Anda di halaman 1dari 19

BAB VII

KARAKTERISTIK
SYARIAT
ISLAM

KELOMPOK 7
A. TEISTIS (RABBANIYYAH)

Kekhasan syariat Islam dibandingkan undang-undang lain adalah sifatnya yang


teistis (rabbaniyyah) atau religius(diniyyah). Kesucian perundang – undangannya tidak
tertandingi. Kecintaan dan hormat yang tertanam dalam jiwa para pengikutnya tumbuh
dari keyakinan terhadap kesempurnaan, keistimewaan, dan kekelannya, bukan dari
keterpaksaan dalam menerimanya.
١٤﴿ ‫يف ْٱل َخبِي ُر‬ َ َ‫“﴾أَاَل يَ ْعلَ ُم َم ْن َخل‬
ُ ‫ق َوهُ َو ٱللَّ ِط‬
“ Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui? Dan Dia
Mahahalus, Maha Mengetahui.“ (Q.S.67:14)
Karena syariat dan perundang-undangan Islam bersifat teistis (rabbaniyah),
maka tidak ada alasan bagi seorang Muslim pun untuk menolaknya, baik dalam
posisinya sebagai subjek hukum (hakim) maupun sebagai objek hukum
(mahkum).
Dalam posisi sebagai subjek hukum (hakim), Allah SWT berfirman,
“…..Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir ;……maka mereka itu
adalah orang orang yang fasik (QS. AL-Maidah 5:44,45,47)”.
Dalam posisi sebagai objek hukum (mahkum), Allah SWT berfirman : “
Apabila dikatakan kepada mereka “Marilah kamu tunduk kepada hukum yang
Allah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu melihat orang-orang
munafik menghalangi dengan sekuat-kuatnya dari kamu”. (QS. An-Nisa,4 :61)
Realisasi Rabbaniyyah Terhadap Manusia dalam Melaksanakan Syariat Islam.
Sifat teistis (rabbaniyyah) syariat dan perundang-undangan Islam membuat Islam mau
menghormati, menerima, melaksanakan, menaatinya.
Ketika melaksanakan syariat, seorang muslim berkeyakinan bahwa Ia sedang beribadah dan
mendekatkan diri kepada tuhannya. Hal ini merupakan tuntutan keimanan dan kewajiban seorang
muslim.
Allah SWT berfirman ;
Jiwa seorang muslim meyakini bahwa hukum-hukum syariat yang teistis ini adalah hukum yang
paling adil, paling sempurna, paling selaras dengan segala bentuk kebaikan, paling dapat mencegah segala
bentuk kerusakan, paling mampu mewujudkan kebenaran, memusnahkan kebatilan, dan menyebarluaskan
kemaslahatan. Karena merasa cukup akan segala kesempurnaan dan kebaikannya, dia rela
melaksanakannya.
Dari hati yang paling dalam, seorang muslim meyakini bahwa Allah SWT selalu dekat dan
mengawasinya ketika dia sedang melaksanakan syariat itu, atau ketika dia berusaha menerapkannya. Dia
pun yakin bahwa Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban darinya atas pelaksanaan syariat itu pada
hari ketika semua orang dikumpulkan untuk diperlihatkan amal-amalnya (kiamat). Allah SWT berfirman,

‫يم‬
ِ ‫الر ِح‬ َّ ‫الر ْح َم ِن‬َّ ِ ‫س ِم هَّللا‬ ْ ِ‫ب‬
٧‫فَ َمن يَ ْع َم ْل ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة َخ ْي ًرا يَ َره‬
٨ُ‫ا يَ َره‬i‫ ٍة َش ًّر‬i‫َو َم ْن يَ ْع َملْ ِم ْثقَا َل َذ َّر‬
“ Barang siapa melaksanakan kebaikan sebesar atom sekalipun, maka dia akan melihatnya. Barang siapa
melakukan kejahatan sebesar atom sekalipun, maka dia akan melihatnya pula.” (QS. Al-Zalzalah, 99: 7-8)
Dengan karakter seperti itu, seorang muslim akan segera mematuhi hukum-
hukum syariat melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
dengan sukarela , pasrah dan nyaman , didorong oleh bisikan dari dalam , bukan
paksaan dari luar.
Contoh :
Pada zaman Nabi SAW ada orang yang dengan sukarela menyerahkan diri
kepada Nabi agar diberi hukuman atas perbuatan dosa yang telah dilakukannya secara
sembunyi-sembunyi.
Dengan demikianlah umat Islam yang hidup pada masa kejayaan dan keemasan
Islam. Hukum-hukum syariat pada umumnya, serta sanksi-sanksi perdata dan pidana,
pada khususnya, mereka terima dengan baik. Slogan mereka, “Sesungguhnya jari-jari
yang dipotong karena keputusan syariat tidak akan terasa sakit karena yang menyuruh
memotong adalah Allah Yang Maha Adil dan Maha Pengasih.”
B. ETIS (AKHLAQIYYAH)

