Anda di halaman 1dari 63

TASAWUF MODERAT

SAID NURSI
OLEH MUHAMAD KHOIRUL UMAM, M. S. I
A. MEDRESETUZ ZAHRA:
SEKOLAH MODERN ALA SAID NURSI
Pada tahun 1910-an, Said Nursi
ingin membangun Medresetuz
Zahra yang menggabungkan 3 hal:
yaitu (1) sekolah modern yang
mengajarkan ilmu-ilmu modern,
(2) madrasah yang mengajarkan
ilmu syariah & (3) zawiyah para
sufi yang membina penyucian jiwa
& kehalusan adab.
Model pendidikan integral semacam
itulah yang diperjuangkan banyak ulama
setelahnya. Rujukan model pendidikan
yang mencakup semua aspek itu ada di
dalam Al-Quran, yaitu Al-Baqarah ayat
129 & 151, Ali Imran ayat 164 & Al-
Jumuah ayat 2. Yang intinya, bahwa
pendidikan mengandung 3 aspek
penting, yaitu (1) aspek tilawah
(pengenalan, pemahaman &
penghayatan ayat-ayat Allah), (2) aspek
tazkiyah (pembersihan hati &
penyucian jiwa) & (3) aspek ta’lim
(pengajaran). Ta’lim/pengajaran
ini mencakup pengajaran al-kitab
& al-hikmah secara integral &
tidak dipisahkan. Itu bermakna
meniscayakan adanya pendalaman
terhadap ilmu pengetahuan &
kegunaannya.
Dan puncak pendalaman ilmu
pengetahuan itu akan bermuara
pada ma’rifatullah. Sebab,
mengenal Allah sesungguhnya
adalah puncak ilmu pengetahuan
(Prof. Dr. Noor Achmad dalam
Habiburrahman El Shirazy, Api
Tauhid, 2005: xxv-xxvi).
B. BIOGRAFI SINGKAT SAID
NURSI
Badiuzzaman Said Nursi
dilahirkan pada tahun 1877 M di
desa Nurs, Provinsi Bitlis, Anatolia
Timur. Ayahnya bernama Mirza,
seorang sufi yang wira’i &
diteladani sebagai seorang yang
tidak pernah memakan barang
haram, syubhat & hanya memberi
makan anak-anaknya hanya dengan
yang halal saja.
Pun begitu pula dengan
ibunya, bernama Nuriye,
yakni wanita yang sangat
salehah. Ibunya pernah
berkata, bahwa dirinya
hanya menyusui anak-
anaknya dalam keadaan suci
& berwudhu.
Nursi mulai menimba ilmu
dengan mempelajari Al-Quran
dari bilik ayahnya sendiri,
Mirza & kepada kakak
lelakinya, Abdullah.
Sebagaimana umumnya pelajar
Muslim, ia mula-mula mengkaji
bidang nahwu & sharaf.
Pada tahun 1888 M, dengan
ketekunan luarbiasa Nursi masuk di
sekolah Bayazid, yang ditempuhnya
hanya dalam waktu 3 bulan. Selama
itu, ia berhasil membaca seluruh
buku yang pada umumnya
dipelajari di sekolah-sekolah agama
hingga tepat 3 bulan ia menggondol
ijazah dari Syekh Mehmed Celali.
Pada tahun 1889 M Said Nursi
berguru pula kepada seorang
ulama terkenal, Molla Fethullah
Efendi, yang karena
kejeniusannya menyematkan
gelar Bediuzzaman (Keajaiban
Zaman) terhadap dirinya
menjadi terkenal dengan
julukan tersebut.
Lebih dari 80 kitab induk
tentang ilmu-ilmu keislaman
berhasil dihafalnya. Bukan
hanya kitab-kitab yang dihafal
Nursi, ia pun menghafal Al-
Qamus al-Muhith, karya Al-
Fairuz Abadi, sampai pada
huruf Sin.
Nursi pergi menuju kota Van
untuk mempelajari berbagai disiplin
ilmu modern, seperti geografi,
astronomi, kimia, ilmu alam &
lainnya secara otodidak pada tahun
1894. Dalam waktu relatif singkat
sekali dikuasainya matematika,
astronomi, kimia, fisika, geologi,
filsafat, sejarah, geografi,
permasalahan-permasalahan
kontemporer, perkembangan-
perkembangan dalam kehidupan
kekhalifahan Turki Utsmani &
dunia Islam lainnya. Selama di
Van ini, Nursi mampu menghafal
sekitar 90 buku-buku bertema
ilmu pengetahuan umum
tersebut.
