Preeklamsia saat ini masih menjadi salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas ibu. Meskipun prevalensinya masih diremehkan di beberapa tempat
karena kurangnya data statistik, preeklamsia merupakan penyakit yang perlu diketahui oleh tenaga kesehatan agar dapat menanganinya dan mengambil tindakan. Dengan alasan ini, topic ini dibahas dengan pemahaman yang lebih komperhensif dengan tujuan untuk memberikan perbaikan dan perubahan konsep dalam penanganan. Kompleksitas etiologinya merupakan tantangan dan memerlukan studi lebih lanjut untuk pemahaman penuh. Berdasarkan penelitian, adaptasi ibu yang buruk terhadap konseptus, yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan pada arteri spiralis uterina, menentukan serangkaian dampak sistemik yang memperparah berbagai bentuk presentasi preeklamsia. Dalam beberapa tahun terakhir, asam asetilsalisilat untuk mencegah kasus awal penyakit telah digunakan dan, di samping itu, penelitian yang ada sudah memberikan metode yang lebih berkembang dalam kemudahan dan efektifitas untuk mengidentifikasi risiko preeklampsia pada wanita hamil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas tentang kejadian, konsep, patofisiologi, reaksi, pencegahan, dan prediksi preeklamsia. Pendahuluan • Menurut beberapa peneliti Jerman, penelitian pertama mengenai pada eklampsia sudah ada sejak 2200 SM. • Kata eklampsia berasal dari bahasa Yunani eklampsis berarti “cahaya terang” [1]. Selama sekitar 2000 tahun, eklampsia dikenal sebagai penyakit yang ditandai dengan kejang kejang pada masa akhir kehamilan, yang berakhir saat melahirkan. • Pada akhir abad ke-19, para ahli menyadari adanya kesamaan antara pembengkakan pada wanita yang mengalami kejang dan penyakit Bright, onset glomerulonefritis mendadak yang ditandai dengan proteinuria. • Ditemukannya pemahaman bahwa proteinuria dan hipertensi mendahului timbulnya kejang. Oleh karena itu, preeklamsia sudah dapat diamati, tingkat risikonya dapat menyebabkan kematian atau komplikasi pada ibu dan janin. • Preeklamsia dan eklampsia menempati urutan kedua atau ketiga dalam peringkat dunia penyebab morbiditas dan mortalitas ibu [5]. • Berdasarkan WHO, yang mengevaluasi penyebab kematian ibu terjadi antara tahun 2003 dan 2009, hipertensi merupakan penyebab terbanyak kedua, dengan 14% dari total kasus, sedangkan perdarahan merupakan penyebab pertama 27,1% dari total kasus kematian ibu [6]. • Menurut Abalos et al., dalam tinjauan sistematis yang melibatkan 40 negara (39 juta wanita), menunjukkan tingkat perkiraan preeklamsia dan eklampsia masing-masing sebesar 4,6% dan 1,4%; • di Brasil, angka ini berkisar sekitar 1,5% dan 0,6%. Penelitian tersebut menyebutkan negara-negara dengan angka-angka diatas memiliki catatan resmi yang sedikit, hal ini menyebabkan sulit untuk membuat rekomendasi strategi inntervensi dalam upaya pencegahaan yang dapat berkontribusi pada hasil kelahiran ibu dan anaknya [7]. • Mengenai data negara Brasil, menurut data yang dianalisis tahun 2016, di mana lebih dari 80.000 wanita (dari 5 wilayah negara) dipantau untuk kasus morbiditas ibu yang parah, diamati bahwa penyebab utama rawat inap adalah hipertensi, yang berkontribusi 73% dari total kasus kehamilan yang mengancam nyawa, meskipun pada kenyataannya penyebab utama kematian ibu di negara ini adalah eklampsia. • Dalam 50 tahun terakhir, telah terjadi penurunan pada kasus ini Negara maju, dan sebaliknya negara dengan penghasilan menengah dan rendah mengalami penigkatan pada kasus ini, yang pada dasarnya disebabkan oleh akses ke perawatan prenatal yang berkualitas serta manajemen yang memadai dari kasus preeklamsia dan eklampsia. • Oleh karena itu lain, peningkatan luaran kesehatan ibu dan janin secara mutlak terkait dengan akses yang luas terhadap layanan dan kualitas perawatan serta pengelolaan komplikasi, yang diterjemahkan ke dalam hasil perinatal yang lebih baik. Konsep dan Klasifikasi • Kondisi hipertensi selama kehamilan dapat diklasifikasikan sebagai hipertensi sebelum kehamilan atau dengan manifestasi sebelum 20 minggu dan hipertensi dimulai pada atau setelah 20 minggu kehamilan. Kelompok hipertensi, yang muncul sebelum 20 minggu, termasuk: (i) essential chronic or secondary arterial hypertension (ii) white coat hypertension (iii) “Masked“ hypertension
Kelompok hipertensi, yang muncul pada 20 minggu atau lebih, termasuk:
(i) transient gestational hypertension ; (ii) gestational hypertension; (iii) preeklamsia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, yang harus diukur 2 kali dengan jarak 4-6 jam. Ketika datang ke preeklamsia, salah satu dari kondisi berikut harus ada: (a) proteinuria ≥300 mg pada spesimen urin 24 jam atau rasio protein/kreatin ≥0.3 atau nilai ≥1+ pada dipstick protein urin (b) Disfungsi organ : insufisiensi ginjal, ditandai dengan kreatinin > 1,02 mg/dL; gangguan hati, ditandai dengan peningkatan transaminase dua kali di atas normal, atau nyeri di hipokondrium kanan, atau epigastrik ; komplikasi neurologis, ditandai dengan skotoma atau sefalgia persisten disertai dengan hiperrefeksia atau keadaan bingung atau eklampsia atau kecelakaan serebrovaskular atau amaurosis; dan komplikasi hematologi yang terdiri dari trombositopenia atau hemolisis; (c) Disfungsi uteroplasenta: hambatan pertumbuhan janin; perubahan dalam studi velo cimetry Doppler dari arteri umbilikalis, dan arteri uterina [20, 21]. • Preeklamsia berat adalah keadaan dimana tingkat tekanan darah sistolik ≥ 160mmHg dan/atau tingkat tekanan darah diastolik ≥ 110mmHg, atau bila ada penyertaan eklampsia atau sindrom HELLP. Yang ditandai dengan hemolisis, trombositopenia dengan jumlah trombosit < 150.000, dan peningkatan transaminase hati dua kali batas atas normalitas [21]. • Proteinuria masif (> 5 gram dalam 24 jam) tidak lagi dianggap sebagai kriteria keparahan yang terisolasi dengan modifikasi konseptual yang diusulkan oleh International Society for Studies on Gestational Hypertension (2014) dan harus dievaluasi sesuai dengan klinis lainnya. Patofisiologi • Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini memberi dampak penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran uteroplasenta menurun dan terjadi hipoksia dan iskemik plasenta. • Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksis seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif yaitu suatu keadaan di mana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan. Stress oksidatif pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia. • Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan at oksida, dibandingkan dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi. Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeklampsia jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ • Diagnosis preeklamsia melibatkan kemungkinan gangguan (trombositopenia berat, koagulasi intravaskular diseminata, solusio plasenta). • 20% wanita akan mengalami hipertensi atau mikroalbuminuria dalam waktu tujuh tahun, dan hal yang sama terjadi pada hanya 2% wanita yang pernah hamil tanpa komplikasi [5]. • Demikian pula, risiko infark miokard akut, stroke, dan tromboemboli vena secara substansial lebih tinggi pada wanita dengan riwayat pribadi preeklamsia, seperti yang ditunjukkan dalam meta-analisis yang diterbitkan pada tahun 2007 [41]. • Berkaitan dengan bayi baru lahir , kompleksitasnya terletak pada keputusan saat risiko di lingkungan intrauterin lebih besar daripada risiko di luar rahim. Dalam hal ini, prematuritas dan konsekuensinya yang tak terhitung, seperti sindrom pernapasan akut, perdarahan intraventrikular, sepsis, displasia bronkopulmoner, dan defisit dalam perkembangan neuropsikomotor, ada beberapa skenario yang terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan preeklamsia (biasanya prematur, sebelum lahir). 34 minggu) harus dihadapi dan, sangat sering, yang harus mereka lawan [20]. Beberapa penelitian telah menunjukkan dampak negatif pada perkembangan neurokognitif bayi ini dievaluasi dalam dua tahun pertama kehidupan mereka • Pada ibu yang mengalami pengalaman mendekati kematian (nyaris meninggal) karena preeklamsia juga memiliki konsekuensi psikologis dengan dampak emosional yang melibatkan kecemasan, isolasi, kesulitan menyusui, gangguan depresi, dan gangguan fungsi otak. kemampuan reproduksi, antara lain. • Lama tinggal di unit perawatan intensif, baik karena wanita itu sendiri atau bayi yang baru lahir, dan keterbatasan fisik atau mental dapat mengganggu antara ibu dan bayi [44] Dalam konteks akibat preeklamsia, kebutuhan akan pencegahan meningkat. Telah ditunjukkan oleh meta-analisis bahwa penggunaan dini (sebelum minggu ke-16 kehamilan) aspirin dosis rendah mengurangi terjadinya preeklamsia, terutama dalam bentuk yang lebih parah (sebelum 34 minggu) [45]. Sebuah uji klinis baru-baru ini yang melibatkan sekitar 2.000 wanita hamil membandingkan penggunaan aspirin dan plasebo dan mengamati penurunan 62% terjadinya preeklamsia dini, pada kelompok yang mengonsumsi 150 mg aspirin setiap hari [46]. Metformin telah muncul sebagai target penelitian pada kelompok wanita hamil yang berbeda, mengenai efeknya pada risiko preeklamsia [47]. Baru-baru ini, sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan insulin, metformin menurunkan risiko hipertensi akibat kehamilan pada sekelompok wanita diabetes gestasional. Di sisi lain, jika dibandingkan dengan plasebo, metformin tidak menunjukkan efek yang menguntungkan terkait preeklamsia [48, 49]. Secara paralel, Pravastatin telah ditunjukkan sebagai pilihan yang baik untuk mencegah preeklamsia, meskipun penelitian yang lebih besar harus dilakukan dengan peningkatan dosis untuk mengkonfirmasi keefektifannya [50, 51]. Oleh karena itu, kebutuhan mendesak untuk mengetahui sedini mungkin wanita hamil yang berisiko lebih besar mengalami preeklamsia, idealnya dalam fase subklinis sudah dapat terlihat sehingga dimungkinkan untuk menerapkan tindakan pencegahan. Faktor risiko Wanita yang memiliki risiko sedang (NICE Clinical Guideline,2010): 9 1) Primigravida 2) Umur ≥40 tahun 3) Interval kehamilan ≥ 10 tahun 4) IMT saat kunjungan pertama ≥35 kg/m2 5) Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia 6) Kehamilan ganda
Wanita yang memiliki risiko tinggi (NICE Clinical Guideline, 2010):
1) Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya 2) Penyakit ginjal kronik 3) Penyakit autoimun seperti SLE atau Sindrom Antifosfolipid 4) Diabetes Tipe1 atau Tipe 2 5) Hipertensi Kronik • lembaga NICE menggunakan faktor risiko sebagai indikator untuk mendeteksi preeklamsia yang dimana memperoleh tingkat deteksi 37% dan 28,9% kasus pada preeklamsia awal dan akhir • Dalam penelitian yang sama, ditunjukkan bahwa faktor klinis dari kapasitas prediksi yang lebih besar adalah riwayat preeklamsia sebelumnya. Berdasarkan fakta, skenario ini tidak mendukung dalam identifikasi wanita nulipara yang berisiko mengalami preeklamsia, yang merupakan batasan utama, karena insiden komplikasi ini lebih tinggi pada kelompok wanita hamil ini. Khusus untuk wanita nulipara, sebuah penelitian multisenter yang dilakukan di antara lebih dari 8.000 wanita dengan kehamilan berisiko rendah menunjukkan tingkat deteksi 37% untuk preeklamsia menggunakan model prediksi yang secara eksklusif terdiri dari faktor klinis [14]; obesitas dan primiparitas muncul sebagai elemen prediktor demografis utama preeklamsia dini. • Pemantauan tekanan darah adalah bagian dari rutinitas prenatal dan merupakan indikator klinis pertama dari setiap kondisi hipertensi. Mengingat bahwa rata-rata tingkat tekanan darah tinggi pada wanita hamil yang akan mengalami preeklamsia pada trimester pertama atau kedua, atau bahkan yang sudah mengalami peningkatan sebelum kehamilan • Di antara wanita berisiko tinggi untuk preeklamsia, tekanan darah diastolik >75 mmHg yang menunjukkan kemungkinan lebih besar terjadi preeklampsia[67]. • Studi velocimetry Doppler pada arteri uterina memberikan evaluasi noninvasif dari sirkulasi uteroplasenta • Ketika peningkatan resistensi aliran darah di arteri uterina pada usia kehamilan 23 minggu terdeteksi, penelitian acak pada populasi wanita yang heterogen, sensitivitas yang diperoleh adalah 77,8% dan spesifisitas 95% untuk prediksi preeklamsia dini • Di sisi lain, angka-angka tersebut tidak cukup meyakinkan ketika kasus- kasus preeklamsia secara umum dievaluasi • Dalam kasus ini, sensitivitas yang ditemukan adalah 42,8%, yang tidak memiliki penerapan klinis dalam kasus tes skrining [70]. Ketika studi Doppler dilakukan lebih awal di arteri uterina, antara 11 dan 13 minggu, dan dianalisis secara terpisah, tingkat deteksi preeklamsia dini dan lanjut adalah masing-masing 59% dan 40%, dengan 5% positif palsu. • Perlu dicatat bahwa, ketika dianalisis secara khusus untuk kasus manifestasi awal (sebelum 34 minggu), PAPP-A dan PlGF menunjukkan hasil yang lebih baik [74, 75], yang menarik perhatian kami pada tantangan memprediksi preeklamsia, mengingat keragaman fenotipenya. Selanjutnya, definisi parameter normalitas untuk penanda ini dipengaruhi oleh ada tidaknya diabetes mellitus, paritas (pasien multipara memiliki nilai PAPP-A lebih rendah daripada pasien nulipara), kembar (yang memiliki kadar PAPP-A dan PIGF lebih tinggi daripada mereka diamati pada kehamilan tunggal), usia ibu lanjut (wanita di atas 35 tahun menunjukkan nilai penanda yang lebih rendah), di antara elemen lainnya • Mempertimbangkan kompleksitas etiologi preeklamsia, tidak mungkin hanya melihat dari faktor ibu untuk dapat mendeteksi enyakit ini. Jadi, kecenderungan di seluruh dunia adalah membangun algoritme, menggabungkan banyak faktor. Hasilnya terkadang tidak jelas. Misalnya, model yang menggabungkan velocimetry Doppler arteri uterina, tekanan darah arteri rata-rata, dan PlGF mencapai tingkat deteksi 90% untuk kasus awal preeklamsia. Kesimpulan • Preeklamsia masih menjadi salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan ibu yang parah. Kompleksitas patofisiologinya merupakan tantangan bagi studi masa depan dan dapat membantu dengan tindakan pencegahan. • Mengidentifikasi kelompok risiko preeklamsia melalui teknologi yang mudah diakses dan efektif, terutama di negara berkembang, dapat menghasilkan hasil kesehatan masyarakat ibu dan perinatal yang lebih baik karena perawatan prenatal akan dilaksanakan sebelum keluhan ditetapkan.