Anda di halaman 1dari 15

Dr. Sulardi, SH., M.Si.

Fiat justitia ruat caelum


 Semboyan “Fiat justitia ruat caelum” sekali lagi
lahir sebagai bagian dari “Vos Iuris Civilis” atau
“Viva Vox est iuris civilis” . Inilah keadila dari sudut
pandang Ius Honorarium, yang menuntut
pelaksanaan untuk melengkapi/menyempurnakan
aturan-aturan yang ada. Penyertaannya ”diduga
kuat” memang sengaja dimanipulasi Piso, si
pengambil keputusan, untuk
memberikan/menguatkan “charisma” atau
“kharisma” bagi “putusan emosionalnya” di atas.
 Kharismalah yang kemudian berperan sebagai The
X-Element bagi setiap putusan pengadilan,
sehingga dapat menyejarah dengan status
perenialnya sebagai putusan yang ekstravagan,
cerdas, atraktif, serta mengusung vitalitas etis dan
estetis. Putusan-putusan ini adalah putusan-
putusan yang datang dengan kharisma yang tinggi,
dan memaksa ribuan putusan lain tenggelam
dibawah reputasi dan pengaruhnya
 Sebaliknya, banyak pula putusan yang seolah
“antara ada dan tiada.” Seberapa pun hebatnya
hakim-hakim yang meraciknya, putusan-putusan
ini selamanya akan dipandang sebelah mata.
Keberadaan putusan-putusan ini tidak terlalu
diperhitungkan, tidak terlalu menyita perhatian
jagad kehidupan sosial di mana putusan-putusan
itu diumumkan dan dinyatakan berlaku. Ini lagi-
lagi berhubungan dengan kharisma sebuah
keputusan. Sang hakim tidak berkemampuan
menjadikannya putusan kharismatis.
 Kharisma akan pula berfungsi sebagai
“deterjen sintetis” yang akan “mensucikan”
setiap produk keputusan yang oleh sudut
pandang khalayak, sekurang-kurangnya
berpotensi untuk dicurigai sebagai “kotor”
atau “diwarnai sejumlah skandal”. Sejauh
telah memercikkan kharisma, putusan
dimaksud bisa saja berubah nilainya seratus
delapan puluh derajat.
 Keputusan-keputusan yang dianggap
melukai/mencederai perasaan akan
selamanya tersimpan di relung terdalam dari
sanubari masyarakat manusia (Lihat: Lötter,
1997: 13-15). Berbagai sindiran, kritik, atau
pun kecaman dari sejumlah penulis yang
hidup dalam dua abad terakhir telah
dilayangkan dalam berbagai cara untuk
alasan ini.
 Bagi Deborah Oaxly (1996: 63) misalnya,
secara verbal tidak ada yang salah dengan
ungkapan “Fiat justitia ruat caelum” diatas.
Namun dari sudut pandang moral, ini
merupakan kesalahan yang serius, dan
mungkin dapat dipandang sebagai salah satu
diantara skandal tebesar yang pernah
mewarnai sejarah penegakan hukum di jagad
kehidupan sosial masyarakat manusia.
 Setiap praktisi hukum yang hidup di “era
kita”, sudah barang tentu memiliki cara
pandang sama, bahwa Piso telah melanggar
dua prinsip yang dikeramatkan oleh cara
berpikir Kontinental, yakni :
1. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia
Lege Poenali
2. Asas Culpabilitas
1. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia
Lege Poenali\
 Berbasis asas tersebut dia atas, kita mengatakan, “syarat
materil” yang menjadi dasar penguatan dakwaan tindak
pembunuhan tidak dapat dipenuhi oleh Piso. Jika Piso
tetap memaksakan proses hukum berjalan, maka ia telah
menerabas prinsip paling fundamental dalam tradisi
hukum pidana, “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia
Lege Poenali”.
2. Asas Culpabilitas
 Piso telah terlibat dengan kesalahan fundamental dan
mutlak, yakni: ia telah melawan doktrin Culpabilitas yang
mengajarkan: “Afwijizigheid van alle schuld” atau “tiada
hukuman tanpa kesalahan” (Lihat: Marbun, (2012: 21).
Intinya, “Tidak seorang pun dapat diperkenankan untuk
dihukum, kecuali sejauh dapat dibuktikan bahwa dialah
pihak yang sebenarnya bertanggung jawab atas kesalahan
yang didakwakan padanya”. Dengan asas disebutkan
terakhir, sanksi atau hukuman hanya diprojeksikan untuk
mereka yang bersalah (melanggar larangan), bukan
sebaliknya
 Sistem penegakan hukum kharismatik dan
berwibawa adalah sistem yang
mendemonstrasikan gaya tarik etikal dan
estetikal yang luar biasa, sehingga
menginspirasi loyalitas dan ketundukan
subjek-subjek hukum secara sukarela.
 Melengkapi itu semua, kita memiliki dua
catatan yang penting artinya untuk
menyudahi bagian ini secara adil, yakni: “nota
aprobasi” dan “nota objeksi.” Berikut
bunyinya :
 “putusan yang adil”, atau “keadilan menurut hukum”
tidak mungkin bisa lahir dari sistem (penegakan
hukum) yang “lembek”, “mencla-mencle”, atau
seringkali “ragu-ragu” melaksanakan apa yang
terlanjur diterima dan diputusnya sebagai keadilan.
Keadilan hanya lahir melalui sebuah sistem yang
jelas, tegas, terang, benar dan konkret dengan
pendiriannya. Ini adalah sistem yang teguh dalam
memperjuangkan tegaknya keadilan di Bumi, keras
dan tidak kenal kompromi terhadap segala bentuk
tipudaya, keonaran , serta keangkara-murkaan di
Bumi, sejalan prinsip lama orang Indonesia, “sekali
kali terlangkahkan, pantang dihela surut” atau “hal
memalukan” bagi seorang aparatur penegak hukum
untuk menjilat air liurnya kembali
 Sejauh hukum terlalu berlebihan dalam
meletakkan titik beratnya kepada keadilan,
niscaya ia tengah merintis jalannya menuju
“depotisme hukum”. Persisnya, ia tengah
menyatakan persetujuannya untuk menjadi
antitesis dari keadilan itu sendiri. Sebab
bagaimana pun, “Keadilan yang (terlalu)
berlebihan malah akan mengakibatkan elemen
keadilan itu serta merta hilang, dan sebagai
gantinya adalah “IBU SEGALA PRAHARA” (Baca:
Puncak dari segala penindasan/kekejaman oleh
hukum).
 Marcus Tullius Cicero (106 S.M s/d 43 S.M) dari
Arpinum, filsuf dan orator yang sedemikian
termasyhur di era Piso, pernah mengingatkan
kita dalam pernyataannya, yakni bila
diterjemahkan kurang lebih berarti: “Keadilan
yang terlalu keras (kaku) merupakan puncak
dari penindasan” (Lihat: Milton, 1838: 351).
Maksudnya, hukum yang terlalu
mengedepankan keadilan malah bisa berbalik
menjadi kekerasan/kekejaman atau penindasan
yang ekstrem oleh hukum.

Anda mungkin juga menyukai