Pada tahun 1907 M Said Nursi
mengunjungi ibukota Istanbul &
menyampaikan usulan kepada
Sultan Abdul Hamid agar di
timur Anatolia didirikan sekolah-
sekolah yang menggabungkan
studi ilmu agama & ilmu
pengetahuan modern agar
terjadi keselarasan wawasan.
Nursi menyuarakan penggabungan
kedua ilmu tersebut dengan frasa
yang singkat & padat, namun cukup
indah. Pengetahuan agama adalah
cahaya bagi hati nurani &
pengetahun modern adalah
penerang bagi akal. Kebenaran akan
termanifestasi melalui kombinasi
antara keduanya.
Ketika pecah Perang Dunia I pada
tahun 1914 M dengan Rusia, Nursi
ikut berperang & tertangkap oleh
pasukan tentara Rusia & ditawan di
Qustarma selama 2 tahun 4 bulan.
Ketika masa-masa dalam tawanan
Rusia inilah keinginan Nursi untuk
uzlah, mengasingkan diri dari
kehidupan sosial mulai muncul.
2 tahun kemudian (1916 M), Nursi
membaca kitab Futuh al-Gaib karya
Abdul Qadir al-Jilani. Selanjutnya
dibacanya kitab Maktubat karya
Imam Rabbani yang menjadikan
dirinya semakin mantap untuk
beruzlah. Dalam uzlahnya inilah
Nursi hanya berdialog dengan Al-
Quran semata tanpa merujuk pada
kitab apapun, lebih terfokus
dalam menuangkan ide-idenya
secara inspiratif dalam usahanya
membendung paham
materialisme yang sudah
menjangkit mayoritas masyarakat
Turki pada saat itu.
Said Nursi wafat pada pukul 3
dinihari tanggal 23 Maret 1960 di
Sanliurfa.
C. SAID NURSI:
PEMBAHARU DALAM BIDANG TASAWUF
Dalam kajian riset postdoctoral
yang dilakukan Hakan Yavuz
(1997-1999), Nursi telah mampu
memberikan pengaruh gerakan
paling besar (the largest number)
daripada gerakan keagamaan
apapun di Turki sejak pertengahan
abad 20 hingga memasuki
milenium ketiga dewasa ini.
Secara global, dalam paradigma
Yavuz, spektrum pengaruh Nursi
terklasifikasi dalam 3 kategori.
Pertama, para ulama dalam
pengertian tradisional yang lebih
cenderung hanya memperjuangkan
keyakinan Islam untuk melawan
musuh umum (common enemy)
masyarakat muslim Turki: the
secularizing forces of the state.
Kedua, kelompok jurnalis terdidik yang
menekankan sains & teknologi agar
pesan-pesan Nursi dapat bergema &
menjadi lebih relevan bagi mayoritas
kaum muda. Ketiga, generasi yang
berupaya membingkai makna-makna
baru terhadap pemikiran Nursi supaya
menjadi lebih fungsional terhadap
perubahan ekonomi, sosial & pendidikan
agama. Kelompok ketiga dipimpin oleh
Fethullah Gulen.
Sebagaimana Nursi, Fethullah
Gulen berupaya membawa
Tuhan kembali dalam segala
dimensi kehidupan, lembaga-
lembaga & kaum intelektual
untuk mengangkat kembali
negeri Turki sebagai sebuah
negara yang besar (a great
nation).
Imtiyaz Yusuf, seorang pemikir
dari Prince of Songkle University,
Thailand, memandang Nursi sebagai
seorang pembaharu Islam era
kontemporer (a mujaddid of the
contemporary age of Islam), ketika
dikomparasikannya Nursi dengan
Syekh Ahmad Sirhindi tentang
hubungan antara Tuhan & manusia
dalam dimensi spiritualnya.
Menurut Imtiyaz Yusuf, Nursi
telah melakukan revolusi
tradisi sufi dengan
menjadikan karyanya Risalah
al-Nur menjelma sebagai
“guru impersonal” yang
membimbingnya kepada Al-
Quran.
Menurut Yusuf, Nursi telah
berhasil merekonstruksi wacana
tasawuf yang bersifat dialogis
interaktif antara 3 komponen
penting, yaitu (1) Al-Quran, (2)
Risalah al-Nur & (3) akal pikiran
sehingga menjadi tetap relevan
hingga dewasa ini, era
postmodernisme.
Kata Imtiyaz Yusuf, “The
Risale-i Nur is Said Nursi’s gift
of life in the service of God, so
that it may be served as lamp
post in guiding the
contemporary man to God and
preventing him from becoming
the cause of his/her own
destruction and damnation.”
Said Nursi sangat populer sebagai
seorang pembaharu dalam bidang
tasawuf sebagaimana dinyatakan
oleh Ahmad M. Al-Ghali, seorang
guru besar di United Arab Emirate.
Menurut Ahmad Al-Ghali, Nursi
bukan hanya mempelajari wacana-
wacana tasawuf dari para guru
besar klasik hingga era modern, tapi
ia juga mengkontruksi
wacana-wacana tasawuf yang bersifat
orisinal dengan menimba inspirasi secara
langsung dari Al-Quran & Sunnah/Hadits.
Menurut riset Greg Barton, salah
seorang Indonesianis & pengajar senior
Agama di Deakin University, Victoria,
Australia, pembaharu yang level
setara/sebanding dengan Said Nursi
adalah reformis Islam abad ke-20:
Muhammad Abduh dari Mesir & Moh.
Iqbal dari India.
D. KRITIK KONSTRUKTIF NURSI
TERHADAP TASAWUF
Nursi mengidentifikasi bahwa ada
sejumlah penyimpangan yang terjadi
dalam tasawuf/ordo sufi, antara lain:
pertama, banyak para pengamal tasawuf
yang lebih mengutamakan amalan-
amalan & prinsip-prinsip sekunder
tarekat daripada menjalankan Sunnah
Nabi. Bahkan tak jarang lebih
mendahulukan amalan-amalan tasawuf
ketimbang perintah-perintah agama
yang wajib.
Menurut riset yang
dilakukannya pada masyarakat
Turki saat itu, para pengikut
tarekat sufiyah kadang terjebak
dalam lingkaran fanatisme karena
keliru menganggap lebih penting
melakukan zikir menyebut nama-
nama Allah daripada
menjalankan shalat 5 waktu.
Praktik ibadah yang benar, bagi
Nursi, adalah tidak 1 kewajiban pun
yang telah ditentukan oleh syariah
dapat digantikan dengan semua zikir
tarekat. Oleh karena itu, zikir &
amal kebajikan yang diharuskan oleh
tarekat tersebut seyogyanya hanya
dipandang sebagai sebuah instrumen
& harus diberi perhatian sewajarnya
saja.
Sebagaimana mengutip perspektif
Imam Al-Ghazali & Imam Rabbani
yang menegaskan bahwa
ganjaran/derajat yang diperoleh
dengan melaksanakan 1 kewajiban
agama adalah lebih mulia ketimbang
perintah 1000 Sunnah. Pun begitu
pula 1 prinsip Sunnah adalah jauh
lebih baik ketimbang 1000 perintah
tarekat sufiyah.
Kedua, sebagian para pengikut
tarekat sufiyah menganggap
beberapa orang saleh/wali yang
memiliki karomah/berpandangan
luarbiasa lebih hebat daripada
Sahabat Nabi/bahkan
menganggap derajatnya sama
dengan para Nabi.
Menurut Nursi, kedudukan
kenabian tidak bisa
dibandingkan dengan kewalian.
Sebab hal itu laksana
membandingkan matahari itu
sendiri dengan pantulan
cahayanya yang tampil dalam
permukaan cermin.
Mengenai para sahabat Nabi, Nursi
mengungkapkan kemuliaan mereka
dibandingkan para wali, yaitu (1)
perbincangan langsung dengan Nabi
(Muhammad SAW) adalah semacam
obat mujarab sehingga seseorang
yang mengalaminya sejenak saja
akan meraih cahaya hakikat yang
ekuivalen dengan bertahun-tahun
perjalanan spiritual.
Sebab dalam perbincangan tersebut
ada refleksi, peniruan & melalui
lentera kenabian yang sublim, sebuah
derajat yang benar-benar agung dapat
tercapai.
(2) Mayoritas sahabat berada pada
derajat tertinggi dalam kesempurnaan
manusia. Pada masa sahabat, dalam
“revolusi” Islam yang sangat besar,
kebajikan & kebenaran tampil dalam
seluruh keindahannya, serta
kejahatan & kesalahan menjelma
dalam segala aspek
keburukannya. Para sahabat
berada dalam moralitas tertinggi
karena tetap berpijak secara
kokoh pada kearifan & kebenaran
yang tak sudi terjerat kejahatan
& keburukan orang-orang kafir.
(3) Para sahabat adalah objek yang
dituju oleh pujian ilahi pada akhir
Surat Al-Fatihah. Kemuliaan sakral
tersebut, bagi Nursi, tak akan
mungkin dapat tercapai oleh para
wali. Mereka juga adalah orang-orang
yang sangat dekat dengan Tuhan
(penanam saham & investasi besar
dalam perjuangan mengokohkan
Islam di awal kehadirannya).
Ketiga, menurut riset Nursi bahwa
beberapa pengamal tarekat sufiyah
memandang ilham yang mereka terima
sama nilainya dengan wahyu ilahi.
Menurut mereka (para pengamal
tarekat sufiyah tersebut), laku praktik
mereka “cerminan” dari “firman-firman
Allah”/ayat-ayat yang diwahyukan.
Kenyataannya, menurut Nursi, mereka
meremehkan wahyu ilahi.
Keempat, banyak kaum sufi yang
larut dalam kenikmatan-kenikmatan
transendental & keajaiban-
keajaiban spiritual/karomah.
Seharusnya, kata Nursi, para salik
yang dianugerahi karomah
menerima semua itu sebagai cahaya
ilahi & menyembunyikannya.
Semakin bersyukur & menambah
ketaatan kepada-Nya.
Kelima, sebagian pelaku tasawuf
melontarkan pernyataan-pernyataan
yang sangat berlebihan/keluar dari
kebiasaan (syathahat). Wali “sufi
majdub” (nyeleneh) tidak layak
dijadikan sebagai
guru/mursyid/pembimbing spiritual
umat manusia. Karena menurut Nursi,
Al-Quran & Sunnah sebagai barometer
(utama) utama untuk menjustifikasi.
Keenam, menurut riset Nursi di
wilayah Turki, sebagian pengamal
tasawuf bersifat egois: tergoda
mengejar ganjaran duniawi atas
pelbagai kesalehan yang mereka
lakukan.
Ketujuh, kritik Nursi terhadap
ekslusivisme tasawuf. Sebab wacana-
wacana tasawuf lazimnya tidak bisa
diakses oleh setiap orang & semua
kalangan.
Sekadar contoh, Imam Al-
Ghazali, mengklasifikasi
karya-karyanya dalam 2
kategori. (1) kelompok karya
yang diistilahkannya dengan
“yang terlarang bagi selain
yang kompeten” (al-madnun
biha ‘ala ghair ahliha).
Al-Ghazali menjaga seluruh kandungan
konten karya-karya yang tergolong
dalam kelompok ini, hanya untuk
dirinya & untuk orang-orang yang telah
memenuhi syarat.
(2) Karya-karya yang disajikan untuk
konsumsi publik (jumhur). Ia adalah
kelompok karya yang diperuntukkan
kepada mereka & sesuai dengan
tingkat intelektualitasnya.
Kedelapan, menurut Nursi,
setelah tasawuf melembaga dalam
aneka puspa ragam aliran tarekat
sufiyah, maka ekslusifisme tasawuf
menjadi lebih terlihat. Pada
kelompok-kelompok tasawuf/tarekat
secara tidak langsung sudah
membangun sistem paternalistik
dengan posisi seorang mursyid dalam
koneksinya dengan murid-muridnya.
Nursi dipanggil oleh murid-
muridnya dengan sebutan
ustadz/guru. Agar tidak terlalu
ekslusif, Nursi memosisikan
dirinya di hadapan murid-
muridnya sebagai teman,
saudara & murid yang semuanya
mengabdi kepada Al-Quran &
juga Risalah al-Nur.
E. 9 MANFAAT MULIA TASAWUF
MENURUT SAID NURSI
Pertama, melalui jalan
tasawuf yang lurus, menurut
Nursi, seseorang dapat mencapai
tingkatan keyakinan ‘ainul yaqin
(the vision of certainty) yang
merupakan ketersingkapan &
penjelasan-penjelasan buah-
buah hakikat keimanan.
Kedua, melalui jalan sufi,
menurut Nursi, kaum sufi mampu
mendidik kalbu sebagai pusat
kemanusiaan mereka sehingga
seluruh bagian lainnya bekerja
sesuai dengan tujuan penciptaannya
yang berada dalam keridhaan Tuhan
& akhirnya mengantarkan manusia
tersebut menjelma manusia sejati.
Ketiga, melalui jalan sufi,
menurut Nursi, para murid
bergabung dengan mata
rantai/karavan orang-orang
saleh dalam perjalanan menuju
alam barzakh & akhirat. Mereka
menjadikan orang-orang saleh
tersebut sebagai teman di jalan
menuju keabadian itu.
Keempat, melalui jalan sufi,
menurut Nursi, kaum sufi
mengalami kenikmatan melihat
Allah melalui cahaya iman &
cinta kepada Allah yang berasal
dari pengetahuan tentang Allah,
sehingga mereka terbebaskan
dari segala kesepian duniawi &
kesendirian di alam semesta.
Kelima, menurut Nursi, melalui
merasakan keterjagaan kalbu,
melalui jalan sufi, terhadap
kebenaran-kebenaran pokok yang
terdapat dalam kewajiban agama
(syariah) & zikir kepada Allah,
kaum sufi menaati & menjalankan
ibadah berdasarkan cinta & rindu,
bukan dengan paksaan.
Keenam, menurut Nursi, jalan sufi
mengantarkan para pengamalnya
untuk tawakal, pasrah & ridha
terhadap Allah sehingga
menghasilkan kebahagiaan yang
sesungguhnya.
Ketujuh, menurut Nursi, melalui
keikhlasan, kaum sufi dibebaskan
dari penyakit berupa kemunafikan &
riya’.
Kedelapan, menurut Nursi,
melalui senantiasa melakukan
zikir, tafakkur & niat yang tulus
dari hati, maka kaum sufi
mampu mentransformasi
perbuatan-perbuatan sederhana
sehari-hari menjadi bernilai
ibadah & amal-amal duniawi
menjelma amal-amal ukhrawi.
Kesembilan, menurut Nursi,
melalui perjalanan dengan hati
& perjuangan tiada henti
terhadap godaan setan & nafsu
pribadinya, memungkinkan
seorang pelaku tasawuf menjadi
manusia sempurna: mukmin
sejati & muslim sempurna.
F. 4 KONSTRUKSI TASAWUF
MODERAT ALA SAID NURSI
Ada 4 konstruksi tasawuf
moderat ala Said Nursi, yaitu (1)
pengakuan atas ketidakberdayaan
diri (impotence, al-‘ajz), (2)
kefakiran (diri terhadap Tuhan
Yang Maha Kaya) (poverty, al-
faqir), (3) kasih sayang
(compassion, al-syafaqah) & (4)
refleksi (reflection, al-tafakkur).
G. KARYA SAID NURSI
Karya Said Nursi yang
monumental adalah Risalah al-Nur
yang tersusun dalam 9 jilid, yaitu
pertama, Al-Kalimat (The Words),
yang berisi tentang tauhid, aspek-
aspek keagungan Al-Quran, aspek-
aspek ibadah ritual, isra’ mi’raj,
wacana keimanan & kehidupan
sesudah mati, dll.
Kedua, Al-Maktubat (The
Letters), yang menguraikan
tentang tingkat kehidupan,
rahmat dalam kematian, asma
Allah, mukjizat Rasul, makna
mimpi, konsep manunggal
kawula gusti, penciptaan setan,
rahmat Allah dalam kematian &
kemalangan, dlsb.
Ketiga, Al-Lama’at (The
Flashes), yang menjabarkan
mengenai sabar, konsep
Sunnah, wahdatul wujud,
ma’rifatullah, ikhlas, risalah
tabi’ah, hijab, marda, syuyukh
& beberapa perbincangan
beberapa Asmaul Husna.
Keempat, Syafa’at
(Epistomes of Light), yang
mengeksplorasi tentang
tauhid, keimanan,
ketakwaan, hari
kebangkitan, eksistensi
manusia & alam serta
berbagai topik lainnya.
Kelima, The Rays, yang
melukiskan keyakinan,
kepercayaan kepada hari
kebangkitan & hidup sesudah
mati, perbincangan tentang
malaikat, keesaan Tuhan,
ringkasan surat Al-Fatihah, pilar-
pilar Islam & menjelaskan pula
kenabian Muhammad SAW.
Keenam, Signs of
Miraculousness, yang berisi
tafsir atas surat Al-Fatihah &
surat Al-Baqarah ayat 33.
Ketujuh, Al-Malahiq fi Fiqhi
Dakwah, yang berisi
kumpulan surat-surat Nursi
kepada murid-muridnya.
Kedelapan, Shaiqal Islam, yang
berisi wacana tentang tafsir,
balaghah, akidah, khotbah
syamiyah & kumpulan eksepsi
Nursi di hadapan Mahkamah
Militer. Kesembilan, Sirah al-
Dzatiyah, yang berisi biografi,
pendidikan & perjuangan Nursi
secara luas.
Seluruh risalah tersebut
dipaparkan oleh Nursi secara
filosofis & kaya ilustrasi
dengan dibungkus gaya
bahasa yang ringan, sehingga
mudah dicerna oleh publik
luas tanpa kehilangan bobot
maknanya.

Anda mungkin juga menyukai