Sebagaimana syariat Islam menjadi istimewa karena bersifat teistis


(rabbaniyyah), ia juga istimewa karenamemerhatikan masalah akhlak
(moral,etika) dan seluruh aspeknya. Sifat ini merupakan turunan dari teistis
(rubbaniyyah) di atas.
Dengan demikian syariat Islam adalah syariat etis (Akhlaqqiyyah),
dengan segala makna yang terkandung dalam kata itu. Tidak aneh jika
pemilik syariat ini (Nabi saw) bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”
Adapun perbedaan antara syariat dengan perundang-
undangan lain, perbedaannya sangat jelas, baik Dari segi materi
maupun tujuan.
Dari segi materi :
• Perundang-undangan : "hak-hak manusia"
• Syariat : "kewajiban-kewajiban manusia"
Dari aspek tujuan,perundang-undang bertujuan mendapatkan manfaat yang terbatas,
yaitu terwujudnya sebuah tahanan kehidupan masyarakat yang harmonis dengan segala
aturannya, terutama dari sisi pemenuhan kebutuhan materi.inilah yang dicari para pembuat
undang-undang, terkadang melanggar norma-norma etika dan agama. Sebagai contoh,
undang- undang dapat menetapkan kepemilikan tanah bagi seseorang setelah lima belas
tahun, walaupun sebelumnya ia mendapatkannnya dengan cara merampas. Begitu juga suatu
hak yang dapat digugurkan dengan undang-undang kadaluarsa. Itulah cara paling mudah
untuk menegakkan aturan sosial,walaupun melanggar etika.
Apabila kembali pada syariat, akan kita temukan bahwa tujuan syariat di samping
ingin menegakkan tatanan sosial, juga ingin mewujudkan keteladanan dalam kehidupan
manusia,manaikkan derajat kemanusiaan,serta memelihara nilai-nilai rohani dan etika. Dari
sanalah muncul istilah “aspek hukum”dan “aspek agama”. “ aspek hukum” memberikan
putusan berdasarkan bukti konkret untuk menjaga kehidupan bermasyarakat, sedangkan
“aspek agama” memperlakukan manusia dari sisi dalamnya bukan dari sisi luarnya dan
mengatur mereka dari sisi batinnya,bukan dari sisi lahirnya.
Contoh : untuk pelanggaran-pelanggaran tertentu, syariat menetapkan
sanksi hukum yang, pada tahap pertama, diserahkan pada hati dan
ketakwaan pelakunya, bukan pada hakim dan lembaga peradilan. Sanksi ini
dinamai denda (kafarah) seperti denda melanggar sumpah atas nama Allah,
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

“....maka denda (karafah) melanggar sumpah itu adalah memberi makan


sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan
seorang hamba sahaya. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan
demikian, maka kafaratnya adalah shaum selama tiga hari. Yang demikian
itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu jika kamu bersumpah dan kamu
langgar.” (Q.S. Al-Maidah, 5 : 89).
Contoh lain, denda membunuh seorang mukmin atau kafir dzimmi (kafir yang
berada di baah perlindungan penguasa muslim) tanapa sengaja dengan memerdekakan
seorang hamba sahaya. Jika tidak sanggup Allah berfirman,
َ ‫ش ْه َر ْي ِن ُمتَتَا ِب َع ْي ِن تَ ْوبَةً ِم َن هَّللا ِ َو َك‬
  ُ ‫ان هَّللا‬ ِ َ‫فَ َمنْ لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
َ ‫صيَا ُم‬ )٩٢( ‫َعلِي ًما َح ِكي ًما‬
Artinya : Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia berpuasa
selama 2 bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Alah. Dan Allah Maha
Mengetahui dan Maha Bijaksana (QS. An-Nisa, 4:92)
Demikian juga dengan hubungan suami istri pada siang hari pada bulan
Ramadhan adalah dengan memerdekakan seorang hamba sahaya, berpuasa selama dua
bulan berturut-turut, memberi makan kepada enam puluh fakir miskin, yang menurut
pendapat mayoritas ulama (jumhur) harus dipilih berdasarkan urutannya, dan menurut
pendapat imam Malik boleh memilih salah satunya secara acak.
Realisasi Akhlaqiyyah Terhadap Manusia dan Melaksanakan Syariat
Islam Disertai Dalil dan Contoh
Salah satu bukti sifat etis adalah memelihara idealisme moral dengan
membatasi pertimbangan akal dalam menjaga tatanan dan system suatu
masyarakat. Di antara hal yang termasuk dalam masalah ini adalah ‘etika
perang’ dalam syariat islam/syariat islam tidak memperbolehkan para tentara
sekalipun dengan tujuan memenangkan peperangan membumi hanguskan
bangunan, menebang pohon, rumah ibadah, dan membunuh orang yang
tidak layak dibunuh seperti perempuan, anak kecil, dan orang jompo; serta
hal-hal yang sering diwasiatkan oleh Rasulullah dan para khalifahnya
kepada para panglima perang
Buraidah meriwayatkan,” Apabila Rasulullah mengangkat seorang
panglima,untuk memimpin suatu pasukan,beliau memberikan wasiat khusus
kepadanya supaya bertaqwa kepada Allah dan orang orang muslim yang
ikut bersamanya untuk melakukan kebaikan.
Berperanglah kalian,, jangan berbuat curang, jangan melanggar janji,
jangan menakut- nakuti , dan jangan membunuh anak- anak”.( HR Muslim
dari Abu Daud dan Al Nasa’i)
Dari Anas,” Apabila Rasulullah memberangkatkan pasukan , beliau
berkata, Berangkatlah dengan nama Allah. Jangan membunuh orang
tua,anak kecil, dan perempuan, dan berbuat baiklah karena Allah menyukai
orang- orang yang berbuat baik.”( HR. Abu Daud)
C. REALISTIS (AL-WAQI’IYYAH)

