Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH POLITIK AGRARIA

Di INDONESIA

OLEH:
RAIS LAODE SABANIA
Ruang Kelola Rakyat Vs Investasi

• Ruang Hidup dan Kelola Rakyat


Tata Ruang Wilayah • Orientasi Pada Ekonomi Pasar
(Kapital)

Wilayah Kelola Rakyat sebagai • Pemaksaaan dalam Bentuk


Ruang Hidup dirampas untuk Pengwilayahan Komoditas Ekspor
kepentingan Investasi • Industri Eksploitatatif

• Pangan
Penghilangan Sumber • Air
Penghidupan Rakyat • Energi

• Kebijakan
Ruang – Ruang Penghancuran • Market
Penghidupan Rakyat • Pendidikan
• Sistem Sosial
• Kedudukan Prancis di Hindia Belanda kemudian digantikan oleh Inggris ( Jend. Stamford Rafless ) di
Jawa dan menerapkan sistem pajak / Land Rente, dimana petani harus membayar 2/5 dari hasil
tanahnya dengan asumsi Domein Theori ( semua tanah adalah milik raja atau pemerintah) sehingga Land Rente
pemilik modal tidak bisa menyewa langsung kepada rakyat. (Pajak) 1813
• Berakhir pada tahun 1816 setelah semua pos Inggris di jawa dikembalikan kepada Belanda yg oleh
Gubernur Jendral G.A.G. Ph. Van Der Capellen memerintahkan sistem sewa tanah dihapuskan dan
mewajibkan para kaum bangsawan untuk mengembalikan sewa tanah yang telah mereka terima dari
para pengusaha Cina dan Eropa. Hal ini menyebabkan munculnya pemberontakan/perlawanan para
kaum bangsawan. “
• VOC melalui perpanjangan tangan kalangan bangsawan mengembangkan cara produksi
kolonial ( Mode Of Production Colonial ) dengan cara penundukan terhadap petani
dengan kekuatan senjata. Sistem Sewa
• Sementara petani sebagai pemilik tanah tidak mendapatkan harga sewa tanah tersebut
melainkan diambil oleh kalangan bangsawan (Kahin, 1995)
• Sistem ini berakhir setelah Kekuasaan VOC berakhir 1 Januari 1795 dan digantikan oleh
Prancis ( 1808 – 1811) dengan menerapkan Domein Theori
Perubahan
• Pemenuhan Kebutuhan Lokal ( Alat Produksi ) Fungsi
Agraria
• Komoditas Pasar Internasional ( Capitalism Landed Property )
Sebagai Tonggak Hilangnya Tanah – Tanah Rakyat
Politik Agraria “Kolonial – Indonesia”
• Mulai Tahun 1848 Para Kaum Borjuis baru yang mendapatkan keuntungan besar karena sistem
Cultuurestelsel menuntut pengurangan peran pemerintah pada kebijakan ekonomi kolonial dan
kebebasan modal untuk masuk kewilayah kolonial untuk lebh memperbesar keuntungan mereka.
• Melalui Parlemen Belanda “Staten General” kemudian dikeluarkan Kebijakan :
• “Agrarische Wet” pada Tanggal 9 April 1870 yang berisikan; Tanah Terlantar “Woste Gronden”
dikuasai oleh Negara; Modal-modal swasta diperkenankan masuk untuk menyewa tanah dalam Agrarische Wet
bentuk “Erfpacht” berjangka 75 tahun; 1870
• Agrarische Besluit, yaitu asas Domein Verklaring (Tanah tak terbukti kepemilikannya atau
terlantar adalah milik negara).
• Periode ini bisa disebut periode Liberal, dimana internasionalisasi modal (MNC dan TNC) dari
berbagai negara berebut untuk mengeksploitasi kepelosok-pelosok indonesia yang dengan
kekuatan modal menguasai tanah-tanah rakyat melalui kekuasaan Pemerintah sampai pada
tingkat desa dengan memberikan premi tertentu. Hal ini menyebabkan tanah-tanah rakyat
dijadikan Perkebunan Besar sementara rakyat dijadikan kuli/buruh perkebunan.
