Anda di halaman 1dari 21

ِ ‫الَسال َ ُم َعل َيْك ُْم َو َر ْح َم ُة‬

‫الله َوبَ َركَاتُ ُه‬ َّ‫ّـ‬

Nama : Fajria Azra


NIM : 1913010141
Jurusan : Hukum Keluarga C
UTS : Metode Istinbath Hukum Islam
tentang Topik 5 dan 7 ( Hakikat dan Majaz, Serta ‘Am )
Dosen : Dr. Zainal Azwar M. Ag
HAKIKAT DAN MAJAZ

5
TOPIK DAN 7
HAKIKAT, MAJAZ, DAN ‘AM
TOPIK 5
HAKIKAT DAN MAJAZ
A. Pengertian Hakikat dan Majaz Menurut Para Ulama
1. Pengertian Hakikat Menurut Para Ulama Ushul

a. Pengertian menurut Ibnu Subkhi


‫هو اللفظ المستعمل فيما وضع له ابتداء‬
Yaitu lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya.

b. Pengertian menurut Ibnu Kudamah


‫هو اللفظ المستعمل في موضوعه اال صلي‬
Yaitu Lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula.

c. Pengertian menurut Al – Sarkhisi


‫كل لفظ هو موضوع في االصل لشيء معلوم‬
Yaitu setiap lafaz yang ia ditentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang tertentu.

d. Pengertian menurut Wahbah Al - Zuhaili


‫هي كل لفظ اريد به ماوضع له في االصل اشيء معلوم‬
Yaitu setiap lafaz yang digunakan untuk menunjukkan arti yang semestinya.
2. Pengertian Majaz Menurut Para Ulama Ushul

a. Pengertian menurut Ibnu Qudamah


‫هو اللظ المستعمل في غير موضوعه على وجه يصح‬
Yaitu Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk
yang dibenarkan.

b. Pengertian menurut Ibnu Subki


‫هو اللظ المستعمل بوضع ثان لعالقة‬
Yaitu lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya
keterkaitan

c. Pengertian menurut Al – Sarkhisi


‫اسم لكل لفظ هو مستعار لشيء غيرما وضع له‬
Yaitu nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud
diluar apa yang ditentukan.
B. Cara Mengetahui Hakikat dan Majaz

1. Cara mengetahui Lafaz Hakikat

Suatu cara untuk mengetahui lafaz itu haqiqah ( hakikat ) adalah secara sima’i 


‫سماعى‬ )). Cara sima’i (‫ ) سماعى‬diartikan sebagai suatu cara yang diperoleh dari pendengaran
terhadap apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang dalam berbahasa, tidak ada cara lain
untuk mengetahui lafaz hakikat ini selain dari cara itu, serta tidak dapat juga diketahui
melalui analogi. Sebagaimana dalam keadaan hukum syara’ yang tidak dapat
diketahui, kecuali dengan melalui nash syara’ itu sendiri. Pada hakikat harus ada
sasaran atau maudhu dari lafal yang digunakan, baik dalam bentuk perintah maupun
larangan untuk mengetahui lafaz itu hakikat.

2. Cara mengetahui Lafaz Majaz

Dapat dipahami bahwa cara untuk mengetahui lafaz itu majaz adalah melalui suatu usaha
dalam mengikuti kebiasaan orang Arab yang dalam penggunaan istilah “isti’arah” (peminjam kata).
Adapun cara orang Arab tersebut dalam menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain
adalah
adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik dalam bentuk maupun arti. Contohnya dalam
keterkaitan bentuk menggunakan kata ”Al – Ghaaith” ( ‫ ) لاــغـائـط‬yang diartikan sebagai tempat yang
tenang di belakang. Disini yang lafaz majaz terdapat pada kata “buang air besar” karena lafaz buang
air besar itu biasa dilakukan di tempat yang tenang serta di belakang.
C. Ketentuan Berkenaan dengan Hakikat dan Majaz

1. Apabila dalam suatu lafaz itu digunakan dalam bentuk lafaz antara haqiqah atau majaz,
maka dapat dipahami bahwa lafaz itu ditetapkan sebagai haqiqah (hakikat), karena
menurut asal dalam penggunaan dalam suatu lafaz itu atau kata itu adalah untuk 
haqiqahnya (hakikatnya).

