Anda di halaman 1dari 44

KLIMATOLOGI UMUM

Sekolah Tinggi MKG


Semester III Prodi Meteorologi STMKG

HIDROLOGI
PERTEMUAN 2
KONDISI IKLIM INDONESIA
PEMBENTUKAN AWAN DAN HUJAN
SEBARAN HUJAN INDONESIA
Dosen Pengasuh :
NURYADI, S.Si, M.Si
(1) KONDISI IKLIM INDONESIA
Terdapat tiga jenis iklim di Indonesia, yaitu iklim musim (muson), iklim
tropika (iklim panas), dan iklim laut.
1) Iklim Musim (Iklim Monsun)
Sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode
tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim
terdiri dari 2 jenis, yaitu “Angin musim barat daya (Monsun Barat) dan Angin musim
timur laut (Monsun Timur)”. Angin monsun barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga
Maret yang basah sehingga membawa “Musim Hujan”. Angin monsun timur bertiup
sekitar bulan April hingga September yang sifatnya kering yang mengakibatkan “Musim
Kemarau”.

2) Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)


Wilayah yang berada “di sekitar garis khatulistiwa” akan mengalami iklim
tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan
musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis, yang bersifat
panas sehingga mengakibatkan “banyak penguapan dan banyak curah hujan”.

3) Iklim Laut
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah
laut mengakibatkan banyaknya penguapan air laut menjadi “udara yang lembab dan
curah hujan yang tinggi”.
 Astronomis : Terletak di Katulistiwa : IKLIM TROPIS
 Geografis : Memiliki luas laut > luas darat (3:1)  IKLIM LAUT
Ciri : suhu tinggi, penguapan besar, RH selalu tinggi,
menyebabkan CH tinggi. Sepanjang daerah pantai bertiup
angin darat & angin laut.
 Geologis : Jalur gunung api, letusannya menghasilkan banyak debu,
terdapat sistem angin gunung & angin lembah.
 Oktober – Maret :
Asia m. dingin (tek.+) & Australia m. panas (tek.-)  angin muson timur laut;
lewat ekuator berbelok ke kiri (angin muson barat laut). Angin muson timur
laut melalui lautan : musim hujan di Kalimantan, Sumatera, Jawa & Sulawesi.
 April – September :
Australia m.dingin (tek. +) & Asia m. panas (tek. -)  angin muson tenggara;
lewat katulistiwa berbelok ke kanan (angin muson barat daya). Angin muson
tenggara melalui gurun membawa angin kering: musim kemarau di Nusa
Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalsel & Sulawesi.
 Hujan Orografik:
lereng pegunungan Bukit Barisan, lereng gunung api di Jawa, lereng
pegunungan di Papua.
 Angin Fohn :
Deli (Bohorok), Cirebon (Kumbang), Pasuruan (Gending), Sulsel (Brubu).
 Kecepatan Angin :
Pantai utara Jawa 1,8-2,4 m/dt, Sumut 3-4 m/dt, Yogyakarta ± 0,8 m/dt.
 Radiasi :
Minimun : Desember & Juni
Maksimum : September & Maret
Yogyakarta kisarannya 320 cal/cm2/hr (Desember) & 392 cal/cm2/hr (Sept)
 Lama penyinaran matahari :
Terendah Januari (29% di Cipanas); tertinggi Agustus (83% di Madiun).
 Suhu tahunan rata-rata :
Wilayah perairan : 28oC; daratan: 27oC. Perairan yg luas berpengaruh besar
mengendalikan suhu, dan fluktuasi kecil.
 Tmaks = 31,1-0,61h ; Tmin = 22,8-0,53h; dimana (h dlm hm, T dlm oC)
 Kelembaban Udara :
Pada malam hari >90%; Pada Musim Hujan 80-85%; Musim Kemarau 60-70%
 Evaporasi :
Di dataran rendah pada MH : 4 mm/hari; pada MK : 5 mm/hari
 Merupakan Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT) atau Intertropical Convergence
Zone (ITCZ): jalur tekanan rendah tropika atau zona yg memiliki suhu tertinggi
dibandingkan daerah sekitarnya = ekuator termal (bergeser mengikuti “perjalanan”
matahari)  hujan zenith
 Rata2 CH > 2000 mm/th. CH terendah di Palu (604 mm/th), tertinggi di Baturaden
(7069 mm/th). Wilayah timur lebih kering dari pada wilayah barat.
 Pertanian : Tanaman pangan (padi, jagung, ketela, kedelai, kc. tanah); Hortikultura
(sayuran, buah & bunga).
 Perkebunan : karet, teh, kopi, kelapa sawit, kina, tebu, tembakau, kelapa, kapuk, lada,
cengkeh, pala, kayu manis.
 Kehutanan : Hutan hujan tropis, hutan sekunder, hutan musim, hutan bakau, hutan
rawa, hutan gambut. Fungsi : hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam/wisata,
hutan cadangan.

Ketinggian m.dpl Suhu rata2 tahunan oC Keadaan iklim


0 - 200 28 - 25 panas
200 - 1000 25 - 20 sedang
1000 - 1800 20 - 15 sejuk
1800 - 2700 15 - 10 dingin
> 2700 < 10 sgt dingin
PEMBAGIAN IKLIM DAN KECOCOKAN TANAMAN
(JUNGHUHN)
(2) PEMBENTUKAN
AWAN DAN HUJAN
(A) Penyebab Umum Pembentukan Awan
Kebanyak awan terbentuk “jika udara basah bergerak vertikal ke atas
dan kemudian mengalami pendinginan” karena udara mengembang
yang selanjutnya sebagian uap air berkondensasi dan membentuk awan

“Gerakan vertikal” yang menyebabkan pembentukan awan adalah :


a)Tubulensi Mekanis (turbulensi hambat)
b)Konveksi (turbulensi termis)
c)Kenaikan karena Orografi
d)Kenaikan lambat yang luas.

1) Pembentukan Awan Tubulensi Mekanis


Arus udara di permukaan bumi umumnya mengalami perubahan bentuk
karena “pengaruh gaya hambat” yang mengakibatkan terbentuknya
serangkaian olakan-olakan angin (eddy).
Gerak turbulensi ini terbentuk karena arus udara melalui “bangunan-
bangunan, pepohonan, bukit-bukit dan lain sebagainya”.
Jika pada mulanya lapisan udara dalam keadaan stabil, kemudian
mengalami percampuran, maka lapisan udara bagian atas akan
mengalami pendinginan, sedangkan bagian bawahnya akan mengalami
pemanasan. Sebagai akibatnya, maka akan terbentuk “lapse rate
adiabatis kering, selama udara masih belum jenuh”.
Uap air yang terbawa dalam proses percampuran tersebut, pada suatu
ketinggian “dibawah puncak lapisan hambat” kemungkinan akan
menjadi jenuh dan terjadi “kondensasi”.
Ketinggian dimana mulai terjadi kondensasi pada proses tersebut disebut
dengan “ketinggian kondensasi campuran” (mixing condensation
level disingkat MCL), yang merupakan “dasar dari awan yang
terbentuk”.
Awan yang terbentuk melalui proses ini adalah “awan-awan merata
(stratus)” dan merupakan lembaran awan yang “tidak memiliki bentuk
tertentu”.
Awan turbulensi mekanis, juga bisa terbentuk “dibawah dasar awan-
awan hujan” seperti Nimbostratus (Ns), Altostratus (As) dan
Cumolonimbus (Cb).
2) Pembentukan Awan Konvektif
Apabila udara mengalami pemanasan dekat permukaan bumi, maka
berkembanglah “arus konveksi”. Bersamaan dengan turbulensi mekanis
akan mengakibatkan percampuran udara pada lapisan bawah atmosfer.
Awan yang terbentuk melalui proses ini adalah “awan-awan rendah jenis
Cumulus (Cu)”. Ketebalan awan konvektif (dari dasar awan sampai
puncak awan) berkisar “dari satu atau dua kilometer sampai mencapai
sepuluh kilometer atau lebih”.
Cumulus-Cumulus kecil yang terpisah-pisah dan dalam perkembangannya
tidak memungkinkan untuk terjadinya hujan, disebut awan “Cumulus
cuaca-cerah”.
Kadang-kadang perkembangan vertikal dari awan Cu ini terhalang oleh
adanya “lapisan inversi”, sehingga puncak awan kemudian terpencar
horizontal dibawah lapisan inversi tersebut yang kemudian berkembang
menjadi awan Stratocumulus (Sc).
Puncak awan konvektif bisa mencapai ketinggian dimana “kristal-kristal
es mulai terbentuk” dan disebut sebagai awan “Cumolonimbus (Cb)”
yang biasanya disertai dengan “badai guntur”.
Awan Cb ini kadang memiliki “tinggi
dasar awan kurang dari satu
kilometer dengan puncak awan
lebih dari sepuluh kilometer”.
Bentuk pucak awan Cb sering
tampak seperti “landasan”, hal ini
disebabkan karena “puncak awan
terhalang oleh lapisan udara yang
stabil atau lapisan inversi di
atasnya”, sehingga kemudian
“terpencar horizontal”.
Dalam keadaan “labilitas yang
kuat”, jumlah energi yang maha
besar akan timbul dari terlepasnya
panas latent. Arus udara ke atas
mencapai “>10 kilometer per detik”
yang dapat menahan jatuhnya tetes-
tetes air kebawah. Arus udara yang
naik terganggu dan menjadi lemah,
maka terjadilah “hujan lebat disertai
badai guntur”. Proses pembentukan awan konvektif
3) Pembentukan Awan karena Orografi
Jika pada suatu saat arus udara mencapai kaki gunung atau barisan
pegunungan, maka udara “dipaksa naik” melalui lereng-lereng
pegunungan tersebut. Hal ini terjadi baik bagi “udara dekat permukaan
tanah maupun udara di atasnya”.
Pengaruh dari naiknya arus udara tersebut dapat mencapai kedalam
“lapisan atmosfer yang tinggi”, sehingga dapat “merubah suhu” dalam
lapisan tersebut. Udara yang telah dipaksa naik akan mengalami
“pendinginan adiabatis” yang memungkinkan “terbentuknya awan”.
“Tidak semua” arus udara yang naik ke atas pegunungan akan
membentuk awan, seperti pada udara yang “tidak cukup basah”.
Jenis awan yang terbentuk tergantung dari beberapa faktor, diantaranya
keadaan “stabilitas udara”. Dalam udara basah yang stabil, biasanya
terbentuk awan Stratus (St) dan jika udara basah labil, maka akan
terbentuk awan Cumulus(Cu) atau Cumolonimbus(Cb).
Di “wilayah balik pegunungan”, arus udara yang semula naik akan
“bergerak turun” dan udara akan “mengalami pemanasan” yang
mengakibatkan “menghilangnya awan dengan cepat”.
Awan orografi umumnya terbentuk
terus menerus pada daerah lereng
dimana “angin datang”, sedangkan
dibalik pegunungan “udara akan
cerah”.
Awan orografi tampak “seperti tidak
bergerak (stasioner)”, meski
sebenarnya arus udara berlangsung
terus. Dalam hal ini kadang-kadang
awan terbentuk tinggi di atas
gunung atau bukit, dimana terdapat
“lapisan udara yang hampir jenuh
di atas gunung tersebut”,
sehingga bentuk awan ini seperti
“topi” bagi gunung tersebut.
Awan semacam ini apabila dilihat
dari bawah akan tampak seperti
“lensa”, sehingga disebut “awan
lensa (lenticular cloud)”.
Proses pembentukan awan orografi
4) Pembentukan Awan karena Kenaikan Lambat dan Luas
Pembentukan awan yang telah diuraikan sebelumnya, umumnya terjadi di
atas daerah yang ”luasnya hanya meliputi beberapa kilometer”. Selain
itu, awan juga terjadi oleh gerakan udara vertikal pada suatu daerah
yang luas karena pengaruh suatu sistem arus udara yang sangat luas.
Sistem tersebut adalah sistem “tekanan rendah (depresi)” dan sistem
“tekanan tinggi (antisiklon)”.
Arus udara “vertikal ke bawah” terjadi di atas daerah antisiklon yang
disebut “subsidensi” dan disertai oleh “konvergensi di bagian atas serta
divergensi di bagian bawah”.
Proses sebaliknya terjadi “di atas daerah depresi” yang disertai
“divergensi di bagian atas dan konvergensi di bagian bawah” akan
mengakibatkan adanya arus udara “vertikal naik”. Arus udara naik di atas
daerah depresi ini terjadi pada daerah yang sangat luas, sehingga
kecepatan udara naik ini “relatif kecil”.
Namun demikian, arus udara naik ini dapat “berlangsung lama” (beberapa
hari) sehingga mengakibatkan “naiknya massa udara dalam jumlah yang
besar di atas wilayah yang luas (beberapa kilometer)”.
Proses pembentukan awan akibat kenaikan udara yang lambat dan luas

Depresi atau arus udara naik yang luas juga sering terjadi di “sekitar
daerah front”. Daerah front adalah daerah yang “memisah dua massa
udara yang memiliki sifat-sifat berbeda” seperti densitas dan
suhunya. Depresi yang terbentuk pada daerah dan proses seperti ini
disebut sebagai “depresi frontal”.
5) Pembentukan Awan pada Daerah Front
Front dibedakan “dua macam”, yaitu front dingin dan front panas. Jika massa
udara panas bergerak menggantikan tempat massa udara dingin disebut
sebagai front panas.
Posisi permukaan front adalah “condong dan landai” dan massa udara panas
mengalir lambat ke atas massa udara dingin. Pada front panas umumnya
terbentuk “awan merata”, apabila massa udara cukup basah. Jenis awan yang
biasanya terbentuk adalah Nimbostratus (Ns), Altostratus (As) dan Cirostratus
(Cs). Pembentukan awan pada front panas tergantung dari “stabilitas dan
kelembaban udara yang naik”.
Jika massa udara dingin bergerak menggantikan tempat massa udara
panas disebut sebagai front dingin. Awan yang terbentuk di daerah front
dingin berubah-ubah tergantung dari stabilitas dan kelembaban udara,
demikian juga kecondongan permukaan front.
Umumnya permukaan front dingin “lebih terjal” dari pada front panas.
Apabila front dingin bergerak mendekati suatu daerah, maka yang pertama
tampak adalah “jenis awan rendah kemudian diikuti oleh awan-awan
merata yang lebih tinggi di belakang front”.
Proses pembentukan awan akibat adanya front

Jika permukaan front dingin terjal, maka akan terbentuk awan yang hebat,
terutama apabila udara panas yang terangkat ke atas “cukup basah dan
labil”. Jenis awan yang terbentuk adalah “Cumulus besar dan
Cumolonimbus (Cb)” di dalam daerah massa udara panas. Pada keadaan
seperti ini akan terjadi “showers yang lebat dan kadang-kadang disertai
badai guntur”.
(B) Pemusnahan Awan

Perkembangan pembentukan awan akan menjadi lemah apabila proses


yang dapat mengakibatkan pembentukan awan “berhenti”. Faktor lain
yang juga mengurangi perkembangan pembentukan awan adalah proses-
proses yang mengakibatkan “hilangnya tetes-tetes air dalam awan”.
Proses tersebut antara lain adalah “pemanasan udara, hujan yang
bercampur dengan massa udara kering di sekitar awan”.
Awan mengalami pemanasan karena “menyerap radiasi matahari atau
radiasi bumi”. Namun demikian, hal ini “terlalu kecil” apabila
dibandingkan dengan pemanasan adiabatis. Pemanasan adiabatis terjadi
apabila “udara yang didalamnya terdapat awan mengalami
subsidensi”, karena suhu udara naik dan kelembaban turun sehingga
udara menjadi “tidak jenuh lagi”. Hal ini akan mengakibatkan menguapnya
(sublimasi) partikel-partikel awan menjadi “uap yang tidak tampak lagi”.
Insolasi, sering mengakibatkan musnahnya awan yang terbentuk karena
“turbulensi”.
Proses insolasi berlangsung sebagai berikut :
Apabila radiasi matahari dapat mencapai permukaan tanah dalam jumlah
yang cukup, akan mengakibatkan “naiknya suhu udara dekat permukaan
tanah”, akibatnya “mixing condensation level (MCL) akan naik dan
dasar awan-awan Stratus atau Stratocumulus juga akan naik”,
sehingga tebalnya awan dibawah lapisan inversi-turbulen “akan
berkurang”, bahkan pada suatu keadaan awan-awan tersebut “akan
musnah”.
KLASIFIKASI AWAN
1. Awan Tinggi : > 6.000 m (±20.000 ft)
a. Cirrus (Ci)
b. Cirrostratus (Cs)
c. Cirrocumulus (Cc)
2. Awan Sedang : 2.000 m–6.000 m (6.000 – 20.000 ft)
a. Alto Stratus (As)
b. Alto Cumulus (Ac)
3. Awan Rendah : 0 – 2.000 m (0 – 6.000 ft)
a. Strato Cumulus (Sc)
b. Stratus (St)
4. Awan Rendah dengan perkembangan Vertikal, tertinggi :
a. Nimbostratus (Ns)
b. Cumulus (Cu)
c. Cumulo nimbus (Cb)
(C) Proses Pembentukan Hujan
1) Ukuran Partikel Awan dan Pertumbuhannya
 Ukuran Partikel Awan
Partikel awan (tetes air) yang ada di dalam atmosfer dibedakan dalam
“tiga golongan berdasarkan ukurannya”, yaitu :
Inti biasa, dengan garis tengah < 0,1 µ
Inti besar, dengan garis tengah 0,1 – 1,0 µ
Inti sangat besar, dengan garis tengah > 1,0 µ
Inti besar “jumlahnya jauh lebih banyak” dibandingkan inti sangat besar
dan memegang peranan dalam pembentukan awan.
Konsentrasi inti kondensasi “di atas daratan umumnya lebih rapat dari
pada di atas lautan”, sehingga partikel-partikel awan di atas lautan
memiliki ukuran umumnya “lebih besar”. Partikel awan di atas daratan
rata-rata bergaris tengah 2 - 10 µ, sedangkan di atas lautan berkisar
antara 3 - 22 µ.
Inti-inti kondensasi sangat besar yang terdiri dari “inti-inti garam” dapat
membentuk partikel atau tetes air dengan garis tengah antara 20 - 30 µ,
dan konsentrasinya umumnya hanya satu inti tiap satu liter udara.
Tetes air ini “untuk dapat jatuh dari dasar awan harus mencapai
ukuran tertentu”, sehingga arus udara naik tidak dapat menahan lagi
berat tetes air tersebut. Ukuran yang sesuai untuk dapat jatuh sebagai
hujan adalah “sekitar 100 µ” dan menghasilkan “kecepatan akhir 1 meter
per detik”.

 Pertumbuhan Partikel Awan


Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan partikel awan,
diantaranya adalah “kelembaban udara disekitarnya, tegangan
permukaan, sifat inti kondensasinya, dan cepatnya pemindahan
panas latent ke dalam udara sekitarnya”.
Pada saat permulaan, proses kondensasi pada inti-inti berlangsung
sangat cepat sampai pada suatu ukuran yang dapat dilihat dalam sekejap
mata, kemudian proses selanjutnya akan belangsung secara perlahan.
Dari hasil proses kodensasi sendiri, “tidak akan menghasilkan tetes-
tetes air yang garis tengahnya bisa melebihi 30 µ”. Dengan demikian,
untuk mengetahui terjadinya tetes-tetes air yang lebih besar di dalam
awan dapat diterangkan dengan “metode benturan dan penggabungan”
diantara tetes-tetes air yang ada.
2) Mekanisasi Proses Penggabungan
Tetes awan yang terangkat oleh arus udara naik akan terjatuh kembali
sedikit ke bawah. Pada kejadian ini, maka “tetes-tetes awan yang lebih
besar akan jatuh menimpa tetes-tetes awan yang lebih kecil di
sekitarnya”. Tetes air ini baru dapat berbenturan antara satu dengan
lainnya apabila garis tengahnya “sudah lebih dari sekitar 18 µ”.
Proses benturan dan penggabungan ini sangat perlu “untuk
perkembangan hujan dari awan-awan panas” yang suhunya diatas 00 C
dan seluruhnya terdiri dari tetes air. Tetes air juga didapati (terjadi) dalam
awan dingin yang suhunya kurang dari 00 C dan terdiri dari tetes-tetes air
“super dingin”. Tetes air super dingin ini dapat pula berkembang besar
dalam proses benturan dan penggabungan. Beberapa awan dingin dapat
juga mengandung “kristal-kristal es”.
3) Sifat dan Bentuk Hujan
Jatuhan hidrometeor yang meninggalkan dasar awan, baik dalam
bentuk tetes air maupun dalam berbagai bentuk es dan mencapai
tanah disebut “hujan”. Agar hidrometeor tersebut dapat mencapai tanah,
diperlukan suatu keadaan dimana udara dibawah awan “tidak terlalu
panas dan kering”. Namun demikian, selama dalam perjalanan jatuh,
hidrometeor tersebut tetap akan mengalami “penguapan atau sublimasi”.
a) Drizzle
Drizzle, adalah “hujan yang serba sama dengan tetes-tetes air yang
kecil dan rapat”. Berdasarkan ketentuan internasional, drizzle terdiri dari
tetes air yang memiliki garis tengah “kurang dari 250 µ” yang disebut
tetes-tetes drizzle. Drizzle umumnya jatuh dari awan-awan jenis “Stratus
yang tebalnya hanya beberapa ratus meter” dan dapat mencapai tanah
jika arus udara naik sangat lemah.
b) Hujan
Hujan, terdiri dari tetes-tetes air yang memiliki garis tengah “lebih dari 250
µ”. Tetes-tetes hujan yang besar umumnya dihasilkan dari awan-awan
yang tebalnya beberapa kilometer dan jatuhan “hujan lebat” dihasilkan
dari awan-awan jenis Cumulus yang tingginya bisa mencapai 10 kilometer
atau lebih dengan arus udara naik yang kuat di dalamnya.
c) Salju
Salju, adalah “hujan dalam bentuk kristal-kristal es”. Sebagian terbesar
dari kristal es ini bercabang yang kadang-kadang berbentuk seperti
bintang. Kelompok dari kristal-kristal es ini disebut keping salju. Kristal-
kristal es juga bisa berbentuk seperti jarum, butiran atau lempengan dan
disebut sebagai prisma-prisma es. Prisma es ini sering sedemikian
kecilnya sehingga seolah melayang di udara.
d) Butir-butir Salju
Butir salju, terdiri dari biji-biji es yang berwarna putih kabur dalam bentuk
bola atau kerucut dengan “garis tengah antara 2 – 5 mm”.
Butir salju terbentuk dari “air super dingin” pada kristal es atau keping
salju dalam bentuk rime. Butir salju bersifat “kering dan mudah pecah”
dan jika jatuh mengenai benda keras akan memantul.
e) Butir-butir Es
Butir-butir es, terdiri dari butir es yang transparan maupun translusen
dengan bentuk bola atau bentuk yang tidak teratur. “Diameternya 5 mm
atau lebih” dan jika jatuh menimpa benda keras akan “memantul dan
bersuara”.
Butir-butir es dibedakan dalam dua macam, yaitu :
Tetes-tetes air yang membeku atau keping salju yang sebagian besar
meleleh kemudian membeku kembali.
Butir-butir salju yang terbungkus oleh lapisan es.

e) Rambun (Hail)
Rambun atau Hail adalah ”hujan yang terdiri dari bola-bola atau
potongan-potongan es kecil”. Tiap butiran disebut batu-rambun (hail-
stone) yang memiliki garis tengah ”antara 5 – 50 mm”.
Hail stone umumnya terjadi di dalam awan Cumolonimbus (Cb) dan
sering disertai dengan adanya badai guntur.
Hail umumnya jatuh dari ketinggian beberapa kilometer, ”sehingga
umumnya telah mencair sebelum mencapai permukaan tanah”. Hal ini
salah satu penyebab mengapa hail (rambun) jarang teramati pada
dataran rendah di daerah tropis.
(3)
RATA-RATA
CURAH HUJAN
BULANAN DAN TAHUNAN
INDONESIA
(1981-2010)

30
10 cm

1
KETERANGAN GAMBAR
1. Corong penampung air hujan dengan luas tarik
penampang corong 100 cm2 ( bibir corong
terbuat dari kuningan / tembaga ).
2
2. Leher penakar hujan ( diameter 13 cm ,
terbuat dari seng / paralon 5 mm ).
63 cm
3. Tabung penampung air hujan ( untuk 3 L air
, terbuat dari seng/ paralon).
Alat Penakar Hujan
3

4. Kran pembuangan air. 4

5. Penampang untuk meletakan kedudukan


penakar hujan terhadap kayu penyanggah /
pondasi.
5 Tipe Observatorium (OBS)
0,30 m
2m

1,0 m

1,2 m 0,30 m

1,0 m

2m 0,50 m
1,0 m 1,0 m
0,50 m

Besi / kayu
Plat seng / Gembok
Pagar kawat
kawat harmonika
harmonika

Penempatan
Alat Penakar Hujan
Tipe Observatorium (OBS)
Curah Hujan (milimeter) :
merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat
yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak
mengalir. Curah hujan 1 (satu) millimeter, artinya dalam
luasan satu meter persegi pada tempat yang datar
tertampung air setinggi satu millimeter atau tertampung air
sebanyak satu liter
Tipe Hujan di Indonesia
Tipe Ekuatorial :
Umumnya tipe ini memiliki pola hujan rata-rata bulanan dengan dua puncak hujan
maksimum yaitu pada Maret dan November. Curah hujan setiap bulan cukup tinggi, yaitu
lebih dari 150 milimeter dan sebaran wilayahnya umumnya berada di sekitar ekuator.
Puncak hujan biasanya terjadi pada saat posisi matahari berada di atas suatu wilayah
tersebut yang merupakan wilayah Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ).

Tipe Monsun :
Umumnya tipe ini memiliki pola hujan rata-rata bulanan dengan satu puncak hujan
maksimum yaitu pada Januari atau Desember. Curah hujan bulanan menunjukkan
perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau (curah hujan < 150 milimeter) dan
periode musim hujan (curah hujan > 150 milimeter). Sebaran wilayah umumnya berada di
selatan ekuator yang sensitif terhadap gerakan atau perubahan sistem angin monsun.
Puncak hujan biasanya terjadi pada saat sistem monsun barat dominan melintasi wilayah
tersebut.

Tipe Lokal :
Umumnya tipe ini memiliki pola hujan rata-rata bulanan yang kebalikan dengan tipe
monsun. Pada saat wilayah tipe monsun mengalami musim hujan, maka wilayah ini
mengalami musim kemarau, demikian juga sebaliknya. Selain itu, akibat dari kondisi
geografisnya terdapat pula wilayah tipe lokal yang memiliki curah hujan cukup rendah
sepanjang tahun dengan rata-rata bulanan kurang dari 150 milimeter.
TERIMA KASIH

Dosen Pengampu : Nuryadi, S.Si, M.Si


44

Anda mungkin juga menyukai