• Dengan dasar Land Rente ini kemudian Gubernur Hindia Belanda (Johanes Van De Bosch)
menerapakn “sistem Tanam Paksa” dimana setiap desa harus menyisihkan tanahnya untuk
ditanami tanaman yg diperintahkan ( memenuhi kebutuhan ekspor) yang harganya telah
ditentukan oleh pemerintah.
• Hasil tanaman tersebut diangkut oleh Perusahaan Transnasional Belanda (Nederlandsche
Handelmaatschappi/NHM) Cultuurestesel
• Sistem ini hanya menguntungkan mereka yang karena kekuasaan/jabatan mendapatkan persenan (1830-1870)
(elite Bangsawan), meskipun demikian mereka sangat tergantung secara langsung pada kekuasaan
Belanda baik untuk menduduki suatu jabatan/kekuasaan maupun penghasilan dan mereka harus
melakukan pemaksaan agar Kultuurestesel dapat diterapkan.
• Pihak yang semakin makmur adalah para pengusaha Cina serta Administratur dan para pejabat
pribumi yg tidak hanya mendapatkan persenan tetapi juga memiliki “tanah jabatan”/Tanah
Bengkok (Jawa)
• Tanah dibagi 2 (dua) jenis yakni :
• Yang langsung dikuasai raja ( Sultan Ground / Sunan Ground atau Ampilan Ndalem ) tanah ini
biasanya difungsikan untuk perkebunan, pertanian,pesanggrahan, hutan dan sebagainya atau
disewakan kepada pengusaha perkebunan.
• Yang tidak langsung dikuasai raja ( Apanage Houder ) yaitu; Tanah raja yang dihadiahkan
/digaduhkan kepada kerabat raja ( Wajah Ndalem ) atau sebagai Gaji ( Lungguh ) bagi pegawai Apanage Stelsel
raja ( sentono, Abdi Ndalem,punggawa ). Para penerima tanah ini disebut “Patuh” sampai 1917
• Pola hubungan “Raja dan Patuh” dengan rakyat (buruh tani/petani penggarap) melaui peratara
“Bekel” dimana buruh tani/petani penggarap hanya mendapat bagi hasil. Sementara itu mereka
juga harus membayar pajak kepada raja, bekerja utk tanahnya pegawai raja dan perkebunan
serta kewajiban desa.
• Pada masa ini boleh dikatakan Petani sama sekali tidak punya hak atas tanah, nasibnya sangat
tergantung pada “bekel” sementara bagi pengusaha yg menyewa tanah dia akan memperoleh
tanah dan buruh Cuma-Cuma karena gaji hanya diberikan apabila dipandang pekerjaan terlalu
berat.
Politik Agraria
• Selain hukum Kolonial terdapat juga berbagai macam hukum adat Daerah Kerajaan
(Vorstenlanden) yang memiliki tonggak-tonggak sejarah politik agraria menurut C. Van
Vollenhoven (Soegijanto Padmo; 2000)
• Sejarah Perubahan Fungsi Agraria dan tonggak Politik Agraria merupakan proses peralihan
kekapitalisme di Indonesia dimana mengalami perkembangan yang berbeda dengan di Eropa
“Uneven Development of Capitalism” (dari Feodalisme ke Kapitalisme) akan tetapi merupakan KESIMPULAN
“Articulated Combination” (Kombinasi yg Terartikulasi) yg khas dari cara produksi kolonial, yaitu
“Eksploitasi atas Petani, (Hilangnya lahan /tanah Petani, Tanam Paksa, dan Terciptanya Buruh
Tani /Petani Penggarap” yang berdampak pada proses pemelaratan petani secara terus-menerus
(Agricultural Ladder)
Vorstenlandsch Grondhuurr
• Berdasarkan Vorstenlandsch Grondhuurr Reglement (VGR) ”Hak Convertie” sejak tahun 1918 para Reglement dan Rijksbladen
1918-1938
pengusaha mempunyai hak istimewa dengan menyewa tanah rakyat atau tanah
kerajaan/kesultanan dengan jangka waktu selama 50 tahun.