Keistimewaan yang dimiliki syariat islam adalah bersifat realistis (Al-Waqi’yyah).


Perhatiannya terhadap idealisme moral tidak menghalangi syariat untuk memerhatikan
realitas yang terjadi dan menetapkan syariat yang menyelesaikan masalah. Syariat tidak
menerawang di dunia khayal, mencita-citakan manusia ideal yang tidak dapat berwujud
di dunia nyata, seperti yang dilakukan Plato dan Republik-nya dan Al-Farabi dalam Al-
Madinah Al-Fadhilah-nya, atau seperti paham komunis yang memimpikan masyarakat
tanpa kelas dan tanpa kepemilikan pribadi, juga tidak memerlukan Negara, lembaga
peradilan, kepolisian, dan penjara.
Syariat Islam adalah syariat yang diciptakan untuk
manusia sesuai dengan kapasitasnya yang telah diciptakan-
Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Asy-Syams ayat 7-8 :

(8) ‫َ ْ َ َوقـوتاَـها‬ ‫فــور َـها‬


‫ج‬ ُ ‫ـ‬
‫ه‬
‫ا‬ ‫م‬ َ
َ َ‫َ أ‬
‫ـ‬‫فـ‬
‫ـ‬
‫ْه‬
‫ل‬ (7) ‫سـاَـها‬
‫َ َّو‬ ‫َ َفٍْونـ َسو َـما‬
َُ
“ Demi jiwa yang penyempurnaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kejahatan dan
ketaqwaannya.”
Realisasi Al-Waqi’iyyah Terhadap Manusia dalam Melaksanakan Syariat
Islam Disertai Dalil dan Contoh
Al-Qur’an menetapkan hukuman yang setimpal bagi seorang yang
melakukan pelanggaran. Dengan cara demikian, keadaan dapat dicapai.
Akan tetapi, Al-Qur’an pun membuka peluang bagi orang yang ingin meraih
keutamaan dan kebaikan dengan firman-Nya:
QS. Asy-Syura ayat 40:

َ ‫َو َج َزا ُء َسيِّئَ ٍة َسيِّئَةٌ ِم ْثلُهَا ۖ فَ َم ْن َعفَا َوأَصْ لَ َح فَأَجْ ُرهُ َعلَى هَّللا ِ ۚ إِنَّهُ اَل ي ُِحبُّ الظَّالِ ِم‬
‫ين‬
“ Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang
siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya menjadi tanggungan Allah.
Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”
QS. An-Nahl ayat 126:

َ ‫َوإِ ْن َعاقَ ْبتُ ْم فَ َعاقِبُوا بِ ِم ْث ِل َما ُعوقِ ْبتُ ْم بِ ِه ۖ َولَ ِئ ْن‬


َ ‫صبَرْ تُ ْم لَه َُو َخ ْي ٌر ِللصَّابِ ِر‬
‫ين‬
“ Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”
Shaum pertamakali diisyaratkan sebagai pilihan saja yang mau boleh berpuasa,
yang tidak, boleh berbuka dan membayar fidiyah, sebagaimana riwayat Imam Al-
Bukhari dari Salamah Ibn Akwa’ yang menafsirkan firman-Nya:
“ Dan bagi orang-orang yang payah harus membayar fidiyah dengan memberi makan
seorang miskin. Barangsiapa melakukan kebaikan, dia akan mendapat kebaikan. Dan
jika kamu berpuasa, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat
184)
Zakat pertama kali diwajibkan di Makkah tanpa
ketentuan, tanpa urusan nishab, dan haul. Semua
diserahkan kepada hati orang-orang Mukmin serta
kebutuhan pribadi dan masyarakat. Kemudian, ketika di
Madinah diwajibkan zakat dengan berbagai ketentuannya.

Anda mungkin juga menyukai