Laki-Laki dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak
Oleh Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo
Lina Jumiati Yulanda
14184502 Akm6 Pelibatan laki-laki yang khususnya dilakukan di komunitas dituangkan dalam sebuah program supaya dapat diketahui apakah target program tercapai dan apakah program tersebut berdampak signifikan terhadap perubahan perilaku laki-laki. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hakimi, et.al, salah satu alasan tingginya kematian ibu adalah kepercayaan tradisional mengenai status perempuan (Mohammad Hakimi, et.al., Cetakan Ke-II 2011). Salah satu kepercayaan tradisional berkenaan dengan status perempuan adalah bahwa begitu menikah, perempuan diharapkan untuk mengikuti aturan sosial yang ada, yaitu mengurus suami dan anak (Djohan E., 1994). Di sisi lain, norma sosial juga memberikan hak-hak istimewa kepada para laki-laki dan menempatkan mereka di atas perempuan. Hal ini membuat laki-laki merasa berhak mengatur dan meminta apa saja dari perempuan, khususnya dalam konteks rumah tangga Juga, perempuan mempunyai tanggung jawab penuh dalam rumah tangga, ini menyebabkan mereka mengalami kelelahan fisik dan psikis Keletihan fisik dan psikis perempuan berpengaruh terhadap kualitas kesehatan reproduksi mereka. Situasi tersebut diperparah dengan tuntutan suami terhadap istri untuk senantiasa siap berhubungan seksual. Meskipun tidak berkeinginan untuk berhubungan seksual, Mohammad Hakimi dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan/istri enggan menolak keinginan seksual suaminya karena mereka percaya bahwa sesuai dengan firman Tuhan, melayani kehendak seksual suami adalah kewajiban perempuan (Muhammad Hakimi, et.al., 2011) Sementara itu, Nur Hasyim dkk. menemukan bahwa norma sosial yang menempatkan laki-laki diatas perempuan tidak selalu menguntungkan laki-laki sendiri karena laki-laki dituntut untuk menjadi tulang punggung keluarga yang harus bertanggung jawab seutuhnya terhadap kehidupan anggota keluarga yang lain. Kondisi tersebut membuat laki- laki seolah-olah berjuang sendirian dalam menopang kehidupan rumah tangga dan menganggap istri hanyalah sebagai pelengkap dan bukan partner yang dapat diajak bekerja sama dalam suatu relasi yang setara dan seimbang (Nur Hasyim, et. al., 2011). Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) tertinggi. Pada tahun 2012, tercatat ada 11 (sebelas) AKI dan 95 (sembilan puluh lima) AKB. Dari seluruh perempuan di Kabupaten Gunungkidul yang hamil pada tahun 2012, 11% (sebelas persen) diantaranya, 828 (delapan ratus dua puluh delapan) perempuan, berusia di bawah 20 (dua puluh) tahun. Berdasarkan pengalaman lapangan yang telah disebutkan di atas, Rifka Annisa Women’s Crisis Centre (Rifka Annisa WCC), Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berbasis gender, berpendapat bahwa penguatan/ pendampingan pada sisi perempuan saja tidak mampu untuk menghentikan siklus kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Pada jurnal ini, kita akan membahas Program Laki-Laki Peduli sebagai Upaya Pelibatan Laki-Laki dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak (oleh Sartika Intaning Pradhani dan Haryo Widodo) Yang akan membahas 3 sub bahasan diantaranya : tentang pentingnya mewadahi keterlibatan laki-laki dalam sebuah program, proses pemilihan komunitas sebagai pilot project Program Laki-Laki Peduli, dan pelaksanaan Program Laki-Laki Peduli di Komunitas. Pentingnya Mewadahi Keterlibatan Laki-Laki dalam Sebuah Program Dalam survei yang dilakukan Rifka Annisa WCC, sebanyak 80% wanita (korban kekerasan) akan kembali pada pasangannya. Padahal mereka sendiri tahu betul bahwa kejadian kekerasan rumah tangga akan terjadi kembali padanya. Rifka Annisa WCC sejak tahun 2005 telah menginisiasi antara lain: program konseling re-edukasi untuk laki-laki pelaku kekerasan, penelitian tentang maskulinitas, peluncuran Mens’s Program pada tahun 2007, dan memperkenalkan program Men Care (Laki-Laki Peduli) pada tahun 2013. selain itu, rifka juga juga berjejaring dengan jaringan nasional Aliansi Laki-Laki Baru untuk mempromosikan nilai- nilai maskulinitas yang positif, supaya tercipta kondisi yang setara antara laki-laki dan perempuan dimana tidak ada kekerasan di dalamnya. Proses Pemilihan Komunitas sebagai Pilot Project Program Laki-Laki Peduli - Tujuan Umum : untuk melibatkan laki-laki sebagai partner dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, program Keluarga Berencana (KB), dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. - Tujuan Khusus : untuk merekonstruksi nilainilai kelelakian dan perilaku negatif yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan, melibatkan remaja laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, melibatkan laki-laki dalam pengasuhan sebagai cara efektif dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak, serta melibatkan laki-laki dalam program KB. Kelompok sasaran Program Laki-Laki Peduli adalah remaja laki-laki yang belum menikah atau menjelang menikah [usia 15 (lima belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun] dan laki-laki yang sudah menikah dan memiliki anak [maksimal usia 35 (tiga puluh lima) tahun]. Dalam tulisan ini, fokus pengorganisasian komunitas/ kelompok laki-laki adalah pada kelompok laki-laki yang sudah menikah dan sudah memiliki anak (Kelas Ayah). Pilot Project Program Laki-Laki Peduli Kabupaten Gunungkidul dipilih karena Kabupaten Gunungkidul memiliki Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Pasal 1 ayat (14) Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul No. 16 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan menyebut tentang Konseling Perubahan Perilaku sebagai konseling psikologis yang diberikan kepada laki-laki pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk membantu menghentikan kekerasan dan menjadi orang yang dapat menghargai pasangan, sehingga dapat menjadi hubungan yang lebih baik dengan pasangan dan anak. Pendekatan yang digunakan oleh Rifka Annisa WCC untuk melaksanakan Program Laki-Laki Peduli dalam diskusi Kelas Ayah adalah pendekatan reflektif, yaitu pendekatan yang memberi ruang kepada peserta untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman kehidupan mereka tanpa merasa dihakimi. Pendekatan reflektif dilakukan dengan cara membagikan pengalaman masing-masing peserta kepada peserta yang lain baik dalam kelompok kecil, maupun kelompok besar; menggunakan beberapa metode kreatif, seperti bermain peran; dan fasilitator banyak melakukan probing (memancing dengan pernyataan yang lebih detail) untuk menggali pengalaman dan pemahaman peserta.