• Wewenang desa kemudian bertambah ketika dikeluarkannya “Rijksbladen” pada tahun 1938
• Melihat Penderitaan rakyat yg terlalu berat dam membahayakan stabilitas, maka tahun 1914 Swapraja Yogyakarta dan tahun
1917 Swapraja Surakarta menyelenggarakan Reorganisasi Kompleks yang berisi:
• Pembentukan Kelurahan-kelurahan;
Reorganisasi Kompleks
• Memberikan hak tanah yg lebih kuat bagi rakyat; 1914-1918
• Menghapuskan Apanage Stelsel dan;
• Mengubah dasar sewa tanah dari yang bersifat pribadi menuju hak kebendaan.
• Hal ini berdampak pada penghapusan hak pribadi raja atas tanah, kekuasaan tertinggi atas tanah ada di Kasultanan dan
Kasunanan.
• Desa yang tadinya tidak punya hak apa-apa menjadi punya hak atas tanah termasuk penduduk dewasa memperoleh tanah.
Meskipun demikian mereka tetap memiliki kewajiban kerja bagi kepentingan desa, sultan atau sunan serta perkebunan.
• Pendudukan Jepang berakhir ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, sehingga indonesia
memproklamirkan Kemerdekaan yang disusul dengan perang Revolusi Kemerdekaan dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Jepang, Sekutu (Inggris yg membawa serta tentara
Gurkha dan India – yg dikenal dengan tentara Ubel-Ubel) serta Tentara NICA (Australia dan Belanda) “
Awal Revolusi – Agustus 1945 – Nopember 1949 “ Kemedekaa
• Justru sikap pemerintah terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh pihak asing dipertegas dengan n dan
maklumat pemerintah yg disampaikan oleh “Bung Hatta” tertanggal 1 Nopember 1945 yang intinya Revolusi
bahwa Negara-negara yg tidak mendukung kemerdekaan Indonesia (America, Filipina dan Australia) 1945 - 1949
dan tidak memberikan bantuan baik berupa Industri Besar, Pemberian Kredit dan Pembelian barang
mentah, tidak akan mendapatkan manfaat dari kekayaan indonesia dan sebaliknya bagi negara-negara
yang mendukung maka, segala milik bangsa asing selain daripada yg diperlukan oleh negara
dikembalikan kepada yg berhak serta yang diambil oleh negara akan dibayar kerugiannya.
• Tanah-tanah yg dijual pemerintah Kolonial (Belanda dan Inggris) berupa Particuliere Landerijen
terhadap orang-orang Eropa dan Cina. Dimana para tuan tanah ini kemudian menyewakan tanahnya
kepada para petani atau dijadikan perkebunan dan berperilaku semi feodal dengan menarik pajak dan
menyelenggarakan kerja paksa; (Anderson. B.R.O.G: 1988)
• Pemerintahan Hindia Belanda, takluk kepada serdadu Jepang raya (Heitesan Dai Nippon Tei Koku)
dimana tanah jawa berada dibawah pendudukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun)
• Pada masa ini tidak ada perubahan cara serta corak produksi dari kolonial barat, akan tetapi dibawah
kekuasaan fasisme ini kaum tani semakin menderita dimana mereka dipaksa menyetor sebagian besar
hasil panen padi dan ternaknya dengan sangat murah “Dikintal – dibayar dengan jauh dibawah harga” Pendudukan
atau ditukar dengan pembagian celana “bagor” disertai cacian “Genzjumin Bagero”. Jepang
• Untuk memenuhi kebutuhan perangnya segala macam yang hidup dan dapat dimakan tanpa terkecuali
1942 - 1945
harus diserahkan melalui “aparat pangreh praja” (Pamong Praja) serta mengerahkan rakyat untuk
mencari iles-iles di hutan dan tanaman jarak, kemudian disetorkan ke Jepang. Sementara mereka yang
tidak memiliki lahan garapan/ladang dan sawah diharuskan menanam dipekarangan rumahnya masing-
masing dan bagi yang melanggar atau dianggap menentang perintah bisa ditangkap “kompeitai” (Polisi
Militer Jepang) yg sewaktu-waktu siap menjadi algojo.
• Syahrir dalam brosurnya yg berjudul “Perjoangan Kita” diterbitkan dibulan Oktober 1945 berupa Revolusi
Kerakyatan dibidang pertanian meliputi:
• Petani dapat mengecap hasil sepenuhnya tanpa diganggu dgn berbagai aturan yg selama ini menguntungkan
orang-orang yg memerintah;
• Memberantas feodalisme berupa; tuan tanah, aturan pemerintah feodal, pengerahan tenaga dan hasil petani
secara feodal (cara Kolonial Belanda);
• Mengatasi kepadatan penduduk jawa dengan interimigrasi dan industri;
• Koperasi (Usaha Bersama);
Pandangan
• Pemerinahan di Desa disehatkan dgn melaksanakan kerakyatan yg sempurna dgn menggunakan kebiasaan Kubu PM.
lama, pemilihan, rapat desa, yg diberi kekuasaan sepenuhnya dan ditambah kecerdasannya dgn mempertinggi Syahrir
pelajaran dan pendidikan di Desa, mengadakan pimpinan didlm segala usaha, memperbaharui dasar masyarakat
kita dengan rasionalisasi dan efisiensi dengan memasukkan industri/pabrik dan mesin guna mempertinggi
derajat kehidupan manusia;
• Menghubungkan kekuatan kaum Tani dengan kaum Buruh guna memudahkan dan melancarkan jalannya
revolusi.
• Nanum ketika menjadi Perdana Mentri, Syahrir tidak mempunyai program untuk mengatasi problem pertanian
dan agraria. Bahkan dibulan Nopember-Desember 1945 Revolusi Sosial menghebat di pedalaman Sumatra dan
Jawa antara pemuda revolusioner dgn menculik, menteror bahkan membunuh orang-orang yg kesetiaannya
terhadap republik diragukan. Bukan gerakan massif pertentangan kelas
• Dalam kurung waktu 1945-1946 Kubu Republik terpecah 2 yakni; PM. Syahrir yg didukung oleh Soekarno dan Hatta
Kabinet
dengan Kubu Oposisi yg tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FROPERA) yg kemudian menjadi Persatuan Presidensial Vs
Perjuangan (PP) yg dipimpin oleh Tan Malaka, setelah Kabinet Presidensiil dikudeta diam-diam menjadi Kabinet Kabinet
Parlementarian pada medio; Oktober 1945. Parlementarian
• Perbedaan pandangan dan gagasan kedua kubu ini dalam hal:
• Apakah dalam konteks keseimbangan internasional suatu revolusi nasional membolehkan suatu Revolusi Sosial
secara bersamaan;
• Dan apakah suatu Revolusi Nasional dapat mengembangkan Dukungan Politik yg cukup tanpa Revolusi Sosial.
Jejak Proses Kelahiran UUPA No. 5/1960
• 15 Juli 1946 Pemerintah menghapuskan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara, dan menata kembali struktur
pemilikan/penguasan tanah yg pernah dikuasainya.
• Tahun 1948 Pemerintah mengeluarkan UU No. 13 thn 1948, menghapuskan VGR “Vorstenlandsch Grondhuurr
Reglement - Hak Convertie” yang ketentuan tambahannya diatur dalam UU No. 5 thn 1950.
• Tahun 1948 ini juga Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No. 16 thn 1948 tentang pembentukan Panitia
Agraria “Panitia Agraria Yogya” yg bertugas untuk mengembangkan pemiikiran-pemikiran dan usulan-usulan Perkembang
dalam rangka menyusun hukum agraria baru. Kerja Panitia Yogya ini kemudian dilanjutkan oleh tim-tim lain, mulai an Politik
dari Panitia Jakarta – 1951, Panitia Soejarwo – 1956, Panitia Soenario – 1956, hingga rancangan Panitia Soejarwo Agraria
1960. 1946-1960
• Tahun 1960 Pemerintahan Soekarno mengeluarkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan UUPBH (Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil). Hal ini bertujuan untuk membuat kesatuan hukum nasional (Anti Dualisme), yaitu
merubah hukum agraria “Produk Politik Kolonial” dan mengatur kembali “Hukum Adat” yg dipadukan dalam satu
hukum yg tertulis, Hal ini berarti bahwa UUPA disusun berdasarkan “Hukum Barat” dan “Hukum Adat”.
• Kekalahan gagasan yg menghendaki segera dilangsungkannya Revolusi Sosial “Kubu FROPERA-PP Tan Catatan
Malaka) bukan hanya memperkuat kedudukan golongan politik moderat dalam masyarakat, akan tetapi Analitik
juga menisbihkan dan mengurangi kemungkinan kemerdekaan nasional sebagai tonggak perubahan
dan pembaharuan sosial secara luas dan dengan sungguh-sungguh; (Kahin 1998).
• Berbeda dengan Kubu Syahrir, kubu Tan Malaka “FROPERA – PP“ dengan minimum program secara tegas
menyatakan:
• Menyita dan menyelenggarakan pertanian musuh (kebun);
• Menyita dan mengurus perindustrian (Pabrik, Bengkel, Tambang dan lain-lain)
• Ketika kubu PP semakin menguat, Syahrir mengundurkan diri namun diangkat lagi oleh Soekarno pada tgl 2 Pandangan
Kubu
Maret 1946 (Kabinet Syahrir kedua) yg dlm program kerjanya menyinggung soal “Agraria” dimana Perusahaan (FROPERA -
perkebunan yg penting oleh pemerintah diambil tindakan seperlunya untuk memenuhi kesejahteraan sebagai PP) Tan
mandat UUD ‘45 Pasal 33. Malaka
• Dalam razia Maret 1946 Tan Malaka ditangkap, sisa PP bersama tentara Divisi III/Diponegoro mencoba
melakukan kudeta dibulan Juli 1946,tapi gagal.
• Kebijakan ini menimbulkan Konflik Kelas dan berujung pada Konflik ditahun 1965 dimana Puluhan Ribu petani
menjadi tumbal (binasa) dalam perjuangannya untuk merebut kembali tanah-tanah mereka.
• Dalam Pelaksanaan UUPA dan UUPBH ini menimbulkan Konflik Sosial sebagai wujud dari ketidak mampuan negara
“pemerintah” untk memenuhi perasaan keadilan sebagaimana yg terjadi di Klaten : lanjutan
• Pertama; Larangan untuk menguasai tanah pertanian melampaui batas maksimum serta penerapan batas
minimum dan pemilikan tanah pertanian disertai dengan larangan pemecahan tanah pertanian;
• Kedua; larangan pemilikan tanah secara “Absentee” dan redistribusi tanah yg melebihi batas maksimum serta
tanah-tanah yg terkena larangan absente;
• Ketiga; pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yg digadaikan;
• Keempat; pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
• Meskipun demikian perlu dicatan bahwa “Hukum Adat” menurut UUPA ini, yang dimaksud bukan Hukum Adat yang
berlaku murni melainkan hukum adat yg perlu disesuaikan dan disempurnakan sehingga tidak bertentangan dengan
“Sosialisme Pancasila, Kepentingan Nasional dan UUPA itu sendiri”.
