Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN LABA DAN AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

Dani Usmar, SE., M.Si., Ak., CPA.


LAPORAN LABA RUGI

• Laporan Laba Rugi dapat disusun dengan dua metode yaitu Single Step
dan Multiple Step. Single Step dibuat dengan mengelompokkan
pendapatan dan biaya, tanpa dipilah mana pendapatan usaha dan
pendapatan diluar usaha. Begitu juga yang berkaitan dengan biaya.
Model ini biasanya digunakan pada perusahaan jasa.
• Sedang penyusunan dengan multiple step dilakukan dengan melalui
berbagai tahapan dan pada masing-masing tahapan, manajemen dapat
melakukan analisa yang dijadikan sebagai salah satu dasar dalam
pengambilan keputusan. Model ini biasanya digunakan pada
perusahaan dagang dan industry.
KONSEP DASAR AKUNTANSI PAJAK
AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN
Pengertian Laba Keuangan sebelum pajak adalah istilah pelaporan keuangan
yang sering dianut sebagai laba sebelum pajak, laba untuk tujuan pelaporan
keuangan atau laba untuk tujuan pembukuan. Laba keuangan sebelum pajak
ditentukan dan diukur dengan tujuan memberikan informasi yang berguna
kepada investor dan kreditor.

Laba kena pajak atau laba untuk tujuan pajak adalah istilah akuntansi
pajak yang digunakan untuk menunjukkan jumlah yang menjadi dasar
perhitungan hutang pajak penghasilan perusahaan. Laba kena pajak
ditentukan menurut peraturan pajak yang dirancang untuk mendapatkan
uang guna mendukung operasi pemerintah.
Laba yang dihasilkan oleh perusahaan merupakan obyek pajak penghasilan.
 Jumlah Laba Kena Pajak (SPT) > dihitung berdasar ketentuan dan Undang
– undang yang berlaku dalam tahun fiskal yang bersangkutan
 Jumlah Laba Akuntansi (Lap. Rugi/Laba) > ditentukan sesuai dengan
prinsip akuntansi yang lazim.

Perbedaan ini berakibat adanya perbedaan jumlah Pajak


Penghasilan yang diperhitungkan (menurut laba
akuntansi) dengan jumlah Pajak Penghasilan yang
Terhutang (menurut SPT).
Perlakuan Akuntansi Terhadap Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai biaya bagi perusahaan.Oleh karena
itu Pajak Penghasilan harus diasosiasikan dengan laba dimana pajak
penghasilan tersebut dikenakan atau diperhitungkan. Proses untuk
mengasosiasikan Pajak Penghasilan dengan laba dimana pajak itu dikenakan
disebut Alokasi Pajak.
Karena tarif Pajak Penghasilan berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka
diperlukan suatu metode alokasi agar diperoleh kepastian dan perlakuan
yang konsisten terhadap pajak penghasilan tersebut beserta penyajiannya
dalam Laporan Keuangan.
Pada dasarnya terdapat 3 alternatif metode alokasi pajak yang bisa dipakai,
yaitu :
1. Deferred Method
2. Liability Method
3. Net of Tax Method
Deferred Method
Menurut metode ini, selisih jumlah Pajak Penghasilan Terhutang (berdasar SPT)
dengan Biaya Pajak Penghasilan (berdasar laba akuntansi) dalam suatu periode
harus dicatat dan disajikan dalam Laporan Keuangan sebagai Pajak yang
Ditangguhkan.
Jumlah Pajak yang Ditangguhkan ditentukan berdasar tarif pajak yang berlaku pada
saat terjadinya transaksi atau item yang menyebabkan terjadinya perbedaan atau
selisih antara laba kena pajak dan laba akuntansinya.
Deffered Method berorientasi pada Laporan Rugi – Laba dan menitik beratkan pada
tercapainya proper matching antara pendapatan dan biaya dalam periode di mana
selisih perhitungan pajak terjadi.

Liability Method
Menurut metode ini jumlah Pajak yang Ditangguhkan ditentukan berdasar tarif
pajak yang diharapkan akan berlaku dalam periode di mana selisih pajak akan
dikompensasikan. Perhitungan Pajak yang Ditangguhkan bersifat tentatif yang
selalu memerlukan penyesuaian pada setiap kali terjadi perubahan tarif pajak
penghasilan.
Menurut liability method, Pajak yang Ditangguhkan harus dipandang sebagai
kewajiban ekonomis untuk Pajak yang Terhutang atau sebagai aktiva untuk Pajak
yang Dibayar Dimuka
Net of Tax Method
Menurut metode ini, melaporkan Pajak yang Ditangguhkan dalam neraca tidak
dibenarkan karena Biaya Pajak Penghasilan yang dilaporkan dalam Laporan
Rugi – Laba harus sama dengan jumlah Pajak Penghasilan Terhutang atau pajak
yang harus dibayar untuk periode yang bersangkutan.
Selisih yang terjadi karena adanya perbedaan laba kena pajak dan laba
akuntansi tidak dibukukan dalam suatu rekening tersendiri, tetapi ditambahkan
atau dikurangkan kepada aktiva atau hutang tertentu serta unsur pendapatan
atau biaya yang bersangkutan.
Prinsip-Prinsip Alokasi Pajak
Pada dasarnya Alokasi Pajak Penghasilan bagi perusahaan sebagai wajib pajak
bisa mencakup dua hal :

Interperiod Allocation
Yaitu proses alokasi pajak penghasilan antar periode tahun buku yang satu
dengan periode-periode tahun buku berikut atau sesudahnya. Alokasi pajak
penghasilan antar periode tahun buku ini diperlukan karena adanya perbedaan
terhadap jumlah laba kena pajak dan laba akuntansi.
Intraperiod Allocation
Yaitu proses alokasi pajak penghasilan dalam suatu periode akuntansi karena
adanya perbedaan tarif pajak yang dikenakan terhadap tiap-tiap komponen
laba atau pendapatan (Misal : tarif pajak untuk laba sebelum pos luar biasa
berbeda dengan tarif pajak untuk laba atau rugi luar biasa.)

Karena Undang-Undang Perpajakan di Indonesia tidak mengenal diskriminasi


tarif yang diberlakukan terhadap tiap-tiap komponen laba atau pendapatan,
maka masalah Intraperiod Allocation praktis tidak pernah dijumpai, sehingga
pembahasan lebih dititikberatkan pada masalah Interperiod Allocation.
Alokasi Pajak Penghasilan Antar Periode Tahun Buku (Interperiod Allocation)

Pada tanggal 1 Januari 1987 sebuah perusahaan membeli sebuah villa berikut
tanahnya dengan harga Rp 90.000.000,- Sebesar Rp 15.000.000,- diantaranya
merupakan harga tanahnya.
Menurut ketentuan perpajakan, bangunan villa harus disusut berdasar metode
garis lurus dengan taksiran umur 20 tahun. Sementara kebijakan akuntansi pada
perusahaan tersebut menetapkan bahwa bangunan villa disusut berdasar metode
garis lurus dengan taksiran umur 10 tahun.
Apabila perusahaan memperoleh pendapatan sebesar Rp 10.000.000,- dengan
biaya operasi (tidak termasuk biaya depresiasi) sebesar Rp 1.000.000,- setiap
tahun selama 20 tahun, sedang tarif pajak yang berlaku untuk tingkat laba yang
dihasilkan perusahaan pada saat itu sebesar 40 %. Hitunglah jumlah pajak
penghasilan setiap tahun selama 20 tahun !
Penyelesaian …
Keterangan Masa 10 tahun pertama Masa 10 tahun berikutnya
SPT Akuntansi SPT Akuntansi
Pendapatan 10.000.000 10.000.000 10.000.000 10.000.000
Biaya Usaha 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Biaya Depresiasi 3.750.000 7.500.000 3.750.000 -
Laba Kena Pajak 5.250.000 1.500.000 5.250.000 9.000.000
Pajak Penghasilan 2.100.000 600.000 2.100.000 3.600.000

Tanpa alokasi pajak penghasilan, maka besarnya pajak penghasilan yang


harus disajikan dalam laporan Rugi/Laba akan sama jumlahnya dengan Pajak
yang Terutang menurut kantor Pajak (dalam SPT), yaitu sebesar Rp
2.100.000,- per tahun, yang berlangsung selama 20 tahun. Sajikan Laporan
Laba Rugi nya!
Laporan Rugi – Laba Partial
(Tanpa Alokasi Pajak Antar Periode)
Masa 10 tahun Masa 10 Tahun
Pertama Berikutnya
Pendapatan 10.000.000 10.000.000
Biaya Usaha ( 1.000.000) ( 1.000.000)
Depresiasi Bangunan ( 7.500.000) -
Laba sebelum PPh 1.500.000 9.000.000
Pajak Penghasilan ( 2.100.000) ( 2.100.000)
Laba (Rugi) Bersih 600.000 6.900.000

Pada tahun buku 1987 Pajak Penghasilan dicatat dengan jurnal :


Pajak Penghasilan Rp 2.100.000,-
Hutang Pajak Penghasilan Rp 2.100.000,-

Perbedaan tarif depresiasi bangunan villa tersebut mengakibatkan Laporan Rugi-


Laba untuk masa 10 tahun pertama menunjukkan adanya kerugian sebesar Rp
600.000,- per tahun, dan tarif pajak efektif sebesar 140 % dari Laba sebelum Pajak.
Sedangkan untuk 10 tahun berikutnya, di mana biaya depresiasi tidak lagi
diperhitungkan, tarif pajak efektifnya menjadi sebesar 23 % dari Laba sebelum pajak
Alasan Perlunya Alokasi Pajak
Tanpa Alokasi Pajak, Laporan Perhitungan Rugi – Laba untuk Perusahaan tersebut
tidak menunjukkan jumlah yang realistis jika dibandingkan dengan laba yang
diperoleh perusahaan. Hal ini disebabkan Biaya Depresiasi untuk tujuan akuntansi
diperhitungkan atas dasar taksiran umur bangunan selama 10 tahun, sedang untuk
perhitungan pajak penghasilan ditetapkan umur bangunan adalah 20 tahun.
Sebagai akibatnya, Pajak Penghasilan dilaporkan (dalam Laporan Rugi – Laba)
tidak sesuai dengan Laba Kena Pajaknya.
Oleh karena itu perlu diadakan alokasi pajak antar periode agar Pajak Penghasilan
menunjukkan korelasinya dengan laba yang diperoleh perusahaan, sehingga apliksi
prosedur alokasi pajak Pada Laporan Perhitungan Rugi – Laba perusahaan setiap
tahunnya selama 20 tahun sbb :
Laporan Rugi – Laba Partial (Dengan Alokasi Pajak Antar Periode)
Masa 10 tahun Masa 10 tahun
pertama Berikutnya
Pendapatan 10.000.000 10.000.000
Biaya Usaha ( 1.000.000) ( 1.000.000)
Depresiasi Bangunan ( 7.500.000) -
Laba sebelum Pajak 1.500.000 9.000.000
Pajak Penghasilan – 40 % ( 600.000) ( 3.600.000)
Laba Bersih 900.000 5.400.000
Dengan alokasi pajak antar periode tidak berarti jumlah pajak yang harus dibayar
perusahaan tiap tahunnya menjadi berbeda. Pada dasarnya perusahaan tetap
diwajibkan membayar pajak Penghasilan sebesar Rp 2.100.000,- setiap tahun
selama 20 tahun.
Perbandingan kedua prosedur tersebut dilihat dari segi pengaruhnya terhadap pajak
penghasilan yang dilaporkan dalapm Laporan Rugi – Laba adalah sbb :

Jumlah Pajak Penghasilan


Keterangan Disajikan dalam Laporan Rugi - Laba
Dibayarkan Tanpa Aloksi Dengan Alokasi
Masa 10 tahun Pertama :
1. Jumlah per-tahun 2.100.000 2.100.000 600.000
2. Jumlah selama 10 tahun 21.000.000 21.000.000 6.000.000

Masa 10 tahun Berikutnya :


1. Jumlah per-tahun 2.100.000 2.100.000 3.600.000
2. Jumlah selama 10 tahun 21.000.000 21.000.000 36.000.000

TOTAL (20 tahun) 42.000.000 42.000.000 42.000.000


Prosedur Pembukuan Alokasi Pajak Antar Periode
Perusahaan melakukan setoran pajak penghasilan setiap bulan sebesar Rp
125.000,- dimulai pada bulan Januari 1987.
Dengan demikian, sampai dengan akhir bulan Desember 1987 Pajak Penghasilan
yang sudah disetor sebesar Rp 1.375.000,- (Rp 125.000 x 11 bulan -> Setoran pajak
dalam bulan tertentu diperlakukan sebagai angsuran pajak untuk bulan sebelumnya
-> Januari 1987 untuk Desember 1986, Februari 1987 untuk Januari 1987, dst)
Apabila Pajak Penghasilan yang Terhutang untuk tahun 1987 sebesar Rp
2.100.000,- dan Pajak Penghasilan yang diperhitungkan dari laba akuntansinya
sebesar Rp 600.000,- maka jurnal yang dibuat untuk tahun 1987 adalah sbb :

Mencatat PPh yang diperhitungkan untuk tahun 1997


Pajak Penghasilan Rp 3.600.000,-
Hutang Pajak Penghasilan Rp 3.600.000,

Mencatat perhitungan penyelesaian Uang Muka PPh dan PPh terutang menurut SPT
tahunan dalam tahun 1997
Hutang Pajak Penghasilan Rp 2.875.000,-
Uang Muka Pajak Penghasilan Rp 1.375.000,-
Pajak Penghasilan yang Ditangguhkan- Rp 1.500.000,-
Dalam Buku Besar perusahaan, rekening Pajak
Penghasilan Ditangguhkan akan tampak sbb :

Melalui prosedur alokasi pajak yang demikian tersebut, maka pada akhir
masa kegunaan bangunan, yaitu pada akhir tahun 2006, rekening Pajak
Penghasilan Ditangguhkan akan bersaldo NIHIL (0)
Berbagai Faktor yang Memerlukan Prosedur
Alokasi Pajak Antar Periode
Ada banyak faktor yang menyebabkan timbulnya perbedaan Pajak Penghasilan
menurut ketentuan perpajakan, dan Pajak Penghasilan yang dihitung berdasar
laba akuntansi. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori, yaitu :
1. Perbedaan Waktu (Time Differences)
2. Perbedaan Permanen (Permanent Differences)
Perbedaan Waktu (Time Differences)
Selisih terjadi apabila terdapat item-item dari pendapatan dan biaya yang
diperhitungkan dalam penentuan laba akuntansi untuk suatu periode, tetapi
diperhitungkan dalam penentuan pendapatan atau laba kena pajak untuk periode
yang berlainan.
Beberapa trransaksi yang menyangkut perbedaan waktu tersebut antara lain :
1. Pendapatan atau laba kene apajak diperhitungkan sebagai bagian dari
Pendapatan Kena Pajak lebih awal dari pada pengakuannya dalam Laba
Akuntansi.
Contoh : Pendapatan Sewa, Royalti, Jasa, Bunga yang diterima dimuka
2. Pendapatan atau laba yang diperhitungkan sebagai bagian dari Pendapatan
Kena Pajak lebih akhir daripada pengakuannya dalam Laba Akuntansi.
Contoh : Laba Kotor untuk Penjualan Angsuran, Laba Atas Kontrak Jangka
Panjang (Akuntansi ->metode % penyelesaian, Pajak ->Metode Kontrak
Selesai), Pendapatan atau hak atas laba dari investasi pada perusahaan afiliasi
(Akuntansi ->metode equity, Pajak ->metode Harga Pokok
3. Biaya atau rugi yang diperhitungkan dalam penentuan pendapatan atau laba
kena pajak lebih awal dari pada pengakuannya dalam penentuan laba
akuntansi.
Contoh : Penggunaan metode depresiasi yang semakin berkurang jumlahnya
untuk tujuan pajak, sedang untuk tujuan akuntansinya digunakan metode
garis lurus,
4. Biaya atau rugi yang diperhitungkan lebih akhir dalam penentuan lba kena
pajak dari pada pengakuannya dalam penentuan laba akuntansi.
Contoh : Taksiran biaya garansi dan hadiah, Taksiran rugi penurunan nilai
persediaan, kontrak pembelian dengan penyerahan kemudian, kerugian
piutang, dan penurunan nilai surat berharga,Taksiran kerugian dari klaim ganti
kerugian atau kontingensi
Perbedaan Permanen (Permanent Differences)
1. Transaksi yang diperhitungkan dalam penentuan laba akuntansi tetapi tidak
diakui untuk tujuan pajak
Contoh : Pendapatan bunga dari deposito berjangka, Amortisasi Goodwill,
amortisasi biaya pendirian, Biaya Premi asuransi jiwa para karyawan, Biaya
kompensasi karyawan yang dikaitkan dengan program pemberian hak beli
saham kepada karyawan ybs.

2. Transaksi yang diakui untuk tujuan pajak, tetapi tidak diakui untuk tujuan
akuntansi.
Contoh : Rugi Operasi

Selisih permanen ini tidak pernah terkompensasikan, atau dengan kata lain,
selisih permanen tidak dibenarkan atau tidak memerlukan adanya alokasi
antar periode untuk tujuan akuntansinya. Sehingga apabila dalam suatu
periode terdapat selisih permanen, maka akan dibebankan seluruhnya kepada
periode ybs.
PT GUNADARMA melaporkan laba sebelun pajak (Laba Akuntansi) untuk tahun 1995
s.d. 1997 sebesar Rp 5.000.000,- per tahun. Tarif pajak yang berlaku pada saat itu 30
%.
Informasi yang diperoleh sehubungan dengan pajak penghasilan adalah sbb :
1. Laba kotor dari penjualan angsuran pada tahun 1995 sebesar Rp 525.000,-
Laba tersebut untuk keperluan perpajakan seharusnya diakui secara bulanan
selama 18 bulan terhitung sejak tanggal 1 Januari 1996, dengan jumlah yang sama
setiap bulan. Sedangkan untuk keperluan akuntansi, laba tersebut diakui
seluruhnya dalam tahun buku 1995.
2. Perusahaan telah mengamortisasi Biaya Pendirian sebesar masing-masing Rp
375.000,- untuk tahun 1996 dan 1997 yang ternyata tidak diperkenankan untuk
tujuan perpajakan.
3. Sajikan rekonsiliasi perusahaan dengan pajak!
Rekonsiliasi Laba Akuntansi dan Laba Kena Pajak
serta Perhitungan Pajak Penghasilan Terhutang
1995 1996 1997
Jumlah Laba Akuntansi 5.000.000 5.000.000 5.000.000

Selisih Permanen : - ( 375.000) ( 375.000)


Amortisasi Biaya Pendirian

Selisih Temporer :
Laba Kotor Penjualan Angsuran
- Jumlah mula-mula ( 525.000) - -
- Jumlah reversing - 350.000 175.000

Jumlah Laba Kena Pajak 4.475.000 5.725.000 5.550.000


Pajak Penghasilan Terhutang (30 %) 1.342.500 1.717.500 1.665.000

Untuk mencatat ke dalam rekening yang berhubungan dengan Pajak


Penghasilan, maka perlu dibuat suatu perhitungan yang teliti, khususnya
terhadap jumlah pajak yang ditangguhkan.
Perhitungan Pajak Penghasilan dan Pajak Yang Ditangguhkan
1995 1996 1997
Jumlah PPh Terhutang 1.342.500 (K) 1.717.500 (K) 1.665.000 (K)
Pengaruh selisih laba temporer thd
PPh (Pajak yang ditangguhkan) *** 157.500 (K) 105.000 (D) 52.500 (D)

Pajak Penghasilan diperhitungkan 1.500.000 (D) 1.612.500 (D) 1.612.500 (D)

Perhitungan :
Jumlah Selisih Laba Temporer x tarif PPh
1995 : Rp 525.000 x 30 % = Rp 157.500,-
1996 : Rp 350.000 x 30 % = Rp 105.000,-
1997 : Rp 175.000 x 30 % = Rp 52.500,-
Atas dasar perhitungan di atas, susunlah jurnal untuk mengakui biaya Pajak
Penghasilan :
Tanggal 31/12/1995
Pajak Penghasilan Rp 1.500.000,-
Hutang Pajak Penghasilan Rp 1.342.500,-
Pajak Penghasilan Ditangguhkan RP
157.500,-
Tanggal 31/12/1996
Pajak Penghasilan Rp 1.612.500,-
Pajak Penghasilan Ditangguhkan Rp
105.000,- Hutang Pajak Penghasilan Rp 1.717.500,-

Tanggal 31/12/1997
Pajak Penghasilan Rp 1.612.500,-
Pajak Penghasilan Ditangguhkan Rp 52.500,-
Hutang Pajak Penghasilan Rp
1.665.000,-

Pada akhir tahun buku 1997, yaitu pada saat berakhirnya masa kompensasi dari
selisih temporer, maka saldo rekening Pajak Penghasilan Ditangguhkan menjadi
NIHIL (0).
AKUNTANSI PAJAK TANGGUHAN
Akuntansi pajak tangguhan diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 46. Secara umum, PSAK No. 46
PSAK No. 46 merupakan standar akuntansi yang mengatur perlakuan
akuntansi untuk pajak.
PSAK No. 46 juga mengatur tentang akuntansi pajak penghasilan
menggunakan dasar akrual, yang secara komprehensif merupakan
pendekatan aktiva kewajiban (asset-liability approach) atau berorientasi pada
neraca (balance sheet oriented).
PSAK No. 46 yaitu mengatur perlakuan untuk akuntansi pajak penghasilan
dalam mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode berjalan
dan periode mendatang yang berkaitan dengan perbedaan temporer agar
dilakukan pengakuan terhadap “future tax effects” yang timbul sebagai akibat
adanya transaksi dan peristiwa lain yang telah diakui dalam laporan
keuangan dan pengakuan kewajiban pajak tangguhan serta aktiva pajak
tangguhan, penyajian pajak penghasilan pada laporan keuangan dan
pengungkapan informasi yang relevan.
PAJAK TANGGUHAN
Pajak tangguhan adalah pajak yang kewajibannya ditunda sampai waktu yang
ditentukan atau diperbolehkan
Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan
datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan
akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat
dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan
dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu
PROSES TIMBULNYA PAJAK TANGGUHAN
Pajak tangguhan timbul akibat adanya perbedaan (selisih) sementara
(temporary difference), antara standar akuntansi dan undang-undang pajak
mengenai pengakuan nilai pajak penghasilan (PPh) perusahaan.
Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) lebih besar
dibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui
sebagai ‘liabilitas pajak tangguhan’ (deferred tax liability).

Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar akuntansi) untuk
tahun 2012, nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 10,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 30,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp 3,000,000
Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU Pajak),
nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 15,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 25,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp 2,500,000

Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih besar Rp 500,000


dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 – 2,500,000).

Selisih sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi kewajiban di masa yang
akan datang.

Dalam pengertian, di periode berikutnya kewajiban pajak akan meningkat (ketika


HPP yang saat ini belum diakui menjadi diakui). Prinsip kehati-hatiannya akuntansi
menyebutkan bahwa: “kewajiban yang masih berupa potensi-pun sebaiknya diakui.”
Oleh sebab itu maka selisih tersebut diakui sebagai ‘liabilitas pajak tangguhan’
(deferred tax liability) pada kelompok ‘Liabilitas’ di Neraca
Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) LEBIH KECIL
dibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui sebagai
‘aset pajak tangguhan’ (deferred tax asset)

Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar akuntansi),


nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 15,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 25,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp 2,500,000

Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU Pajak),


nampak sebagai berikut:
Penjualan = Rp 50,000,000
HPP = (Rp 10,000,000)
Biaya-biaya = (Rp 10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp 30,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp 3,000,000
Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih kecil Rp 500,000
dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 – 2,500,000). Selisih yang
sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi pengurang kewajiban pajak di
masa yang akan datang. Kewajiban pajak berkurang, maka aset meningkat. Oleh
sebab itu maka diakui sebagai ‘aset pajak tangguhan’ (deferred tax asset) pada
kelompok “Aset” di Neraca.
PENGAKUAN PAJAK TANGGUHAN BERSIFAT SPEKULATIF.
KARENA

Walaupun pengakuan pajak tangguhan, terutama yang ‘liabilitas pajak


tangguhan’, bagus, sebagai bentuk kepatuhan (compliant) terhadap prinsip
kehati-hatian dari suatu laporan keuangan yang dihasilkan.
RISIKO UTAMA YANG BISA TIMBUL AKIBAT
PENGAKUAN PAJAK TANGGUHAN
1. Repot – Pajak tangguhan (baik yang liabilitas maupun aset) jelas merepotkan,
karena pengakuan pajak tangguhan bersifat sementara. Artinya, suatu saat
nanti—ketika liabilitas atau aset itu benar-benar timbul—harus dihapus.

Misalnya: Pada contoh kasus PT. JAK yang pertama di atas, liabiliast pajak
tangguhan Rp 500,000 diakui di 2012, dengan jurnal:
Biaya PPh Badan Rp 500,000
Liabilitas Pajak Tangguhan Rp 500,000

Nantinya, apabila di tahun 2013 (atau setelahnya) selisih tersebut benar-benar


menjadi kewajiban PPh yang harus dibayar, maka liabilitas pajak tangguhan
tersebut harus diakui sebagai utang PPh, dengan jurnal:

Liabilitas Pajak Tangguhan Rp 500,000


Utang PPh Rp 500,000
Lanjutan 2
Menggantung dan Menumpuk
Ini yang paling banyak terjadi. Terutama ketika peusahaan mengakui adanya aset
pajak tangguhan (pajak tangguhan yang masuk kelompok aset). Misalnya:
Melanjutkan contoh kasus PT. JAK kedua yang sebelumnya, aset pajak tangguhan
sebesar Rp 500,000 diakui dengan jurnal:
Aset Pajak Tangguhan Rp 500,000
Utang PPh Rp 500,000

Jika 2013 nantinya benar-benar timbul perbedaan yang mengakibatkan kewajiban


PPh menurun, Jika kalau setelah diperiksa oleh DJP memang menghasilkan
ketetapan pajak yang benar-benar lebih kecil,
bagaimana seandainya tidak? Dibiarkan tercatat di Neraca.

Perlu diwaspadai , bila penentuan aset pajak tangguhan tidak dilakukan dengan hati-
hati, bisa menggantung bertahun-tahun. Apalagi bila di 2013 ada pengakuan aset
pajak tangguhan yang baru, maka akan semakin menumpuk.
Lanjutan 3
LAPORAN KEUANGAN MENJADI TIDAK DIPERCAYA

Pengakuan aset atau liabilitas yang menggunakan estimasi, rata-rata, memang


berpotensi mengakibatkan ketidak-andalan laporan keuangan. Terlebih jika
estimasi dibuat secara gegabah tanpa melalui pertimbangan yang matang.

MEMINIMALKAN RISIKO AKIBAT PENGAKUAN PAJAK TANGGUHAN


Pada kasus pengakuan pajak tangguhan ini misalnya; di satu sisi kita
diharapkan untuk patuh terhadap prinsip-prinsip akuntansi yang pada
dasarnya memang baik. Di sisi lainnya, ada risiko yang bisa timbul ketika
perlakuan akuntansi tidak diterapkan secara hati-hati dan bijak.

Gunakan Pertimbangan Yang Matang


Agar tidak terjebak dalam masalah berlarut-larut di kemudian hari,
pertimbangkan masak-masak; antara mengakui atau tidak mengakui pajak
tangguhan
Libatkan Profesional

Dengan menggunaka jasa professional, diharapkan dapat meminimalisir risiko-risiko


Dalam hal ini, perusahaan boleh melinatkan konsultan pajak bersertifikat (BKP) yang
sesuai. Menggunakan jasa Trusted Business Advisor (TBA) yang biasanya disediakan
oleh KAP besar, juga bisa.
Sertakan Penjelasan Yang Memadai
Jika pada akhirnya anda mengakui adanya pajak tangguhan di Laporan Keuangan
(Neraca), cara yang paling bagus adalah menyertakan penjelasan pada lembar
“Rincian dan Penjelasan” atau sertakan Footnote jika penjelasannya singkat.

Pertanyaan :
Kenapa adakalanya pengakuan laba menurut akuntansi berbeda dengan pajak?
sertakan contoh dalam jawaban saudara!

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai