Anda di halaman 1dari 23

28 SEPTEMBER 2021

Pelaksanaan
Putusan
Abritase
Wisnumurti Aji Wibowo E1A017135
Panogu E1A018184
Sejarah dan
Pengembangan
Pengaturan Arbitrase
Pada masa pemerintahan Belanda dasar hukum berlakunya arbitrase dinyatakan
didalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 Rbg. Yang berbunyi “ Jika orang Indonesia
dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pusah,
maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa
Eropa”.

Meskipun memungkinkan kepada para pihak untuk menyelesaikan perkara diluar


pengadilan, akan tetapi tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai arbitrase di
dalam HIR maupun RBg. Sehingga untuk menghindari adanya kekosongan hukum
diterapkan ketentuan yang terdapat di dalam hukum acara perdata bagi semua
golongan yaitu B.Rv pada Buku Ketiga, Bab Pertama, Pasal 615 – 651 yang
mengatur tentang putusan wasit (arbitrase).

Pada masa pemerintahan Jepang, hukum arbitrase yang berlaku di Indonesia masih
sama seperti pada masa pemerintahan Belanda dengan perbedaannya dibentuknya
peradilan yang berlaku bagi semua orang.
Setelah Indonesia merdeka melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dalam upaya mengisi kekosongan hukum,
penyelesaian perkara arbitrase masih menggunakan ketentuan yang sama seperti pada masa pemerintahan Belanda dan
Jepang, sebagaimana dimuat didalam Buku III bagian Pertama Rv dan merupakan UU Arbitrase Nasional di awal
kemerdekaan sampai diberlakukannya UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pada saat itu, pembentuk UU belum memiliki visi yang tegas mengenai arbitrase maupun alternative penyelesaian
sengketa, hal ini dapat di ketahui dari UU No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang hanya mencantumkan pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan tidak dalam batang tubuh UU tersebut
yang berbunyi “penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit tetap
diperbolehkan”.

Kurang lebih 7 tahun setelah berlakunya UU No 14 Tahun 1970 Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri)
memrakarsai berdirinya Badan Arbitrase Nasional Indonesia di Jakarta yang sampai saat ini menjadi lembaga
instutisional arbitrase yang tertua di Indonesia.

Sejarah perkembangan arbitrase ini tentunya masih berlanjut pada kemudian hari sejalan dengan perkembangan sistim
peradilan dan sistem hukum di Indonesia di masa yang akan datang.
• Syarat subjektif arbitrase, selain harus dibuat oleh mereka yang dianggap cakap bertindak menurut hukum, perjanjian arbitrase
juga harus dibuat oleh mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal demikian

3 landangan hukum arbitrase dalam penetapan pengelompokan para pihak dalam Group of Company Doctrine secara urut, yakni
• Multi Parties Contract, dimana suatu perjanjian telah melibatkan sejumlah pihak-pihak, maka akibatnya setiap pihak dalam
perjanjian tersebut terikat oleh persyaratan yang telah disepakati, termasuk tata cara penyelesaian melalui arbitrase;
• String and Connected Contracts
• Bersumber pada pihak utama ke arah kontraktor dan pihak-pihak lainnya, dari sub kontraktor-supplier-transporter-insurer, dan
lain-lainnya;
• Tuntutan kepada salah satu pihak dalam mata rantai akan berakibat kepada arah tuntutan pihak-pihak dalam mata rantai
tersebut;
• Dalam kontrak komersial yang berkaitan dengan kontrak-kontrak lainnya, sehingga membentuk bagian dari mata rantainya;
• Hak cara penyelesaian proses arbitrase semacam ini melalui metode hukum tunggal dapat menjamin :
■ Konsistensi dalam menemukan fakta-fakta hukum;
■ Penerapan hukum yang tepat;
■ Pertanggung jaswaban hukum terkait dengan ganti rugi.
■ Group of Company Doctrine, berlaku khusus kepada pihak dalam satu pengelompokan yang berlainan objek bidangnya
melalui suatu ikatan dalam pelaksanaan bersama dimana pihak utama merupakan pihak yang pokok, walaupun yang lainnya
tidak turut menangani kontrak pokoknya.
• Syarat Objektif Arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa objek perjanjian arbitrase hanyalah sengekta di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

• Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis menurut ketentuan UU No 30 Tahun 1999 yang dapat
diwujudkan pada suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang timbul sengketa atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

• Sifat perjanjian arbitrase:


⚬ Arbitrase dapat di eksekusi bilamana para pihak sepakat;
⚬ Keputusan arbitrase tidak berdasarkan pada peraturan yang berlaku;
⚬ Keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak;
⚬ Proses arbitrase bersifat ajudikasi privat yang diberikan oleh forum arbitrase.
• Priyatna Abdurrasyid merumuskan arbitrase merupakan suatu tundakan hukum di mana ada pihak yang menyerahkan
sengketa antara dua orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada seseorang yang disepakato bersama
dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat.
• Sobekti merumuskan arbitrase adalah penyelesaian suatu perkara oleh seorang atau beberapa wasit (arbiter) yang
bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berpekara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.
• Pasal 615 ayat (1) Rv menyatakan “adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa
Pengertian dan Dasar

yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya, untuk melepaskannya, untuk menyerahkannya pemutus
sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit” selanjutnya Pasal 615 ayat (3) Rv menyatakan
“seorang bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang
mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit”
• Pasal 1 angka 1 UU No 30 Tahun 1999 berbunyi “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat sercara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa”.
• 3 pokok utama dalam arbitrase :
⚬ Arbitrase merupakan satu bentuk perjanjian;
Hukum

⚬ Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;


⚬ Perjanjian arbitrase merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan.
• Arbitrase Ad-Hoc (arbitrase volunteer) diatur dalam Pasal 615 ayat (1) Rv, ialah arbitrase yang dibentuk khusus
untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Kehadiran dan keberadaan arbitrase ad-hoc bersifat
insidentil atau kasuistik. Kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus perselisihan
tertentu. Selesai sengketa diperiksa dan diputus, maka tugas para arbiter ad-hoc sesuai pembentukannya dengan
sendirinya berakhir.
JENIS ARBITRASE

Arbitrase ad-hoc pada dasarnya tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase. Mengenai cara penunjukan
arbiter dalam arbitrase ad-hoc dapat dilakukan sendiri atas kesepakatan para pihak.

• Arbitrase Institusional, ialah badan arbitrase yang sengaja didirikan dan pembentukannya ditujukan untuk
menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Kehadiran dan
keberadaan arbitrase institusional bersifat kesengajaan. Kedudukan dan keberadaannya untuk melayani sengketa
yang timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengendalian, selesai sengketa diperiksa dan
diputus maka tugas para arbiter intitusional tidak akan berakhir dengan sendirinya.

• Arbitrase intitusional pada dasarnya terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase. Mengenai pengangkatan
arbiter maupun tata cara pemeriksaan persengketaan sudah disusun secara sistematis.
Doktrin dan Prinsip
Arbitrase
• Doktrin yang dikembangkan di Indonesia dan diakui secara Internasional antara lain :
• Internasionalisasi, yaitu di manapun arbitrase mempunyai falsafah hukum “perdamaian”, di negara manapun banyak
mempunyai persamaan aturan hukum arbitrasenya. Sebagai contoh tentang tata cara, tepat waktu dan biaya;
• Universalisasi, yaitu secara universal jenis sengketa apapun bisa diselesaikan melalui arbitrase sepanjang tidak
dilarang oleh UU. Sebagai contoh dalam perjanjian di lapangan hukum public antara pemerintah dengan pemborong
jalan atau jembatan;
• Globalisasi, yaitu siapapun sebagai ahli apapun dapat diangkat sebagai arbiter di manapun sepanjang memenuhi
syarat untuk dapat diangkat sesuai aturan UU. Sebagai contoh seorang ahli ekonomi atau ahli teknik atau ahli
arsitek dapat diangkat menjadi arbiter berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan;
• Transnasionalisasi, yaitu penentuan tempat siding berdasarkan pilihan para pihak (para pihak berkuasa penuh).
• Prinsip utama di dalam proses pemeriksaan melalui arbitrase yang membedakan dengan
pengadilan negeri diantaranya sebagai berikut:
• Pengadilan Negeri :
⚬ Mencari fakta kebenaran berdasarkan aturan hukum acara;
⚬ Berdasarkan fakta hukum dengan memeriksa alat-alat bukti;
⚬ Memutus perkara berdasarkan fakta hukum dan argumentasi.
• Arbitrase :
⚬ Fakta dilupakan berdasarkan etikad baik;
⚬ Menyederhanakan hukum dengan bekerjasama memecahkan masalah;
⚬ Bagaimana memecahkan masalah dengan cara mencari perdamaian.