• 12 September 1960, Menteri Agraria “Sardjawo” dalam pengantar pidatonya dihadapan Sidang Pleno “DPR-GR”
sebagai pengantar menyatakan bahwa RUUPA dimaksudkan:
• Untuk mengadakan pembagian yg adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud agar
ada pembagian yg adil pula, maka perlu perombakan struktur pertanahan secara revolusioner guna merealisir
keadilan sosial;
• Untuk melaksanakan pinsip Tanah Untuk Petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; lanjutan
• Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia sebagai suatu
pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Milik yang bersifat perorangan dan turun menurun sebagai Hak
Kepemilikan yg terkuat;
• Untuk mengakhiri sistem “Tuan Tanah” dan menghapus pemilikan tanah dan penguasaan tanah secara besar-
besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk tiap keluarga. Dengan demikian ada
pemberian perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah. Kebijakan pemerintahan Soekarno ini untuk
mengakhiri “Eksploitasi Petani” dgn sistem agraria yg pro petani, dimana perjuangan petani utk mendapat
distribusi tanah yg adil “Land Reform” diyakini menjadi ukuran keadilan.
• Kita perlu melakukan “Teori Kritis Sejarah untuk Maksud Praktis” dengan cara: LANTAS
• Menyadari diri sbg korban penindasan terselubung, Rakyat dan Bangsa ini harus diingatkan KITA HARUS
tentang “Tanam Paksa -Agrarische Wet-Kegagalan Land Reform-Perampasan Tanah” BAGAIMAN
• BERJAGALAH TERUS DIGARIS BATAS PERNYATAAN DAN IMPIAN DIMANA HARAPAN, A
PERISTIWA DAN KEJADIAN MENJADI SEBUAH REFLEKSI DAN AKSI
• Tumbangnya rezim Orde Baru yg ditandai dgn lengsernya Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yg kemudian
munculnya TAP MPR IX/TAHUN 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Sumber Daya Alam sebagai
jawaban dari munculnya berbagai aksi massa utk menuntut kembali tanah-tanah yg telah dirampas
dengan melakukan “re-claiming” dari kurun waktu 1998 s/d 2001, mengulang kembali kegagapan
pemerintah terhadap penyelesaian konflik agraria.
Reformasi
• Namun yg terjadi, peraturan perundangan yg kemudian keluar seperti; UU Privatisasi Air, UU
Perkebunan, dan Perpu I thn 2001ttng ijin menambang dihutan lindung yg justru memperkecil
kedaulatan rakyat atas tanah dan sumberdaya alamnya dan sebaliknya semakin memperluas dan
memperdalam jangkauan modal besar utk mengeksploitasi sumberdaya alam.
• Bahkan kini UUPA telah disiapkan penggantinya melalui RUU Pengelolaan Sumber Daya Agraria dan
kini kita masih menyaksikan kian massifnya penggusuran serta beralihnya fungsi tanah di pedesaan ke
non pertanian
• Setelah Soekarno diturunkan dari jabatannya sebagai Presiden melalui MPRS dan digantikan oleh
Soeharto sbg pejabat presiden nasib UUPA dan UUPBH semakin tidak jelas justru rezim ini banyak
mengeluarkan Peraturan Perundangan yg bertentangan dengan semangat UUPA dalam rangka
menjalankan politik agrarianya; Rezim Militer
• Pertama: memaknai konsepsi HMN sebagaimana yg terdapat dalam UUPA secara sepihak sesuai Orde Baru
dengan kepentingannya.
• Kedua: mengeluarkan sejumlah kebijakan sektoral yg tumpang tindih dan tidak mengacu pada UUPA
(UUPMA ;UUPK “HGB,HGU,HPH”; UUPP tahun 1967 dan UUPMDN; 1968,
• Ketiga: menghapuskan pengadilan Land Reform sebagai peradilan yg menangani masalah sengketa
agraria.

Anda mungkin juga menyukai