2. Pada lafaz haqiqah atau disebut juga dengan hakikat harus ada sasaran atau maudhu’ dari
lafaz yang akan digunakan, baik dalam bentuk perintah atau dalam bentuk larangan,
maupun dalam bentuk umum atau khusus.  Adapun pada lafaz majaz, ketentuan juga harus
ada sasaran yang digunakan untuk lafaz yang lainnya, baik dalam bentuk umum ataupun
khusus, karena majaz itu adalah pengganti dari lafaz haqiqah (hakikat).

3. Ketentuan haqiqah atau disebut juga hakikat dan majaz tidak mungkin berkumpul pada
satu lafaz dalam keadaan yang sama, maksudnya setiap lafaz itu baik hakikat maupun
majaz harus mengikuti tujuan masing – masing.
D. Penyebab Tidak Berlakunya Hakikat

1. Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafaz.


Suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk dapat dipahami dan apabila telah
terbiasa orang tersebut menggunakan suatu lafaz untuk maksud tertentu maka
penggunaan lafaz itu sudah menempati kedudukan haqiqah. Contoh dalam lafaz
“shalat”
secara haqiqah penggunaan hakikat adalah untuk “do’a”. Terdapat dalam
firman Allah dalam surat Thaha ayat 20, berbunyi :
‫َوأَ ِق ِم الصَّالةَ لِ ِذ ْك ِري‬
Artinya: “Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
2. Adanya suatu petunjuk dari lafaz

Suatu lafaz dapat memberi petunjuk kepada sesuatu secara 


Haqiqah ( hakikat ), namun yang dimaksud bukan untuk itu. Dalam hal
Ini dapat sebagai contoh, apabila seseorang berkata “Demi Allah saya
tidak makan daging.” Namun pada akhirnya ia makan daging ikan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang tersebut tidak dinyatakan
melanggar sumpah, karena pengertian “daging” disini berlaku untuk
segala macam daging secara hakikatnya. Namun pengertian menurut 
haqiqah ini tidak lagi digunakan, karena petujuk lafaz itu menghendaki “
daging” pada selain dari ikan dan belalang yang keduanya tidak disebut
dengan daging.
3. Adanya petunjuk dari sifat pembicara

Sifat dari pembicara itu dapat diketahui bahwa ia tidak


menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini ,
haqiqah yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.
Contohnya terdapat dalam firman Allah dalam surat al-Isra’  ayat 64

‫ك‬ َ ِ‫ْت ِم ْنهُ ْم ب‬


َ ِ‫ص ْوت‬ َ َ‫َوا ْستَ ْف ِز ْز َم ِن ا ْست‬
َ ‫طع‬
Artinya: “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka
dengan ajakanmu.”
E. Keberadaan Majaz Dalam Ucapan

1. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan baik, baik
dalam ucapan syari’ ( pembuat hukum ) dalam Al-Qur’an dan sunnah sebagaimana yang
terjadi dalam ucapan manusia, dalam hal bahasa apapun yang di gunakannya.

2. Abu Ishak al - Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak akan adanya pemakaian majaz.
Apa yang telah diketahui selama ini diangap majaz, padahal lafaz itu sebenarnya
adalah haqiqah  dan karena ada petunjuk yang menjelaskanya. Contoh dalam ucapan “
saya melihat singa itu memanah” adanya kata” memanah“ menjadi petunjuk apa yang
sebenarnya yang dimaksud dengan “singa” itu.

3. Adanya suatu golongan ulama Zhahiri yang menolak adanya majaz dalam Al – Quran dan
hadis Nabi.
TOPIK 7
‘AM ( UMUM )
A. Pengertian ‘Am Menurut Para Ahli Ushul

1. Pengertian menurut Abu Hasan Al – Bashri

‫هو اللفظ اللمستغرق لجميع ما يصلح له‬


Yaitu lafaz yang meliputi semua pengertian yang patut baginya.

2. pengertian menurut Abu Yahya ( kalangan ulama Hanbali )

َ َ‫َما َع َّم َش ْيئَ ْي ِن ف‬


‫صا ِع َدا‬
Yaitu suatu lafaz yang meng-umum-i dua hal atau lebih.
3. Pengertian menurut Al – Sarkhisi ( dari kalangan ulama Hanafi )

‫كل لفظ ينتظم جمعا من األسماءل لفظ او معنى‬


Yaitu setiap lafaz yang mengkordinasi sekelompok nama dalam bentuk lafaz
atau makna.

4. Pengertian menurut Ibnu Subki

‫هواللفظ يستغرق الصالح له من غير حصر‬


Yaitu lafaz yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa
pembatasan.
B.Ruang Lingkup ‘Am

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa ‘am pada hakikatnya berada dalam lingkup lafaz
Dapat dipahami bahwa ‘am menunjukkan suatu pengertian – pengertian yang
terkandung didalamnya, serta kalau berbicara mengenai ‘am maka dalam hal itu berbicara
tentang lafaz.

2. Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa am menyangkut pada makna.

3. Jumhur ulama berpendapat bahwa lafaz ‘am dapat juga digunakan untuk makna, namun
penggunaan tersebut hanya secara majazi bukan makna yang sebenarnya. Oleh sebab itu
lafaz menyangkut pada lafaz atau ucapan.

4. Dari golongan ulam Irak berpendapat bahwa lafaz ‘am digunakan untuk perbuatan dan
hukum dengan maksud bahwa menanggung suatu ucapan secara umum dan tidak ada
sasaran pada akhirnya.
C. Sighat ‘Am

Sighat ‘am adalah lafaz atau berupa ucapan yang digunakan


untuk umum. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan apakah
ada lafaz tertentu yang digunakan untuk menunjukkan apakah suatu lafaz
itu adalah ‘am. Akan tetapi menurut Abu Hasan Al – Asy’ari berpendapat
bahwa tidak ada sighat tertentu untuk menunjukkan suatu lafaz itu ‘am.
Jumhur Ulama fiqh (ulama Hanafi, Syafi’I, dan Maliki)berpendapta bahwa
untuk menunjukkan bahwa untuk menunjukkan suatu lafaz itu ‘am harus
ada lafaz tertentu yang mengikuti lafaz ‘am tersebut serta tanpa adanya
Petunjuk dari luar yang menunjukkan akan keumumannya.
D. Lafaz – Lafaz yang Berarti ‘Am

1. Lafaz jama’ dalam bentuk nakirah yang ditandai dengan adanya


tanwin.

2. Sebagian ulama mengatakan bahwa suatu jama’ nakirah tidak


menunjukkan ‘am, akan tetapi berarti khusus.

3. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa apabila jama’ nakirah


berada pada bentuk amar ( perintah ) atau nahi ( larangan ) serta
lafaz itu menunjukkan kepada ‘am.
E. Dilalah Lafaz ‘AM

1. Menurut ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa dalam penunjukan


lafaz ‘am ( umum ) terhadap setiap afradnya secara khusus adalah
bersifat zhanni, karena adanya suatu kemungkinan
untuk di takhsis meskipun belum jelas akan adanya dalil yang
mentakhsis akan lafaz ‘am tersebut.

2. Menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafaz ‘am


merupakan lafaz umum yang menunjukan akan berlakunya
hukum dalam semua afradnya secara qath’ i ( meyakinkan ). Lafaz
‘am dibentuk dan nenggunakan dalam bentuk hakiki yang
mempunyai kecukupan dalam semua makna yang terkandung
didalamnya.
F. Macam – Macam Lafaz ‘AM

Lafaz ‘Am dikelompokkan kepada 3, yaitu :

1. Lafaz ‘Am yang maksudnya adalah ‘am


Lafaz ‘am yang maksudnya ‘am ( umum ) maksudnya adalah
lafaz yang dari segi lafaznya itu adalah ‘am, sedangkan yang
dimaksud dengan ‘am itu adalah keumumannya.

2. Lafaz ‘am yang maksudnya adalah khusus


Dapat dipahami bahwa lafaz ‘am yang maksudnya adalah khusus adalah
lafaz yang dari segi lafaznya adalah ‘am, sedangkan dari makna yang
terkandung dalam ‘am itu berarti khusus.

3. Lafaz ‘am yang makhsus ( dikhususkan )


Lafaz ‘am yang makhsus ( dikhusukan ), maksudnya adalah lafaz ‘am
yang selalu ada kemungkinan yang mendapat takhsis ( khusus ).
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta : Kencana


Amir Syarifuddin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Misbahuddin. 2015. Buku Daras Ushul Fiqh II. Makassar : CV Berkah Utami
Wahbah Zuhaili. 1986. Ushul Al-Fiqh Al-Islami. Damsyiq : Darul Fikri
‫‪TERIMAKASIH‬‬

‫عل َيْك ُْم َو َر ْح َم ُة ِ‬


‫الله َوبَ َركَاتُ ُه‬ ‫الَسال َ ُم َ‬
‫ّـ َّ‬

Anda mungkin juga menyukai