Semboyan “Fiat justitia ruat caelum” sekali lagi lahir sebagai bagian dari “Vos Iuris Civilis” atau “Viva Vox est iuris civilis” . Inilah keadila dari sudut pandang Ius Honorarium, yang menuntut pelaksanaan untuk melengkapi/menyempurnakan aturan-aturan yang ada. Penyertaannya ”diduga kuat” memang sengaja dimanipulasi Piso, si pengambil keputusan, untuk memberikan/menguatkan “charisma” atau “kharisma” bagi “putusan emosionalnya” di atas. Kharismalah yang kemudian berperan sebagai The X-Element bagi setiap putusan pengadilan, sehingga dapat menyejarah dengan status perenialnya sebagai putusan yang ekstravagan, cerdas, atraktif, serta mengusung vitalitas etis dan estetis. Putusan-putusan ini adalah putusan- putusan yang datang dengan kharisma yang tinggi, dan memaksa ribuan putusan lain tenggelam dibawah reputasi dan pengaruhnya Sebaliknya, banyak pula putusan yang seolah “antara ada dan tiada.” Seberapa pun hebatnya hakim-hakim yang meraciknya, putusan-putusan ini selamanya akan dipandang sebelah mata. Keberadaan putusan-putusan ini tidak terlalu diperhitungkan, tidak terlalu menyita perhatian jagad kehidupan sosial di mana putusan-putusan itu diumumkan dan dinyatakan berlaku. Ini lagi- lagi berhubungan dengan kharisma sebuah keputusan. Sang hakim tidak berkemampuan menjadikannya putusan kharismatis. Kharisma akan pula berfungsi sebagai “deterjen sintetis” yang akan “mensucikan” setiap produk keputusan yang oleh sudut pandang khalayak, sekurang-kurangnya berpotensi untuk dicurigai sebagai “kotor” atau “diwarnai sejumlah skandal”. Sejauh telah memercikkan kharisma, putusan dimaksud bisa saja berubah nilainya seratus delapan puluh derajat. Keputusan-keputusan yang dianggap melukai/mencederai perasaan akan selamanya tersimpan di relung terdalam dari sanubari masyarakat manusia (Lihat: Lötter, 1997: 13-15). Berbagai sindiran, kritik, atau pun kecaman dari sejumlah penulis yang hidup dalam dua abad terakhir telah dilayangkan dalam berbagai cara untuk alasan ini. Bagi Deborah Oaxly (1996: 63) misalnya, secara verbal tidak ada yang salah dengan ungkapan “Fiat justitia ruat caelum” diatas. Namun dari sudut pandang moral, ini merupakan kesalahan yang serius, dan mungkin dapat dipandang sebagai salah satu diantara skandal tebesar yang pernah mewarnai sejarah penegakan hukum di jagad kehidupan sosial masyarakat manusia. Setiap praktisi hukum yang hidup di “era kita”, sudah barang tentu memiliki cara pandang sama, bahwa Piso telah melanggar dua prinsip yang dikeramatkan oleh cara berpikir Kontinental, yakni : 1. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali 2. Asas Culpabilitas 1. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali\ Berbasis asas tersebut dia atas, kita mengatakan, “syarat materil” yang menjadi dasar penguatan dakwaan tindak pembunuhan tidak dapat dipenuhi oleh Piso. Jika Piso tetap memaksakan proses hukum berjalan, maka ia telah menerabas prinsip paling fundamental dalam tradisi hukum pidana, “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”. 2. Asas Culpabilitas Piso telah terlibat dengan kesalahan fundamental dan mutlak, yakni: ia telah melawan doktrin Culpabilitas yang mengajarkan: “Afwijizigheid van alle schuld” atau “tiada hukuman tanpa kesalahan” (Lihat: Marbun, (2012: 21). Intinya, “Tidak seorang pun dapat diperkenankan untuk dihukum, kecuali sejauh dapat dibuktikan bahwa dialah pihak yang sebenarnya bertanggung jawab atas kesalahan yang didakwakan padanya”. Dengan asas disebutkan terakhir, sanksi atau hukuman hanya diprojeksikan untuk mereka yang bersalah (melanggar larangan), bukan sebaliknya Sistem penegakan hukum kharismatik dan berwibawa adalah sistem yang mendemonstrasikan gaya tarik etikal dan estetikal yang luar biasa, sehingga menginspirasi loyalitas dan ketundukan subjek-subjek hukum secara sukarela. Melengkapi itu semua, kita memiliki dua catatan yang penting artinya untuk menyudahi bagian ini secara adil, yakni: “nota aprobasi” dan “nota objeksi.” Berikut bunyinya : “putusan yang adil”, atau “keadilan menurut hukum” tidak mungkin bisa lahir dari sistem (penegakan hukum) yang “lembek”, “mencla-mencle”, atau seringkali “ragu-ragu” melaksanakan apa yang terlanjur diterima dan diputusnya sebagai keadilan. Keadilan hanya lahir melalui sebuah sistem yang jelas, tegas, terang, benar dan konkret dengan pendiriannya. Ini adalah sistem yang teguh dalam memperjuangkan tegaknya keadilan di Bumi, keras dan tidak kenal kompromi terhadap segala bentuk tipudaya, keonaran , serta keangkara-murkaan di Bumi, sejalan prinsip lama orang Indonesia, “sekali kali terlangkahkan, pantang dihela surut” atau “hal memalukan” bagi seorang aparatur penegak hukum untuk menjilat air liurnya kembali Sejauh hukum terlalu berlebihan dalam meletakkan titik beratnya kepada keadilan, niscaya ia tengah merintis jalannya menuju “depotisme hukum”. Persisnya, ia tengah menyatakan persetujuannya untuk menjadi antitesis dari keadilan itu sendiri. Sebab bagaimana pun, “Keadilan yang (terlalu) berlebihan malah akan mengakibatkan elemen keadilan itu serta merta hilang, dan sebagai gantinya adalah “IBU SEGALA PRAHARA” (Baca: Puncak dari segala penindasan/kekejaman oleh hukum). Marcus Tullius Cicero (106 S.M s/d 43 S.M) dari Arpinum, filsuf dan orator yang sedemikian termasyhur di era Piso, pernah mengingatkan kita dalam pernyataannya, yakni bila diterjemahkan kurang lebih berarti: “Keadilan yang terlalu keras (kaku) merupakan puncak dari penindasan” (Lihat: Milton, 1838: 351). Maksudnya, hukum yang terlalu mengedepankan keadilan malah bisa berbalik menjadi kekerasan/kekejaman atau penindasan yang ekstrem oleh hukum.