Anda di halaman 1dari 11

BA’I AS-SALAM

(in-front payment sale)


1. Pengertian:
 Ba’i As-Salam adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka (Ibn Rusy: Bidyatul Mujtahid,
vol. XII, hlm 124). Jadi para ahli fiqh sering menyebutnya sebagai‫ب'''ي'ع' آ'ج'ل‬
‫(“ ب'''ع'اجل‬ba’i aajil bi ‘aajil), yang dimaksud dengan “aajil”: al-Muslam fiihi
(barang), sedangkan “‘aajil”: ats-tsaman, ra’su maal (harga atau modal).
2. Landasan Syariah:
a. Al-Quran (QS. Al-Baqarah: 282):
َ ‫َيا أَ ُّي َها ا َّلذِينَ آ َم ُنوا إِ َذا َت َدا َي ْن ُت ْم ِب َد ْي ٍن إِ َلى أَ َج ٍل ُم‬
....ُ‫س ّم ًى َفا ْك ُت ُبوه‬
(Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya atau
mencatatnya…)
 Dalam beristidlal dengan ayat tersebut, Ibn Abbas menjelaskan bahwa
ayat tersebut ada keterkaitan dengan transaksi ba’i as-salam. Hal tersebut
tanpak dalam kesaksian beliau yang diuangkapkan “Saya bersaksi bahwa
salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh
Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya, lalu Ibn Abbas menbaca ayat di
atas.

1
b. Al-Hadits:
‫ قدم الن'بي‬:'‫ ع'ن ا'ب'ن عباس رض'ي هللا' عنهم'ا قال‬:)2125( ‫ برق'م‬781 ‫ ص‬2 ‫ ص'حيح البخاري ج‬
‫ م'ن أس'لف ف'ي شي'ء فف'ي‬:‫ص'لى هللا' علي'ه وس'لم المدين'ة وه'م يس'لفون بالتم'ر الس'نتين والثالث فقال‬
‫كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم‬
(Dari Ibn Abbas berkata: Rasulullah datang ke Madinah dimana
penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (kurma)
selama 2 atau 3 tahun, lalu beliau bersabda: barang siapa yang
melakukan salaf (salam) hendaknya ia melakukan dengan takaran
yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui)
‫ ع'ن ص'الح ب'ن ص'هيب ع'ن أ'بيه‬:)2289( ‫ برق'م‬768 ‫ ص‬2 ‫ س'نن اب'ن ماج'ه ج‬
‫قال قال رس''ول هللا' ص''لى هللا' علي''ه وس''لم ثالث فيه''ن البرك''ة ال''بيع إل''ى أج''ل‬
‫والمقارضة وأخالط البر بالشعير للبيت ال للبيع‬
(Dari Salih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkatan: jaul-beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual. (HR. Ibn Majah,
No. 2289)

2
3. Rukun Ba’i As-Salam:
 Pelaksanaan Ba’i As-Salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut
ini:
1) Al-Muslim (pembeli);
2) Al-Muslam Ilaih (penjual);
3) Ra’su Maal (modal atau uang);
4) Al-Muslam fiihi (barang); dan
5) Shighat (ungkapan /iajb-qabul)
4. Syarat Ba’i As-Salam:
 Di samping rukun di atas harus terpenuhi, Ba’i As-Salam juga
mengharuskan adanya terpenuhinya syarat-syarat dari masing rukun,
al:
1) Modal transaksi dalam Ba’i As-Salam, syaratnya sbb:
a) Modal harus diketahui (barang yang akan disuplai harus diketahui
jenis, kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal dari pembayaran adalah
harus dilakukan dengan uang tunai).
b) Penerimaan pembayaran salam (kebanyakan ulama mensyaratkan
pembayaran dilakukan di tempat akad. Hal itu dimaksudkan agar
pembayaran yang diberikan oleh pembeli tidak dalam bentuk utang.
Lebih khusus pembayaran dalam salam tidak boleh dalam bentuk
pembebasan utang, guna menghindari praktik riba melalui mekanisme
salam.
3
2) Al-Muslam fiihi (barang): diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi
dalam al-muslam fiihi (barang) adalah sbb:
a) Harus spesifik dan dapat diakui sebagai hutang;
b) Harus bisa diidentifikasi secara jelas guna mengurangi kesalahan
akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut
(misalnya: beras atau kain), tentang klasifikasi kaulitas (misalnya:
kualitas utama, kelas dua atau eks ekspor);
c) Penyerahan barang dilakuan dikemudian hari;
d) Mayoritas ulama, mensyaratkan penundaan penyerahan barang,
namun as-syafi’iyah membolehkan dilakukan segera;
e) Penentuan waktu penyerahan barang di masa yang akan datang;
f) Tempat penyerahan barang harus jelas;
g) Para ulama melarang dilakukannya penggantian atau penukaran
barang yang akan diserahkan, terkecuali dengan spesifikasi dan
kualitas -paling tidak- yang sama.

4
5. Salam Paralel:
 Salam Paralel adalah melaksanakan dua transaksi ba’i as-salam
antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (suplier)
atau pihak lainnya secara simultan.
 Dalam hal ini, Dewan Pengawas Syari’ah Rajhi Banking &
Investment Corporation telah membolehkan praktik salam paralel
dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung
pada pelaksanaan akad salam yang pertama.
 Namun sejumlah ulama kontemporer memberikan catatan atas
transaksi salam paralel, terutama jika perdagangan dan transaksi
semacam itu dilakukan secara terus menerus, kerena dikhawatirkan
akan menjurus kepada praktik riba.

5
SKEMA BA’I AS-SALAM

Produsen ditunjuk oleh Bank

4. Kirim pesanan
PRODUSEN NASABAH
PENJUAL

3. Kirim dokumen 5. bayar

2. Pemesanan barang 1. negoisasi pesanan


Nasabah&bayar tunai dengan kriteria

BANK
SYARI’AH

6
BA’I AL-ISTISHNA’
(purchase by order or manufacture
1. Pengertian:
 Ba’i Al-Istishna’ adalah merupakan kontrak penjualan antara
pembeli dengan pembuat barang (produsen). Dalam kontrak
tersebut, pihak industri (pembuat barang) menerima pesanan dari
pembeli. Kemudian pihak pembuat barang berusaha untuk
membuat atau mengadakan barang -menurut spesifikasi yang
disepakati- melalui orang lain lalu menjualnya kepada pembeli
akhir. Kedua belah pihak sepakat atas harga serta sistem
pembayaran, apakah akan dilakukan dengan cash, cicilan atau
ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
 Menurut Jumhur Ahli Fiqh, Ba’i Al-Istishna’ merupakan suatu jenis
khusus dari akad Ba’i As-Salam. Biasanya jenis ini digunakan di
bidang manufactur. Dengan demikian, maka Ba’i Al-Istishna’
mengikuti ketentuan dan aturan akad Ba’i As-Salam.
 Dalam leteratur klasik, Ba’i Al-Istishna’ menjadi populer setelah
dikembangkan oleh Hanafiah (mujallat al-ahkam al-’adliah)
dimana ketentuannya didasarkan pada kaidah Istihsan, kemudian
banyak diikuti oleh para ahli kontemporer.

7
2. Landasan Syari’ah:
 Seperti dikatakan bahwa Ba’i Al-Istishna’ ini merupakan lanjutan
dari Ba’i As-Salam, sehingga secara umum dasar hukumnya
sama dengan Ba’i As-Salam.
3. Pandangan Ulama terhadap Ba’i Al-Istishna’:
 Pada prinsipnya golongan Hanafiah menganggap bahwa
transaksi Ba’i Al-Istishna’ tersebut dilarang karena bertentangan
dengan semangat ba’i secara qiayas, mereka mendasarkan pada
argumentasi bahwa “dasar pokok penjualan harus ada barang
dan dimiliki oleh si penjual, sementara dalam kontrak istishna’
barang belum ada atau belum dimiliki oleh si penjual. Meskipun
demikian, golongan Hanafiah membolehkan kontrak tersebut
dengan “kaidah istihsan” dengan alasan sbb:
1) Praktik Ba’i Al-Istishna’ telah berlaku dan berlangsung di
kalangan masyarakat secara luas dan terus menerus tanpa ada
keberatan dari pihak yang melakukan transaksi tersebut.
2) Dalam Syariat dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap
qiyas berdasarkan Ijma’ Ulama.

8
3) Keberadaan Ba’i Al-Istishna’ didasarkan atas kebutuhan
masyarakat. Banyak orang seringkali membutuhkan barang yang
tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung melakukan
kontrak agar orang lain membuatkan barang yang diperlukan.
4) Ba’i Al-Istishna’ dianggap sah sesuai dengan aturan umum
mengenai asas kebolehan kontrak selama tidak bertentangan
dengan nash atau aturan syari’ah.
4. Istishna’ Paralel.
 Dalam kontrak Ba’i Al-Istishna’ bisa saja pembeli mengizinkan
pembuat (produsen) menggunakan subkontrak untuk
melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat
(produsen) dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk
memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama, kontrak tersebut
dikenal sebagai “istishna’ paralel”.
 Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan
kontrak istishna’ paralel, diantaranya sbb:

9
a) Bank sebagai pembuat pada kontrak pertama tetap merupakan
satu-satunya pihak yang bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel atau subkontrak
untuk sementara harus dianggap tidak ada. Dengan demikian
sebagai shani’ (produsen) pada kontrak pertama, bank tetap
bertanggungjawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau
pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
b) Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ paralel
bertanggungjawab terhadap bank Islam sebagai pemesan. Dia
tidak mempunyai hubungan langsung dengan nasabah pada
kontrak pertama akad. Ba’i istishna’ kedua merupakan kontrak
paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak
pertama, sehingga tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali.
c) Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau
mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas
pelaksanaan subkontrak dan jaminan yang timbul darinya.
Kewajiban ini yang membenarkan keabsahan istishna’ paralel,
juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan
kalau ada.

10
SKEMA BA’I ISTISHNA’

NASABAH PRODUSEN
KONSUMEN PEMBELI
(pembeli)

1. pesan
2. Beli
3. Jual
BANK
PENJUAL

11

Anda mungkin juga menyukai