Syariah
Pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) bermula
pada Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang
diselenggarakan MUI Pusat pada tanggal 29-30 Juli 1997 di
Jakarta merekomendasikan perlunya sebuah lembaga yang
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan
aktivitas lembaga keuangan syariah (LKS). Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengadakan rapat Tim Pembentukan
Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tanggal 14 Oktober
1997. Kemudian Dewan Pimpinan MUI menerbitkan SK No.
Kep-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999 tentang
Pembentukan Dewan Syariah Nasional MUI.
Adapun Tugas & Fungsi Dewan Syariah Nasional (DSN)
yaitu :
1. Mengeluarkan fatwa tentang ekonomi syariah untuk
dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator.
2. Menerbitkan rekomendasi, sertifikasi, dan syariah
approval bagi lembaga keuangan dan bisnis syariah.
Pembiayaan Syariah (KSPPS) berada di bawah naungan Dinas Koperasi, sedangkan Bank
Syariah dibawah naungan Bank Indonesia, dimana izin pendirian kedua jenis lembaga tersebut
dikeluarkan dari masing-masing induknya.
Dewan yang memiliki otoritas dan wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap
kepatuhan syariah adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dewan Pengawas Syariah (DPS)
mempunyai tugas memberikan nasehat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan
Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS) agar sesuai dengan prinsip syariah.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) terdiri dari pakar syariah yang mengawasi aktivitas dan
operasional institusi finansial untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.
Dewan syariah mengemban tugas dan tanggungjawab besar dan berfungsi sebagai bagian
stakeholders, karena mereka adalah pelindung hak investor dan pengusaha yang meletakkan
keyakinan dan kepercayaan dalam institusi finansial. Keberadaan Dewan Pengawas Syariah
memiliki lima karakteristik dalam tata kelola perusahaan, yaitu independen, kerahasiaan,
kompetensi, konsistensi dan keterbukaan.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan
bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan syariah tersebut. Dewan
Pengawas Syariah diangkat dan diberhentikan di Lembaga Keuangan Syariah melalui RUPS
setelah mendapat rekomendasi dari DSN.
Pada perusahaan pembiayaan syariah pengawasan dan pembinaan yang dilakukan meliputi :
1. Sumber Pendanaan
Sumber pendanaan bagi perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah wajib diperoleh berdasarkan prinsip syariah. Sumber pendanaan perusahaan
pembiayaan syariah wajib diperhitungkan sebagai komponen dalam menghitung Gearing
Ratio[6] perusahaan pembiayaan. Sumber pendanaan tersebut dapat diperoleh melalui bank atau
badan usaha yang lainnya baik dari dalam maupun luar negeri dengan mengunakan akad yang
sesuai dengan prinsip syariah.
2 Kegiatan Pendanaan
a. Sewa guna usaha (leasing) syariah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa
guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha
(lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai
dengan prinsip syariah. Usaha leasing dilakukan berdasarkan akad Ijarah dan Ijarah
Muntahiyal Bitamlik. Akad Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara
perusahaan pembiayaan sebagai (muajjir) dengan penyewa (mustajjir) tanpa dikuti
pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.[7] Sedangkan Ijarah muntahiyal bi al-Tamlik
adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa (muajjir) dengan penyewa (mustajir) disertai opsi
pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa.[8]
Adapun prosedur transaksi leasing syariah secara umum adalah :
1. Lessee menghubungi supplier untuk pemilihan dan penentuan jenis barang, spesifikasi harga,
jangka waktu pengiriman, jaminan purna jual atas barang.
2. Pihak lessee mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas suatu barang modal di
mana lessee dapat meminta lessee quotation.[9] Pihak lessor (perusahaan pembiayaan)
kemudian meneliti kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan.
3. Jika permohonan lesse diterima maka pihak lessee dan lessor bertemu untuk menandatangani
perjanjian serta baiayabiaya yang harus dibayar oleh lessee.
4. Selanjutnya pihak lessor melakukan pemesanan kepada supplier sesuai dengan tipe dan
spesifikasi barang yang di inginkan oleh lessee dan membayar sesuai pembayaran.
5. Pihak supplier mengirimkan barang sesuai dengan surat pesanan dan surat bukti pembayaran
kepada lessee.
6. Penyerahan dokumen atas supplier kepada lessor termasuk faktur dan bukti-bukti
kepemilikan barang lainnya.
8. Pembayaran angsuran secara berkala oleh lessee kepada lessor selama masa selama masa
sewa guna usaha yang seluruhnya mencakup pengembalian jumlah yang dimiliki.
Anjak piutang (factoring) adalah kegiatan pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu
perusahaan berikut pengurusan akan piutang tersebut sesuai dengan prinsip syariah. Anjak
piutang (factoring) dilakukan berdasarkan akad wakalah bil Ujrah. Wakalah bil Ujrah adalah
pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).[10] Proses anjak piutang syariah secara
prosedural dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Supplier (klien) menjual barang atau jasa kepada pembeli (customer). Penyerahan barang
dengan D/O yang ditandatanggani pembeli. Asli D/O kembali kepada supplier.
2. Karena alasan cash flow, supplier atau klien kemudian mewakalahkan tagihannya kepada
perusahaan anjak piutang atas persetujuan pembeli (customer).
3. Klien menyerahkan data tagihan, termasuk faktur-faktur atau D/O kepada perusahaan anjak
piutang.
4. Kontrak persetujuan wakalah bil ujrah tagihan anatar klien dan perusahaan anajak piutang.
6. Pada saat jatuh tempo perusahaan anjak piutang melakukan penagihan kepada pembeli
(customer).
2. Perusahaan pembiayaan dan konsumen menyepakati kontrak sesuai dengan akad yang sesuai
dengan kebutuhan konsumen dalam dokumen tertulis yang secara jelas menerangkan syarat
dan ketentuan yang disepakati.
d. Usaha kartu kredit yang dilakukan sesuai dengan prinsip syariah adalah fasilitas jaminan
pembayaran untuk pembelian barang dan jasa dengan menggunakan kartu kredit sesuai dengan
prinsip syariah. Adapun akad yang digunakan dalam penggunaan kartu tersebut adalah akad
kafalah, qardh, dan ijarah :
1. Kafalah, dalam hal ini penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap
merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang
kartu dengan merchant, atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu.
Atas pemberian kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
2. Qardh, dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman (muqhridh) kepada pemegang
kartu (muqhtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu.
3. Ijarah dalam hal ini Penerbit kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan
terhadap pemegang kartu. Atas ijarah ini, pemegang kartu dikenakan membership fee.
3. Dewan Pengawas Syariah
4. Pelaporan
DAFTAR PUSTAKA
Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Eds. 2, (PT Intermasa, Jakarta, 2003).
Sulaiman, Abu, Ibrahim, Wahab, Abdul, Banking Card Syari’ah; Kartu Kredit dan Debit
dalam Persepektif Fiqh, ter. Al-Bathaqah (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006).