasi, sodium
kromolin atau nedokromil kalau dengan dosis standar
obat-obat ini tidak mampu mengontrol gejala nokturnal.
Efek samping bisa berupa stimulasi kardiovaskuler,
kelemahan dan tremor otot skeletal.
Modifer Leukotrine
 Reseptor leukotrien : montelukast, zafirluast
 Inhibitor lipoksigenase : zileuton
 Alternatif obat untuk menurunkan kebutuhan dosis
kortikosteroid inhalasi
 Secara klinis terbukti mengurangi gejala, meningkatkan
fungsi paru, mencegah serangan akut dan bersifat
antiinflamasi
 Perlu penyesuaian dosis pada penderita gangguan hati
 Hati-hati penggunaan pada wanita hamil
 LTRA (leukotriene receptor antagonist) bukanlah bronkodilator

dan digunakan untuk asma kronis disaat bebas keluhan.


Kemasan berupa tablet 20 mg dan 10 mg, diminum 2 kali sehari
untuk dewasa dan anak, pagi dan sore hari. Indikasinya untuk
pencegahan dan pengobatan asma kronis. Tidak boleh diberikan
pada saat serangan akut dan saat terjadi status asmatikus,
namun boleh diberikan saat terjadi eksaserbasi. Dapat dipakai
untuk mencegah terjadinya exercise induce asthma.
Penatalaksanaan Asma Parah Akut

 Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi akut dimana inflamasi,
edema jalan udara, akumulasi mukus berlebihan, dan bronkospasmus parah
menyebabkan penyempitan jalan udara yang serius yang tidak responsif
terhadap terapi bronkodilator biasa

 Pasien mungkin mengalami kecemasan dan mengeluh dispnea parah, nafas


pendek, sempit dada dan rasa terbakar. Gejala tidak responsif terhadap
penanganan biasa.

 Terdengar bunyi ketika dilakukan auskultasi saat inspirasi dan ekspirasi, batuk
kering yang berulang, takhipnea, kulit pucat atau kebiruan dan dada yang
mengembang.
Perkiraan keparahan
Penentuan APE: Nilai < 50 % kemampuan terbaik
atau prediksi normal menandakan keparahan
tertinggi

Penanganan Awal
Inheler Short acting β2 agonis: Dgn MDI 2-4 puff 3
kali dengan interval 20 menit atau sekali
menggunakan nebulizer

Respon Baik Respon Sedang Respon Buruk

Keparahan Ringan Keparahan Sedang Keparahan Tinggi


APE>80 % prediksi atau APE 50 % prediksi atau kemampuan APE <50 % prediksi atau
kemampuan terbaik terbaik kemampuan terbaik
Tidak terengah-engah atau nafas Nafas terengah-engah atau nafas Nafas terengah-engah atau nafas
pendek pendek persisten pendek yang sangat terlihat.
Respon terhadap β2 agonis bertahan -Tambah kortikosteroid oral -Tambah kortikosteroid oral
hingga 4 jam - Lanjutkan β2 agonis - Ulangi β2 agonis secepatnya
-β2 agonis dilanjutkan setiap 3-4 - Jika pesakit tidak responsif,
jam selama 24-48 jam masukkan ke unit gawat darurat
-Untuk pasien dengan kortikosteroid
inhaler, dosis digandakan untuk 7 –
10 hari
Kontak dokter untuk instruksi
selanjutnya Bawa ke IGD
Kontak dokter untuk tindakan
lanjut
Studi kasus

 Seorang lelaki datang ke klinik dengan keluhan terasa ketat pada dada (sesak
nafas) yang dirasakannya 4 kali dalam seminggu ini. Ketika itu dia merasa sulit
untuk bernafas dan batuk yang tidak dapat dikontrol. Dan dalam seminggu ini
2 kali terbangun malam karena keluhan yang sama. Selalunya ketika dia duduk
beberapa menit, simpom yang dia rasa akan berkurang. Sebelumnya pasien
mempunyai sejarah sesak nafas sesekali dan berselang selama 3 bulan.
Berdasarkan test fungsi paru didapati nilai FEV1 adalah 68 %. Berdasarkan uji
fisik didapati regular rate dan ritma, dengan bunyi wheezes ketika dilakukan
auscultasi pada paru-paru.
 Berdasarkan keterangan diatas, apa klasifikasi pasien asma tersebut? Jelaskan
 Berikan management pengobatan yang tepat bagi pasien diatas.

Anda mungkin juga menyukai