• Doktrin maupun teori arbitrasi tersebut dijadikan dasar dan pembahasan tentang
pelaksanaan putusan arbitrase dalam sengketa bisnis berdasarkan asas peradilan yang
baik.
• Syarat dan tatacara pengankatan arbiter dalam Pasal 12 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut :
⚬ Cakap melakukan tindakan hukum;
⚬ Berumur paling rendah 35 tahun;
⚬ Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu
pihak bersengketa;
⚬ Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
⚬ Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

• Orang yang tidak diperbolehkan untuk ditunjuk dan diangkat sebagai arbiter adalah pejabat seperti hakim, jaksa,
panitera dan pejabat peradilan lainnya. Alasannya karena pejabat tersebut adalah petugas pelaksana di dalam
lembaga litigasi peradilan, sedangkan keberadaan arbiter adalah di luar pengadilan, apabila hal tersebut
diperbolehkan maka akan terjadi perangkapan jabatan yang mengakibatkan hilangnya objektifitas dari hasil
pemeriksaan dan pengambilan putusan.

• Jika para pihak telah sepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para
pihak wajib mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal. Apabila dalam waktu paling lama
14 hari setelah pemohon menerima usul pemohon, ternyata para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal,
atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.
Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas
segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan
fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad baik
dari tindakan tersebut.

Adanya aturan tentang tanggung jawab arbiter ini merupakan suatu peringatan bahwa seorang
atau siapa saja yang telah ditunjuk dan diangkat sebagai arbiter, dalam memeriksa dan
memutus sengketa yang ada harus menunjukan sikap adil beritikad baik dan tidak memihak.
Apabila terbukti seorang arbiter telah melakukan suatu pelanggaran, maka dia harus
bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku.

Sehingga tidak semua orang bisa menjadi seorang arbiter, sehingga wajar untuk menjadikan
seorang sebagai pengadil haruslah ada batasan dan syarat yang harus dipenuhi agar martabat
dan wibawa lembaganya juga ikut terangkat karena adanya elemen atau unsur arbiter yang
unggul.
mengenai kompetensi
Lingkup abritase, pada pasal 3 (UU
Kewenangan : N o 3 0 Ta h u n 1 9 9 9 )
dijelaskan bahwa
sengketanya Pengadilan Negeri tidak
berupa jenis berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang
sengketa telah terikat sengketa
perdagangan abritase

dengan diberlakukannya UU no 34 tahun


2004 ttg Kepailitan dan PKPU maka
Pengadilan tetap berwenang memeriksa
dan menyelesaikan permohonan pailit dari
RUANG LINGKUP
para pihak yang memuat klausula ARBITRASE
Arbitrase
2 Macam Klausul
Arbitrase
• Pactum de compromittendo
⚬ para pihak telah mengikat suatu kesepakatan akan menyelesaikan
perselisihan yang nyata (adanya kesepakatan dari para pihak)

Pelaksanaan Abritase
• Akta Kompromis
⚬ suatu akta persetujuan yang timbul melalui lembaga arbitrase
• perbedaan antara Pactum Compromittendo dengan Akta Kompromis yang mana
terletak pada saat pembuatan perjanjian
⚬ Pactum de compromittendo ==> dibuat sebelum akta terjadi
⚬ Akta Kompromis ==> dibuat setelah sengketa terjadi
Peranan Pengadilan Negeri Dalam Proses Arbitrase
• Campur tangan pengadilan terhadap proses Arbitrase
⚬ Pengangkatan Abriter
■ Apabila dalam waktu paling lama 14 hari setelah termohon dan pemohon tidak berhasil
menentukan Abriter tunggal, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
pengangkatan Abriter Tunggal pada Pengadilan Negeri
■ Atas permohonan salah satu pihak tadi, Pengadilan Negeri akan mengangkat Abriter
Tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak atau dari suatu
organisasi/lembaga yang mengurusi bagian arbitrase
■ Majelis Arbitrase dapat ditunjuk para pihak terlebih dahulu, masing2 menunjuk arbiter, dan
kemudian arbiter menunjuk pihak ke-3. Apabila para pihak tidak berhasil menunjuk arbiter
terakhir setelah lewat 14 hari maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter
pihak ke-3
■ Arbiter yang telah menyatakan menerima pengangkatan, tetapi kemudian akan
mengundurkan diri, namun tidak mendapatkan persetujuan para pihak maka
pembebasannya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
Tugas seorang Arbiter akan berakhir apabila
• Putusan mengenai sengketa telah diambil
• jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian Arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak
telah lampau
• para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukkan Arbiter
untuk mengakhiri sengketa Arbitrase yang sedang berjalan ada beberapa hal yang tidak dapat dinyatakan
berakhir yaitu:
• meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir
• jangka waktu arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 UU no 30 Tahun 1999 ditunda paling lama 60
hari sejak meninggalnya salah satu pihak
• dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih
arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter pengganti
• apabila selama 30 hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter pengganti maka Ketua
Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan mengangkat seorang atau lebih arbiter
pengganti
• arbiter pengganti bertugas untuk melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan tadi
proses penyelesaian sengketa
kehadiran para
surat jawaban atas
pihak dalam perdamaian
permohonan permohonan
arbitrase

Arbitrase
putusan pemeriksaan
saksi dan ahli
arbitrase pokok sengketa

adanya
pencabutan
surat
permohona
n
• Sifat putusan arbitrase
putusannya bersifat final dan binding, tidak bisa diajukan upaya hukum seperti banding atau
kasasi
• Isi Putusan Arbitrase
⚬ kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
⚬ nama lengkap dan alamat para pihak;
⚬ uraian singkat sengketa;
⚬ pendirian para pihak;
⚬ nama lengkap dan alamat arbiter;
⚬ pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan
sengketa;
⚬ pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis
arbitrase;
⚬ amar putusan;
⚬ tempat dan tanggal putusan; dan
⚬ tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
PELAKSANAAN
PUTUSAN
ARBITRASE
• perintah pelaksanaan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri yang sebelumnya didaftarkan melalui Panitera
Pengadilan Negeri yang diberukan waktu selambat2nya 30 hari
• sebagai ballancing bagi kepentingan para pihak dalam putusan arbitrase, yang mana disini Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan, diberukan hak u/ memeriksa putusan arbitrase tsb yang mana prosesnya

⚬ ARBITER atau Majelis Arbiter yang memeriksa perkara tadi sudah sesuai kehendak mereka atau belum

⚬ Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum memang dapat diselesaikan dengan arbitrase

⚬ putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
persoalannya melewati dua
Arbitrase pada tingkatan

mengacu pada UU no 1 tahun 1967 tentang PMA,


Internasional (ketika

unsur2 arbitrase bersifat internasional :


negara atau lebih)

para pihak yang bersengketa memiliki kebangsaan yang berbeda

tempat penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada di luar domisili para pihak sesuai kesepakatan bersama

obyek sengketa terletak diluar wilayah negara dimana para pihak memiliki usahanya

para pihak sepakat bahwa obyek sengket sesuai dengan klausula arbitrase memiliki keterkaitan 2 negara atau lebih
BADAN-BADAN
ARBITRASE
INTERNASIONAL

THE UNICITRAL
I N T E R N AT I O N A L
I N T E R N AT I O N A L A R B I T R AT I O N
CHAMBER OF CENTRE FOR
RULES
COMMERCE (ICC) SETTLEMENT OF
INVESTMENT seperanfkat aturan dalam
DISPUTES (ICSID) penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dalam hal perbedan
pusat dari badan arbitrase khusus untuk
sistem hukum dan sosial lingkup
internasional menyelesaikan sengketa
internasional
pada penanaman modal
• BANI berkedudukan sebagai
peradilan yang bebas, otonom dan
BANI (Badan Arbitrase International)

merdeka
• syarat dalam arbitrase atau arbiter BANI yang mana disini

memiliki keahlian pada bidang perbankan, asuransi, konstruksi,

dsbg

• BANI menyelesaikan sengketa dibidang komersial, perdata,

perdagangan
Dalam pengangkatan arbiter oleh Ketua BANI. Para Arbiter harus
memperhatikan hal2 pokok sebagai berikut:
• Putusan Majelis tidak melewati batas2 masalah yang disengketakan
• Putusan diberikan berdasarkan persetujuan yang tidak batal atau lewat waktunya
• Putusan itu diberikan oleh arbiter yang berwenang
• Diputus berkaitan dengan hal2 yang dituntut tidak lebih apa yang dituntut
• Putusan Arbiter tidak mengandung keputusan-keputusan yang satu sama lainnya bertentangan
• Para Arbiter tidak boleh lalai untuk memberikan keputusan tentang satu atau beberapa hal yang
menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk diputus
• Para Arbiter tidak melanggar formalitas hukum acara yang telah ditetapkan bersama
• Keputusan diberikan berdasarkan surat-surat sah dan otentik tidak palsu atau dinyatakan palsu
• Putusan harus didasarkan bukan pada kecurangan atau itikad jahat arbiter
Adanya Upaya
Perdamaian

• layaknya sidang perdata di Pengadilan Negeri terdapat adanya


upaya perdamaian yang mana ketika mencapai perdamaian, maka
oleh mejelis akan dibuatkan akta perdamaian.
• acara penyelesaian sengeta yang dilakukan BANI ditempuh oleh semua lembaga penyelesaian sengketa baik litigasi, Pengadilan Negeri maupun

lembaga arbitrase di luar pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai